THE BOURNE LEGACY (2012)

6 komentar
Dengan penghasilan total hampir mencapai $ 1milyar, wajar saja jika franchise film The Bourne dilanjutkan. Dengan tiga film yang sukses baik secara kualitas dan komersial, rasanya tidak ada yang salah dalam keputusan membuat film keempatnya yang akan diadaptasi dari novel berjudul sama ini. Bahkan awalnya semua ini adalah ide yang baik untuk melanjutkan kisah Jason Bourne meski sudah lima tahun absen dari layar lebar. Toh trilogi The Bourne termasuk dalam jajaran film action terbaik dan bisa dibilang turut berperan besar dalam merubah pakem genre film aksi menjadi lebih realistis dan tidak hanya sekedar mengumbar ledakan disana sini. Tapi semuanya berubah jadi mengkhawatirkan saat Matt Damon dan sutradara Paul Greengrass memutuskan untuk tidak ambil bagian dalam film ini. Film dengan judul Bourne tapi didalamnya tidak ada sosok Jason Bourne rasanya terlalu dipaksakan. Meskipun pada akhirnya Jeremy Renner mengambil alih tongkat estafet sebagai tokoh utama, tetap saja susah menghilangkan sosok Jason Bourne yang menjadi ikon film ini. Hal yang sama juga berlaku pada kursi sutradara. Tony Gilroy memang penulis naskah dalam semua film Bourne dan dia pernah menyutradarai Michael Clayton, tapi meneruskan hasil kerja luar biasa Paul Greengrass jelas bukan hal mudah.
Kisah dalam The Bourne Legacy terjadi bersamaan waktunya dengan kisah di The Bourne Ultimatum dimana Jason Bourne masih menjadi buronan. Di tempat lain, Aaron Cross (Jeremy Renner) yang merupakan salah satu anggota Operation Outcome tengah menjalani pelatihan di Alaska. Outcome sendiri adalah bentuk operasi yang tidak jauh beda dibandingkan Treadstone yang melibatkan Jason Bourne. Tapi akibat adanya kasus Bourne, pihak CIA memutuskan untuk menghapus semua pihak yang terlibat dalam operasi tersebut termasuk Cross. Namun dalam upaya pemusnahan tersebut, Cross berhasil lolos. Seiring dengan pelariannya, Cross bertemu dengan Dr. Marta Shearing (Rachel Weisz), seorang ilmuwan yang terlibat dalam operasi Outcome. Marta sendiri bernasib sama dengan Cross, yakni menjadi satu-satunya orang yang berhasil selamat dari pembersihan yang dilakukan terhadap rekan mereka masing-masing. Satu hal yang saya rasakan seusai menonton film ini adalah tidak perlu lagi menyesali kepergian Greengrass dan Matt Damon. Disamping semuanya sudah berjalan, pengganti kedua sosok itu mampu menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya Jeremy Renner. 


Aaron Cross tidak jauh beda dengan Jason Bourne, hanya minus hilang ingatan, dan Renner mampu beraksi dengan cukup baik meski saya masih lebih suka Jason Bourne. Aaron Cross tetap tangguh dan taktis meski belum sehebat dan secerdas Jason Bourne. Membandingkan keduanya saya malah merasa Aaron Cross lebih cocok sebagai sidekick bagi Bourne. Meski begitu rasanya akan sangat luar biasa melihat kedua jagoan ini bersatu dalam satu film nantinya. Tentu saja itu bukan hal yang tidak mungkin melihat jalan cerita film ini yang berkaitan erat dengan ketiga film pertamanya. Untuk itulah kita akan sampai pada ide dasar pembuatan film keempatnya ini. Ide Gilroy harus diakui cerdas. Melanjutkan kisah Bourne tanpa Bourne tanpa harus harus terasa dipaksakan adalah hal yang susah, dan ia sanggup melakukan itu. Menjadikan kisah Jason Bourne yang sebenarnya sudah cukup kompleks sebagai puncak gunung es yang berarti masih banyak konspirasi lain yang jauh lebih besar didalamnya adalah keputusan tepat. Dengan begitu jika suatu hari nanti Matt Damon bersedia kembali maka tidak ada kesulitan berarti untuk melakukan itu. Namun jikapun Matt Damon tetap tidak kembali, kisah Aaron Cross masih mungkin untuk dilanjutkan menjadi trilogi berikutnya. Bahkan jika masih menguntungkan, bukan tidak mungkin akan ada agen-agen lain yang akan dimunculkan.
Sayangnya Legacy terasa tidak bersahabat dengan penonton yang belum menyaksikan ketiga film sebelumnya, atau yang sudah lupa akan ceritanya. Harus diingat lima tahun sudah berlalu semenjak Ultimatum, dan dengan kisahnya yang kompleks bukan tidak mungkin orang yang sudah menonton filmnya juga akan merasa kebingungan menyaksikan film ini yang begitu saja menyuguhkan penonton kepada kisah lain dalam Bourne Universe. Diluar ide dasar yang menarik, nyatanya film ini tidak bisa semenarik film-film sebelumnya. Paruh awalnya berjalan lambat. Tony Gilroy seolah kesulitan dalam membaurkan drama konspirasi dengan porsi adegan aksinya. Mungkin akan ada banyak penonton yang tidak mengerti maksud berbagai pembicaraaan berkait konspirasi yang terjadi diawal film. Jika mengingat kembali kemunculan perdana Jason Bourne dalam Identity, maka poin lebihnya adalah Greengrass sanggup membawa penontonnya dalam sebuah kisah yang rumit namun selalu dibalut dengan adegan-adegan yang berjalan cepat dan menegangkan. Sedangkan dalam Legacy, Gilroy tidak sanggup membuat porsi non-aksinya terasa seru. Yang tersisa hanyalah kompleksitas, sedangkan daya tariknya jauh berkurang. Baru setelah melewati pertengahan, semuanya berjalan lebih menarik. Filmnya mulai dijejali berbagai adegan aksi yang cukup seru. Sayangnya jika harus dibandingkan dengan Jason Bourne semuanya masih kalah keren dan seru. Adegan hand-to-hand combat-nya kurang seru dan taktis. Adegan kejar-kejaran motor di akhir memang cukup seru namun terasa kepanjangan dan masih kalah jika dibanding kejar-kejaran mobil di Identity. Tidak adanya momen adu kecerdasan seperti yang terjadi di stasiun Waterloo pada Ultimatum juga mengurangi potensi keseruan, padahal Aaron Cross juga mendapat stimulus peningkat kognitif.

Saya juga tidak merasakan pengembangan yang menarik dari ide dasarnya. Jika Jason Bourne menarik berkat kisah tentang pencarian jati diri, pelarian dan adanya berbagai konspirasi maka kisah Aaron Cross tidak. Masih terasa tidak jelas apa yang ia cari dan apa poin dari film ini. Yang ada hanyalah ia berusaha lari dari kejaran mantan bosnya dan berusaha mencari sebuah obat. Sampai saat tensi sedang meningkat tiba-tiba saja saya mendengar scoring khas film Bourne yang artinya film selesai. Tiba-tiba saja filmnya selesai dan sangat terlihat membuka peluang bagi sekuel. Mungkin ini diartikan bahwa Legacy hanyalah sebuah pengenalan awal, tapi bukankah Identity yang menjadi pengenalan awal terhadap Jason Bourne punya tujuan dan cerita yang jauh lebih menarik? Bukankah film itu juga bisa diakhiri dengan memuaskan dan layak dilihat sebagai sebuah film yang berdiri sendiri tanpa harus membuang potensi adanya potensi sekuel? Sangat disayangkan mengingat kisahnya yang punya lingkup jauh lebih besar dan kompleks namun berakhir dengan hanya seperti ini? Ataukah ini hanya sebuah cara untuk mengulur franchise ini sampai Matt Damon bersedia kembali? Jujur saya sangat berharap hal itu terjadi, karena siapa sih yang tidak merindukan Jason Bourne? Apalagi jika ia dipartnerkan dengan Aaron Cross, saya yakin akan tercipta duet yang begitu keren. Sebelum itu nikmati saja dulu The Bourne Legacy yang setidaknya masih merupakan sajian yang tidak buruk ini.


6 komentar :

Comment Page:

MYSTERIOUS SKIN (2004)

1 komentar
Diangkat dari novel berjudul sama karangan Scott Heim, Mysterious Skin adalah satu dari sedikit drama yang secara berani mengisahkan tentang dampak dari pelecehan seksual yang dialami anak-anak dengan begitu gamblang. Rating NC-17 yang didapat adalah bukti betapa gamblangnya presentasi kisah dari film yang disutradarai oleh Gregg Araki ini. Kisahnya akan membawa kita kepada dua remaja yaitu Neil McCormick (Joseph Gordon-Levitt) dan Brian Lackey (Brady Corbet). Neil sejak kecil sudah merasa bahwa dirinya punya orientasi seksual yang tidak biasa, dimana dirinya lebih tertarik kepada pria dewasa. Hal itu diperparah lagi saat pelatih tim baseball tempat ia bermain ternyata juga adalah seorang pedophilia yang juga tertarik pada Neil. Masa kecilnya pun harus dihabiskan dengan melayani nafsu sang pelatih. Namun Neil sendiri justru menyukai hal tersebut. Sampai akhirnya saat beranjak remaja dia mencari uang dengan menjajakan dirinya kepada para pria dewasa. Ya, Neil kini menjadi seorang gigolo untuk para pria homoseksual. 

Disisi lain, Brian justru punya memori yang sangat absurd di masa kecilnya. Suatu hari saat ia masih kecil, Brian ditemukan didalam basement rumahnya dalam kondisi shock dan hidung mengeluarkan darah. Saat remaja ia selalu teringat akan memori bahwa saat itu dia telah diculik dan dijadikan bahan eksperimen oleh para alien. Bahkan Brian yang hidup sebagai seorang remaja nerd terus mempelajari kisah UFO dan mencoba mencari tahu kebenaran fakta dibalik penculikan oleh alien yang menimpa dirinya saat masih kecil. Pencarian tersebut pada akhirnya menghubungkan kedua remaja ini dan mengungkap sebuah masa lalu yang sangat kelam. Sebuah tontonan yang bagus belum tentu enak untuk diikuti, begitulah yang saya rasakan saat menonton film ini. Kisahnya terangkum dengan amat baik. Selipan misterinya memang bukan sajian utama tapi sudah cukup menjadi bumbu yang menarik. Tapi dengan segala konten seksual dan child abuse yang ada Mysterious Skin tidak pernah mudah untuk disaksikan. Memang pelecehan seksual pada anaknya tidak terlalu gamblang, tapi sudah cukup untuk membuat imajinasi para penonton membayangkan adegan memuakkan tersebut. 

