TOKYO GORE POLICE (2008)

5 komentar
Seperti judulnya yang begitu sederhana dan tidak coba untuk rumit ataupun sok pintar, isi filmnya juga tidaklah rumit bahkan cenderung "bodoh" seperti judulnya. Judul Tokyo Gore Police memang sudah menggambarkan apa yang akan penonton saksikan dalam 110 menit kedepan. Ceritanya tidak menentukan setting waktunya secara pasti, yang penting dan yang jelas adalah film ini berada di masa depan. Tokyo di masa depan itu benar-benar jadi sebuah kota yang boleh dibilang hancur lebur. Hancur lebur disini bukan karena kotanya yang hancur karena perang atau bencana, tapi warga dan segala kultur mereka itu yang hancur. Bayangkan saja, di kalangan remaja putri saat itu, mengiris pergelangan tangan dengan cutter adalah hal yang gaul dan keren. Bahkan iklan tentang produk cutter khusus untuk potong tangan bertebaran. Ada juga iklan-iklan gila lainnya seperti game yang bisa membuat pemainnya melakukan eksekusi mati terhadap penjahat dan berbagai hal gila lainnya.

Para penjahat pada saat itu juga makin gila. Penjahat paling edan adalah mereka yang disebut engineer. Para enggineer ini punya kelebihan yang aneh tapi juga mengerikan. Apabila mereka terluka, maka bagian tubuh yang terluka itu akan berubah jadi senjata mematikan, Sebagai contoh ada penjahat yang tangannya putus, lalu dari luka itu muncul gergaji mesin, AWESOME! Kelebihan itu tidak lain adalah berkat penemuan seorang ilmuwan gila bernama "Key Man" yang bisa merekayasa gen seseorang dan membuatnya punya kelebihan seperti itu. Tapi polisi Tokyo juga tidak tinggal diam. Pada zaman itu juga polisi bukan lagi dari pihak pemerintah tapi adalah sebuah perusahaan swasta. Atas nama pelayanan yang lebih baik hal itu dilakukan. Tapi yang terlihat mereka justru terlihat makin sadis saja. Diantara polisi itu ada Ruka (Eihi Shiina) yang dikenal sebagai "enggineer hunter" dimana dia telah berhasil membunuh banyak sekali enggineer dengan pedangnya. Ruka sendiri menjadi polisi karena ingin mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga polisi dan meninggal karena kepalanya hancur tertembak. Ruka selain menjalankan tugasnya juga berusaha mencari pembunuh ayahnya.

5 komentar :

Comment Page:

IN TIME (2011)

3 komentar
"Waktu adalah uang". Begitulah ungkapan yang sering kita dengar tentang bagaimana setiap orang harus menghargai waktu yang mereka miliki. Tapi bagaimana jika ungkapan itu menjadi kenyataan? Bagaimana jika waktu memang menjadi sebuah uang yang harus digunakan untuk menyambung hidup manusia setiap harinya? Bagaimana jika suatu saat untuk membeli secangkir kopi kita tidak lagi harus mengeluarkan uang tapi kita harus menyerahkan beberapa menit dari sisa umur kita untuk membayarnya? Begitulah konsep yang ditawarkan oleh Andrew Niccol dalam film terbarunya ini. Yang patut dicatat naskah In Time adalah hasil tulisan Niccol sendiri dan bukan adaptasi ataupun remake sehingga jelas ini jadi sebuah nilai plus dan daya tarik tersendiri, apalagi untuk menciptakan sebuah konsep baru dalam dunia sci-fi butuh kreativitas yang ekstra.

Pada tahun 2161, semua manusia diceritakan akan berhenti bertambah tua setelah mencapai usia 25 tahun. Setelah mencapai 25 tahun, mereka harus berusaha untuk bisa mendapatkan perpanjangan usia. Dalam hal ini konsepnya sama saja dengan orang bekerja lalu dia dibayar. Bedanya mereka bukan dibayar dengan uang tapi dengan tambahan usia. Jadi dengan kata lain orang kaya akan bisa hidup lama hingga ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun, sedangkan orang miskin harus menyambung hidup hari demi hari. Will Salas (Justin Timberlake) yang berusia 28 tahun adalah salah satu dari orang-orang yang harus berusaha menyambung hidup per-hari. Suatu malam Will bertemu dengan orang kaya bernama Henry Hamilton (Matt Bomer) yang mempunyai sisa umur lebih dari 100 tahun. Henry menjadi sasaran para pencuri waktu yang berusaha mengambil sisa umurnya. Tapi sebelum itu terjadi Will berhasil menyelamatkan Henry. Merasa berhutang budi dan merasa juga telah terlalu lama menjalani hidup, Henry memberikan sisa umurnya pada Will. Namun ternyata Will justru harus berurusan dengan timekeeper bernama Leon (Cillian Murphy) setelah dia dituduh mencuri sisa umur Henry.

3 komentar :

Comment Page:

THE DESCENDANTS (2011)

3 komentar
Alexander Payne itu jagonya membuat sebuah tontonan drama yang menyentuh dan punya kedalaman emosi tapi juga dibalut dengan unsur komedi yang ikut menambah warna filmnya. About Schmidt yang menampilkan Jack Nicholson sebagai seorang lansia yang coba menghadapi masa tuanya yang sepi adalah sebuah drama yang amat menyentuh tapi juga punya beberapa momen yang lucu. Lewat film ini jugalah saya menjadi tertarik mencari film-film Jack Nicholson. Dua tahun kemudian Payne membuat sajian bromance dalam Sideways yang menurut saya meskipun masih kalah jauh dibanding About Schmidt tapi lewat film itulah Payne mendapat Oscar pertamanya setelah memenangkan "Best Adapted Screenplay". Tujuh tahun kemudian barulah dia membuat film kelimanya yang sama seperti Sideways, film ini juga diangkat dari sebuah novel berjudul sama.

Kisahnya tidaklah rumit untuk ditonton tapi rumit jika kita sendiri yang mengalami permasalahan tersebut. Matt King (George Clooney) adalah pengacara yang tinggal di Honolulu, Hawaii. Matt dan kelaurganya juga mempunyai sebuah tanah seluas 25.000 hektar di Pulau Kaua'i yang saat ini sedang dalam proses negosiasi untuk dijual. Tapi karena kesibukannya itulah Matt jadi tidak punya waktu untuk keluarganya. Sampai suatu hari sang istri mengalami kecelakaan yang membuatnya koma. Matt kini mau tidak mau harus lebih mendekatkan diri kepada kedua putrinya, Scottie (Amara Miller) yang baru 10 tahun dan Alex (Shailane Woodley) yang berusia 17 tahun. Karena kurangnya perhatian, kedua putri Matt tersebut punya masalah masing-masing. Scottie sangat nakal dan sering bicara tidak sopan. Alex juga punya mulut yang tidak bisa dijaga ditambah lagi dia sering mabuk dan mengkonsumsi narkoba. Tapi kini Matt harus berusaha memperbaiki hubungannya dengan kedua putrinya sambil terus berharap istrinya akan sembuh. Tapi ternyata ada beberapa fakta mengejutkan yang nantinya akan Matt ketahui.

3 komentar :

Comment Page:

DAWN OF THE DEAD (2004)

5 komentar
Saya belum pernah menonton versi original film ini. Bahkan sejujurnya saya belum pernah menonton satupun seri "Living Dead" karya George Romero yang sekarang sudah berjumlah enam film. Biasanya saya juga tidak terlalu berhasrat menonton sebuah remake apalagi yang ditujukan untuk film horror klasik karena sudah bukan rahasia lagi biasanya hal itu akan berujung pada kebusukan. Tapi Dawn of the Dead ini berbeda. Tanggapan yang diberikan pada film ini cenderung positif. Dan lagi ini adalah debut penyutradaraan dari seorang Zack Snyder yang tiga tahun setelah film ini akan menyuguhkan sajian epic tentang para pria berbody six pack saling bunuh di medan perang dan disusul menampilkan gerombolan superhero yang amat manusiawi dan punya permasalahan kompleks 2 tahun setelahnya. Walaupun bukan film pertama yang menampilkan zombie yang bisa bergerak cepat, tapi Dawn of the Dead versi remake ini boleh dikatakan makin mempopulerkan hal tersebut.

