DON'T BE AFRAID OF THE DARK (2011)
Bailee Madison
,
Cukup
,
Fantasy
,
Guillermo del Toro
,
Guy Pearce
,
horror
,
Katie Holmes
,
REVIEW
,
Thriller
,
Troy Nixey
7 komentar
Saya hanya pernah mendengar sekilas saja mengenai film televisi berjudul Don't Be Afraid of the Dark yang rilis tahun 1973. Remake terhadap film tersebut juga tidaklah terlalu spesial karena remake film horor klasik Hollywood seperti yang kita tahu lebih sering merusak versi aslinya. Saya juga tidak begitu tertarik dengan cast film ini mulai dari Guy Pearce, Katie Holmes sampai aktris cilik Bailee Madison. Sutradara Troy Nixey yang baru menjalani debutnya lewat film ini setelah sebelumnya adalah seorang "comic book artist" juga jelas bukan jadi magnet yang kuat dari film ini. Jadi apa yang membuat saya tertarik menonton remake ini? Jelas nama Guillermo del Toro alasannya. Saya termasuk orang yang terkesan dengan visi del Toro dalam menciptakan dunia dalam film-filmnya termasuk Pan's Labyrinth yang gothic dan unik tersebut. Jadi meskipun hanya sebagai produser, saya berharap pengaruh del Toro akan terasa kuat seperti pada film-film yang diproduseri Spielberg yang selalu terasa kental ciri khas dari sang produser.
Sally (Bailee Madison) kini harus tinggal bersama sang ayah, Alex (Guy Pearce) setelah sang ibu mengirimnya untuk pindah dan tinggal bersama ayahnya tersebut. Selain bersama sang ayah, Sally juga harus tinggal bersama pacar baru ayahnya, Kim (Katie Holmes) yang tidak terlalu dia sukai. Mereka bertiga lalu tinggal disebuah mansion tua yang cukup megah dimana mansion tersebut sedang direnovasi oleh Alex dan Kim. Pada awalnya, rasa ingin tahu Sally membawanya menemukan sebuah ruang bawah tanah di mansion tersebut. Lalu sejak penemuan ruang tersebut Sally sering mendengar bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya. Awalnya bisikan-bisikan tersebut terasa seperti ajakan pertemanan, tapi sebenarnya itu adalah bisikan mematikan dari para makhluk kecil ganas dan mengerikan yang dahulu pernah meninggalkan kisah horror bagi pemiliknya.
Film ini dibuka dengan cukup meyakinkan dimana adegan yang menampilkan Lord Blackwood mengambil secara paksa gigi pelayannya untuk dipersembahkan kepada para "peri" tersebut dan berlanjut dengan kematiannya sendiri cukup bisa membuat saya yakin bahwa film ini akan jadi horror yang menarik. Lalu dilanjutkan dengan opening credit yang juga tidak kalah unik saya makin yakin kalau nuansa dan ciri khas Guillermo del Toro akan sangat terasa di film ini. Lagipula dia jugalah yang menulis naskahnya. Nuansa gothic yang cukup creepy terasa pada bagian awal film ini. Lalu saat fokus berpindah pada Sally dan keluarganya, daya tarik itu makin menurun. Film makin membosankan, alur makin lambat, pengulangan adegan makin sering terjadi, keklisean makin terasa dan ciri khas Guillermo del Toro makin menghilang. Bagus memang bagi Tory dia tidak terlalu terbawa ciri khas sang produser, tapi jika hasilnya jadi membosankan begini saya rasa lebih baik dia mengikuti gaya del Toro saja, karena pada dasarnya naskah yang ditulis del Toro ini akan sangat pas jika dieksekusi dengan gayanya yang campuran horror dan fantasi.
Setting rumah yang begitu gothic sebenarnya sudah cukup maksimal dan sangat terasa unsur fantasinya dan tidak terasa berlebihan karena penekanannya bukanlah pada sisi fantasinya tapi pada horrornya. Tapi apa yang terjadi justru seolah film ini lebih fokus pada usaha Sally mencari fakta tentang sang "peri gigi" saja dibandingkan mencoba menakuti penonton. Kita akan dibuat bosan terlebih dahulu sebelum akhirnya para monster itu menampakan wujudnya yang harus diakui cukup mengerikan meski aksi mereka tidak sampai membuat film ini menakutkan. Bahkan momen mengagetkan yang biasanya jadi senjata ampuh terakhir saat sebuah film horror sudah kehabisan cara menakuti penontonnya juga tidak terlalu berhasil dan hanya ada satu saja momen mengagetkan tersebut. Nihil momen menyeramkan, film ini justru diisi beberapa momen menyebalkan.