1 komentar :

Comment Page:

THE EXPENDABLES 2 (2012)

1 komentar
Film pertama The Expendables bagi saya tidak mengecewakan. Memang tidak ada cerita yang berbobot, namun suguhan action yang ditawarkan cukup menghibur. Belum lagi menyatukan berbagai bintang film laga dalam satu film tetap saja sebuah ide yang menarik, khususnya sebuah momen obrolan Stallon, Schwarzenegger dan Willis dalam gereja. Dua tahun setelah film pertamanya, geng jagoan tua ini kembali dalam sebuah sekuel yang memunculkan lebih banyak lagi aktor-aktor film laga. Meski ditinggalkan Mickey Rourke dan Steve Austin, film kedua ini mendapatkan jauh lebih banyak lagi suntikan tenaga untuk mengisi slot pemainnya. Akan ada Chuck Norris, Jean-Claude Van Damme, Liam Hemsworth sampai Scott Adkins. Bruce Willis dan Arnold juga akan kembali dengan porsi yang lebih besar. Kali ini bukan Stallone yang duduk di kursi sutradara, melainkan Simon West (Tomb Raider, Con Air), meskipun Stallone masih menjadi penulis naskah bersama Richard Wenk. Tentu saja saya tidak berharap akan ada sebuah kisah berbobot penuh twist dalam film ini, karena The Expendables 2 adalah sebuah sajian film aksi khas 80-an yang mengumbar ledakan demi ledakan berlebihan dan tidak akan repot-repot memikirkan jalan cerita.

Apa cerita film ini? Ternyata kali ini para jagoan uzur ini kembali mendapatkan tugas dari Mr. Church (Willis) untuk mengambil sebuah benda rahasia yang terletak dalam sebuah reruntuhan pesawat. Disebutkan benda tersebut bisa mendatangkan bencana jika jatuh ke tangan yang salah. Gerombolan The Expendables yang sebelumnya sudah mendapat anggota baru yaitu seorang sniper muda bernama Billy the Kid (Liam Hemsworth) dalam misi ini juga akan mendapat bantuan dari seorang agen wanita bernama Maggie (Yu Nan). Misi yang nampaknya akan mudah itu menjadi sebuah petaka saat mereka harus berhadapan dengan sekelompok penjahat yang dipimpin Jean Vilain (Van Damme) dan mengakibatkan salah satu diantara anggota The Expendables tewas. Kini mereka kembali untuk berperang dengan urusan yang lebih personal. Ah, sungguh sebuah kisah yang sangat sederhana bukan? Untuk menciptakan sebuah sekuel yang berbeda, maka buatlah sekuel itu lebih besar atau punya jalan cerita yang lebih personal. Cara paling mudah ya dengan mematikan salah satu tokohnya, dengan harapan filmnya akan terasa lebih mendalam. Tapi toh The Expendables 2 tidak berusaha mengikat penonton dengan cerita yang hanya jadi gimmick tersebut. Yang terpenting adalah letusan adegan aksi dari awal sampai akhir.

1 komentar :

Comment Page:

SOUTH PARK: BIGGER, LONGER & UNCUT (1999)

Tidak ada komentar
Saya bukanlah penggemar South Park yang rutin menonton serialnya baik lewat televisi ataupun DVD. Tapi saya sendiri cukup sering menikmati beberapa episodenya via YouTube dan cukup menikmati meskipun pada awalnya cukup kaget dengan berbagai konten yang jelas tidak layak ditonton anak kecil. Bisa dibilang South Park adalah versi lembut dari Happy Tree Friends. Beda dengan HTF, South Park tidak hanya mengandung konten kekerasan diatas rata-rata tapi juga berbagai sumpah serapah dan masih banyak lagi termasuk bermacam-macam sindiran yang cukup ekstrim. Tentu saja momen paling memorable dalam serial ini adalah momen yang menampilkan kematian karakter Kenny yang selalu disusul dengan dialog "Oh my God, they killed Kenny!" Tentu saja dengan kesuksesan luar biasa serial televisinya, tidak butuh waktu lama untuk film layar lebarnya yang rilis disaat season 3 sedang berjalan. Dirilis dengan judul Bigger, Longer & Uncut film ini memang menampilkan kisahnya dengan lingkup yang besarnya tidak tanggung-tanggung sampai dunia akhirat, durasi yang lebih panjang dan tentunya tidak ada batasan dalam sindiran dan leluconnya.

Kali ini empat sekawan tokoh utama film ini sedang berkeinginan untuk menonton film yang dibintangi duo komedian favorit mereka yaitu Terrance dan Phillip. Meskipun film tersebut mempunyai rating 'R' karena banyaknya kata-kata kasar didalamnya, mereka berempat tetap berusaha mencari cara untuk bisa menonton film tersebut. Tanpa disangka efek samping dari menonton film tersebut amat besar. Mereka berempat dan banyak anak lainnya yang telah menonton film tersebut menjadi selalu berbicara kata-kata kasar. Mereka tidak bisa mengontrol sumpah serapah tersebut keluar dari mulut mereka. Para guru dan orang tua beranggapan bahwa hal tersebut sudah melewati batas dan mulai menyalahkan Terrance dan Phillip karena film mereka dianggap sebagai awal dari semua itu. Bahkan lingkup permasalahn makin membesar saat rombongan orang tua yang dipimpin oleh ibu dari Kyle mulai menyalahkan Kanda, negara asal duo komedian tersebut. Konflik yang awalnya "hanya" soal anak-anak yang mengucapkan kata-kata kotor di kelas makin melebar menjadi konflik antar negara bahkan bisa memicu akhir dunia!

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE DEVIL'S BACKBONE (2001)

Tidak ada komentar
Imajinasi luar biasa seorang Guillermo del Toro dalam menyajikan filmnya memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Visualisasi yang ia lakukan terhadap dunia dalam filmnya selalu unik dan penuh imajinasi liar. Begitu pula dengan desain karakter-karakter yang muncul mulai dari sosok Hellboy yang adaptasi komik sampai sosok Faun dalam film Pan's Labyrinth yang tidak hanya unik namun juga ikonik. Tentunya sangat menarik jika del Toro menggarap sebuah film hantu. Nyatanya sang sutradara sudah pernah melakukan hal tersebut 11 tahun lalu disaat namanya belum mencapai puncak ketenaran, sebelum ia menyuguhkan pada kita salah satu film adaptasi komik terbaik, sebelum ia memperlihatkan sebuah kisah ala Alice in Wonderland dalam nuansa gothic yang kental. Tentu saja kita tidak akan disuguhkan sebuah horror hantu-hantuan yang konvensional dalam The Devil's Backbone. Film ini ber-setting pada tahun 1939 disaat terjadi perang sipil di Spanyol. Ceritanya berfokus pada seorang bocah bernama Carlos (Fernando Tielve) yang tinggal di sebuah panti asuhan setelah sang tutor meninggalkannya disana. Tapi ternyata hari-hari pertama Carlos disana tidak berjalan terlalu menyenangkan.

Carlos harus mendapat gangguan dari sesama anak panti asuhan bernama Jaime (Íñigo Garcés) dan Jacinto (Eduardo Noriega), seorang penjaga sekolah yang tidak ramah serta tidak segan bertindak kasar. Tapi yang paling mengerikan dan misterius adalah disaat Carlos melihat sosok hantu anak-anak semenjak hari pertama ia datang di panti asuhan tersebut. Daripada menyajikan sebuah film horror hantu konvensional mengenai hantu yang muncul untuk menakut-nakuti bahkan melukai korbannya, dalam film ini Guillermo del Toro lebih memilih pendekatan yang berbeda. The Devil's Backbone bukanlah sebuah horror hantu-hantuan biasa yang murni bertujuan untuk menakuti penontonnya. The Devil's Backbone adalah apa yang disebut sebagai sebuah ghost tale. Dunia yang diciptakan oleh del Toro dalam film ini adalah dunia dimana manusia dan hantu memang hidup berdampingan dengan motif dan tujuan masing-masing. Biasanya kita disuguhkan sebuah film hantu yang hanya menampilkan sosok hantu sebagai makhluk yang murni jahat, absolut tanpa penjelasan yang pasti atau hanya tentang sosok hantu yang ingin balas dendam saja dengan menakut-nakuti tanpa sebuah karakterisasi yang mendalam, maka the one who sighs dalam film ini terasa lebih mendalam.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE YELLOW SEA (2010)

12 komentar
Setelah mengawali debut dengan The Chaser yang brutal dan menegangkan, sutradara Na Hong-jin kembali lewat film keduanya, The Yellow Sea yang rilis dua tahun kemudian. Lewat The Chaser Na Hong-jin memang mampu menciptakan sebuah crime-thriller yang begitu menegangkan dan terasa begitu emosional. Layaknya thriller Korea yang sedang populer sekarang ini, The Chaser juga punya banyak momen brutal dan berdarah meski masih dalam taraf yang normal. Dalam film keduanya ini, Na Hong-jin kembali mengajak dua aktor yang menjadi tokoh utama dalam The Chaser yaitu Ha Jung-woo dan Kim Yoon-seok, bedanya di The Yellow Sea keduanya bertukar peran dimana Ha Jung-woo menjadi protagonist dan Kim Yoon-seok adalah tokoh antagonist. Judul film ini sendiri diambil dari sebuah nama laut yang memisahkan Cina dan Korea dimana laut tersebut nantinya juga akan menjadi turning point dalam kehidupan tokoh utama film ini, Gu-nam (Ha Jung-woo, seorang supir taksi yang tengah menjalani kesulitan hidup. 

Gu-nam sebenarnya adalah orang Korea yang kemudian memilih menjadi imigran ke Cina. Disana ia bekerja sebagai seorang supir taksi. Tapi pekerjaannya tersebut tidak cukup untuk membiayai kehidupannya dan istrinya. Karena itulah sang istri kemudian memilih pergi ke Korea untuk mencari pekerjaan, sedangkan Gu-nam memilih tetap di Cina dan melanjutkan kehidupannya sebagai supir taksi. Waktu terus berjalan hingga enam bulan berlalu, tapi tidak ada kabar dari sang istri. Gu-nam sendiri makin mengalami kesulitan finansial dan terjebak hutang besar. Hobinya bermain mahjong juga turut membuat keuangannya makin buruk. Dalam kondisi itulah tiba-tiba ia mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan dari seorang bos kriminal bernama Myun-ga (Kim Yoon-seok). Myun-ga menjanjikan sejumlah uang yang bisa melunasi semua hutang Gu-nam. Tapi tentunya pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan biasa. Myun-ga meminta Gu-nam untuk membunuh seseorang di Seoul. Meskipun awalnya menolak, akhirnya Gu-nam menerima pekerjaan tersebut. DI Seoul Gu-nam akhirnya tidak hanya menjalankan pekerjaannya tapi juga mencoba mencari sang istri. Tapi ternyata semuanya tidak berjalan sesuai rencana.