Kisah dalam film ini sederhana saja dimana awalnya kita akan diajak berkenalan dengan seorang suster bernama Ana (Sarah Polley) yang setelah pulang bekerja justru dikejutkan dengan kemunculan anak tetangganya yang menyerang sang suami. Ternyata anak itu telah berubah menjadi zombie dan itu juga yang menyebabkan suami Ana berubah menjadi zombie. Diluar ternyata kondisi sudah sangat parah dimana zombie-zombie mulai menyerang kota. Ana yang berusaha melarikan diri bertemu dengan para survivor lainnya seperti Sersan Kenneth (Ving Rhames), Michael (Jake Weber), lalu ada Andre (Mekhi Phifer) yang bersama istrinya yang tengah hamil tua, Luda (Inna Korobkina). Mereka berlima lalu memutuskan untuk bersembunyi dalam sebuah mall sambil menunggu suasana mereda atau syukur-syukur ada bantuan datang. Disana mereka mulai bertemu para survivor lain. Tapi tentu saja mall itu tidak akan aman selamanya karena ratusan zombie ganas terus berusaha mendobrak masuk.
Zack Snyder nampaknya memang tidak mau berlama-lama membuat penontonnya menunggu. Saat durasi film baru mencapai 7 menit film ini sudah mulai menegangkan. Bahkan menurut saya momen awal kemunculan zombie itu malah masih jauh lebih menegangkan daripada momen-momen yang terjadi didalam mall. Zombie yang bergerak cepat memang banyak diprotes dan dicela oleh para pemuja zombie termasuk George Romero sang kreator film aslinya. Tapi harus diakui zombie yang bergerak cepat itu menyeramkan. Melihat zombie dengan make-up yang seram ditambah anggota tubuh yang tidak lengkap berlari dengan sangat cepat memang menegangkan. Harus diakui zombie cepat memang berpotensi membuat filmnya lebih bernuansa action daripada horror. Film inipun unsur action yang ada lebih kental daripada horrornya. Untuk membangun kengerian dari zombie lambat memang butuh kemampuan ekstra dalam membangun suasana filmnya. Sedangkan untuk zombie cepat tugas sang sutradara apalagi sutradara yang berorientasi action macam Snyder zombie cepat memang lebih tepat.
Sayangnya film ini terasa kurang pada pengembangan karakternya. Saya tidak mempermasalahkan jika sebuah film memulai ketegangannya sedari awal asalkan ditengahnya juga diselipkan character development yang cukup sehingga film tersebut tidak terasa hambar dan penonton lebih peduli pada karakternya. Snyder sendiri nampaknya agak malas memasukkan unsur tersebut. Tapi untungnya beberapa karakter sudah punya dasar karakterisasi yang cukup seperti Kenneth atau C.J. Sayangnya karakter Ana yang diplot sebagai salah satu tokoh utama justru terasa tidak menarik. Hal itu lebih dikarenakan akting seorang Sarah Polley yang mengecewakan. Terasa datar di banyak sekali momen. Padahal karakternya bisa jadi menarik mengingat dirinya baru saja kehilangan sang suami yang didepan matanya berubah jadi zombie dan kini harus bertarung dengan makhluk-makhluk tersebut. Kisah cintanya dengan Michael juga terasa dangkal. Jumlah survivor dalam film ini juga agak kebanyakan sehingga tidak terjadi ikatan yang meyakinkan antar karakternya.

Saya dengar film aslinya mengandung muatan kritik sosial yang amat kental. Sedangkan untuk versi Snyder ini saya tidak terlalu merasakan hal itu. Kritik sosial hanya tertuang dalam beberapa baris kalimat. Yang paling terasa tentunya saat ada acara televisi yang membahas mengenai apa sebab kemunculan para zombie tersebut dimana sang pembawa acara menyinggung mengenai berbagai maksiat yang dilakukan manusia sehingga Tuhan mengirimkan balasan dari neraka. Sebenarnya hal itu bisa disinggung lebih jauh tapi Snyder mengesampingkannya sehingga kritik sosial itu hanya terasa lewat begitu saja dan tidak mengena.

Seringkali sebuah remake dikatakan buruk bukan karena kualitasnya yang memang sampah tapi lebih karena tidak bisa menandingi kehebatan film aslinya atau merusak beberapa hal penting yang ada di film aslinya. Saya sendiri belum menonton versi asli yang dibuat George Romero yang menampilkan zombie lambat, tapi jika dilihat sebagai sebuah film yang berdiri sendirid an bukan remake, karya Zack Snyder ini bukanlah sebuah horror zombie yang buruk bahkan lumayan menghibur. Cukup menegangkan, meskipun karakternya kurang menarik. Ada potensi menampilkan zombie berbentuk bayi yang tidak terlalu diekspose karena mungkin akan sangat kontroversial.

5 komentar :

Comment Page:

HOT FUZZ (2007)

6 komentar
Tanpa arahan dari Edgar Wright, duo Simon Pegg dan Nick Frost tahun lalu menghasilkan Paul yang meskipun lumayan menghibur tapi buat saya bukanlah sebuah komedi yang spesial layaknya Shaun of the Dead. Sedangkan Edwar Wright karya terakhirnya adalah Scott Pillgrim vs the World yang keren itu tapi sayangnya jeblok di pasaran. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Pegg dan Frost butuh arahan seorang Edgar Wright untuk mengeksekusi naskah cerdas yang dibuat Simon Pegg supaya tidak berakhir biasa saja seperti komedi Hollywood kebanyakan. Sedangkan Edgar Wright butuh nama Pegg dan Frost untuk membuat filmnya laku di pasaran. Karena itu kolaborasi kedua mereka ini pada akhirnya sukses besar dimana pendapatannya melebihi Shaun of the Dead dan kualitasnya juga memuaskan.

Hot Fuzz adalah bagian kedua dari "three flavours cornetto trilogy" dimana Shaun of the Dead adalah perlambang dari "red strawberry cornetto" dan film kedua ini adalah perlambang dari "classic blue cornetto". Ceritanya adalah mengenai Nicholas Angel (Simon Pegg) yang merupakan seorang polisi London yang sangat taat hukum, disiplin dan mempunyai catatan kerja yang amat memuaskan. Tapi karena prestasinya yang luar biasa itulah Angel malah harus dipindah tugaskan ke sebuah desa yang tenang bernama Sandford. Angel yang naik pangkat menjadi Sersan dipindah tugaskan karena akibat performanya itu rekan-rekannya yang lain terlihat buruk kinerjanya dan dianggap mempengaruhi stabilitas dalam tim. Di Sandford dia bertemu dengan Danny Butterman (Nick Frost) yang menajdi partner Angel. Sangat berlawanan dengan Angel, Danny yang juga anak dari kepala polisi di sana adalah sosok yang polos dan sangat terobsesi dengan film polisi macam Bad Boys II dan Point Break. Pada awalnya Angel terus menerus diejek oleh rekan-rekannya karena terlalu serius bekerja padahal Sandford adalah kota kecil yang sangat tenang dengan tingkat kriminalitas sangat rendah. Tapi kemudian beberapa orang penduduk ditemukan mati satu persatu. Apa benar itu hanya kecelakaan ataukah pembunuhan seperti yang diutarakan oleh Angel?
Sekali lagi komedi cerdas dari trio Pegg, Frost dan Wright. Naskah yang sangat lucu tapi juga cerdas adalah kekuatan utama film ini sama seperti Shaun of the Dead. Jika SOTD memasukkan unsur film-film zombie yang kemudian diparodikan, maka Hot Fuzz mengambil unsur buddy-cop seperti dua orang polisi yang berlawanan tipe dimana dalam film ini Angel adalah polisi "sungguhan" yang jago dan disiplin sedangkan Danny adalah polisi konyol dan amat polos. Sebenarnya banyak unsur dalam Hot Fuzz yang sudah muncul di SOTD seperti hubungan bromance antara tokoh Pegg dan Frost, sampai munculnya tokoh menyebalkan yang jika dalam SOTD ada David, dalam film ini ada duo detektif bernama Andy yang sama-sama menyebalkan. Tapi itulah hebatnya naskah yang ditulis Simon Pegg dan Edgar Wright ini, meskipun banyak pengulangan, tapi mereka berhasil memanfaatkan unsur-usnur film polisi sehingga membedakan film ini dengan SOTD. Seharusnya Todd Phillips mempelajari itu sebelum membuat sekuel The Hangover.
Hot Fuzz selain menawarkan komedi yang buat saya sangat lucu dan sesuai dengan selera saya juga menampilkan beberapa hal satir yang intinya adalah menyindir oknum-oknum polisi. Tidak hanya oknum polisi di Inggris tapi juga diseluruh dunia termasuk Indonesia. Polisi macam Angel yang jujur, taat aturan dan disiplin justru dijauhi dan diacuhkan oleh rekan-rekannya. Jelas sekali bukan bahwa itu sudah jadi cerminan penegak hukum di negara manapun? Hot Fuzz juga adalah sebuah komedi yang menawarkan lelucon-lelucon cerdas yang tidak terlampau berat. Kita tidak usah berpikir untuk menyerap komedinya seperti jika kita menonton film-film black comedy, tapi juga bukanlah lelucon murahan seperti yang ditampilkan parodi-parodi sampah karya Friedberg & Seltzer. Sekali lagi "comedy is all about timing" dan humor dalam film ini penempatannya sangat tepat.

Seperti SOTD yang meskipun komedi tapi tidak kehilangan unsur horror dan gore, Hot Fuzz juga tidak kehilangan nuansa film kriminal dan misteri. Film ini tetap memberikan sebuah misteri yang menarik untuk dipecahkan. hal itu jugalah yang akhirnya membuat film ini terasa sedikit lebih berat dan serius dibanding SOTD. Tapi misterinya sendiri sangat menarik dan punya twist yang tidak hanya mengejutkan tapi juga lucu. Tentu saja , ini adalah parodi jadi sah-sah saja jika twist-nya pun berbentuk guyonan dan parodi bukan? Sayang film ini terasa agak terlalu lama. Durasinya hampir dua jam, lebih lama dibanding SOTD yang tidak sampai 100 menit. Bagian akhir film ini memang terasa terlalu diulur dan dipanjangkan sehingga ada momen penurunan tensi dimana saat itu film seharusnya sudah selesai. Tapi jelas Hot Fuzz berhasil sebagai komedi yang lucu dan berhasil juga sebagai sebuah film tentang kriminalitas dan polisi yang diisi aksi tembak menembak yang amat seru dan keren sekaligus diisi beberapa momen yang yang terasa cukup sadis dan membuat film ini tidak membosankan walaupun terasa agak kelamaan. Sungguh pada aksi itu duo Pegg dan Forst luar biasa karena mereka bisa beraksi dengan keren tapi juga tidak kehilangan sentuhan komedinya. Saya sedikit lebih suka SOTD tapi Hot Fuzz juga adalah karya yang luar biasa. Tidak sabar menunggu film ketiganya yang (sayangnya) baru akan rilis paling cepat 2014.