Tentunya kita sudah tahu hal klise menyebalkan apa yang terjadi dalam film horror yang menampilkan seorang anak kecil sebagai tokoh utamanya dan sang anak tinggal bersama orang tuanya. Apalagi kalau bukan momen dimana sang orang tua tidak mempercayai perkataan anaknya bahkan menganggap sanag anak berimajinasi saja. Dalam DBAOTD momen itu juga muncul walaupun tidak terlalu parah tarafnya. Lalu ada juga kemunculan psikolog yang dalam film horror macam ini selalu digambarkan sebagai orang bodoh yang teorinya selalu keliru dengan fakta yang ada. Sebagai mahasiswa psikologi saya tidak suka dengan penggambaran itu. Memang psikolog akan bertindak dan mengambil diagnosa dengan ilmu yang ada tapi saya rasa tidak perlu terlalu dibuat seperti itu juga penggambarannya. Tokoh ayah yang diperankan Guy Pearce jelas jauh dari kata menarik dan aktingnya juga nihil. Katie Holmes juga tidak bagus tapi setidaknya dia masih seorang wanita cantik yang mampu membuat Tom Cruise tergila-gila. Bailee Madison? Yah dia juga cukup baik untuk ukuran aktris cilik bagi saya.
Don't Be Afraid of the Dark yang tidak punya momen menyeramkan justru punya momen yang menegangkan dan cukup mencekam saat film mencapai klimaks dan mendekati akhir. Momen itu adalah momen yang menarik sekaligus menegangkan, apalagi saat saya menantikan endingnya yang mana Guillermo del Toro sudah menjanjikan tidak ada happy ending dalam film ini. Dan saat sudah sampai pada ending saya cukup terpuaskan oleh endingnya. Jadi setidaknya meskipun sejak opening sampai melewati pertengahan film ini membosankan, tapi klimaks hingga ending cukup memuaskan dan menegangkan. Selain itu film ini juga punya desain monster yang bagus, cukup khas del Toro. Ah, memang seharusnya film ini disutradarai Guillermo del Toro saja.
KALA (2007)
Crime
,
Fantasy
,
Indonesian Film
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Thriller
13 komentar
Bukan, ini bukanlah review lama yang baru sempat saya publish. Saya memang baru sekarang ini menonton film kedua Joko Anwar ini. Saya sendiri baru sejak tahun 2011 lalu mulai rutin menonton film Indonesia yang saya anggap layak tonton di bioskop. Baru di 2011 jugalah saya mencoba mencari-cari film Indonesia berkualitas yang sebelumnya telah saya lewatkan seperti Quickie Express, Under the Tree dan beberapa film lain. Untuk film yang disutradarai Joko Anwar sendiri saya belum menyaksikan Janji Joni tapi sudah menonton Pintu Terlarang itupun sudah 2 tahun yang lalu dan saat itu saya masih melihat film sebagai hiburan semata dan kurang menikmati Pintu Terlarang yang buat saya saat itu terasa berat, jadi saya tidak akan membandingkan kedua film karya Joko Anwar ini.
Eros (Ario Bayu) adalah seorang polisi yang tengah menyelidiki kasus pembakaran terhadap 5 orang yang menewaskan kelimanya secara mengenaskan. Diluar kehidupannya sebagai polisi, Eros adalah seorang homoseksual. Sementara itu seorang wartawan bernama Janus (Fachri Albar) juga tengah menyelidiki kasus tersebut. Janus sendiri menderita penyakit narkolepsi yang membuatnya mudah sekali tiba-tiba tertidur apabila emosinya sedang memuncak misal terlalu panik, antusias ataupun marah. Hal itu jugalah yang membuat sang istri, Sari (Shanty) menggugat cerai Janus karena dia merasa sang suami tidak bisa memenuhi nafkah batinnya karena setiap akan berhubungan Janus selalu tiba-tiba tertidur. Janus yang masih menyelidiki kasus kematian 5 orang tersebut secara diam-diam meletakkan tape recorder dalam pot di kamar mayat dimana salah seorang istri korban ada disitu dan menolak diwawancara.