12 komentar :

Comment Page:

TOTAL RECALL (1990)

Tidak ada komentar
Diantara bintang film action era 80 sampai 90an saya paling suka Arnold Schwarzenegger. Dibandingkan para kompatriotnya, Arnie punya deretan film yang lebih beragam, mulai dari film action murni, science-fiction hingga komedi. Saya sendiri besar di era saat televisi banyak menyiarkan film-film dari Arnie, Stallone, Van Damme dan Steven Seagal, dan diantara mereka saya paling suka saat menonton film-film Arnie. Sebagai anak kecil saya jelas tidak menyukai film Van Damme dan Seagal yang terlalu terlalu serius. Sedangkan Stallone lebih dikenal lewat deretan film Rambo yang saat itu tidak saya sukai. Praktis nama Arnold Schwarzenegger dengan film-film macam The Terminator dan Predator yang menampilkan berbagai set aksi yang "beda" sampai Junior dan Kindergarten Cop yang kental unsur komedinya lebih berhasil dalam menarik perhatian saya sebagai anak-anak. Bahkan hingga sekarang saya masih menganggap film-film dari sang Governator ini jauh lebih seru diikuti karena memang tema dan nuansanya yang lebih beragam. Salah satu diantara film science-fiction yang dibintanginya dan mendapat status klasik adalah Total Recall yang diadaptasi dari cerita karangan Philip K. Dick yang berjudul We Can Remember it for You Wholesale. FYI, film-film macam Blade Runner, Minority Report dan The Adjustment Bureau juga diadaptasi dari cerita Philip K. Dick.

Bumi di tahun 2084 sudah menjadi sangat modern. Transportasi dan perjalanan antar planet sudah bukan lagi menjadi hal yang tidak mungkin. Tapi disaat Saturnus menjadi tujuan berlibur paling digemari, Douglas Quaid (Arnold Schwarzenegger) justru memimpikan berkunjung ke Mars yang saat itu tengah dilanda konflik antara pemerintah dengan para pemberontak. Walaupun sudah memiliki hidup yang bahagia bersama sang istri, Lori (Sharon Stone), tapi Quaid terus bermimpi dan terobsesi untuk mengunjungi Mars, tapi kondisi Mars yang bergejolak membuat sang istri tidak pernah mau diajak kesana. Sampai suatu hari Quaid melihat iklan mengenai perusahaan bernama "Rekall" yang menjanjikan penanaman memori terhadap kliennya. Implan memori tersebut memungkinkan Quaid untuk mempunyai memori berlibur di Mars tanpa harus benar-benar datang kesana. Tapi ditengah-tengah proses penanaman memori tersebut terjadi keanehan. Quaid ternyata sudah pernah berkunjung ke Mars dan nampaknya memori tersebut telah dihapus oleh seseorang. Bahkan setelah itu Quaid menjadi incaran para agen rahasia. Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah Quaid memang sempat menjadi agen rahasia di Mars? Ataukah itu semua hanya mimpi dan merupakan bagian dari memori yang ditanamkan oleh pihak Rekall?

Hebatnya Total Recall adalah film ini mampu menggabungkan cerita science-fiction yang menarik dan penuh kejutan dengan adegan aksi yang cukup seru dan berbalut kekerasan tingkat tinggi. Unsur sci-fi dalam film ini tidak bisa dibilang cerdas, karena basic sains-nya sendiri tidaklah terlalu mendalam dan tidak mementingkan logika. Walaupun tidak cerdas, namun penggambaran nuansa futuristik dalam film ini sangat kreatif dan mampu melebur begitu baik dengan ceritanya. Berbagai gadget dan efek futuristik yang ada mungkin akan terlihat biasa saja bahkan mungkin konyol jika dilihat memakai kacamata zaman sekarang, tapi hebatnya semua itu masih sanggup menghadirkan nuansa yang fun untuk ditonton. Alat hologram misalnya yang jelas sudah tidak lagi terlihat revolusioner sekarang, tapi dalam film ini alat tersebut masih bisa terlihat keren. Efeknya yang masih minim CGI juga merupakan kelebihan sendiri, karena dengan penanganan yang tepat, non-CGI justru akan terlihat sangat keren. Semua kelebihan tersebut masih ditambah dengan tingkat kekerasan yang tinggi ala sutradara Paul Verhoeven. Layaknya Robocop dan Straship Trooper, dalam Total Recall kita bukan hanya disuguhi adegan aksi berbalut ledakan saja tapi juga momen gore yang cukup banyak. Berbagai adegan seperti tubuh terpotong, darah mengalir sampai kepala pecah atau bermutasi secara menjijikkan jelas jadi suguhan utama. Kombinasi yang sempurna untuk menciptakan sebuah action/sci-fi yang menghibur.
Tapi Total Recall tidak berhenti pada level menghibur saja, karena cerita yang ditampilkan memang termasuk cerdas dan penuh kejutan. Pertanyaan tentang "mana kenyataan yang sebenarnya?" terus muncul di kepala saya sampai filmnya berakhir. Filmnya dikemas dengan begitu baik sehingga misteri tersebut berhasil disimpan dengan baik. Kejutan demi kejutan tak terduga (meski ending-nya biasa saja) terus muncul dari awal hingga akhir film. Akan lebih banyak kejutan tak terduga di film ini diluar pertanyaan awal mengapa Quaid bisa mempunyai memori tentang Mars. Disamping misteri, Total Recall juga mampu menghadirkan pertanyaan demi pertanyaan dala diri para penonton. "Apakah kita yang sekarang memang diri kita yang sesungguhnya?" Sebuah pertanyaan yang terasa cukup liar dan mungkin terasa konyol bagi beberapa orang tapi cukup layak untuk dipikirkan lebih dalam lagi pemaknaannya. Dengan baik film ini juga menampilkan sebuah misteri yang sama misteriusnya dengan mimpi, yaitu memori. Apakah memori yang kita punyai sekarang memang sungguh-sungguh pernah kita alami di masa lalu? Ataukah hanya mimpi? Ataukah ada kenyataan lain? Seperti mimpi, memori juga menyimpan misteri yang begitu luas dan mendalam, nyaris tak terpecahkan.
Faktor lain penentu keberhasilan film ini jelas ada pada sosok Arnold Schwarzenegger. Tapi sebelum itu saya ingin memberikan credit lebih pada Sharon Stone yang ternyata terlihat begitu hot disini disamping aktingnya yang termasuk lumayan. Kembali pada Arnie, untuk urusan akting jelas dia tidak berakting dengan kelas Oscar. Beberapa momen terasa menggelikan, tapi justru disitulah kelebihan Arnie. Apa yang saya rindukan dari penampilan Arnie dalam film selain tubuhnya yang berotot adalah bagaimana dia melontarkan dialog demi dialognya. Kadang terasa konyol disaat dia mengucapkan suatu dialog tapi ekspresi atau intonasi yang ia munculkan tidak sesuai atau terasa begitu datar, tapi lagi-lagi itulah yang disebut guilty pleasure. Tentu ada alasan kenapa sang Governator punya banyak memorable quote mulai dari "I'll be back", "Hasta La Vista Baby" sampai "Get to da choppa!". Beberapa kali saya dibuat tertawa melihat wajahnya yang nampak tidak nyaman dalam melontarkan dialog, atau saat ia mengatakan berbagai one line dengan intonasi datar dan logat ciri khasnya itu. Saya juga suka saat Arnold mengeluarkan teriakan khasnya yang selalu terdengar "Yaaaaaarrggggh!" dengan muka yang sedikit lebay. Tapi lagi-lagi berbagai hal itulah yang membuat saya menyukai Arnold Schwarzenegger. Overall, Total Recall adalah sebuah kombinasi film action yang sangat menghibur, science-fiction yang sederhana tapi kreatif dan kejutan yang cerdas. Melihat versi 1990 ini saya jadi ragu akan remake-nya, karena apa yang membuat versi originalnya bagus adalah kisah yang masih original, serta keberadaan Paul Verhoeven dan Arnold. Tanpa semua itu apakah versi modernnya bisa memuaskan?

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE CABIN IN THE WOODS (2012)

6 komentar
Pada awal tahun film ini tidaklah masuk daftar tunggu saya, bahkan mendengar judulnya pun tidak pernah. Tapi setelah tahu bahwa Joss Whedon terlibat sebagai salah satu penulisnya bersama Drew Goddard, saya mulai penasaran. Apalagi setelah membaca berbagai review yang begitu memuji film ini dan menganggap The Cabin in the Woods sebagai sebuah gebrakan baru dalam genre film horror. Melihat trailer-nya juga makin menguatkan rasa pensaran saya pada film ini. Dari trailer yang ada sepertinya semua sudah bisa menebak bahwa kisah dalam film ini akan mengambil sebuah template standar dalam film horror yang kemudian akan diberi modifikasi. Pertanyaannya adalah modifikasi macam apa yang ditampilkan duo Goddard-Whedon disini? The Cabin in the Woods sebenarnya sudah selesai dibuat pada Mei 2009 dan dijadwalkan rilis pada Februari 2010, tapi kemudian diundur hingga musim panas 2011 untuk memberikan waktu mengkonversi filmnya menjadi 3D. Tapi rencana tersebut batal dan pada akhirnya setelah MGM mengalami kebangkrutan film ini kembali mengalami kemunduran jadwal rilis dan akhirnya resmi dirilis pada Maret 2012.

Dasar ceritanya memang klise, yakni tentang lima orang remaja yang berlibur ke sebuah pondok di tengah hutan. Kelima remaja tersebut juga punya karakteristik khas film-film horror yang bertemakan cabin in the woods. Curt (Chris Hemsworth) adalah tipikal pria pahlawan yang kuat, Dana (Kristen Connolly) adalah gadis baik-baik yang biasanya selamat atau mati terakhir, Holden (Jesse Williams) adalah sang pria intelektual, Marty (Fran Kranz) adalah si bodoh yang kerjanya selalu mabuk dan menghisap ganja, dan terakhir tentunya ada sosok gadis pirang yang hanya memiliki keseksian, yaitu Jules (Anna Hutchision). Mereka berlima berniat untuk berpesta pora di pondok milik sepupu Curt. Tapi tentunya kita sudah tahu bahwa akan terjadi peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka. Mereka satu persatu akan mati oleh pembunuh atau sosok makhluk misterius, kemudian film akan ditutup dengan salah satu dari mereka masih hidup tapi biasanya akan ada twist yang sama sekali tidak nge-twist disaat sang pembunuh ternyata masih hidup dan menyerang sang survivor. Tapi The Cabin in the Woods tidak sesimple itu, karena disisi lain ada sebuah organisasi yang nampaknya turut campur tangan dalam menebar kengerian.