6 komentar :

Comment Page:

THE SKIN I LIVE IN (2011)

3 komentar
Karya terbaru Pedro Almodovar ini mencampurkan berbagai sub-genre khususnya dalam genre horror dan thriller. Ada sedikit nuansa creature horror meskipun tidak ada monster apapun yang muncul atau mungkin lebih pas disebut body horror. Kemudian ada juga unsur thriller balas dendam yang mulai muncul sejak pertengahan durasi. Jika dibuat lebih sadis lagi, maka film ini juga bisa masuk kategori torture porn. Tapi kesemua genre tersebut bisa dicampur adukkan dengan baik oleh Pedro Almodovar dimana dia memilah-milah unsur mana saja dari tiap sub-genre tersebut yang pas untuk dimasukkan dalam film yang terinspirasi dari sebuah novel berjudul "Tarantula" ini. Dengan rating "R" yang diberikan, The Skin I Live In sangat berpotensi menyuguhkan berbagai sajian yang cukup vulgar dan gila.

Pertama kita akan diperlihatkan seorang wanita bernama Vera (Elena Anaya) yang berada dalam sebuah kamar dengan memakai sebuah setelan ketat mengingatkan saya pada karakter macam Selene-nya Kate Beckinsale (sungguh Elena Anaya agak mirip Kate). Kemudian kita akan tahu bahwa Vera tinggal dirumah Robert (Antonio Banderas) yang merupakan seorang ahli bedah. Lalu kita akan tahu bahwa Robert sedang melakukan eksperimen untuk menciptakan kulit jenis baru yang akan bisa bertahan dari berbagai macam hal seperti api sampai penyakit sekalipun. Dan eksperimen itu menjadikan Vera sebagai subyeknya. Banyak pertanyaan yang akan muncul selama menonton film ini. Siapakah sebenarnya Vera? Bagaimana dia bisa menjadi subyek percobaan Robert? Lalu ada hubungan apakah eksperimen ini dengan masa lalu Robert?

3 komentar :

Comment Page:

THE ARTIST (2011)

1 komentar
Disaat banyak sineas berlomba membuat film dengan balutan teknologi canggih seperti CGI dan tentunya 3D, sutradara asal Prancis Michel Hazanavicius justru membuat film hitam putih dan tanpa suara alias film bisu. Masa kejayaarn Silent Movie memang sudah lewat sekitar 80 tahun yang lalu, tapi tentunya kenangan dan nostalgia saat menonton film bisu masih terngiang di ingatan para penggemarnya. Michel Hazanavicius sendiri memang sudah berhasrat sejak lama membuat film bisu karena banyak sineas yang dia kagumi berasal dari era film bisu masih berjaya. Maka dengan bujet $12 juta dan menjadikan sang istri, Berenice Bejo sebagai aktrisnya dan aktor asal Prancis, Jean Dujardin sebagai aktornya, proyek yang mungkin bisa dibilang nekat ini akhirnya dibuat dan diluar dugaan kini The Artist adalah kandidat kuat peraih "Best Picture" yang terakhir dimenangkan oleh film bisu adalah saat pertama kali Oscar digelar pada tahun 1929 yang dimenangkan oleh Wings.

Pada tahun 1927, George Valentin (Jean Dujardin) adalah aktor silent movie papan atas dimana film-filmnya selalu sukes dan namanya melambung tinggi. Tapi saat pemilik studio tempatnya bernaung, Al Zimmer (John Goodman) mempunyai ide untuk membuat film yang memiliki suara, George menentang keras ide tersebut dan menganggap bahwa ide mengenai film dengan suara adalah ide yang menggelikan dan konyol. George tetap ngotot membuat film bisu yang dia produseri dengan uangnya sendiri dan dia sutradarai sendiri. Disaat bersamaan aktris pendatang baru bernama Peppy Miller (Berenice Bejo) mulai menjadi bintang baru disaat dia membintangi film bersuara yang membuatnya beralih dari sekedar mendapat perang pembantu menjadi aktris nomer satu dan mendapat predikat "American Sweetheart", padahal dulu Peppy hanyalah seorang gadis yang mengidolakan George.

1 komentar :

Comment Page:

THE BLOB (1958)

Tidak ada komentar
Ada kalanya sebuah film yang sudah berumur diatas 50 tahun akan terlihat murahan ataupun norak jika ditonton pada zaman sekarang, dan itu biasanya adalah film dengan genre science-fiction. Tentunya bujet murah dan efek sederhana sampai akting yang sangat kaku jadi faktor utamanya. Tapi terkadang hal-hal norak itulah yang membuat kita terhibur dengan film itu. Menonton film seperti itu tentu saja tidak akan membuat kita mengatakan filmnya jelek karena efeknya murahan. Kita tahu bahwa pada jaman itu efek masih sangat terbatas. Mungkin kita akan merasa efeknya murahan dan norak, tapi setidaknya kita tidak akan mengatakan itu jelek. The Blob adalah salah satu contoh bagaimana sebuah film yang sudah rilis 54 tahun ternyata masih bisa dinikmati walaupun saya sendiri merasa The Blob adalah sajian yang nanggung.

Suatu malam Steve Andrews (Steve McQueen) dan kekasihnya, Jane (Aneta Corsaut) sedang mencoba melewatkan malam mereka secara romantis dengan memandangi bintang jatuh. Tapi yang mereka temukan justru sebuah benda bersinar seperti meteor yang jatuh didekat mereka. Ditengah perjalanan setelah memeriksa bangkai meteor itu, mereka dikejutkan dengan kemunculan pria tua yang menjerit mengatakan tangannya sakit. Ternyata tangan pria tua itu telah terbungkus oleh sebuah lendir yang terus menerus tumbuh dan perlahan memakan tangan pria tersebut. Lendir itu ternyata makin tumbuh dan makin ganas dan mulai memakan banyak orang. Makin banyak mangsa yang dia makan, makin besar pula gumpalan lendir berwarna merah tersebut. Hanya Steve dan kawan-kawannya yang mampu menghentikan makhluk itu karena semua warga kota termasuk polisi tidak percaya dengan cerita Steve tentang monster lendir itu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

84TH ACADEMY AWARDS NOMINATIONS

Tidak ada komentar
Ternyata nominasi Oscar tahun ini cukup banyak memunculkan kejutan! Ada beberapa nama atau film yang tidak diperkirakan ternyata mendapat nominasi. Sebaliknya ada juga yang tiba-tiba mendapat snub alias tidak dapat nominasi walaupun sudah sangat dijagokan. Kejutan terbesar tentu saja datang dari Extremely Loud & Incredibly Close yang sukses mendapat dua nominasi termasuk untuk "Best Picture" dan satunya lagi adalah "Best Supporting Actor"  untuk Max von Sydow. Cukup mengejutkan mengingat review untuk film ini termasuk tidak terlalu bagus. Sedangkan snub yang paling menghebohkan tentu datang dari Tilda Swinton yang dengan ini sudah tiga kali secara beruntun tidak mendapat nominasi Oscar yang sebenarnya sangat pantas dia dapatkan! Sedangkan untuk jumlah nominasi terbanyak diperoleh Hugo dengan 11 nominasi disusul The Artist dengan 10 nominasi. Berikut ini daftar lengkap nominasinya beserta komentar saya mengenai beberapa kejutan yang terjadi:

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE LORD OF THE RINGS TRILOGY

5 komentar
 Kali ini saya kembali akan menulis review lebih dari satu film dalam sekalin posting. Saya akan menulis tentang sebuah trilogi yang tentunya sudah diketahui oleh semua orang baik yang memang pecinta film atau bukan. Yak, trilogi The Lord of the Rings yang disutradarai Peter Jackson ini memang fenomenal. Trilogi ini sukses baik secara finansial maupun dari segi kualitas. Total ketiga filmnya berhasil meraup pendapatan hampir $3 Miliar untuk peredarannya di seluruh dunia. Di ajang Oscar juga ketiga film ini sangat berhasil dimana dari total 30 nominasi yang didapat 17 piala berhasil dibawa pulang dimana 11 diantaranya didapatkan oleh film ketiganya, The Return of the King yang berhasil melakukan sapu bersih. Menjelang perilisan The Hobbit: An Unexpected Journey akhir tahun nanti saya kembali menonton trilogi luar biasa ini. Bedanya, jika sebelumnya saya menonton versi biasa, kali ini saya menonton versi extended-nya yang masing-masing filmnya berdurasi 200-an menit. Bahkan film ketiganya menyentuh durasi 240 menit alias 4 jam!
THE FELLOWSHIP OF THE RING (2001)
Saya tidak akan terlalu panjang menceritakan sinopsisnya karena saya rasa hampir semua orang sudah tahu apa yang diceritakan oleh ketiga film ini. Di bagian pertamanya kita akan mulai diajak berkenalan dengan para Hobbit termasuk Froddo Baggins (Elijah Wood) yang tinggal bersama pamannya, Bilbo Baggins (Ian Holm). Froddo kemudian mendapatkan sebuah tugas yang berat sekaligus penting untuk membawa sebuah cincin yang diwariskan oleh sang paman. Cincin itu sendiri dahulu dibuat dan dimiliki oleh Sauron sang penguasa kegelapan. Meski raganya telah mati, jiwa Sauron masih berusaha untuk kembali bersatu dengan cincinnya. Untuk itulah Froddo dibantu para "Fellowship of the Rings" yang terdiri dari 3 hobbit lain yaitu Sam (Sean Astin), Merry (Dominic Monaghan) dan Pippin (Billy Boyd), sang penyihir Gandalf the Grey (Ian McKellen), Legolas (Orlando Bloom) yang berasal dari ras peri, Gimli (John-Rhys Davies) dari ras kurcaci, dan dua orang ras manusia, Aragorn (Viggo Mortensen) dan Boromir (Sean Bean). Kesembilan fellowship ini harus membawa cincin tersebut untuk kemudian dimunashkan di kawah Mordor.

