TO THE WONDER (2012)

5 komentar
Cukup aneh seorang Terrence Malick hanya membutuhkan waktu setahun untuk membuat film setelah sebelumnya jarak terpendek antara filmnya adalah lima tahun. Bahkan ia pernah absen selama 20 tahun setelah membuat Days of Heaven. Namun semenjak The Tree of Life sang sutradara sepertinya menjadi "rajin" dan mulai melakukan pembuatan beberapa film bahkan ada yang dibuat secara back-to-back. Kabarnya setelah The Tree of Life, Malick sedang membuat tiga film, yakni To the Wonder, sebuah film tanpa judul yang dibintangi Ryan Gosling, Christian Bale dan Michael Fassbender (sebelumnya berjudul Lawless) serta Knight of Cups yang juga dibintangi Christian Bale. Parade film Malick diawali oleh To the Wonder yang dibintangi Ben Affleck, Olga Kurylenko, Rachel McAdams serta Javier Bardem. Sedari awal proyek Malick yan satu ini sudah menarik perhatian saya. Mulai dari cerita para pemainnya yang menuturkan bahwa proses syuting dilakukan tanpa memakai naskah dan seperti biasa begitu bergantung pada peran Malick di ruang editing. Kemudian saat trailer penuh pertamanya dirilis saya langsung dibuat jatuh cinta dengan segala keindahan visual serta scoring megah yang ada. Untuk pertama kalinya ada sebuah trailer yang membuat saya meneteskan air mata karena keindahannya. Film ini juga dikenal sebagai film terakhir yang di-review oleh Roger Ebert sebelum meninggal.

To the Wonder berkisah tentang hubungan sepasang kekasih, yaitu seorang pria Amerika bernama Neil (Ben Affleck) dan wanita Prancis bernama Marina (Olga Kurylenko). Keduanya bertemu saat Neil sedang berada di Prancis dan mulai saling jatuh cinta. Marina sendiri sudah mempunyai seorang puteri hasil dari pernikahannya dengan seorang pria yang akhirnya malah meninggalkan Marina demi mengejar wanita lain. Akhirnya Neil dan Marina memutuskan untuk tinggal bersama di Amerika yang menjadi rumah Neil. Bersama sang puteri juga, Marina mulai menjalani kehidupan baru di sebuah tempat yang baru bersama pria yang ia cintai. Namun hubungan keduanya tidak selalu berjalan mulus. Bahkan ada suatu momen disaat Marina kembali ke Paris disaat visa miliknya expired dan meninggalkan Neil sendiri di Amerika. Pada saat itulah Neil kembali bertemu dengan Jane (Rachel McAdams) yang merupakan kekasihnya di masa lalu. Keduanya pun mulai merasakan kembali rasa cinta yang sempat mereka rasakan dahulu. Disisi lain ada cerita tentang Father Quintana (Javier Bardem), seorang pendeta yang tengah mengalami krisis kepercayaan dan merasa bahwa Jesus bagaikan mantan kekasih dan cintanya dari masa lalu.

5 komentar :

Comment Page:

ROMANTIKA DALAM GELAP

Tidak ada komentar
Kali ini postingan saya tidak akan membahas tentang review sebuah film ataupun artikel lainnya mengenai dunia perfilman. Kali ini saya akan melakukan "sedikit" promosi tentang pementasan teater yang saya sutradarai dan naskahnya merupakan hasil tulisan saya sendiri. Teater? Ya, dalam tiga tahun saya menulis di blog ini memang saya tidak pernah sekalipun membahas mengenai pertunjukkan teater dan tetek bengeknya, karena hal itu sudah saya tuliskan di blog milik teater kampus yang saya ikuti (lebih jelasnya silahkan kunjungi blog "Keluarga Rapat Sebuah Teater"). Selama tiga tahun saya berkuliah memang saya bergabung dengan sebuah teater kampus di Psikologi UGM yang bernama Keluarga Rapat Sebuah Teater (KRST). Namun kali ini saya bukan akan membahas pengalaman saya berteater selama tiga tahun ataupun mengenai KRST, namun seperti yang saya singgung diatas saya akan berpromosi mengenai sebuah pementasan yang akan diadakan sekitar satu minggu lagi.