6 komentar :

Comment Page:

PRIMER (2004)

7 komentar
Saya yakin semua orang pernah mempunyai pengalaman dimana mereka menonton film dan sama sekali tidak mengerti apa maksud dari film tersebut saat pertama kali menontonnya. Ada kalanya terkadang sebuah film tidak cukup hanya ditonton sekali untuk bisa dimengerti apa isi didalamnya. Bahkan bagi para penonton yang tidak malas untuk berpikiri sekalipun ada batas dimana kemampuan nalar tidak sanggup menandingi kerumitan yang ditawarkan sebuah film. Sejauh ini, saya sendiri pernah tiga kali mengalami hal tersebut, yaitu disaat menonton dua film David Lynch, Eraserhead dan Inland Empire serta film Primer ini. Bedanya, jika dalam kedua film Lynch tersebut kerumitan datang dari makna dalam filmnya dan penonton bebas memberikan interpretasi masing-masing terhadap film tersebut, sedangkan dalam Primer kita akan menemukan sebuah sajian dengan plot yang berjalan tidak secara konvensional dan berisikan dialog-dialog ilmiah yang susah dimengerti orang awam. Primer sendiri berhasil memenangkan Grand Jury Prize pada Sundance tahun 2004 dan mendapat status cult. Sebuah pencapian hebat dari sebuah film yang hanya memiliki bujet $7,000 dan berbagai aspeknya ditangani oleh satu orang saja. Ya, Shane Carruth selaku sutradara juga merupakan produser, penulis naskah, penata musik, editor sekaligus menjadi pemain utamanya.

Pada awalnya, Primer akan memperkenalkan penontonnya pada Aaron (Shane Carruth), Abe (David Sulivan), Robert (Casey Gooden) dan Phillip (Anand Upadhyaya) yang tengah mengerjakan sebuah proyek ilmiah. Mereka berusaha menciptakan sebuah penemuan terbaru dengan melakukan berbagai uji coba di garasi milik Aaron. Setelah berbagai kegagalan, akhirnya Aaron dan Abe menemukan fakta bahwa mesin yang mereka kerjakan tersebut mampu digunakan untuk mengurangi massa sebuah benda. Tapi dibalik keberhasilan tersebut mereka menemukan suatu fakta yang aneh. Keanehan terjadi saat benda yang mereka masukkan dalam mesin itu dikeluarkan dimana terdapat protein dalam jumlah yang harusnya baru terbentuk dalam jangka waktu beberapa tahun. Disitulah mereka mulai menyadari bahwa mesin tersebut bisa jadi merupakan sebuah mesin waktu. Primer diisi dengan begitu banyak dialog ilmiah yang mengandung unsur fisika yang amat kental. Jika anda bukan orang yang cukup ahli dalam bidang fisika maka jangan harap mengerti apa yang mereka bicarakan. Hebatnya, semua aktor yang bermain disini nampak begitu menguasai apa yang mereka bicarakan, padahal belum tentu mereka memahami istilah-istilah fisika yang ada dalam dialog tersebut.

7 komentar :

Comment Page:

POULTRYGEIST: NIGHT OF THE CHICKEN DEAD (2006)

5 komentar
Troma Entertainment adalah sebuah distributor film yang didirikan oleh Lloyd Kaufman dan Michael Herz pada tahun 1974. Tapi film-film rilisan Troma bukanlah film biasa, karena banyak dari film-film tersebut yang mendapat status cult. Film yang dirilis oleh Troma biasanya adalah sebuah b-movie yang mengumbar berliter-liter darah dan penuh dengan hal-hal menjijikkan. Meski film-film tersebut sering dikategorikan sebagai film bodoh, tapi selalu ada orang-orang yang mencintai film semacam itu. Oleh karenanya film-film rilisan Troma sering mendapat status cult. Beberapa judul yang terkenal antara lain Tromeo and Juliet, Mother's Day dan tentunya seri The Toxic Avengers yang sudah mencapai empat film dan rencananya akan dibuat film kelimanya. Tapi diantara film-film rilisan Troma, salah satu yang paling mendapatkan respon positif baik secara pendapatan ataupun review dari para kritikus adalah film yang judulnya terlihat jelas sebagai sebuah parodi dari Poltergeist dan Night of the Living Dead ini. Tapi ternyata tidak hanya judulnya saja, karena jalan ceritanya memiliki beberapa kemiripan dengan kedua judul diatas, yang membedakan adalah pengemasannya. Tentu saja pengemasannya gila, karena ini adalah film rilisan Troma.

Film ini sudah dibuka dengan adegan gila saat dua tokoh utamanya, Arbie dan Wendy berhubungan seks ditengah pemakaman Indian yang terkenal angker. Mereka berhubungan seks dalam rangka perpisahan setelah keduanya lulus SMA dan Wendy akan pergi berkuliah sedangkan Arbie tetap dirumah untuk merawat ibunya yang idiot dan ayahnyayang buta. Tanpa mereka ketahui setelah mereka meninggalkan tempat tersebut terjadi sebuah kejadian horror yang juga menjijikkan. Satu semester kemudian, keduanya bertemu lagi dalam sebuah momen yang tidak disangka. Saat itu tanah pemakaman tersebut telah diratakan dan dibangun menjadi sebuah restoran siap saji bernama American Chicken Bunker. Saat itu Arbie yang berada di tengah demonstrasi yang memprotes pembangunan restoran tersebut secara mengejutkan mendapati Wendy berada diantara demonstran dan menjadi salah satu aktivis lesbian. Mendapati cintanya menjadi lesbian, Arbie yang patah hati memilih melamar pekerjaan di restoran tersebut. Tanpa mereka ketahui, roh Indian yang murka telah bersiap melakukan terornya dengan cara "merasuki" bahan baku makanan restoran tersebut.

5 komentar :

Comment Page:

ACTRESSES (2009)

2 komentar
Terkadang entah sadar atau tidak, kita seringkali memandang sosok selebritis termasuk para aktris dengan tidak adil. Kita melihat mereka seolah sebagai sosok bergelimang harta dan kepopuleran, kita memandang mereka sebagai sosok glamour, kita memandang mereka sebagai seorang entertain yang dituntut tampil sempurna, tapi sadarkah bahwa kita terkadang tidak memandang mereka sebagai manusia biasa yang juga membutuhkan hidup layaknya manusia normal?  Kita mengharapkan mereka yang notabene seorang entertainer untuk menjadi sosok yang ideal dan sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan, dan mereka telah berusaha memenuhi segala ekspektasi tersebut, tapi jika mereka sekali saja melakukan hal yang tidak sesuai dengan harapan publik, seolah selebritis tersebut sudah melakukan dosa besar yang membuatnya layak dicaci. Padahal orang-orang umum banyak yang jauh lebih buruk dari mereka. Bekerja keras seharian, harus menjadi sosok yang sempurna di mata masyarakat, belum lagi kehilangan privasi, sungguh kasihan bukan? Karena itulah diawal film ini, ada sebuah narasi yang mengatakan bahwa "Di dunia ini ada tiga jenis manusia, yaitu pria, wanita dan aktris"

Dalam Actresses kita akan disuguhi sebuah film unik dengan feel dokumenter yang cukup kuat. Dibuat tanpa naskah yang pasti dan dibintangi oleh enam orang aktris yang memerankan diri mereka masing-masing, film yang disutradarai oleh E J-yong ini mencoba menangkap gambaran sosok aktris dalam sisi yang jarang dilihat oleh masyarakat umum. Pada sebuah malam natal, majalah Vogue mengadakan sebuah pemotretan dan mengundang enam akris Korea yang dianggap paling cantik dan mewakili tiap generasi mulai dari usia 20an hingga 60an. Tentu saja bukan hal yang mudah menyatukan keenam aktris yang masing-masing jelas punya ego sendiri-sendiri. Apalagi beberapa dari mereka juga datang kesana dengan membawa persoalan pribadi. Pengemasannya yang tanpa naskah dimana sang sutradara hanya memberikan sebuah situasi adegan yang kemudian akan diimprovisasi sendiri oleh masing-masing aktrisnya membuat segala interaksi yang muncul dalam film ini begitu nyata. Emosi yang muncul dalam kisahnya memang tidak meletup-letup layaknya drama penuh dramatisasi, namun terasa begitu nyata dan berhasil sampai kepada penonton. Para aktris yang bermain juga nampaknya sangat menikmati bagian mereka disini, lagipula mereka juga menjadi diri mereka sendiri, jadi jelas terlihat mereka begitu enjoy dalam berperan.

2 komentar :

Comment Page:

POLISSE (2011)

Tidak ada komentar
Polisse adalah film yang berhasil meraih Jury Prize pada Cannes Film Festival tahun 2011 lalu. Kemudian di ajang Cesar Awards (Oscar-nya Prancis) film ini juga berhasil meraih 13 nominasi yang merupakan jumlah nominasi terbanyak sepanjang sejarah ajang penghargaan tersebut. Jumlah tersebut juga mengalahkan film peraih Oscar, The Artist yang "hanya" meraih 10 nominasi walaupun pada akhirnya Polisse hanya memenangkan 2 diantaranya yaitu Most Promising Actress dan Best Film Editing. Judul filmnya sendiri adalah bentuk pengucapan anak kecil terhadap kata Police. Filmnya sendiri berkisah tentang salah satu divisi dalam kepolisian Prancis yang mengurusi masalah perlindungan anak, yakni CPU (Child Protection Unit). Kisahnya sendiri didasarkan pada berbagai kasus nyata yang terjadi di Prancis yang didapat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maiwenn yang merupakan sutradara, penulis naskah sekaligus salah satu pemain utama film ini. Disajikan dengan gaya dokumenter, film ini cukup unik dengan tidak menyajikan kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak sebagai poros utama ceritanya, tapi lebih menyoroti anggota CPU.