Seri pertama ini sudah menyuguhkan kepada kita adegan-adegan pertempuran yang cukup epic. Meski skala peperangannya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kedua film berikutnya, tapi Fellowship of the Ring sudah mampu memperlihatkan peperangan yang megah seperti peperangan melawan Sauron di bagian awal, lalu kemunculan Orc dan Troll, munculnya Balrog si setan api, dan tentunya pertempuran melawan pasukan Uruk-Hai di akhir film. Balutan CGI yang canggih dan scoring megah yang menambah kesan epic.  Beginilah seharusnya musik menggelegar yang meninggalkan kesan epic itu dibuat dan bukan seperti musik yang dipakaidi film-film Spielberg yang walaupun megah tapi terasa sudah basi dan sering overdramatic. Efek CGI yang dipakai jelas jawara. Dari yang megah seperti saat peperangan, yang membangun dunia Middle Earth, sampai yang sederhana seperti yang dipakai untuk membuat ukuran para Hobbit. Secara keseluruhan Fellowship of the Rings adalah pembuka yang bagus dan tensinya tidaklah tanggung meski yang disoroti barulah awal petualangan. Versi extendend ini memiliki tambahan durasi sekitar 30 menit dengan beberapa tambahan adegan seperti pemberian hadiah yang dilakukan oleh Galadriel. Versi theatrical-nya memang lebih padat, tapi jika ingin lebih banyak melihat eksplorasi dan pengembangan cerita sekaligus karakternya, versi yang lebih panjang ini patut dilihat.







THE TWO TOWERS (2002)
Melanjutkan akhir kisah film pertamanya, Froddo dan Sam kini mulai mencari jalan menuju Mordor. Ditengah perjalanan mereka diserang oleh Gollum/Smeagol (Andy Serkis) yang menginginkan cincin tersebut. Sedangkan dua hobbit lainnya, Merry dan Pippin yang ditangkap oleh Orcs dan Uruk-hai berhasil kabur dan bertemu dengan makhluk penjagahutan bernama Treebeard. Sedangkan Aragorn, Legolas dan Grimli yang berusaha mencari mereka berdua justru bertemu dengan Gandalf yang telah bangkit kembali dan menjadi Gandalf the White yang akhirnya bergabung kembali menuju Rohan. Peperangan besar melawan 10.000 pasukan Saruman yang terdiri dari Orcs dan Uruk-hai. Peperangan yang dikenal sebagai "Battle of Helm's Deep" yang di film kedua ini jadi sebuah sajian klimaks luar biasa. Peperangan yang amat seru dan epic dilengkapi dengan visual efek dan scoring megah membuat pertempuran ini tidak berlebihan jika mendapat gelar sebagai salah satu adegan perang terbaik dalam sejarah film.

Peperangan di Helm's Deep jelas menambah daya tarik The Two Towers, karena bagi saya dibanding film pertamanya, film keduanya ini justru berjalan dengan tempo yang sedikit lebih lambat di tengah padahal durasinya lebih panjang. Tapi kehebatan Peter Jackson dalam meramu film ini kembali terbukti. The Lord of the Rings memang punya naskah yang kuat dan berbobot, tapi Peter Jackson mampu membuatnya sangat mudah diikuti meskipun banyak intrik didalamnya. Hebatnya, dia bisa membuat penontonnya tidak bosan dengan durasi film yang nyaris 3 jam. Dan saya sendiri kali ini menonton versi extended yang berdurasi hampir tiga setengah jam dan bisa terpuaskan meski di tengah saya agak merasa sedikit bosan. Tapi siapa yang tidak terpana melihat peperangan di akhir film? The Two Towers juga menandai kemunculan Gollum yang memang sangat luar biasa baik dari CGI maupun  performa seorang Andy Serkis. Salah satu karakter CGI paling ikonik sepanjang sejarah lahir di film ini. Tokoh-tokoh lainnya juga masih mendapat porsi yang berimbang dimana di versi extended ini cukup banyak humor-humor lucu yang diselipkan dimana mayoritas melibatkan Gimli ataupu Eowyn. Yang masih mengecewakan adalah Froddo tentunya. Sebagai karakter utama, dia sama sekali tidak menarik perhatian saya. Secara keseluruhan film keduanya ini juga bagus, tapi saya sedikit lebih suka film pertamanya.







THE RETURN OF THE KING (2003)
4 Jam terakhir (200 menit untuk versi bioskop) dari trilogi TLOTR adalah sebuah sajian epic dengan klimaks dan penyelesaian yang sangat baik dan sangat memuaskan. Saya tidak bilang film ini sempurna, tapi untuk dikatakan nyaris sempurna film ini sudah sangat pantas. Melanjutkan kisah di film keduanya, kali ini peperangan terjadi di Minas Tirith yang berada di Gondor. Jika film keduanya punya peperangan di Helm's Deep dan penyerbuan para ent di Isengard, maka The Return of the King punya perang epic mempertahankan Minas Tirith. Sudah jadi ciri khas trilogi ini untuk menyajikan perang seru dengan skala besar, jumlah prajurit mencapai puluhan ribu, dan tentu saja tetap dibalut dengan spesial efek dan scoring musik yang megah. Salah satu favorit saya tentunya saat "Army of the Dead" terjun ke pertempuran. Apalagi yang bisa saya katakan untuk film ini selain epic? Tapi film ini juga punya kedalaman cerita dan tidak hanya mengandalkan peperangan. Kisah-kisah dan perjuangan didalamnya cukup menyentuh.

Mungkin kekecewaan hanya datang dari sosok Frodo Baggins yang tetap tidak bisa memikat saya sebagai sosok pahlawan. Hobbit-hobbit lain macam Sam dan Pippin masih lebih heroik daripada Frodo. Bahkan saya jauh lebih menyukai Gollum daripada Frodo. 240 menit atau 4 jam adalah durasi terlama saya menontonfilm dan saya tidak sedikitpun merasa bosan yang berarti film itu istimewa. Untuk versi extended film ketiga ini lebih banyak adegan menarik daripada dua film sebelumnya seperti kematian Saruman, lomba minum yang cukup lucu antara Legolas dan Gimli, porsi Gollum yang ditambah dan masih banyak lagi. Film ketiga ini akhirnya menutup saga TLOTR dengan sangat baik dan menjadikannya sebagai salah satu trilogi terbaik yang pernah ada.


5 komentar :

Comment Page:

BATTLE ROYALE (2000) & BATTLE ROYALE II: REQUIEM (2003)

7 komentar
Untuk pertama kalinya saya akan menulis review untuk dua film sekaligus dalam satu postingan. Hal ini karena kedua film itu adalah film yang saling bersambungan dan saya tonton secara berurutan jadi tidak ada salahnya saya menjadikan postingan kali ini sebagai "2 in 1 review". Battle Royale sendiri diangkat dari sebuah novel yang berjudul sama karangan Koushun Takami yang terbit setahun sebelum film pertamanya. Kesuksesan film pertamanya memang cukup fenomenal dan dianggap sebagai salah satu film horror terbaik sekaligus paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sutradara Quentin Tarantino sangat menyukai film itu sampai mengajak salah satu aktrisnya yaitu Chiaki Kuriyama untuk ambil bagian dalam film Kill Bill. Jadi mari saya mulai saja review untuk kedua film ini.

7 komentar :

Comment Page:

WAR HORSE (2011)

1 komentar
Seperti yang sudah sering dilakukan olehnya, tahun 2011 lalu seperti yang kita tahu Steven Spielberg langsung memberikan kita 2 film dalam jangka waktu yang amat berdekatan setelah sempat 3 tahun absen merilis film. Kedua filmnya bisa dibilang adalah hal baru dalam catatan karir Spielberg. Yang pertama adalah The Adventures of Tintin dimana film itu adalah untuk pertama kalinya Spielberg menyutradarai film animasi dan langsung sukses membawa pulang piala Golden Globe untuk film animasi terbaik. Sedangkan untuk film satunya adalah War Horse ini. Spielberg memang sudah terbiasa mengangkat film bertemakan perang, tapi baru kali ini dia mengangkat Perang Dunia I dalam filmnya. Spielberg juga terlihat cukup berhemat dalam membuat film ini dimana bujetnya "hanya" $66 juta, yang mana itu termasuk kecil untuk ukuran film seorang Spielberg. Jajaran pemainnya juga minim nama besar. Yang paling tenar mungkin Tom Hiddlestone yang angkat nama sebagai Loki. Lalu ada juga Emily Watson dan Benedict Cumberbacth. Bahkan Jeremy Irvine yang jadi aktor utama baru memulai debutnya lewat film ini.