Tidak lama kemudian istri korban tersebut tewas tertabrak dan dilindas mobil tepat didepan mata Janus. Yang lebih aneh lagi, saat Janus mengambil tape recorder miliknya, dia menemukan rekaman suara wanita tersebut. Wanita itu mengatakan hal yang tidak dimengerti Janus yang intinya adalah menunjukkan lokasi sebuah tempat bernama "Bukit Bendonowongso". Yang lebih aneh dan mengerikan lagi, semua orang yang mendengar rekaman itu dan mengetahui lokasi tersebut akan mati secara mengenaskan. Ternyata baru diketahui kalau lokasi itu menunjukkan tempat penyimpanan harta karun miik Presiden pertama. Dan ternyata selain Janus dan Eros ada pihak lain yang ikut serta dalam perburuan harta karun tersebut.
Joko Anwar memang paling berani bereksperimen. Lihat saja cerita dan nuansa dalam film ini yang tentunya tidak akan ditemui di film Indonesia lain atau setidaknya di film garapan sutradara lainnya. Sisi teknis khususnya sinematografi film ini begitu berani menampilkan nuansa yang berbeda dan sangat pantas disebut sebagai film noir pertama di Indonesia. Dengan berani film ini menampilkan setting di negeri antah berantah. Setting lokasinya memang sebenarnya tidak sulit ditebak, tapi tata artistik film ini mampu membuat seolah lokasi-lokasi dalam film ini bukanlah di Indonesia. Lalu penggunaan tata cahaya dan teknik sinematografi yang sangat film noir makin memantapkan film yang punya judul lain Dead Time: Kala ini sebagai salah satu film dengan sinematografi terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Tapi apakah film dengan sinematografi luar biasa ini diikuti dengan cerita yang mumpuni? Cerita yang ditulis Joko Anwar sama beraninya dengan gaya penyutradaraan dan sinematografinya yang eksperimental. Dasar cerita yang dia tulis cukup berani dengan berlokasi di negeri antah berantah tapi sebenarnya sangatlah Indonesia, Joko Anwar coba memasukkan berbagai unsur termasuk sindiran terhadap Indonesia dan yang utama adalah mengenai perburuan harta yang dibalut dengan ramalan Jayabaya. Dengan genre fantasi dan setting di negeri antah berantah memang bisa menutupi berbagai hal yang diluar logika yang banyak terjadi di film ini. Tapi harus diakui juga bahwa Joko Anwar terlalu mementingkan gaya sehingga ceritanya sendiri agak terasa kedodoran. Beberapa hal terasa janggal karena eksekuisnya yang kurang maksimal seperti mengenai kutukan yang merenggut nyawa. Bagaimana awalnya kutukan itu bisa terjadi? Apa sebenarnya makhluk yang muncul tiap kali akan ada orang yang terbunuh itu? Saya juga tidak menemukan film ini bisa mengikat saya karena karakternya sendiri tidak menarik buat saya.
Mengenai ramalan dan konklusinya saya sendiri merasakan hal yang bisa dibilang lucu kalau tidak mau diaktakan konyol. Sang penidur yang diartikan sebagai orang yang kena penyakit tidur? Saya tidak tahu pasti apakah ramalan Jayabaya yang dipakai di film ini memang benar ada disalah satu ramalan Jayabaya atau hanya karangan tapi yang jelas tafsiran untuk hal itu terlalu naif. Kemudian sang "ratu adil" yang muncul buat saya justru lebih menarik. Seperti yang saya bilang bahwa meski di negeri antah berantah, tapi sangat jelas bahwa negeri di film ini adalah alternate universe bagi Indonesia. Dan apa jadinya jika sang ratu adil adalah seorang homoseksual yang seringkali direndahkan di negeri ini? Ide yang menarik hanya saja tidak ada penjelasan mengapa bisa dia yang menjadi ratu adil menginagt tidak ada hal spesial yang telah dia lakukan sebelumnya.
Tapi yah meski di ceritanya kedodoran dalam eksekusi, tapi dasar idenya tetaplah menarik. Berbagai sindiran untuk negeri ini jelas sangat terasa seperti aksi anarkis, isu politik, lalu sosok orang di pemerintahan yang digambarkan mau melakukan apa saja demi harta, dan masih banyak hal lainnya. Secara keseluruhan film ini punya tata sinematografi dan artistik yang sangat bagus, ide cerita yang juga kreatif, hanya saja Joko Anwar terlihat terlalu asyik bergaya dalam filmnya dan memang itu berhasil membuat keunikan tersendiri. Tapi akan lebih baik lagi jika berikutnya dia lebih memaksimalkan penggarapan ceritanya. Masih banyak lubang yang meninggalkan pertanyaan tidak perlu. Saya jelas akan menunggu 2 film terbarunya yang akan rilis tahun ini, Modus Anomali dan Impetigore.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Posting Komentar