Film ini akan membawa kita mengunjungi kehidupan beberapa anggota CPU dan menengok konflik-konflik dalam kehidupan pribadi mereka. Dari situ kita akan diajak untuk melihat sosok polisi sebagai manusia biasa yang punya setumpuk masalah. Tidak seperti film lainnya mengenai sepak terjang polisi yang biasanya membuat sosok para polisi sebagai pahlawan meski tetap memiliki banyak kekurangan, dalam Polisse bukan itu yang ditampilkan. Para polisi khususnya yang tergabung dalam CPU adalah para polisi yang amat manusia. Kita akan melihat para polisi ini terkadang begitu peduli pada korban, terkadang terkesan tidak ramah, bahkan mayoritas dari mereka adalah orang yang terkesan membenci para pelaku pelecehan seksual pada anak. Mereka bukan lagi menegakkan hukum saja tapi terkadang juga terbawa kedalam area personal dimana mereka membenci para pelaku tersebut. Polisi disini bukan sosok pahlawan meski melakukan banyak hal berjasa tapi mereka juga bukan oknum yang penuh kejelekan dan pantas dipersalahkan meski seringkali melakukan kekeliruan dalam bertugas. Terkadang juga disinggung hal mengenai sulitnya menjadi polisi dimana mereka selalu dibenci masyarakat entah bagaimanapun kondisinya. Kita juga akan melihat sisi manusia para polisi dari cara mereka berinteraksi satu sama lain, mereka bercengkerama bersama, bertengkar, bahkan timbul benih cinta diantara mereka. Semuanya tersaji dengan begitu realistis.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BICARA SOAL SELERA

29 komentar
Kali ini postingan saya bukan ditujukan untuk me-review sebuah film, melainkan sekedar berbagi pengalaman dan pendapat saya berkaitan dengan selera menonton film. Selama ini saya sempat mendengar beberapa komentar orang-orang di sekitar saya tentang selera mereka dalam menonton film. Tapi diantara komentar-komentar tersebut ada beberapa komentar yang sering membuat saya sedikit risih mendengarnya. Yang pertama adalah sebuah komentar yang saya dengar saat sedang berkumpul dengan beberapa teman saya. Kami yang sedang ngobrol-ngobrol di kamar kost milik saya saat itu sedang mulai menjadikan film sebagai topik pembicaraan. Awalnya kami membicarakan tentang The Avengers yang saat itu tinggal baru tayang sekitar satu mingguan. Saya yang saat itu menjadi satu-satunya diantara kami yang sudah menonton mulai sedikit sharing tentang pendapat saya akan film itu, yah sembari menunjukkan review yang saya tuliskan di blog ini, yah hitung-hitung sedikit pamer sih. Pembicaraan kemudian beralih pada sosok Robert Downey Jr. dimana salah satu diantara teman saya menanyakan film apa saja yang pernah dibintangi Downey Jr. Saya lalu menyebutkan beberapa judul film mulai dari Sherlock Holmes, Trophic Thunder, Zodiac sampai Due Date.

Begitu sampai pada judul Due Date salah seorang teman saya yang lain bertanya "Due Date itu film apaan?" yang langsung saya jawab sebagai film komedi. Kemudian terjadilah percakapan yang kurang lebih seperti ini:

"Oh komedi, kirain drama. Kalo drama sih males nonton!" 
"Loh kenapa males nonton drama?" 
 "Males aja,nggak seru. Lagian masak cowok suka nonton drama"
"Emang udah sering nonton film drama?"
"Ya nggak pernah lah, males amat. Mending nonton film eksyen"

29 komentar :

Comment Page:

THE BOURNE TRILOGY

9 komentar
Diadaptasi dari seri novel The Bourne karangan Robert Ludlum, trilogi ini berhasil mengangkat nama Matt Damon sebagai aktor laga. Sebelumnya memang Matt Damon sudah cukup dikenal namun lebih sebagai aktor drama berwajah baby face. Tapi siapa sangka dia bisa berubah menjadi seorang Jason Bourne yang beraksi dengan begitu garang dalam trilogi ini. Dalam rangka menyambut rilisnya The Bourne Legacy, (sayangnya tidak ada Matt Damon disana) saya kembali menonton ulang trilogi yang disutradarai oleh dua orang ini, yaitu Doug Liman pada film pertamanya, dan Paul Grengrass menuytradarai dua film terakhirnya. Trilogi yang total telah berhasil meraih pendapatan diatas $900 Juta ini juga sering dianggap sebagai salah satu trilogi film aksi terbaik yang pernah dibuat. Jadi sehebat apakah aksi Matt Damon sebagai Jason Bourne?

THE BOURNE IDENTITY (2002)
Pada installment pertama ini kita akan diajak mengikuti perjalanan Jason Bourne yang suatu hari ditemukan oleh para nelayan terapung di tengah laut dengan luka tembak di punggungnya. Begitu sadar ia malah tidak tahu siapa dirinya dan mengapa ia bisa mendapatkan luka tembak tersebut. Perjalanan Jason Bourne untuk menemukan identitasnya dimulai. Bahkan perjalanannya ini juga turut melibatkan seorang gadis bernama Marie (Franka Potente) yang awalnya hanya memberi tumpangan pada Bourne tapi malah berakhir sebagai buronan polisi. Tidak hanya jadi buronan polisi, Jason dan Marie juga diburu oleh beberapa orang pembunuh yang ternyata suruhan dari seorang petinggi CIA yang juga pimpinan dari sebuah operasi bernama Treadstone, Alexander Conklin (Chris Cooper). Tentu ssaja dengan mudah kita sudah bisa menebak bahwa sebenarnya Jason Bourne adalah salah satu anak buah dari Conklin. Tapi misteri sebenarnya bukanlah itu, melainkan kenapa Jason Bourne bisa tiba-tiba tak sadarkan diri di tengah laut dan hilang ingatan. Misteri yang ada memang tidak terlalu kompleks namun dibungkus dengan baik sehingga tetap menarik untuk diikuti.

Tentu saja yang jadi sorotan utama adalah adegan aksinya. Dalam The Bourne Identity semua adegan aksi berhasil dieksekusi dengan baik. Adegan perkelahian tersaji dengan cepat, brutal namun dibungkus dengan pergerakan kamera yang dinamis dan tidak membuat pusing. Disinilah kehebatan Matt Damon sebagai seorang aktor laga yang baik teruji. Sosoknya meyakinkan dan terlihat gagah sebagai agen rahasia yang sangat terlatih. Bicara adegan perkelahian film ini tentu tidak akan terlepas dari sebuah adegan yang memperlihatkan Jason Bourne menggunakan sebuah pulpen untuk menyerang lawannya. Ya, enam tahun sebelum Joker memperlihatkan sulap mematikan dengan pulpen, Jason Bourne sudah menunjukkan bahwa alat tulis itu bisa jadi sebuah senjata yang berbahaya. Tidak hanya adegan baku hantam, adegan kejar-kejaran yang biasanya tidak pernah jadi favorit saya juga tersaji dengan seru disini. Yang spesial adalah karena adegan mini cooper yang bisa mengalahkan banyak mobil dan motor polisi bisa terlihat meyakinkan tanpa terasa terlalu dibuat-buat. Overall film pertama ini memang menyajikan kisah yang sederhana dan standar namun bisa terasa menarik berkat unsur misteri yang dikemas dengan baik dan tentunya sajian aciton yang mumpuni. (4/5)

THE BOURNE SUPREMACY (2004) 
Berganti nahkoda dari Doug Liman menjadi Paul Grengrass, The Bourne Supremacy melanjutkan kisah film pertamanya dimana Bourne dan Marie hidup berdua dengan tenang di India selama dua tahun. Selama itu pula Bourne terus dihantui mimpi buruk mengenai ingatan masa lalunya. Tidak ada yang bisa ia ingat secara pasti kecuali bahwa mimpi buruk tersebut berkaitan dengan misi pertamanya saat menjadi agen rahasia dulu. Disisi lain, pihak CIA yang dipimpin Pamela Landy (Joan Allen) tengah melakukan sebuah misi mendapatkan sebuah file rahasia. Tapi ditengah misi muncul pihak misterius yang mencuri file tersebut dan membunuh dua anggota CIA. Berdasarkan sidik jari yang ditemukan, diketahui bahwa orang misterius tersebut adalah Jason Bourne. Padahal disaat bersamaan Bourne sedang berada di India dan nyawanya dan Marie sedang terancam oleh seseorang. The Bourne Supremacy jelas mengikuti pakem sebuah sekuel, yaitu tampil dengan sajian aksi yang lebih besar. Adegan aksinya masih tetap memukai seperti pada Identity, hanya saja saya tidak lagi merasakan perasaan spesial seperti saat pertama kali melihat aksi Jason Bourne di film sebelumnya. Sajian aksinya memang lebih besar dan lebih banyak, tapi sayang tidak seefektif dalam film pertamanya, termasuk adegan kejar-kejaran di akhir film yang over the top tapi terasa kepanjangan dan kehilangan greget.

Meski greget untuk porsi aciton-nya sedikit berkurang, The Bourne Supremacy punya kelebihan berkaitan dengan jalan ceritanya yang lebih kompleks. Pada awalnya saya sempat merasa misteri yang muncul kurang menarik, tapi ternyata setelah beberapa saat akhirnya mulai terasa seru dan ternyata punya jalinan yang lebih kompleks daripada film pertamanya. Sebenarnya film kedua ini punya potensi besar menjadi sebuah kisah yang menyentuh, karena aksi Bourne disini tidak hanya dilandasi keinginan mencari tahu masa lalunya tapi juga masalah balas dendam, tapi sayang porsi balas dendamnya tidak terlalu digali. Karakter Jason Bourne sendiri terlihat makin keren disini. Setiap dia beraksi sosoknya makin terlihat luar biasa dan tentunya nama Matt Damon sebagai ikon film action makin mantap disini. Secara keseluruhan The Bourne Supremacy tidak sebagus The Bourne Identity, tapi itu lebih karena apa yang saya lihat di film keduanya sudah pernah saya lihat di film pertamanya, khususnya dalam adegan aksinya, hanya saja porsi di film kedua ini jauh diperbesar. Temponya juga makin dipercepat. Walaupun begitu sudah pasti bahwa The Bourne Supremacy adalah sekuel yang solid. (3.5/5)

THE BOURNE ULTIMATUM (2007) 
Film ketiga ini melanjutkan kisah langsung setelah film keduanya, dimana Jason Bourne masih melanjutkan pencarian terhadap jati diri dan masa lalunya yang sesungguhnya. Pencarian Bourne berujung pada sebuah temuan mengenai operasi bernama Blacbriar. Bourne yakin bahwa penelusuran terhadap backbriar akan menuntunnya menemukan masa lalunya yang telah lama hilang. Tentu saja pencarian ini tidak akan mudah karena Bourne harus mencari hingga berkeliling dunia mulai dari Moscow, London, Paris, New York, Turin, hingga Tangier di Maroko. Seperti biasa Bourne juga masih akan diburu oleh CIA yang juga mengandalkan beberapa pembunuh bayaran. The Bourne Ultimatum langsung dimulai dengan tempo yang cepat, tanpa basa-basi dan tempo cepat itu terus terjaga hingga akhir film. Layaknya sebuah penutup trilogi, film ini memberikan semuanya, mulai dari adegan aksi yang makin banyak dan makin seru, misteri yang lingkupnya makin besar, dan tentunya sosok Jason Bourne yang segala kemampuannya sebagai seorang super soldier makin dieksplorasi disini. Kita benar-benar akan disuguhi Bourne yang kuat secara fisik, cerdas juga taktis. Kehebatan otak Bourne paling terlihat dalam sebuah adegan keren saat ia dan seorang wartawan bernama Simon Ross mencoba kabur dari kejaran CIA.

Tidak hanya itu, film ini juga seolah merangkum dua film sebelumnya dengan memberikan beberapa referensi atau bisa dibilang homage didalamnya. Jika dalam The Bourne Supremacy saya merasa adegan aksinya sedikit kehilangan greget, maka dalam Ultimatum greget seperti film pertama kembali terasa. Apalagi adegan perkelahian hand to hand yang berkurang di film keduanya kembali terlihat disini. Cerita yang disuguhkan terasa lebih dalam dengan kisah tentang organisasi dalam hal ini CIA yang mengandalkan kebobrokan untuk mencapai tujuan. Kisah seseorang yang mencari jati diri dan bertahan selama tiga film mungkin akan terasa terlalu diulur, tapi trilogi Bourne ditangani dengan benar sehingga penonton tidak akan pernah merasa kecewa dengan kisahnya yang diulur. Selalu ada misteri baru yang muncul untuk diungkap dan tentunya dibalut dengan adegan-adegan aksi yang tersaji dengan baik. Mungkin pada akhirnya trilogi ini punya konklusi yang bisa dibilang tidak "heboh" tapi sebenarnya punya ironi tersendiri setelah berbagai hal yang harus dilalui Bourne untuk mencari masa lalunya. Pada akhirnya trilogi ini khususnya The Bourne Ultimatum yang menjadi film terbaik dalam trilogi ini juga salah satu film action terbaik yang pernah dibuat. Suguhan adegan aksi yang dibalut dengan begitu baik dan maksimal, Matt Damon sebagai Jason Bourne yang bermain dengan baik, dan tidak lupa rangkaian cerita penuh intrik yang selalu menarik disimak. (4/5)

9 komentar :

Comment Page:

THE PIRATES! BAND OF MISFITS (2012)

2 komentar
Diadaptasi dari seri buku The Pirates! karangan Gideon Defoe, film yang di UK dirilis dengan judul The Pirates! In an Adventure with Scientists (sama dengan judul bukunya) ini sebenarnya bukan termasuk unggulan dalam jajaran film animasi yang rilis tahun 2012 ini. Dibandingkan film-film animasi macam Brave, Madagascar 3: Europe's Most Wanted, Ice Age Continental Drift bahkan sampai Rise of the Guardian, film yang memakai teknik clay animation ini jelas bukan termasuk unggulan untuk meraup pundi-pundi uang. Tapi jika bicara masalah kualitas sebenarnya film ini menjanjikan. Diproduksi oleh Aardman Animations yang dulu sempat memenangkan Best Animated Feature Film pada Oscar 2006 lewat Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit membuat film ini punya potensi untuk menjadi sebuah kejutan menyenangkan di jajaran animasi tahun ini. Bahkan dari review-review positif yang muncul bukan tidak mungkin film ini akan menjadi kandidat kuat peraih Oscar untuk film animasi terbaik tahun ini. Membaca judul versi UK dari film ini sebenarnya sudah mendeskripsikan garis besar cerita filmnya, yaitu tentang petualangan sekelompok bajak laut dengan seorang ilmuwan.

Pirate Captain (disuarakan Hugh Grant) adalah seorang kapten bajak laut yang sangat dicintai oleh semua kru yang ia miliki. Mereka menganggap sang kapten adalah bajak laut terbaik dan menjalani hari-hari mereka sebagai bajak laut dengan riang gembira meskipun tidak pernah mendapat hasil jarahan yang banyak. Mereka selalu asalkan bisa makan ham dan mereka juga gembira karena keberadaan Polly, seekor burung beo yang jadi peliharaan mereka. Tapi ada satu hal yang dirasa kurang oleh sang kapten, yaitu impiannya untuk mendapat penghargaan Pirate of the Year yang masih belum terwujud walaupun sudah berulang kali ikut serta dalam perlombaan tersebut. Sang Pirate of the Year adalah bajak laut yang berhasil mendapatkan jarahan paling banyak. Pirate Captain kembali mengikuti perlombaan dengan semangat dan keyakinan, sampai satu per satu muncul saingan yang jauh lebih hebat, punya jarahan yang lebih banyak dan kepalanya dihargai jauh lebih tinggi. Walaupun sempat menyadari bahwa dirinya hanya bajak laut yang menyedihkan dibanding saingan-saingannya, tapi karena merasa tidak terima dipermalukan akhirnya Pirate Captain memilih tetap mengikuti perlombaan tersebut. Maka dimulailah petualangan sang kapten bersama kru-nya untuk mencari harta jarahan sebanyak mungkin, bahkan sampai harus bertemu dengan Charles Darwin (Davind Tennant) yang memberi jalan keluar bagi sang kapten untuk mendapatkan harta berlimpah.

2 komentar :

Comment Page:

FRANKENSTEIN (1931)

2 komentar
Saya yakin semua orang pernah mendengar nama Frankenstein, dan saya yakin mayoritas orang akan mengira bahwa Frankenstein adalah sosok monster berbadan besar, berkepala kotak dan punya besi di leher. Tapi sebenarnya sosok yang bernama Frankenstein adalah sang pencipta dari makhluk tersebut yang bernama Victor Frankenstein dalam novelnya atau menjadi Henry Frankenstein dalam versi filmnya. Tapi munculnya banyak sekuel dari film ini yang tetap memajang nama Frankenstein dalam judulnya meski hanya menampilkan sang monster membuat monster itu sering disebut sebagai Frankenstein. Pada masanya, monster Frankenstein sendiri menjadi ikon dari film horror monster bersama Dracula yang identik dengan Bella Lugosi. Bahkan awalnya peran sebagai monster dalam film ini juga diberikan pada Bella Lugosi, tapi akibat beberapa konflik termasuk Bella yang tidak menyukai karakterisasi Frankenstein yang menurutnya hanyalah monster yang "kosong" tidak seperti Dracula. Akhirnya peran ini diberikan pada Boris Karloff. Hal ini nantinya akan disebut publik sebagai keputusan terburuk dalam karir Lugosi. Ironisnya 12 tahun kemudian saat karirnya mulai meredup Lugosi akhirnya bermain juga sebagai sang monster dalam film Frankenstein Meets the Wolf Man. Namun apapun itu tetap saja sosok monster ciptaan Frankenstein dan Dracula sekaligus Boris Karloff dan Bella Lugosi adalah ikon horror monster pada saat itu, pada saat dimana film bersuara pertama kali dibuat.

Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel berjudul Frankenstein; or, The Modern Prometheus karangan Mary Shelley yang terbit tahun 1818. Seperti yang sudah kita ketahui kisahnya adalah tentang seorang ilmuwan bernama Henry Frankenstein (Colin Clive) yang sangat terobsesi untuk menciptakan sebuah kehidupan. Ya, Henry Frankenstein memang begitu terobsesi untuk bermain sebagai Tuhan dan menciptakan sebuah makhluk hidup. Untuk mewujudkan impiannya, Henry melakukan berbagai eksperimen dan akhirnya menggunakan tubuh yang ia ambil dari pemakaman dan otak yang dicuri oleh asistennya, Fritz (Dwight Frye) dari laboratorium milik Dr. Waldman (Edward Van Sloan) yang juga merupakan mantan dosen Henry. Tapi ternyata otak yang diambil Fritz bukanlah otak manusia normal melainkan otak dari seorang pembunuh. Pada akhirnya impian Frankenstein menciptakan sebuah kehidupan memang terwujud, tapi ternyata ciptaannya tersebut lebih mirip seperti monster yang ganas daripada manusia normal. Kini Frankenstein justru harus menghadapi makhluk ciptaannya sendiri. Bahkan hingga 81 tahun setelah filmnya rilis,sosok monster yang diperankan Boris Karloff masih terasa mengerikan. Dengan make-up dari Jack Pierce ditambah penampilan Boris Karloff yang amat baik, sosok sang monster mampu tergambar dengan begitu baik disini baik dari tampilan visual ataupun berbagai gerak dan perbuatannya.

2 komentar :

Comment Page:

SNOWTOWN (2011)

Tidak ada komentar
Film ini diangkat dari sebuah kejadian nyata, yaitu sebuah kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Australia. Kasus yang dikenal dengan sebutan The Snowtown Murders atau Bodies in Barrels Murders terjadi antara tahun 1992 sampai 1999 dimana John Bunting adalah pelaku utama dalam pembunuhan yang menewaskan 11 orang tersebut (awalnya tuduhan adalah 12 orang namun satu diantaranya tidak cukup bukti).Dalam kasus pembunuhan yang disebut sebagai kasus pembunuhan terburuk sepanjang sejarah Australia tersebut, tidak hanya John Bunting saja yang menjadi terdakwa, karena ada beberapa orang yang juga ikut membantu John baik itu ikut dalam pembunuhan maupun membantu menutupi pembunuhan tersebut. Sampai akhirnya sutradara Justin Kurzel mengangkat kasus tersebut dalam film ini dengan naskah yang ditulis oleh Shaun Grant. Yang unik dari filmnya adalah ceritanya tidak berdasarkan sudut pandang dari John Bunting melainkan James Vlassakis yang didakwa bersalah atas empat kasus pembunuhan. Sebuah pilihan yang unik karena biasanya sebuah film yang diangkat dari kasus pembunuhan berantai akan mengambil sudut pandang dari sang pembunuh dan menengok latar belakangnya.

Kisahnya berawal dari kasus pelecehan seksual yang menimpan ketiga putera dari Elizabeth Harvey (Louise Harris) dimana salah satunya adalah James Vlassakis (diperankan oleh Lucas Pittaway yang mengingatkan saya pada Heath Ledger dan Ray Toro). Pelecehan tersebut dilakukan oleh seorang pedofil yang tinggal di seberang rumah mereka yang ironisnya pria itu sedang menjadi kekasih ibu mereka. Merasa tidak mendapat bantuan yang memuaskan dari polisi, Elizabeth menceritakan hal ini pada Barry (Richard Green), seorang gay yang sedang berniat menjadi transsexual. Barry lalu memperkenalkan Elizabeth pada John Bunting (Daniel Henshall). John kemudian mulai melakukan teror kepada si pria pedofil itu mulai dari yang "ringan" seperti menggeber motornya tengah malam tepat didepan pintu rumah pria tersebut sampai membuang bangkai rusa yang telah dipotong dan dihancurkan didepan rumah pria tersebut. Kehadiran John ternyata membuat kehidupan keluarga tersebut kembali nyaman. James sendiri melihat sosok ayah yang selama ini ia rindukan ada pada John. Tapi lama kelamaan sosok John yang sebenarnya mulai muncul. John yang begitu membenci pedofil dan gay mulai menyeret James kedalam cara hidup John yang selalu mengandalkan kekerasan dan tidak segan membunuh orang yang tidak ia sukai. James sendiri tidak kuasa menolak karena John adalah sosok yang tidak hanya menyeramkan namun juga penuh wibawa.
Dengan mengangkat sudut pandang James, jelas film ini tidaklah akan menyoroti persoalan motif mengapa pembunuhan ini terjadi. Kita dibiarkan melihat John sebagai sosok yang absolut dan tanpa latar belakang.Sudut pandang James jelas membuat kita menyaksikan sisi lain dari kasus tersebut. Tidak bisa dipungkiri siapa saja yang mendengar adanya kasus ini pasti mengalihkan perhatiannya pada John dan mencoba mencari latar belakang kehidupannya yang sudah cukup banyak tersebar di internet. Tapi saya yakin lebih sedikit orang yang menengok tentang latar belakang James. Mungkin banyak tapi rasanya tidak akan terlalu mendalaminya. Nampaknya hal itulah yang membuat Shaun Grant lebih memilih menulis naskahnya lewat sudut pandang James. Bersama James kita akan melihat bagaimana sosok bocah yang polos dan menjadi korban beberapa pelecehan seksual pada akhirnya dipaksa untuk berubah menjadi mesin pembunuh oleh John. Ini adalah kisah transformasi good to evil juga victim to culprit. Hal itu ditampilkan dengan baik oleh film ini. Dari awal kita akan melihat sosok James sebagai remaja yang polos dan sangat pasrah terhadap keadaannya. Dia tidak pernah melawan saat dilecehkan. Lalu perlahan kedatangan John memaksa James ikut terlibat, hingga akhirnya sampai pada ending yang seolah menggambarkan James yang telah menutup pintu kebaikan hatinya.
Interaksi antara John dan James terlihat sebagai interaksi pemegang kekuatan dengan yang lemah. John sebagai pihak yang kuat pada awalnya mencengkeram James secara perlahan, membuat James yang rindu akan sosok ayah tidak bisa lepas dan tidak rela melepasnya. Kemudian perlahan John mulai memantapkan cengkeraman tersebut dan membawa James menjadi bagian dirinya. Membuat James harus selalu menuruti perintahnya  James menjadi tidak sedikitpun berdaya dan ironisnya menjadi tidak ada bedanya dengan saat ia harus menerima pelecehan seksual diawal cerita. Hal itu terlihat saat John dan rekannya Robert sedang menyiksa Troy. Yang dilakukan James bukanlah menghentikan keduanya atau mencari bantuan melainkan memilih menghilangkan rasa sakit Troy dengan membunuhnya langsung. Film ini memang berhasil dalam hal menampilkan dilema yang dialami oleh James yang begitu nyata sebagai sosok ketidak berdayaan. Nuansa kelam juga terasa kental sepanjang film lewat gambar-gambar diam yang begitu dingin dan musiknya yang menghadirkan kesan misterius sekaligus menegangkan. Beberapa momen juga menghadirkan kesadisan yang mampu membuat meringis. Ada dua momen paling membuat miris yaitu momen pemotongan rusa dan penyiksaan Troy. Memang pada akhirnya adegan pembunuhan terhadap tiap korbannya nyaris tidak ditampilkan demi menghormati keluarga korban, namun semua itu diganti dengan diperdengarkannya rekaman suara saat korban dibunuh lengkap dengan adegan slow motion. Sebuah penyajian yang cukup unik.

Mempunyai dasar cerita yang kuat dan kisah dengan kedalaman cerita yang cukup ternyata tidak membuat Snowtown berakhir sebagai film yang bagus. Film ini sayangnya punya cara penyajian yang terasa membingungkan. Seringkali tiba-tiba kita akan disuguhkan karakter baru yang entah siapa dan berperan sebagai apa. Berbagai momen juga sering terasa tidak jelas apa motif yang melatar belakangi terjadinya hal tersebut. Satu kekurangan tersebut nyatanya berdampak sangat besar pada keseluruhan film. Ceritanya seringkali tidak jelas bergulir kearah mana dan terasa membingungkan. Saya sendiri sampai harus menonton ulang untuk tahu bagaimana rangkaian cerita yang lengkap dan siapa saja karakter yang muncul didalamnya. Bahkan rasanya membutuhkan bantuan dari wikipedia untuk bisa memahami banyak hal dalam film ini. Tentu saja hal tersebut amat sangat disayangkan, mengingat Snowtown nyaris punya segalanya untuk jadi sebuah film kriminal yang bagus. Cerita menarik yang diangkat dari kisah nyata, konflik karakter yang menarik dan mendalam, adegan-adegan sadis yang membuat ngilu, sampai akting para pemainnya yang baik adalah berbagai kelebihan yang dipunyai Snowtown. Bahkan selain seputar James, film ini juga tidak lupa menyoroti tentang masyarakat yang seolah peduli tentang sebuah kasus dimana mereka sering membicarakannya dan larut dalam obrolan tentang bagaimana cara menghentikan sebuah hal buruk yang terjadi, namun semua itu hanya terhenti pada obrolan tanpa ada tindakan nyata. Tapi sayang semua itu seolah tenggelam hanya karena penyajiannya yang membingungkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HI5TERIA (2012)

1 komentar
Satu lagi film omnibus lokal bertemakan horror rilis tahun ini setelah sebelumnya ada Takut: Faces of Fear yang rilis tahun 2008 dan FISFIC yang rilis tahun 2011 lalu. Meski begitu saya belum merasakan sebuah keberhasilan dalam kedua omnibus tersebut seperti apa yang saya rasakan pada omnibus horror yang baik seperti dua film Phobia. Dalam kedua omnibus tersebut sangat terasa bahwa kelemahan terbesar adalah tidak mampunya membangun tensi dengan durasi yang singkat. Khusus untuk FISFIC kelemahan jelas terasa pada bujet yang kecil dan para sineas yang masih belum cukup berpengalaman. Tapi kedua omnibus tersebut punya satu kesamaan, yakni segmen terbaik terletak di bagian paling akhir dan sama-sama dibintangi oleh Shareefa Danish. Jika di Takut: Faces of Fear dia muncul dalam Dara yang nantinya akan dibuat film panjangnya, Rumah Dara, sedangkan dalam FISFIC dia tampil di segmen Taksi. Dalam Hi5teria sendiri ada lima judul film horror yang disutradarai oleh lima sutradara yang bisa dibilang masih baru dimana mereka ada yang baru memulai debutnya dan ada juga yang pernah menyutradarai film pendek. Apakah hasilnya memuaskan?

1 komentar :

Comment Page:

THE DICTATOR (2012)

4 komentar
Sacha Baron Cohen adalah salah satu aktor watak terbaik yang ada sekarang. Lihat saja bagaimana ia mampu menciptakan karakter-karakter unik nan memorable dalam film-film komedinya. Mulai dari pria bergaya rapper bernama Ali G, seorang fashionista gay bernama Bruno dan tentunya reporter Kazakhstan bernama Borat. Karakter-karakter itu sendiri diciptakan Sacha Baron Cohen sebagai bentuk sindiran atas berbagai pihak, bisa dibilang sebuah karakter satir. Selain jago dalam memainkan karakter ciptaannya sendiri, Sacha Baron Cohen juga piawai dalam memainkan tokoh lain seperti saat ia menajdi Inspektur Gustav di Hugo atau saat dia bermain di Sweeney Todd. Bahkan di tahun 2014 nanti rencananya ia akan bermain dalam biopic Freddie Mercury dan berperan sebagai Mercury sendiri. Tapi sebelumnya di 2012 ini Sacha Baron Cohen kembali merilis film dengan karakter ciptaannya sendiri. The Dictator yang kembali disutradarai oleh Larry Charles ini terinspirasi pada buku Zabibah and the King yang ditulis diktator Irak Sadam Hussein. Sedangkan Sacha Baron Cohen disini memerankan General Aladeen, seorang diktator dar sebuah negara fiktif di Afrika Utara bernama Wadiya. General Aladeen sendiri adalah karakter yang dibuat oleh Baron Cohen berdasarkan sosok Muammar Gaddafi.

The Dictator mengisahkan tentang kediktatoran General Aladeen yang sering bertindak kejam terhadap orang lain. Tapi kekejaman tersebut bukan dikarenakan Aladeen adalah pria berdarah dingin namun lebih karena kebodohan. Aladeen pernah mengeksekusi banyak orang dengan alasan konyol termasuk saat ia mengeksekusi ilmuwan nuklir miliknya, Nadal (Jason Mantzoukas) hanya karena senjata nuklir yang dibuat Nadal bagi Aladeen mempunyai ujung yang bulat dan tidak tajam seperti yang diinginkan Aladeen. Baginya roket dengan ujung bulat tidak mengerikan dan terlihat bagaikan sebuah dildo raksasa. Kediktatoran dan pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Aladeen sendiri mendapat kecaman dari banyak pihak khususnya Amerika Serikat. Hal itu membuat negara luar mengancam akan menyerang Wadiya jika Aladeen tidak bersedia menghentikan kediktatorannya. Akhirnya untuk membahas perihal tersebut Aladeen berkunjung ke New York. Tapi sesampainya disana saat malam hari Aladeen diculik. Bukannya dibunuh, Aladeen justru harus kehilangan jenggot kesayangan yang juga menjadi ciri khasnya. Tanpa jenggot dan pakaian kebesarannya, tidak ada yang mengenali Aladeen. Untungnya di tengah kekacauan Aladeen dibantu oleh Zoey (Anna Faris) yang ironisnya merupakan demonstran anti-Aladeen.