Disebuah kota kecil bernama Devon yang terletak di Inggris, seorang petani tua bernama Ted Narracott (Peter Mullan) baru saja menghabiskan banyak uangnya untuk membeli seekor kuda. Padahal kuda tersebut sama sekali bukanlah kuda yang cocok dipakai membajak lahan. Hal itu tentunya membuat sang istri, Rose (Emily Watson) sangat marah. Berbeda dengan ibunya, Albert (Jeremy Irvine) justru sangat antusias dengan kuda baru tersebut dan mencoba melatihnya. Kuda yang diberi nama Joey itu ternyata seperti punya keajaiban, dimana dia pada akhirnya berhasil membajak lahan tersebut dan menyelamatkan Albert dan kedua orangtuanya dari kehilangan rumah dan lahan mereka karena tidak mampu membayar uang sewa. Tapi persahabatan Albert dan Joey yang mulai terjalin itu harus terpisah saat sang ayah menjual Joey kepada Kapten Nicholls (Tom Hiddlestone) untuk menjadi kuda perang. Albert dan Joey akhirnya dipisahkan oleh peperangan. Tapi ternyata keajaiban yang dimiliki oleh Joey banyak dirasakan oleh orang-orang yang bertemu dengannya selama perjalanannya di Perang Dunia I tersebut. Tapi apakah Albert dan Joey akan bertemu kembali?

1 komentar :

Comment Page:

THE IRON LADY (2011)

Tidak ada komentar
Film biopic tentang Margaret Thatcer yang diperankan oleh Meryl Streep tampak seperti sebuah tontonan yang menggiurkan dan sangat berpotensi berbicara banyak di berbagai ajang penghargaan termasuk Oscar. Mery Streep sendiri lewat perannya di film ini baru saja memenangkan Golden Globe untuk kategori "Best Actress-Drama" dan membuat Streep saat ini jadi kandidat terkuat meraih "Best Actress" di Oscar 2012. Selain itu masih banyak penghargaan lainnya yang membuatnya lebih diunggulkan ketimbang pesaing-pesaingnya macam Viola Davis ataupun Michelle Williams. Kemudian pagi ini saya agak kaget melihat The Iron Lady sudah tayang di bioskop mengingat selama ini film yang sudah lama mendapat status coming soon adalah The Muppets. Mungkin ini karena faktor kemenangan Meryl Streep di Golden Globe.

Film ini dimulai dengan menceritakan masa tua Margaret Thatcher yang telah ditinggal mati oleh sang suami. Thatcher sendiri terlihat belum merelakan kepergian cintanya itu dimana bayangan sang suami masih saja mengisi kesehariannya. Margaret Thatcher memang mengidap penyakit "dementia" dan itu sangat berdampak pada kehidupannya sehari-hari yang selalu merasa sang suami masih tinggal bersamanya meskipun Thatcher sendiri sadar bahwa suaminya telah meninggal dunia tapi suara dan wujud nyata suaminya masih selalu ada. Kemudian kita akan dibawa melihat juga masa lalu Margaret Thatcher yang disaat muda hanyalah seorang gadis yang membantu ayahnya berjualan di sebuah toko lalu kemudian mulai merintis karirnya didunia politik sebagai anggota partai konservatif dan kemudian menjadi pemimpin partai tersebut. Dan tentunya puncak karir Margaret Thatcher adalah saat dia terpilih sebagai Perdana Menteri wanita pertama di Inggris sekaligus terlama dimana dia menjabat selama 11 tahun dari 1979 - 1990. Tapi posisi yang ditempatinya amat berat saat M.T. harus berurusan dengan berbagai masalah mulai dari krisis ekonomi sampai perang memperebutkan Falklands dengan pihak Argentina. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

12 ANGRY MEN (1957)

6 komentar
Apakah menarik menonton 12 orang berdebat selama lebih dari 90 menit dalam satu ruangan? Jawabannya adalah sangat menarik! Dikisahkan dalam sebuah persidangan argumen terkahir telah dibacakan dan hakim meminta 12 orang juri untuk berdiskusi mengenai keputusan final apakah tersangka bersalah atau tidak. Kasusnya sendiri adalah mengenai remaja 18 tahun yang dituduh membunuh ayahnya sendiri dengan cara menusukkan pisau ke dada sang ayah. Apabila dinyatakan bersalah maka dia akan dihukum mati. Untuk menentukannya maka kedua belas juri tersebut semuanya harus sepakat dengan satu suara. Jika ada satu juri saja yang berbeda suara maka diskusi harus terus dilanjutkan hingga mencapai satu kesepakatan.

Kedua belas juri itu memasuki ruangan dengan suasana santai meskipun ruangan tersebut sangatlah panas. Mereka sepertinya sudah tidak kebingungan lagi menentukan keputusan. Kemudian diskusi dibuka dengan dipimpin oleh juri #1 (Martin Balsam) yang meminta sebelas juri lainnya melakukan vote dengan cara mengangkat tangan apabila mereka setuju remaja itu bersalah. Dari segala bukti dan kesaksian yang ada memang tersangka sangat diberatkan dan nampaknya tidak perlu berpikir keras guna memutuskan bahwa dia bersalah. Tapi apa yang terjadi adalah hanya 11 juri yang mengangkat tangan. Juri #8 (Henry Fonda) berbeda pendapat. Tapi dia sendiri tidak mengatakan bahwa remaja itu tidak bersalah, tapi menurutnya alangkah baiknya jika diskusi yang menyangkut nyawa orang lain tidak hanya berjalan 5 menit saja. Juri #8 ingin membicarakannya lebih jauh lagi. Lagi pula dia masih mempunyai keraguan atau reasonable doubt yang membuatnya tidak berani memutuskan tersangka bersalah. Sebuah pernyataan yang membuat 11 juri lainnya geram karena mengatakan hal itu akan buang-buang waktu karena tersangka sudah jelas bersalah. Tapi apa yang terjadi berikutnya adalah sebuah diskusi luar biasa yang berjalan diluar dugaan.

Ini adalah film tentang courtroom terbaik yang pernah saya tonton. Dengan media hitam-putih yang mungkin membuat penonton jaman sekarang anti, 12 Angry Men menyajikan sebuah perbedatan dan silat lidah yang luar biasa seru untuk disaksikan. Saya sendiri seolah diajak untuk menjadi juri ketiga belas selama menonton film ini. Awalnya mendengar berbagai kesaksian dan bukti yang ada saya jelas sepakat untuk mengatakan bahwa tersangka bersalah. Tapi kemudian pernyataan-pernyataan dari juri #8 makin membuat saya memiliki keraguan. Dan seiring berjalannya diskusi reasonable doubt makin menguat. Lalu terbersit pada pikiran saya terkadang keputusan seperti ini tidak dilandasi oleh pemikiran mendalam dan dengan perasaan tapi lebih kepada mengikuti emosi. Mendengar seorang bocah menusuk ayahnya sendiri dan menyangkalnya dengan alasan yang terdengar mengada-ada saya jelas setuju jika dia dihukum setimpal. Apalagi dia memiliki catatan kriminal yang tidak sedikit. Tapi sekali lagi ternyata jika lebih dipikirkan secara mendalam lagi tidak seharusnya sebuah keputusan yang penting diambil dengan cara pikir seperti itu.
Debut dari sutradara Sidney Lumet ini bukanlah kisah yang berorientasi di hasil tapi lebih kepada proses. Sejak menit-menit awal saya sudah amat yakin bahwa kedua belas juri ini nantinya akan sepakat bahwa tersangka tidak bersalah. Bahkan kemudian saat saya membuka halaman wikipedia film ini disitu jelas dituliskan urutan juri dari yang pertama mengatakan si bocah tidak bersalah sampai yang terakhir. Tapi sekali lagi ini adalah mengenai proses, mengenai diskuisnya yang penuh dengan kejutan, twist dan pembangungan tensi yang sangat efektif. Tensi film ini bukanlah dari action dan semacamnya tapi dari dialog antar tokoh dan benturan moral yang terjadi. Apakah tersangka sebenarnya bersalah atau tidak bagi saya tidak penting karena yang terpenting dari film ini adalah bagaimana keputusan itu diambil dengan jalan yang tepat. Karena selagi masih ada keraguan yang beralasan dalam hati juri maka tidak bisa mereka memutuskan bocah itu bersalah. Apalagi memutuskan karena adanya hal-hal personal yang turut campur dalam pengambilan keputusan.

Film ini penuh dengan hal-hal yang memorable entah itu adegannya, karakternya bahkan sampai dialog dan teori-teori yang disampaikan juga sangat banyak yang memorable. Kedua belas karakternya punya porsi yang cukup seimbang. Memang ada dua atau tiga tokoh yang punya porsi lebih tapi itu adalah sebuah kewajaran bahwa harus ada tokoh yang lebih ditonjolkan. Tapi secara keseluruhan lihatlah kedua belas juri tersebut yang masing-masing berkesempatan mengungkapkan argumennya dan setidaknya punya satu atau dua scene milik mereka sendiri-sendiri. Mereka layaknya sebuah bom waktu yang dipasang berurutan dan akan meledak satu-persatu bahkan terkadang meledak secara bersamaan. Dialognya juga sangat menempel di ingatan khususnya yang berkaitan dengan teori-teori ataupun sanggahan mengenai fakta-fakta kasus tersebut. Sedangkan untuk adegan saya rasa tidak berlebihan jika saya berkata hampir 5 menit sekali selalu ada adegan menarik yang akan selalu teringat dan membuat saya kagum akan film ini. Benar-benar film yang tidak berlebihan dikatakan sempurna. Tidak ada yang tersia-siakan dalam film ini. Siapa bilang butuh adegan action dan ledakan atau pembunuh brutal dan hantu untuk membuat ketegangan? Hanya dengan 12 orang yang berdebat saja ketegangan yang intens berhasil dibangun dalam film ini.

6 komentar :

Comment Page:

TINKER TAILOR SOLDIER SPY (2011)

Tidak ada komentar
Seorang Gary Oldman yang sudah berusia diatas 50 tahun berperan sebagai seorang agen rahasia di film yang disutradarai oleh Tomas Alfredson (Let the Right One In)? Tentu saja dari situ sudah bisa sedikit ditebak bahwa filmnya tidak akan seperti film espionage lain yang penuh dengan adegan aksi yang bombastis dan memacu adrenaline layaknya The Bourne Trilogy atau mungkin James Bond. Gary Oldman sebagai George Smiley akan lebih banyak beraksi dengan otak daripada otot. Selain Gary Oldman masih banyak lagi aktor kelas atas yang meramaikan film ini seperti Colin Firths, Tom Hardy, Mark Strong dan Benedict Cumberbatch yang dikenal lewat serial TV Sherlock Holmes. Layaknya Let the Right One In yang dingin dan berjalan perlahan tapi bisa tiba-tiba "menusuk" dengan adegan gore, Tinker Tailor Soldier Spy juga berjalan dengan perlahan tapi lalu menusuk kita dengan berbagai twist dan suguhan akting berkelas para pemainnya.

George Smiley adalah seorang agen veteran dari MI6 yang baru saja diberhentikan bersama atasannya, Control (John Hurt) setelah terjadi insiden tertembaknya Jim Prideaux (Mark Strong) yang diutus oleh Control mencari informan di Hungaria. Tapi kemudian Smiley kembali diminta bertugas untuk membongkar kedok mata-mata dari Soviet yang menyusup kedalam MI6. Dalam misinya itu Smiley juga dibantu oleh agen intelegen bernama Peter Guillam (Benedict Cumberbatch). Kita akan melihat Smiley secara perlahan memecahkan siapa sebenarnya agen rahasia yang disusupkan Soviet. Hebatnya, film ini bisa membuat semua orang jadi pantas dicurigai termasuk para petinggi MI6 seperti Bill Haydon (Colin Firth), Roy Bland (Ciaran Hinds), Toby Esterhase (David Dencik) dan sang pimpinan Percy Alleline (Toby Jones). Selain itu ada juga seorang agen yang sedang dalam pelarian, Ricki Tarr (Tom Hardy). Maka lengkaplah bidak catur dalam film ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

PARANORMAL ACTIVITY 3 (2011)

2 komentar
Yap, Paranormal Activity telah sampai pada installment ketiganya dan kali ini mengambil kisah sebelum dua film pertamanya tepatnya sekitar tahun 1988 pada saat Katie dan Kristi yang jadi sorotan utama di dua film sebelumnya masih kecil. Saya tidaklah antusias menyambut film ketiganya walaupun saya adalah satu dari sedikit orang yang menganggap Paranormal Activity 2 lebih baik dari film pertamanya yang membosankan dan hanya menang di orisinalitas cerita. Ide menjadikan film ketiganya sebagai prekuel sendiri bagi saya awalnya tidak lebih dari usaha memperpanjang nafas franchise ini yang mulai kehabisan ide. Karena memang sudah jadi ciri khas Hollywood jika ide untuk sekuel sudah mentok maka dibuatlah prekuel atau remake. Tapi ternyata saya terlalu berprasangka buruk, karena ternyata film ketiga ini membuat universe di Paranormal Activity jadi jauh lebih menarik.

Sekarang mari kita kembali ke tahun 1988 saat dua bersaudara Katie masih berumur 9 tahun dan Kristi baru 5 tahun. Mereka tinggal bersama sang ibu dan Dennis yang merupakan kekasih baru ibu mereka. Dennis yang kesehariannya bekerja sebagai kameramen acara pernikahan memang punya hobi merekam keseharian mereka. Tapi setelah suatu hari terjadi gempa bumi, kamera Dennis secara tidak sengaja merekam hal aneh yang membuatnya berinisiatif memasang 2 kamera yaitu di kamar tidurnya dan di kamar tempat Katie dan Kristi tidur. Merasa masih kurang, Dennis menambahkan 1 kamera lagi di dapur dimana teknik penempatan kamera ini adalah sebuah inovasi baru dan sangat brilian bagi saya (menggabungkan kipas angin dan kamera). Tentu saja ketiga kamera itu menangkap berbagai kejadian aneh. Disamping itu, Kristi sendiri dalam kesehariannya menunjukkan tingkah lagu yang janggal dimana dia sering berkomunikasi dengan seorang bernama Tobi yang sosoknya tidak terlihat. Belum lagi dengan kelakuan Katie yang sangat ingin melakukan pemanggilan hantu Bloody marry.

2 komentar :

Comment Page:

2nd IMBLOG CHOICE AWARDS: NOMINATIONS (FILM ASING)

Tidak ada komentar
Berbarengan dengan awards season yang sekarang sedang berlangsung, "Indonesian Movie Bloggers Community" juga kembali mengadakan ajang penghargaan untuk kedua kalinya setelah tahun lalu juga sukses mengadakan "IMBlog Choice Awards" yang pertama. Sekedar mengingatkan, "IMBlog Choice Awards" tahun lalu menjadikan Inception sebagai yang terbaik dimana dari 13 nominasi yang didapat, film arahan Christopher Nolan ini berhasil menang di 5 kategori untuk bagian "Jawara" dan 9 kategori di bagian "Tersohor". Masih sama seperti tahun lalu, "2nd IMBlog Choice Awards" dibagi menjadi pemenang "Jawara" yang dipilih oleh para anggota IMBlog Community, serta "Tersohor" dimana publik non-member dapat dengan bebas memilih pilihannya sendiri. Film-film yang di-seleksi adalah film-film yang tayang di bioskop Indonesia di tahun 2011 serta film-film 2010-2011 yang hadir dalam format DVD original. Kalau tahun lalu IMBlog versi Film Internasional dan Indonesia diadakan berbarengan, tahun ini untuk kategori film Indonesia akan diumumkan dan dibacakan mendekati Hari Perfilman Nasional, Maret nanti. Jika tahun lalu Inception, maka untuk nominasi tahun ini dipimpin oleh The Tree of Life yang juga memperoleh 13 nominasi. 

Untuk membaca review film yang masuk nominasi tinggal klik judul filmnya. Bagi yang ingin memilih untuk kategori "Tersohor" silahkan buka link ini. Dan inilah daftar lengkap "2nd IMBlog Choice Awards" :

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE INBETWEENERS MOVIE (2011)

Tidak ada komentar
Diangkat dari sebuah sitkom sukses asal British yang ditayangkan dari tahun 2008 - 2010, The Inbetweeners Movie menyodorkan sebuah kisah yang sudah sering muncul dalam sebuah film komedi, yaitu mengenai sekumpulan remaja yang boleh dibilang looser dimana mereka berusaha mendapatkan liburan yang menyenangkan setelah lulus dari SMA. Liburan menyenangkan menurut mereka berempat adalah sebuah liburan untuk bisa sebanyak mungkin berhubungan seks dengan gadis-gadis cantik yang seksi dan mabuk sepuas-puasnya. Saya sendiri sama sekali belum pernah mendengar apalagi menonton sitkomnya, jadi apakah saya akan terpuaskan dengan filmnya?

Pertma amari kita berkenalan dengan keempat jagoan utama kita. Will (Simon Bird) adalah remaja nerd yang selalu diganggu oleh teman-temannya dan dia selalu kesulitan berkomunikasi dengan wanita apalagi sampai berpacaran dan berhubungan seks. Sebelum kelulusan Will dikejutkan oleh sang ayah saat dia memberitahu anaknya bahwa dia telah menikah lagi dengan seorang wanita yang jauh lebih muda. Lalu ada Simon (Joe Thomas) yang baru saja diputuskan oleh Carli (Emily Head). Simon yang masih mencintai Carli jelas sangat sedih dan depresi akan hal tersebut. Lalu ada  Jay (James Buckley) yang selama ini belum pernah sekalipun melihat gadis telanjang secara langsung dan hanya bermasturbasi didepan laptopnya. Merasa harus bersenang-senang, mereka lalu merencanakan liburan ke Malia. Neil (Blake Harrison) menjadi orang yang mengurus tempat mereka menginap dan sebagainya. Lalu dimulailah acara liburan mereka berempat yang tentunya tidak berjalan sesenang dan segila yang mereka bayangkan, karena jangankan mengajak kencan, berbicara dengan para gadis saja mereka kesulitan. Dan masih banyak hal-hal konyol lainnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

69th GOLDEN GLOBE AWARDS WINNERS

Tidak ada komentar
Meskipun secara keseluruhan tidak ada kejutan besar, tapi bukan berarti Golden Globe tahun ini semuanya berjalan sesuai prediksi. Setidaknya ada 2 kemenangan yang diluar prediksi saya yakni untuk kategori "Best Director" yang dimenangkan Martin Scorsese (Hugo) dan "Best Screenplay" yang direbut oleh Woody Allen (Midnight in Paris). Meski begitu kemenangan mereka juga sudah diprediksi sebelumnya meski hanya ditempatkan sebagai kandidat nomer dua dibawah para frontrunner macam The Descendants atau The Artist. Kedua film itu sendiri merajai perolehan piala kali ini dimana The Artist memenangi 3 piala sedangkan The Descendants 2 piala. Hal itu membuat keduanya menjadi calon kuat peraih "Best Picture" untuk Oscar. Sedangkan Hugo sepertinya juga siap memberikan kejutan sebagai kuda hitam untuk Oscar nanti. Untuk kategori "Best Supporting Actress" saya agak kecewa karena saya menjagokan Jessica Chastain (The Help) dimana kategori itu akhirnya dimenangkan oleh Octavia Spencer yang juga bermain di film yang sama. Tapi setidaknya itu memang pantas melihat aktingnya yang memang bagus. Golden Globe tahun ini juga memberikan piala ketiga bagi George Clooney dan juga yang ketujuh bagi seorang Meryl Streep. Kedua orang ini memang legenda hidup.Lalu penghargaan "Cecil B. DeMille" tahun ini diberikan pada Morgan Freeman yang memang sangat pantas mendapatkannya setelah kontribusinya yang amat besar dalam dunia perfilman. Freeman pernah menjajal banyak peran mulai dari seorang narapidana sampai Tuhan pernah dia perankan. Jadi inilah daftar lengkap pemenang Golden Globe 2012:

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DARK WATER (2002)

3 komentar
Disutradarai oleh Hideo Nakata yang dulu menyuguhkan pada kita teror Sadako dalam Ring yang kini telah melegenda sebagai salah satu film horror terbaik dari Jepang. Selain 3 film Ring yang dibuatnya (1 film original, 1 sekuel dan 1 sekuel dari remake Hollywood), Hideo Nakata juga cukup dikenal lewat Dark Water yang juga seringkali disebut sebagai salah satu film horror Jepang terbaik. Saya sendiri sangat menunggu untuk ditakut-takuti oleh film ini mengingat Ring dengan Sadako dan hantu-hantunya berhasil membuat saya ketakutan. Tapi yang saya dapat ternyata justru suguhan medioker yang jangankan dibandingkan dengan karya klasik Hideo Nakata tersebut, bahkan jika harus dibandingkan dengan film horror Jepang lainnya menurut saya Dark Water masih kalah seram.
Yoshimi Matsubara (Hitomi Kuroki) sedang dalam proses perceraian dan berusaha mendapatkan hak asuh terhadap anaknya yang baru berusia 6 tahun, Ikuko (Rio Kanno). Mereka berdua pindah ke sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Awalnya kehidupan mereka tenang-tenang saja meski ada satu hal yang mengganggu yaitu air yang menetes dari atap apartemen mereka. Tapi tentunya tidak ada yang mencurigakan dari langit yang bocor saat musim hujan bukan? Tapi lama kelamaan beberapa hal aneh mulai terjadi. Yoshimi sempat melihat sosok gadis kecil yang misterius. Selain itu Ikuko juga menemukan sebuah tas berwarna merah yang anehnya meski sudah dibuang selalu muncul kembali. Dan yang tidak kalah meresahkan adalah air yang menetes dari atap rumah makin lama makin banyak dan tempat yang bocor makin luas saja. Tanpa mereka ketahui sebenarnya apartemen tersebut pernah menyimpan misteri dan tragedi.
Dimana nuansa creepy yang biasanya menghiasi film-film horror Jepang? Terlalu banyak berfokus diluar area berhantu untuk mengeksplorasi dramanya adalah faktor yang membuat film ini tidak memiliki aura menyeramkan seperti yang saya harapkan. Dark Water terlalu banyak memusatkan diri pada drama sehingga sedikit lupa untuk menakuti penontonnya. Fokus pada drama memang perlu sehingga penonton juga akan peduli pada karakternya, tapi untuk film ini menurut saya agak terlalu kebanyakan. Disaat saya sudah merasa cukup bisa menyatu dengan karakter-karakter yang ada, Dark Water masih juga melakukan pengembangan dan eksplorasi terhadap karakternya. Hal itu berakibat pada saya merasakan kebosanan saat pertengahan film. Terror sang hantu sendiri tidak terlalu berhasil. Melihat rembesan air diatap yang makin lama makin meluas tidak akan terasa terlalu menyeramkan jika dialami oleh kita sendiri apalagi di dalam film. Lain halnya misalkan bukan air tapi segumpal noda hitam yang makin lama makin meluas seperti yang pernah saya baca di salah satu cerpen horror Jepang.

Tapi sebenarnya pengemasan terhadap teror yang tidak terlalu mencekam itu sudah cukup baik dimana setelah melewati pertengahan tetap ada adegan-adegan menegangkan termasuk saat film mendekati akhir yang lumayan menegangkan. Tapi sekali lagi disaat tensi mulai meningkat saya dijejali lagi dengan drama yang sudah terasa terlampau banyak. Bahkan adegan flashback masa lalu Yoshimi buat saya tidaklah penting untuk ditampilkan. Toh film ini diakhiri dengan ending yang memuaskan dan menyisakan rasa miris dan sedikit haru. Sebuah perasaan yang jadi keunggulan tersendiri jika muncul setelah menonton sebuah film horror. Sungguh sangat disayangkan film ini tidak terasa maksimal dalam menakuti. Kurangi saja dramanya, perbanyak teror dalam rumah tapi tetap jangan biarkan sang hantu terlalu narsis dan rasanya film ini akan jadi lebih baik setidaknya untuk saya. Atmosfernya memang lumayan tapi untuk ukuran J-Horror yang dibilang klasik ekspektasi saya tidak terpenuhi. Tapi menjelang akhir film ini mulai menampakkan kengeriannya dan itu sudah agak terlambat.


3 komentar :

Comment Page:

DON'T BE AFRAID OF THE DARK (2011)

7 komentar
Saya hanya pernah mendengar sekilas saja mengenai film televisi berjudul Don't Be Afraid of the Dark yang rilis tahun 1973. Remake terhadap film tersebut juga tidaklah terlalu spesial karena remake film horor klasik Hollywood seperti yang kita tahu lebih sering merusak versi aslinya. Saya juga tidak begitu tertarik dengan cast film ini mulai dari Guy Pearce, Katie Holmes sampai aktris cilik Bailee Madison. Sutradara Troy Nixey yang baru menjalani debutnya lewat film ini setelah sebelumnya adalah seorang "comic book artist" juga jelas bukan jadi magnet yang kuat dari film ini. Jadi apa yang membuat saya tertarik menonton remake ini? Jelas nama Guillermo del Toro alasannya. Saya termasuk orang yang terkesan dengan visi del Toro dalam menciptakan dunia dalam film-filmnya termasuk Pan's Labyrinth yang gothic dan unik tersebut. Jadi meskipun hanya sebagai produser, saya berharap pengaruh del Toro akan terasa kuat seperti pada film-film yang diproduseri Spielberg yang selalu terasa kental ciri khas dari sang produser.

Sally (Bailee Madison) kini harus tinggal bersama sang ayah, Alex (Guy Pearce) setelah sang ibu mengirimnya untuk pindah dan tinggal bersama ayahnya tersebut. Selain bersama sang ayah, Sally juga harus tinggal bersama pacar baru ayahnya, Kim (Katie Holmes) yang tidak terlalu dia sukai. Mereka bertiga lalu tinggal disebuah mansion tua yang cukup megah dimana mansion tersebut sedang direnovasi oleh Alex dan Kim. Pada awalnya, rasa ingin tahu Sally membawanya menemukan sebuah ruang bawah tanah di mansion tersebut. Lalu sejak penemuan ruang tersebut Sally sering mendengar bisikan-bisikan aneh yang memanggil namanya. Awalnya bisikan-bisikan tersebut terasa seperti ajakan pertemanan, tapi sebenarnya itu adalah bisikan mematikan dari para makhluk kecil ganas dan mengerikan yang dahulu pernah meninggalkan kisah horror bagi pemiliknya.
Film ini dibuka dengan cukup meyakinkan dimana adegan yang menampilkan Lord Blackwood mengambil secara paksa gigi pelayannya untuk dipersembahkan kepada para "peri" tersebut dan berlanjut dengan kematiannya sendiri cukup bisa membuat saya yakin bahwa film ini akan jadi horror yang menarik. Lalu dilanjutkan dengan opening credit yang juga tidak kalah unik saya makin yakin kalau nuansa dan ciri khas Guillermo del Toro akan sangat terasa di film ini. Lagipula dia jugalah yang menulis naskahnya. Nuansa gothic yang cukup creepy terasa pada bagian awal film ini. Lalu saat fokus berpindah pada Sally dan keluarganya, daya tarik itu makin menurun. Film makin membosankan, alur makin lambat, pengulangan adegan makin sering terjadi, keklisean makin terasa dan ciri khas Guillermo del Toro makin menghilang. Bagus memang bagi Tory dia tidak terlalu terbawa ciri khas sang produser, tapi jika hasilnya jadi membosankan begini saya rasa lebih baik dia mengikuti gaya del Toro saja, karena pada dasarnya naskah yang ditulis del Toro ini akan sangat pas jika dieksekusi dengan gayanya yang campuran horror dan fantasi.
Setting rumah yang begitu gothic sebenarnya sudah cukup maksimal dan sangat terasa unsur fantasinya dan tidak terasa berlebihan karena penekanannya bukanlah pada sisi fantasinya tapi pada horrornya. Tapi apa yang terjadi justru seolah film ini lebih fokus pada usaha Sally mencari fakta tentang sang "peri gigi" saja dibandingkan mencoba menakuti penonton. Kita akan dibuat bosan terlebih dahulu sebelum akhirnya para monster itu menampakan wujudnya yang harus diakui cukup mengerikan meski aksi mereka tidak sampai membuat film ini menakutkan. Bahkan momen mengagetkan yang biasanya jadi senjata ampuh terakhir saat sebuah film horror sudah kehabisan cara menakuti penontonnya juga tidak terlalu berhasil dan hanya ada satu saja momen mengagetkan tersebut. Nihil momen menyeramkan, film ini justru diisi beberapa momen menyebalkan.

Tentunya kita sudah tahu hal klise menyebalkan apa yang terjadi dalam film horror yang menampilkan seorang anak kecil sebagai tokoh utamanya dan sang anak tinggal bersama orang tuanya. Apalagi kalau bukan momen dimana sang orang tua tidak mempercayai perkataan anaknya bahkan menganggap sanag anak berimajinasi saja. Dalam DBAOTD momen itu juga muncul walaupun tidak terlalu parah tarafnya. Lalu ada juga kemunculan psikolog yang dalam film horror macam ini selalu digambarkan sebagai orang bodoh yang teorinya selalu keliru dengan fakta yang ada. Sebagai mahasiswa psikologi saya tidak suka dengan penggambaran itu. Memang psikolog akan bertindak dan mengambil diagnosa dengan ilmu yang ada tapi saya rasa tidak perlu terlalu dibuat seperti itu juga penggambarannya. Tokoh ayah yang diperankan Guy Pearce jelas jauh dari kata menarik dan aktingnya juga nihil. Katie Holmes juga tidak bagus tapi setidaknya dia masih seorang wanita cantik yang mampu membuat Tom Cruise tergila-gila. Bailee Madison? Yah dia juga cukup baik untuk ukuran aktris cilik bagi saya.

Don't Be Afraid of the Dark yang tidak punya momen menyeramkan justru punya momen yang menegangkan dan cukup mencekam saat film mencapai klimaks dan mendekati akhir. Momen itu adalah momen yang menarik sekaligus menegangkan, apalagi saat saya menantikan endingnya yang mana Guillermo del Toro sudah menjanjikan tidak ada happy ending dalam film ini. Dan saat sudah sampai pada ending saya cukup terpuaskan oleh endingnya. Jadi setidaknya meskipun sejak opening sampai melewati pertengahan film ini membosankan, tapi klimaks hingga ending cukup memuaskan dan menegangkan. Selain itu film ini juga punya desain monster yang bagus, cukup khas del Toro. Ah, memang seharusnya film ini disutradarai Guillermo del Toro saja.


7 komentar :

Comment Page:

KALA (2007)

13 komentar
Bukan, ini bukanlah review lama yang baru sempat saya publish. Saya memang baru sekarang ini menonton film kedua Joko Anwar ini. Saya sendiri baru sejak tahun 2011 lalu mulai rutin menonton film Indonesia yang saya anggap layak tonton di bioskop. Baru di 2011 jugalah saya mencoba mencari-cari film Indonesia berkualitas yang sebelumnya telah saya lewatkan seperti Quickie Express, Under the Tree dan beberapa film lain. Untuk film yang disutradarai Joko Anwar sendiri saya belum menyaksikan Janji Joni tapi sudah menonton Pintu Terlarang itupun sudah 2 tahun yang lalu dan saat itu saya masih melihat film sebagai hiburan semata dan kurang menikmati Pintu Terlarang yang buat saya saat itu terasa berat, jadi saya tidak akan membandingkan kedua film karya Joko Anwar ini.

Eros (Ario Bayu) adalah seorang polisi yang tengah menyelidiki kasus pembakaran terhadap 5 orang yang menewaskan kelimanya secara mengenaskan. Diluar kehidupannya sebagai polisi, Eros adalah seorang homoseksual. Sementara itu seorang wartawan bernama Janus (Fachri Albar) juga tengah menyelidiki kasus tersebut. Janus sendiri menderita penyakit narkolepsi yang membuatnya mudah sekali tiba-tiba tertidur apabila emosinya sedang memuncak misal terlalu panik, antusias ataupun marah. Hal itu jugalah yang membuat sang istri, Sari (Shanty) menggugat cerai Janus karena dia merasa sang suami tidak bisa memenuhi nafkah batinnya karena setiap akan berhubungan Janus selalu tiba-tiba tertidur. Janus yang masih menyelidiki kasus kematian 5 orang tersebut secara diam-diam meletakkan tape recorder dalam pot di kamar mayat dimana salah seorang istri korban ada disitu dan menolak diwawancara.

Tidak lama kemudian istri korban tersebut tewas tertabrak dan dilindas mobil tepat didepan mata Janus. Yang lebih aneh lagi, saat Janus mengambil tape recorder miliknya, dia menemukan rekaman suara wanita tersebut. Wanita itu mengatakan hal yang tidak dimengerti Janus yang intinya adalah menunjukkan lokasi sebuah tempat bernama "Bukit Bendonowongso". Yang lebih aneh dan mengerikan lagi, semua orang yang mendengar rekaman itu dan mengetahui lokasi tersebut akan mati secara mengenaskan. Ternyata baru diketahui kalau lokasi itu menunjukkan tempat penyimpanan harta karun miik Presiden pertama. Dan ternyata selain Janus dan Eros ada pihak lain yang ikut serta dalam perburuan harta karun tersebut.
Joko Anwar memang paling berani bereksperimen. Lihat saja cerita dan nuansa dalam film ini yang tentunya tidak akan ditemui di film Indonesia lain atau setidaknya di film garapan sutradara lainnya. Sisi teknis khususnya sinematografi film ini begitu berani menampilkan nuansa yang berbeda dan sangat pantas disebut sebagai film noir pertama di Indonesia. Dengan berani film ini menampilkan setting di negeri antah berantah. Setting lokasinya memang sebenarnya tidak sulit ditebak, tapi tata artistik film ini mampu membuat seolah lokasi-lokasi dalam film ini bukanlah di Indonesia. Lalu penggunaan tata cahaya dan teknik sinematografi yang sangat film noir makin memantapkan film yang punya judul lain Dead Time: Kala ini sebagai salah satu film dengan sinematografi terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Tapi apakah film dengan sinematografi luar biasa ini diikuti dengan cerita yang mumpuni? Cerita yang ditulis Joko Anwar sama beraninya dengan gaya penyutradaraan dan sinematografinya yang eksperimental. Dasar cerita yang dia tulis cukup berani dengan berlokasi di negeri antah berantah tapi sebenarnya sangatlah Indonesia, Joko Anwar coba memasukkan berbagai unsur termasuk sindiran terhadap Indonesia dan yang utama adalah mengenai perburuan harta yang dibalut dengan ramalan Jayabaya. Dengan genre fantasi dan setting di negeri antah berantah memang bisa menutupi berbagai hal yang diluar logika yang banyak terjadi di film ini. Tapi harus diakui juga bahwa Joko Anwar terlalu mementingkan gaya sehingga ceritanya sendiri agak terasa kedodoran. Beberapa hal terasa janggal karena eksekuisnya yang kurang maksimal seperti mengenai kutukan yang merenggut nyawa. Bagaimana awalnya kutukan itu bisa terjadi? Apa sebenarnya makhluk yang muncul tiap kali akan ada orang yang terbunuh itu? Saya juga tidak menemukan film ini bisa mengikat saya karena karakternya sendiri tidak menarik buat saya.

Mengenai ramalan dan konklusinya saya sendiri merasakan hal yang bisa dibilang lucu kalau tidak mau diaktakan konyol. Sang penidur yang diartikan sebagai orang yang kena penyakit tidur? Saya tidak tahu pasti apakah ramalan Jayabaya yang dipakai di film ini memang benar ada disalah satu ramalan Jayabaya atau hanya karangan tapi yang jelas tafsiran untuk hal itu terlalu naif. Kemudian sang "ratu adil" yang muncul buat saya justru lebih menarik. Seperti yang saya bilang bahwa meski di negeri antah berantah, tapi sangat jelas bahwa negeri di film ini adalah alternate universe bagi Indonesia. Dan apa jadinya jika sang ratu adil adalah seorang homoseksual yang seringkali direndahkan di negeri ini? Ide yang menarik hanya saja tidak ada penjelasan mengapa bisa dia yang menjadi ratu adil menginagt tidak ada hal spesial yang telah dia lakukan sebelumnya. 

Tapi yah meski di ceritanya kedodoran dalam eksekusi, tapi dasar idenya tetaplah menarik. Berbagai sindiran untuk negeri ini jelas sangat terasa seperti aksi anarkis, isu politik, lalu sosok orang di pemerintahan yang digambarkan mau melakukan apa saja demi harta, dan masih banyak hal lainnya. Secara keseluruhan film ini punya tata sinematografi dan artistik yang sangat bagus, ide cerita yang juga kreatif, hanya saja Joko Anwar terlihat terlalu asyik bergaya dalam filmnya dan memang itu berhasil membuat keunikan tersendiri. Tapi akan lebih baik lagi jika berikutnya dia lebih memaksimalkan penggarapan ceritanya. Masih banyak lubang yang meninggalkan pertanyaan tidak perlu. Saya jelas akan menunggu 2 film terbarunya yang akan rilis tahun ini, Modus Anomali dan Impetigore.

13 komentar :

Comment Page: