THE HOBBIT: AN UNEXPECTED JOURNEY (2012)

1 komentar
Selama masa penantian rilisnya film ini, bukan hanya antusiasme yang saya rasakan tapi juga pesimisme. Bagaimana tidak? Trilogi TLOTR adalah salah satu trilogi terbaik sepanjang sejarah perfilman dan berhasil meraup pendapatan hampir $3 Milyar. Meskipun menggelontorkan bujet raksasa yang kabarnya hampir menyamai bujet dari trilogi TLOTR digabung menjadi satu, saya tetap merasa khawatir akan hasil akhir dari prekuel The Lord of the Rings ini. Alasan keraguan saya tidak hanya karena film ini adalah prekuel dari TLOTR, tapi juga dikarenakan banyaknya halangan dan cerita yang mengiringi proses syuting film ini, mulai dari mundurnya Guillermo del Toro dari kursi sutradara, tertundanya proses syuting saat Peter Jackson jatuh sakit, keputusan membuat novel yang "hanya" setebal 300 halaman ini menjadi tiga film (setelah sebelumnya sempat direncanakan menjadi dua film). Tapi salah satu kontroversi yang paling banyak dibicarakan tentunya adalah penggunaan High Frame Rate, dimana teknologi tersebut membuat The Hobbit akan muncul dalam tampilan 48 frames per second, atau dua kali lipat dari film pada umumnya. Masih banyak keraguan lain yang saya rasakan seperti fakta bahwa The Hobbit sebenarnya lebih ditujukan pada anak-anak, berbeda dengan trilogi TLOTR yang lebih kearah peperangan epic dengan suasana lebih kelam dan dewasa.

Bagian pertama dari trilogi The Hobbit ini akan membawa kita pada masa 60 tahun sebelum kejadian di Fellowship of the Ring, dimana Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang saat itu "baru" berusia setengah abad bertemu pertama kali dengan sang penyihir Gandalf the Grey (Ian McKellen). Pertemua itu akhirnya berujung pada "kunjungan" 13 dwarf kerumah Bilbo. Para dwarf yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) ini sedang dalam perjalanan menuju Erebor yang merupakan rumah mereka yang sesungguhnya sebelum kedatangan seekor naga bernama Smaug yang memaksa para dwarf tersingkir dari sana. Perjalanan menuju Erebor bertujuan untuk mendapatkan rumah dan segala harta mereka kembali. Bilbo sendiri diminta untuk ikut dalam rombongan tersebut sebagai pencuri. Meski awalnya menolak, pada akhirnya Bilbo memilih untuk ikut dalam petualangan tersebut dan meninggalkan Bag End. Tidak akan ada perang besar-besaran yang mengancam dunia seperti dalam TLOTR, tapi masih akan ada beberapa rintangan seperti Orc, Troll, raksasa batu, dan tentunya yang paling ditunggu adalah kemunculan Gollum dan cincin miliknya yang seperti kita tahu akan diambil oleh Bilbo.

Paruh pertama dari film ini sempat terasa membosankan. Alur yang disajikan pada bagian awal terasa sangat anak-anak dengan sempilan komedi dan momen-momen komedik penuh keceriaan seperti adegan makan malam yang diiringi nyanyian para dwarf. Pada dasarnya The Hobbit sendiri memang sebuah buku yang ditujukan bagi anak-anak, sehingga pengemasan yang dilakukan oleh Peter Jackson dengan memberikan nuansa fantasi yang lebih cerah di paruh awal ketimbang TLOTR adalah keputusan yang tidak bisa disalahkan. Masalahnya adalah mayoritas penonton film ini adalah orang yang sudah menonton dan menyukai versi TLOTR yang lebih dewasa dan kelam. Bagi penonton yang tidak tahu tentang detil dan fakta dari The Hobbit pasti akan dibuat bingung mengapa sebuah film yang katanya prekuel dari TLOTR tampil seperti sebuah film yang diadaptasi dari dongeng sebelum tidur untuk anak-anak. Tidak hanya itu saja yang membuat film ini sempat terasa membosankan. Beberapa adegan juga terasa disajikan secara terlalu lama. Adegan para dwarf bernyanyi dirumah Bilbo sempat membuat saya kehilangan mood untuk menonton dan rasanya akan lebih baik jika dihilangkan. Kemudian momen di Rivendell yang menampilkan obrolan antara Gandalf, Saruman, Lord Elrond dan Galadriel terasa terlalu lama dan bertele-tele, begitu juga beberapa adegan lain yang juga terasa terlalu lama menampilkan obrolan yang bisa dipersingkat.
Untungnya saat petualangan sudah dimulai, An Unexpected Journey menjadi jauh lebih seru dan menarik. Petualangannya berjalan cukup cepat, meski sempat melambat saat tiba di Rivendell, tempo penceritaannya kembali meningkat dan tidak lagi terasa membosankan hingga akhir film. Pada bagian ini, adegan aksi dan momen komedinya bisa membaur dengan baik dan tidak lagi terasa kekanak-kanakan meskipun jauh lebih ringan daripada TLOTR. Pertarungan dengan Troll dan Orc memang seru, namun yang paling luar biasa adalah kemunculan raksasa batu. Monster raksasa yang saling bertarung melempar batu berukuran super bersar itu mampu menghadirkan salah satu momen paling epic dalam film ini. Sebuah gabungan sempurna dari kehebatan Peter Jackson dalam membangun ketegangan dan efek CGI yang begitu baik. Kemudian momen demi momen seru yang membuat saya tidak sadar bahwa saya sudah duduk lebih dari dua setengah jam didalam bioskop menyusul satu demi satu. Tapi momen favorit saya adalah kemunculan Gollum yang juga mengundang keriuhan penonton lainnya. Adu teka-tekiyang terjadi antara Bilbo dan Gollum begitu menarik untuk diikuti. Seperti biasa kepribadian ganda dari Gollum menciptakan sebuah ambiguitas yang selalu menajdi daya tarik tersendiri.
Lalu bagaimana dengan teknologi HFR yang menuai kontroversi tersebut? Butuh waktu beberapa menit bagi saya untuk beradaptasi dengan teknologi ini. Harus diakui gambarnya jauh lebih jernih, apalagi saya menonton juga dalam format 3D yang sesungguhnya sudah membuat gambar dalam film terasa lebih jernih, dalam sekaligus detail. Selain itu pergerakan gambarnya juga menjadi lebih halus. Tapi disisi lain, efek CGI yang begitu mendominasi dipadukan dengan teknologi HFR membuat saya merasa menonton sebuah video game dengan kualitas grafis yang bagus, dan bukan seperti menonton film. Dengan tingkat kedetailan yang makin tinggi, efek CGI yang dipakai juga sempat terasa kepalsuannya. Tapi secara keseluruhan pemakaian teknologi ini terasa memuaskan bagi saya. Sebuah pengalaman baru yang menyenangkan melihat sebuah film ditampilkan dalam cara yang berbeda. Tentu saja kedepannya teknologi ini akan semakin maju, dan tinggal kita tunggu saja hasilnya karena kabarnya James Cameron juga akan memakai teknologi ini untuk sekuel-sekuel Avatar (yang entah kapan dirilis).

Penampilan para aktornya sendiri memuaskan. Martin Freeman sukses menjadi Bilbo Baggins yang terkadang konyol namun juga bisa mengeluarkan sisi keberanian dan heroisme dalam dirinya. Saya sendiri jauh lebih menyukai Bilbo dariapda Froddo yang bagi saya dalah salah satu kelemahan trilogi TLOTR. Bilbo mungkin bukan karakter yang gampang dicintai, namun jelas bukan karakter yang menyebalkan. Setidaknya dia hanyalah seorang hobbit yang takut untuk meninggalkan zona aman, namun dia punya keberanian dan aura yang cerah sekaligus menyenangkan. Bandingkan dengan Frodd yang begitu menyebalkan dan gloomy. Ian McKellen sebagai Gandalf tetap dalam performa terbaiknya, apalagi the grey adalah sosok yang bisa dibilang jauh lebih berwarna karakterisasinya daripada the white. Sedangkan Andy Serkis sendiri saya rasa tidak perlu dibicarakan lagi karena hanya pujian yang akan keluar jika membicarakan penampilannya sebagai Gollum. Apalagi disini ia memperlihatkan sosok Gollum yang tidak hanya aneh dan menyeramkan namun juga bisa memancing tawa dengan ekspresi mukanya yang unik. Bagaimana dengan 13 dwarf yang ada? Saya sendiri masih kesulitan menghafal kesemuanya, tapi pembagian pors dan ciri khas masing-masing dari mereka sudah cukup baik, hanya tinggal masalah waktu saja karena ini barulah film pertama jadi saya masih merasa sulit menghafar nama karakternya.

Jadi apakah film pertama ini baik atau buruk? Saya merasa tidak adil jika mengatakan film ini buruk hanya karena kalah jauh jika dibandingkan trilogi TLOTR, karena pada dasarnya The Hobbit punya pasar dan kisah yang berbeda. Dengan alur yang lebih sederhana dan tidak terlalu gelap, sesungguhnya Peter Jackson bisa dibilang berhasil dalam mengangkat novel pertama Tolkien ini ke layar lebar. Bagi saya sendiri jika saya tidak sadar sudah duduk didalam bioskop selama dua setengah jam lebih maka dapat dipastikan  film yang sedang ditonton adalah film yang bagus. Sempat terasa membosankan diawal, An Unexpected Journey makin membaik sampai akhir film, meski saya sendiri tidak terlalu cocok dengan nuansa anak-anak yang ada dalam film ini. Dengan setia saya akan menunggu sekuelnya, The Desolation of Smaug yang akan dirilis Desember tahun depan.


1 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

ya ya ^^ bilbo adalah hobbit yang sangat menyenangkan. di lotr, frodo yang gloomy tertolong banget sama rekan2 hobbitsnya yang lain kayak sam, pip, dan merry ^^