4 komentar :

Comment Page:

A BETTER LIFE (2011)

Tidak ada komentar
Cukup mengejutkan melihat seorang Chris Weitz yang selama ini identik dengan film-film blockbuster macam The Golden Compass dan The Twilight Saga: New Moon memutuskan membuat sebuah drama kecil dengan bujet hanya $10 juta. Bandingkan dengan The Golden Compass yang bjetnya mencapai $180 Juta atau New Moon yang punya bujet $50 Juta. Bahkan dalam A Better Life, Chris tidak memakai seorangpun pemain bintang. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah saat Demian Bichir yang merupakan pemain utama film ini mendapatkan nominasi Best Actor pada Oscar 2012 lalu. Bichir berhasil mengalahkan aktor yang lebih diunggulkan macam Leonardo DiCaprio (J.Edgar), Michael Fassbender (Shame) ataupun Ryan Gosling (Drive & The Ides of March) yang sempat jadi kuda hitam dalam bursa nominasi. Saya sendiri belum pernah mendengar filmnya sampai suatu saat iseng mencari info tentang Chris Weitz dan menemukan judul film ini. Tapi saya baru tertarik menontonnya jelas setelah Demian Bichir mendapatkan nominasi Oscar. A Better Life sendiri aslinya berjudul The Gardener dan naskahnya berasal dari cerita yang ditulis oleh Roger L. Simon.

Kisah dalam film ini sebenarnya sangat sederhana, predictable dan sudah sering kita temui dalam berbagai film drama. Berkisah tentang Carlos Galindo (Demian Bichir) yang merupakan seorang imigran gelap dari Meksiko yang selama ini hidup di Amerika tanpa surat-surat. Galindo hidup sangat sederhana dengan menjadi seorang tukang kebun bagi Blasco Martinez (Joaquin Cosio). Pekerjaannya tersebut jelas menghasilkan uang yang tidak banyak, apalagi Galindo harus menghidupi puteranya Luis (José Julián) yang sudah beranjak remaja. Hubungan Galindo dan Luis sendiri tidak pernah akrab karena Galindo selalu sibuk bekerja hingga malam hari bahkan di hari Minggu. Meski begitu dia amat menyayangi putera tunggalnya tersebut dan rela bekerja keras demi sang putera meskipun Luis terlihat tidak pernah menghargai kerja keras sang ayah. Sampai suatu hari Galindo mendapat kesempatan memperbaiki hidupnya saat dia membeli truk dan usaha perkebunan milik Blasco yang ingin memulai usaha baru di Meksiko. Setelah sempat menolak akhirnya Galindo tergiur juga pada bisnis tersebut. Tapi ternyata nasib baik masih belum menyertai Galindo dan bisnisnya. Tapi siapa sangka hal itu malah bisa menjadikan hubungan antara Galindo dengan Luis menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SAVING PRIVATE RYAN (1998)

4 komentar
Jika anda menanyakan kepada orang-orang awam atau bisa dibilang orang yang "suka nonton" dan bukan "suka film" tentang film perang apa yang bagus, maka jawabannya tidak akan jauh-jauh dari dua judul, yaitu Pearl Harbour atau Saving Private Ryan. Setidaknya itulah pengalaman saya saat iseng-iseng bertanya pada beberapa orang. Hal itu tiddak mengejutkan karena kedua film tersebut termasuk film perang yang diprduksi pada masa sekarang dan meraih keberhasilan komersial. Tapi Saving Private Ryan jauh lebih spesial jika dibandingkan film perang arahan Michael Bay tersebut. Selain pendapatannya yang sedikit diatas Pearl Harbour, film arahan Spielberg itu lebih superior secara kualitas dimana kita bisa lihat saat Pearl Harbour dicerca habis-habisan karena dramanya yang luar biasa kacangan, Saving Private Ryan justru mendapat 11 nominasi Oscar termasuk Best Picture dan memenangkan lima diantaranya meski pada akhirnya gagal menjadi film terbaik. Namun Spielberg sendiri berhasil meraih Best Director keduanya. Berdurasi 15 menit lebih pendek dari Pearl Harbour, film ini nyatanya adalah contoh dan bukti bahwa Steven Spielberg adalah orang yang sanggup menggabungkan action sequence memikat dengan kisah dramatik yang mengena sehingga membuat filmnya tidak terasa kering layaknya film-film Michael Bay.

Mengambil setting pada masa Perang Dunia II, film ini akan mengajak kita melihat kenyataan pahit yang mengiringi keluarga Ryan saat tiga dari empat Ryan bersaudrara harus gugur dalam medang perang dalam waktu yang bersamaan. Bahkan satu dari empat bersaudara tersebut yang bernama James Ryan (Matt Damon) sampai sekarang tidak diketahui kabarnya dan menghilang setelah terjadi kesalahan teknis dalam misinya. Maka demi ibu dari keempat bersaudara tersebut diutuslah sepasukan yang terdiri dari delapan prajurit yang dipimpin Kapten John Miller (Tom Hanks) untuk mencari Ryan dan membawanya pulang. Tapi tentunya tidak mudah mencari seorang prajurit dalam sebuah medan perang. Seperti yang dikatakan Kapten John Miller, mencari Ryan sama saja seperti mencari jarum di tumpukan jarum, sulit membedakan satu sama lain. Jika belum menonton filmnya dan hanya mendengar premisnya saja mungkin terasa tidak masuk akal, dimana untuk menyelamatkan nyawa seorang prajurit sampai harus mengirimkan sepasukan beranggotakan delapan prajurit. Mempertaruhkan banyak nyawa untuk menyelamatkan satu nyawa. Tapi begitu menonton langsung filmnya kita akan mulai memaklumi dan bahkan mungkin mendukung keputusan tersebut.

Spielberg memang tahu betul bagaimana untuk mengikat penontonnya supaya sedari awal sudah betah menonton film ini. Impresi awal memang sangat penting dalam sebuah film dan Spielberg sangat menyadari hal tersebut. Maka untuk membuat penontonnya terikat sedari awal, dimunculkanlah opening yang luar biasa itu. Sebuah adegan peperangan di Pantai Omaha yang disajikan selama kurang lebih 27 menit seolah benar-benar menjerat penonton supaya tidak memalingkan pandangan sedikitpun dari filmnya. Adegan pembuka tersebut memang terasa bombastis dengan menampilkan ledakan dan desingan peluru yang bergemuruh. Lokasi yang ditampilkan  dengan begitu detil sekaligus nyata dan memakai sekitar 1.500 figuran membuat adegan tersebut makin terasa luar biasa. Tidak hanya bombastis namun juga terasa realistis. Yang makin membuat adegan tersebut spesial adalah ditampilkannya momen-momen yang menunjukkan betapa mengerikannya perang itu. Memang tidak sehorror dan segelap yang ditampilkan dalam Platoon atau Apocalypse Now memang, tapi kita masih tetap akan melihat sajian horror tersebut seperti prajurti yang terluka parah sampai kehilangan anggota tubuhnya, kegugupan dan ketakutan yang mereka rasakan sebelum dan saat perang dimulai. Adegan muntah di kapal dan adegan saat ada seorang prajurit yang mencari-cari potongan tangannya yang terputus adalah dua contoh adegan yang dengan baik menggambarkan itu semua.
Meski masih tampil layaknya film-film Spielberg lain yang terasa ringan dan bisa ditonton oleh semua kalangan sebagai film hiburan, Saving Private Ryan juga masih punya kandungan cerita dan makna yang kaut didalamnya. Nuansanya juga lebih gelap dibandingkan film-film Spielberg yang dirilis akhir-akhir ini. Jika dibandingkan dengan War Horse yang sesama film perang, Saving Private Ryan jelas lebih mendalam dan lebih gelap. Film ini berusaha mempertanyakan beberapa aspek dan pertanyaan yang sering muncul di medan perang. Yang paling nyata tentu saja mengenai harga nyawa setiap orang di medan perang. Apakah harga nyawa mereka semua sama? Disaat biasanya yang jadi perdebatan adalah mengorbankan satu orang demi nyawa banyak orang, maka disini yang muncul adalah mengorbankan nyawa banyak orang hanya demi satu orang yang bisa jadi tidak pantas menerima pengorbanan sebesar itu. Pergiolakan yang terjadi mengenai hal itu ditampilkan dengan baik disaat para pasukan penyelamat saling mempertanyakan pentingnya misi tersebut. Ada juga sebuah hal yang disinggung mengenai pihak kita dan pihak lawan dalam perang. Ada sebuah dialog menarik yang kira-kira berbunyi "Jika Tuhan ada di pihak kita lalu siapa yang ada di pihak musuh?" 

Saya tidak tahu apakah para prajurit di medan perang pernah iseng berpikir "Siapa yang sebenarnya benar? Pihak kita atau musuh?" Sebuah pertanyaan yang tentu bisa mengancam nyawa sang prajurit jika ia berperang dengan memikirkan hal tersebut. Tentu saja dalam medan perang sudah pasti pihak yang kita bela akan kita anggap sebagai yang paling benar dan apa yang musuh lakukan selalu salah. Itu juga yang membuat saya cukup tergelitik melihat bagaimana para prajurit disini begitu bernafsu membunuh begitu banyak musuh tapi begitu satu saja teman mereka terbunuh seolah musuh telah melakukan sebuah dosa yang begitu besar dan tak terampuni. Semua pertanyaan moral tersebut tersaji dengan baik disini meskipun tidak sampai begitu mendalam karena Saving Private Ryan memang lebih menekankan pada momentum perangnya tapi selalu berusaha supaya tidak pernah kehilangan hati. Masing-masing karakter utamanya juga berhasil ditampilkan dengan baik dengan ciri ataupun dilema masing-masing meski tidak terlalu ditonjolkan tapi tetap efektif. Hal itu membuat momen saat ada karakter yang terbunuh, kematiannya tidak terasa lewat begitu saja. Mulai dari Jackson (Barry Pepper) si sniper dengan kemampuan luar biasa yang selau berdoa, Fish (Adam Goldberg) yang seorang Yahudi dan sering berkata seenaknya, sampai Upham (Jeremy Davies) yang baru pertama terjun ke medan perang dan mengalami ketakutan luar biasa. Tentunya ada juga Vin Diesel sebagai Caparzo walaupun sayangnya hanya muncul sebentar. Saving Private Ryan memang tidak terlalu mendalam untuk urusan mengangkat ambiguitas moral dan horor dalam perang, namun semua itu tetap ada. Akhir ceritanya juga sangat mudah ditebak, tapi proses menuju akhir itulah yang menyenangkan. Lagipula momen perang sebelum ending juga punya tingkat keseruan yang tidak kalah dengan opening-nya. Sebuah film perang yang begitu seru tanpa pernah kehilangan bobot ceritanya.

4 komentar :

Comment Page: