SAMSARA (2011)

4 komentar
Sekitar 20 tahun yang lalu, sutradara Ron Fricke dan produser Mark Magidson berkolaborasi membuat sebuah dokumenter non-naratif berjudul Baraka yang mendapat banyak pujian berkat keberhasilannya menampilkan berbagai keindahan dari segala hal dan tempat di seluruh dunia. Sampai pada tahun 2006 lalu keduanya memutuskan untuk bergabung kembali dan membuat Samsara. Setelah melakukan penelitian dari berbagai sumber termasuk photobook dan YouTube, proses syuting dimulai pada tahun 2007. Prosesnya sendiri dilakukan di 25 negara dan berjalan selama empat tahun lebih. Selain memakan waktu lama, berbagai perjuangan ekstra keras juga dilakukan dalam membuat film ini. Seperti melakukan pendakian di daerah Arizona selama empat jam "hanya" untuk mengambil gambar yang muncul selama delapan detik di filmnya! Bahkan demi mendapatkan gambar para jamaah haji di Ka'bah, sebuah gedung setinggi 40 lantai dibangun. Kata Samsara sendiri mempunyai makna perputaran hidup yang terjadi berulang kali mulai dari kelahiran, penuaan, kematian hingga kelahiran kembali. Lewat Samsara kita akan diajak melihat berbagai macam hal mulai dari gambar-gambar indah dari alam di seluruh dunia, lokasi-lokasi kuno dan bersejarah, sampai kehidupan modern di gedung-gedung beritngkat, pabrik makanan, restoran cepat saji dan masih banyak lagi.

Tentu saja Samsara memberikan pada penontonnya gambar-gambar indah yang seringkali membuat saya terperangah akan kemampuan film ini menangkap berbagai pemandangan-pemandangan tersebut. Memang saya seperti melihat sebuah photobook tentang pemandangan alam, tapi setidaknya Samsara bukan hanya menampilkan gambar yang indah tapi juga punya hal untuk diceritakan. Tidak hanya gambar alamnya yang indah, gambar tentang dunia modernnya pun tidak kalah menarik meski beberapa kali dibanding indah lebih terasa disturbing (pabrik pengolahan ayam, peternakan babi, orang-orang obesitas makan secara ganas mungkin tidak akan bisa dinikmati oleh beberapa penonton). Satu hal yang sering dikritik oleh beberapa review yang sudah saya baca tentang film ini adalah tidak adanya keterangan nama-nama lokasi yang dimunculkan, sehingga banyak penonton yang sebenarnya merasa tertarik dengan keindahan lokasi tersebut namun tidak tahu letak sesungguhnya. Saya sendiri sempat merasakan kebingungan akan hal itu, tapi kemudian saya menyadari mungkin saja ini semua disengaja oleh Ron Fricke. Memang semua itu adalah tempat yang berbeda di penjuru dunia, namun sebenarnya semua tempat itu adalah satu, berada di Bumi dimana segala kehidupan yang menjadi subjek film ini berada. Sekali lagi semua yang ada di film ini adalah sama, dan mengalami siklus kehidupan yang sama.
Namun bagi saya sendiri presentasi yang dilakukan Samsara masih jauh dari kata luar biasa. Penggunaan slow motion dan musik yang muncul mungkin dimaksudkan untuk memberikan kesan meditatif bagi para penontonnya, tapi saya sendri malah merasa mengantuk akibat hal tersebut. Tapi untungnya saya masih tetap bisa menikmati film ini dengan berbagai keindahan yang ditawarkan. Ada beberapa adegan yang menjadi favorit saya, salah satu diantaranya adalah pembuatan sebuah lukisan pasir oleh para biksu di kuil yang terletak di Tibet (kalau saya tidak salah). Sebuah lukisan yang punya tingkat kerumitan luar biasa dibuat dengan cara menaburkan pasir beraneka warna secara perlahan keatas papan tempat melukis. Sampai pada akhirnya lukisan tersebut selesai dengan begitu indahnya hanya untuk "dihancurkan" dan dihapus begitu saja. Adegan ini seolah menjadi penggambaran tentang kehiudpan yang pada akhirnya siapapun itu dan bagaimanapun kehiudpan yang dijalani akan tetap berujung pada kematian yang sama. Sebuah adegan dimana seorang pria yang memakai jas rapih tiba-tiba bergerak secara gila dan membungkus mukanya dengan sesuatu mirip tanah liat. Adegan yang cukup shocking namun sangat artistik. 

Samsara memandang tema yang diangkat dalam berbagai macam sudut. Tidak hanya menyoroti kebersaran alam, namun kehidupan beragam manusia didalamnya turut disoroti. Gambaran para buruh pabrik yang menjalani siklus hidup-mati mereka dalam sebuah siklus harian yang terasa monoton. Kisah veteran perang, pekerja kantoran, sampai bagaimana konsumtifnya manusia saat ini. Tidak hanya manusia di dunia modern, namun suku-suku primitif di berbagai penjuru dunia juga turut ditampilkan. Namun sekali lagi Samsara jauh dari kesan luar biasa. Mengangkat keindahan dunia lewat gambar-gambar indah dalam film sayangnya sudah bukan lagi terobosan istimewa saat ini. Mungkin di tahun 1992 saat Baraka rilis, orang akan bisa dibuat terperangah dengan segala yang ditampilkan mengingat saat itu belum ada YouTube dan hal-hal lain yang meungkinkan orang untuk mengetahui keindahan tak terjamah yang ada di seluruh dunia. Tapi sekarang gambar-gambar yang ada sudah sangat dengan mudah dijumpai hanya dengan mencari lewat Google. Hal yang sama juga berlaku pada bagian lain seperti kisah suku primitif sudah banyak diangkat di televisi, bahkan kisah para buruh pabrik makanan sudah muncul lewat dokumenter Food Inc. Jadi apa yang membuat Samsara layak ditonton? Tentu saja keindahan dunia sebagaimanapun seringnya kita lihat tetap sayang untuk dilewatkan, apalagi Samsara dikemas dengan sangat baik dan bukan hanya menampilkan keindahan tak berhubungan namun membentuk suatu kesatuan makna yakni siklus kehidupan.


4 komentar :

Comment Page:
Era P. Ramadanti mengatakan...

bolehkah saya meminta link download film nya ? beserta subtitle

Rasyidharry mengatakan...

Di torrent udah banyak kok, sub bisa cari di subscene

Kemindol mengatakan...

menurut ane yang paling menarik itu dibagian ekspresi manusia saat menatap kamera. terasa angker, penasaran, simpati, entahlah...

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum bagaimana pendapat anda tentang musik yang ada di film Samsara