Pada tanggal 2 Mei 2013 besok akan diadakan sebuah pementasan teater berjudul "Romantika dalam Gelap" yang posternya bisa anda lihat di bagian atas posting. Pementasan tersebut akan diadakan tepatnya pukul 19:00 WIB di Gedung Societet Militer, Taman Budaya Yogyakarta. Selain itu, sekitar dua minggu berselang tepatnya tanggal 19 Mei 2013 pementasan kedua akan digelar di Purwokerto dengan jam yang sama dan berlokasi di Auditorium Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman. Tiket pre-sale sudah dijual mulai tanggal 24 April 2013 di Sekretariat KRST yang berletak di Fakultas Psikologi UGM. Namun bagi yang tidak berkesempatan datang membeli langsung bisa menghubungi CP (Aga: 089640244288 atau Rhoyan: 085726440099). Harga untuk tiket pre-sale adalah Rp 10.000 sedangkan untuk on the spot Rp 15.000. Untuk pre-sale hanya dijual sebanyak 100 lembar dari total 250 tiket, jadi bagi yang berminat bisa secepatnya menghubungi contact person diatas.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

JAVA HEAT (2013)

6 komentar
Sutradara Conor Allyn bisa dibilang merupakan salah satu sutradara yang paling ambisius dalam industri perfilman Indonesia beberapa tahun terakhir. Bagaimana tidak? Lihat usahanya dalam menciptakan trilogi epic dalam Merah Putih, Darah Garuda serta Hati Merdeka yang punya bujet raksasa dan kabarnya melibatkan banyak kru dari Hollywood meski pada akhirnya kurang berhasil baik secara finansial maupun kualitas. Namun satu hal yang pasti bahwa dalam merealisasikan ambisinya tersebut Conor Allyn tidak pernah melakukannya secara asal-asalan. Tentunya tidak butuh waktu lama baginya untuk menyiapkan proyek ambisius berikutnya dalam Java Heat ini. Memang kisah yang coba diangkat terasa cukup ambisius, yakni mengenai konflik agama, terorisme hingga perpaduan budaya, namun yang paling terasa sebagai bentuk kesungguhan Conor dalam membuat proyek besar tentunya adalah keterlibatan dua aktor besar Hollywood, yakni Kellan Lutz dan Mickey Rourke. Ya, ini tidak sama seperti KKD yang melontarkan omongan-omongan palsu tentang merekrut aktris besar dunia, karena dua nama diatas memang termasuk dalam jejeran aktor papan atas Hollywood khususnya Mickey Rourke yang pernah mendapat nominasi Oscar. Dengan bujet $15 juta, akankah Java Heat menjadi sebuah film aksi yang mengesankan?

Hashim (Ario Bayu) adalah anggota kesatuan Detasemen 88 yang tengah menyelidiki kasuh bom bunuh diri yang menewaskan puteri dari Sultan Jawa, Sultana (Atiqah Hasiholan). Dalam peristiwa tersebut ada seorang saksi mata bernama Jake (Kellan Lutz) yang mengaku sebagai seorang asisten dosen dari Amerika yang tengah mempelajari sejarah seni di Jawa. Tapi setelah melalui beberapa penyelidikan, Hashim menyadari bahwa Jake bukan sekedar orang asing biasa yang tidak tahu apapun. Kondisi semakin kompleks saat diketahui bahwa Achmed (Mike Muliadro) seorang pimpinan Islan garis keras bekerja sama dengan seorang teroris bernama Malik (Mickey Rourke). Sebuah sajian cerita yang sebenarnya sangat predictable dan berada di kelas yang tidak jauh beda dari film-film aksi kelas B di Hollywood. Tapi diawal saya akan membahas terlebih dahulu poin-poin yang paling digembar-gemborkan dalam Java Heat. Yang pertama jelas keterlibatan Kellan Lutz dan Mickey Rourke. Kellan Lutz tidak menampilkan kualitas akting yang berbeda dibandingkan saat bermain di Twilight Saga. Emosi dan ekspresi standar bahkan cenderung datar serta chemistry yang kurang kuat dengan Ario Bayu. Sedangkan Mickey Rourke bukan pada akting terbaiknya, namun dia sudah melakukan hal terbaik yang bisa ia lakukan dengan tokoh yang karakterisasinya terbatas. Akting Rourke bisa dibilang memang yang terbaik diantara pemain lain dalam Java Heat.

6 komentar :

Comment Page:

THE GRANDMASTER (2013)

1 komentar
Apakah kita masih belum cukup diberikan suguhan film-film tentang Yip Man atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ip Man? Semenjak tahun 2008 yang diawali oleh film Ip Man yang dibintangi oleh Donnie Yen, sudah ada sekitar lima film termasuk The Grandmaster versi Wong Kar-wai ini. Selain dua film yang dibintangi Donnie Yen praktis film-film lainnya tidak saling berhubungan sehingga seolah-olah para filmmaker sedang berlomba untuk membuat film Ip Man versi mereka masing-masing. Saya menyukai dua film yang dibintangi Donnie Yen dimana keduanya sukses menggabungkan unsur drama dengan segala adegan aksi berbalut martial arts yang luar biasa. Kemudian datang Wong Kar-wai, sutradara yang selama ini lebih dikenal lewat film-film drama arthouse. Saya sendiri baru menyaksikan satu filmnya, yakni In the Mood For Love, dan dari situ saya cukup kaget bahwa Wong akan membuat film bertemakan martial arts. Satu hal yang membuat saya tertarik pada The Grandmaster tentu saja adalah rasa penasaran saya akan visi seorang Wong Kar-wai jika diaplikasikan pada sebuah film kung-fu. Apakah ada balutan sinematografi indah seperti dalam film-filmnya yang lain?

Berperan sebagai sosok Yip Man ada Tony Leung yang juga termasuk aktor langganan Wong Kar-wai (bermain juga di In the Mood for Love dan memenangkan Best Actor di ajang Cannes Film Festival). Selain itu ada nama Zhang Ziyi serta Song Hye-kyo melengkapi nama tenar di jajaran cast-nya. The Grandmaster membuka kisahnya pada tahun 1930-an saat Yip Man bertempat tinggal di Foshan, sebuah daerah di Selatan Cina. Yip Man beserta keluarganya hidup bahagia dengan harta berlimpah dan statusnya sebagai seorang master kung-fu Wing-chun. Suatu hari datanglah Gong Yutian (Wang Qingxiang) seorang master kung-fu dari Utara yang menantang para ahli kung-fu dari Selatan untuk bertarung dengan anak didiknya, Ma San (Zhang Jin). Berhasil memenangkan tantangan tersebut, Yip Man ternyata masih harus berurusan dengan Gong Er (Zhang Ziyi) dimana tantangan tersebut berakhir dengan sebuah pertarungan yang pada akhirnya justru menyatukan mereka sebagai teman baik. Waktu berlalu dan pasukan Jepang mulai menjajah Cina. Yip Man dan keluarganya terkena dampak, dan tidak hanya itu karena masih ada begitu banyak konflik lain dalam film ini...begitu banyak, bahkan terlampau banyak sekaligus acak.

The Grandmaster jelas sebuah sajian yang jauh berbeda dari Ip Man khususnya jika dilihat dari fokus utama film ini. Daripada mengutamakan tentang kisah hidup Yip Man sebagai sorotan utama dengan adegan aksi sebagai senjata andalan, The Grandmaster lebih menitik beratkan pada hal-hal berbau filosofis seperti kaitan antara kung-fu dengan kehidupan hingga berbagai konflik dalam hidup manusia mulai dari cinta, persahabatan, keluarga hingga pengkhianatan. Hal-hal filosofis tersebut ditunjukkan oleh Wong mulai dari sinematografi dan pengambilan gambar sampai dialog-dialog puitis. Bicara sinematografinya, aspek tersebut adalah salah satu keunggulan utama dari The Grandmaster. Berbagai macam momen mampu dirangkum dengan begitu indah mulai dari adegan pertarungannya yang artistik sampai berbagai gambar-gambar penuh makna metafora. Seperti yang sudah saya duga juga ada begitu banyak momen slow motion yang dipakai oleh Wong Kar-wai disini. Namun bagi saya penggunaan slo-mo disini terasa berlebihan dan seringkali tidak tepat momennya. Seharusnya sebuah slow motion dipakai untuk menangkap momen-momen tertentu yang dirasa perlu, sama seperti yang dilakukan oleh Wong dalam In the Mood for Love yang seksi tersebut. Sedangkan dalam The Grandmaster penggunaan teknik slo-mo yang ada terkesan dipaksakan dan terlampau banyak.
Yang berharap film ini akan seperti Ip Man milik Donnie Yen siap-siap saja kecewa karena adegan pertarungan kung-fu di film ini memang bisa dihitung dengan jari. Tapi toh saya memaklumi pemilihan tersebut karena memang begitulah konsep yang coba ditekankan oleh Wong Kar-wai, dan tentunya hal ini tidak akan memenuhi ekspektasi banyak penonton. Sayangnya bagaimana plot cerita yang harusnya jadi pondasi utama di film ini terkesan cukup berantakan. Pertama saya terganggu dengan bagaimana plot yang ada seolah tidak diedit dengan rapih dan melompat kesana kemari tanpa penghubung yang jelas hingga terasa membingungkan. Bahkan ada beberapa kemunculan karakter yang tidak jelas maksudnya, semisal sosok The Razor (Chang Chen) yang mendadak muncul tanpa memberi dampak yang jelas bagi ceritanya. Padahal sesungguhnya sosok The Razor adalah karakter yang cukup menarik. Banyak yang mengkritisi bahwa film ini kurang berfokus pada Yip Man, namun saya kurang sependapat dengan hal tersebut. Yip Man sekali lagi memang jadi sosok protagonis utama disini, tapi bagi saya The Grandmaster memang bukan mengenai hal tersebut. The Grandmaster adalah kisah tentang bagaimana para master kung-fu yang ada mendalami intisari dalam aliran mereka masing-masing dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan mereka.

Tapi entah mengapa saya menduga bahwa sesungguhnya diawal produksi Wong Kar-wai lebih memfokuskan filmnya pada kisah hidup Yip Man dan berfokus pada penggarapan cerita. Namun pada saat memasuki proses editing ia berubah pikiran untuk mengubah haluan filmnya menjadi lebih filosofis dan luas cakupannya serta lebih berfokus pada menangkap mood seperti yang kerap dilakukan Terrence Malick dalam film-filmnya. Namun pada akhirnya The Grandmaster jatuh menjadi film tanggung yang kurang jelas arahnya mau dibawa kemana. Tapi semua itu hanya dugaan saya, apakah memang Wong melakukan perubahan pilihan pada proses editing atau ia memang sudah sedari awal merencanakan akan membuat film ini seperti ini saya kurang tahu. Namun jika pilihan kedua yang tepat, maka Wong bisa dibilang kurang berhasil dalam menentukan arah karyanya ini. Pada akhirnya dengan plot yang kurang rapih, beberapa momen terasa kehilangan greget. Padahal ada beberapa momen yang berpotensi terasa menyentuh dengan segala bumbu filosofinya, namun sekali lagi cerita yang tidak mengalir dengan rapih membuat momen tersebut kehilangan gregetnya.

Secara keseluruhan The Grandmaster jelas tidak memenuhi ekspektasi saya. Sebuah film yang jauh dari kata buruk mengingat saya cukup menyukai makna yang coba disajikan oleh Wong dalam ceritanya, hanya saya tidak suka bagaimana plotnya mengalir dengan acak dan tidak rapih. Koreografi adegan aksinya sendiri cukup memuaskan, apalagi dibalut dengan sinematografi yang begitu indah. Lewat adegan pertarungannya saya bisa cukup memahami bagaimana hubungan antara sosok-sosok yang saling bertarung entah itu kawan, sahabat, musuh hingga sepasang manusia yang menyimpan rasa cinta sekalipun. Sayang pada akhirnya film ini juga harus diakhiri tanpa greget dan terburu-buru seolah kembali kehilangan arahnya.

1 komentar :

Comment Page:

SMASHED (2012)

1 komentar
Ada banyak cara mempersatukan dua insan manusia, dan tidak hanya melalui hal-hal positif seperti cinta sejati dan sebagainya. Hal-hal gila yang cenderung mengarah negatif nyatanya juga bisa menyatukan dua manusia. Saya ambil contoh mulai dari pasangan semisal Kurt Cobain-Courtney Love atau pasangan legendaris Sid Vicious-Nancy Spungen yang saling mengisi keseharian dengan drugs. Dalam Smashed karya sutradara James Ponsoldt kita akan diperlihatkan sepasang suami-istri yang begitu kompak dalam urusan mabuk dan pesta alkohol. Charlie (Aaron Paul) dan Kate (Mary Elizabeth Winstead) tidak pernah melewatkan hari-hari mereka tanpa minuman keras. Mulai dari bangun tidur, sebelum berangkat kerja, hingga akhirnya berpesta di bar pada malam harinya. Pasangan suami-istri tersebut merasa bahagia dengan gaya hidup yang liar tersebut. Namun seringkali tercipta juga masalah akibat perilaku liar tersebut. Kate pernah terbangun di tempat yang tidak ia ketahui setelah di malam sebelumnya mabuk-mabukan dan menghisap sabu bersama wanita asing yang menumpang di mobilnya. Bahkan Kate yang bekerja sebagai guru sekolah dasar itu pernah muntah di depan kelas setelah minum wiski sesaat sebelum kelas dimulai. Pada saat kejadian tersebut terjadi ada seorang murid yang bertanya apakah dia hamil dan secara spontan Kate mengiyakan pertanyaan tersebut.

Jadilah seisi sekolah percaya bahwa Kate hamil termasuk sang kepala sekolah yang begitu perhatian padanya. Merasa bersalah, Kate akhirnya dibujuk oleh rekannya sesama guru, Dave (Nick Offerman) untuk mengikuti sebuah sesi terapi bersama orang-orang yang juga/dulunya pecandu alkohol. Dari sinilah perjuangan Kate untuk lepas dari adiksinya dimulai. Sebuah perjuangan berat karena nyaris tidak ada sosok yang mendukungnya selain Dave dan anggota terapi lainnya, Jenny (Octavia Spencer). Bahkan sang suami sampai ibunya sekalipun tidak terasa memberi dukungan total pada Kate. Tidak seperti kebanyakan film tentang adiksi alkhohol ataupun narkoba lainnya yang biasanya punya tone gelap bahkan cenderung depresif, Smahsed memilih merangkum kisahnya dengan lebih ringan dengan sentuhan sedikit humor segar di beberapa bagiannya. Smashed memang punya konflik kehidupan berat yang menimpa karakternya, namun tidak ada momen depresif yang membuat karakter utamanya terjatuh pada lubang kegelapan. Bahkan dari opening yang memperlihatkan Kate ngompol di tempat tidur sudah terasa bahwa film ini tidak akan terlalu membawa penontonnya pada suasana gelap nan depresif yang seringkali menghiasi film-film bertemakan adiksi alhokohol.

1 komentar :

Comment Page:

OLYMPUS HAS FALLEN (2013)

Tidak ada komentar
Tahun 2013 jadi persaingan ketat untuk menghancurkan gedung putih dalam film. Bagaimana tidak? Ada dua film yang sama-sama mengambil tema tentang gedung putih yang diambil alih oleh teroris dan dirilis hanya dalam jangka waktu tiga bulan. Yang pertama adalah Olympus Has Fallen yang dirilis pada  22Maret 2013 oleh Millenium Films dan dibintangi oleh Gerrard Butler. Sedangkan satu lagi adalah White House Down rilisan Sony Pictures yang disutradarai Roland Emmerich serta dibintangi Channing Tatum dengan jadwal rilis pada 28 Juni 2013. Tidak hanya mempunyai tema yang sama, tapi dilihat dari judulnya pun keduanya sama-sama mirip. Olympus Has Fallen sebagai yang dirilis lebih dahulu tentu punya beban untuk memberikan standar kualitas terhadap pesaingnya. Dalam film garapan Antonie Fuqua ini, Gerard Butler berperan sebagai Mike Banning, seorang secret service dari Presiden Amerika Serikat, Benjamin Asher (Aaron Eckhart). Namun Mike tidak hanya berperan sebagai penjaga bagi Presiden dan keluarganya, namun juga sudah menjadi teman dekat bagi sang Presiden dan putera tunggalnya yang masih kecil, Connor (Finley Jacobsen). Suatu hari terjadi tragedi kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya istri Presiden. Meski saat itu Mike berhasil menyelamatkan nyawa Presiden, tapi tetap saja hal itu membuatnya dihantui rasa bersalah dan akhirnya memilih pindah ke Departemen Keuangan Negara.

18 bulan kemudian Mike masih menyimpan rasa bersalah tersebut namun disisi lain juga merindukan pekerjaan sebagai secret service. Sampai tibalah suatu hari dimana Gedung Putih diserang oleh sekelompok teroris dari Korea. Tidak hanya melakukan serangan, mereka juga menghabisi Perdana Menteri Korea Selatan yang tengah melakukan kunjungan, menghabisi semua secret service yang ada bahkan menyandera Presiden dan para petinggi negara lainnya di sebuah bunker di dalam gedung putih. Namun tanpa diduga oleh siapapun, Mike ternyata berada di dalam Gedung Putih dan menjadi satu-satunya harapan Amerika Serikat untuk menyelamatkan sang Presiden sekaligus menghindari tragedi lebih besar yang terancam akan terjadi. Dasar cerita yang ditawarkan sebenarnya tidaklah baru, dimana sebuah gedung dengan tingkat keamanan tinggi berhasil diluluh lantahkan oleh teroris dan hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkan semuanya. Sebuah formula yang sebenarnya begitu mirip dengan apa yang ditampilkan dalam Die Hard, hanya saja menempatkan Gedung Putih yang notabene dianggap sebagai gedung dengan tingkat kemanan paling tinggi di dunia sebagai sentral cerita memang cukup menarik.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

G.I. JOE: RETALIATION (2013)

2 komentar
Film G.I. Joe: The Rise of Cobra yang dirilis empat tahun lalu sebenarnya tidak bisa dibilang sukses besar. Memang secara pendapatan global film ini berhasil meraup total $302 juta dari bujetnya yang $175 juta. Hampir mendapatkan 2 kali lipat bujet memang nampak sebagai sebuah sukses besar, namun sesungguhnya hal itu bukan kesuksesan besar jika melihat franchise Transformers yang juga menjadi milik Hasbro. Dengan bujet yang jauh lebih besar, trilogi garapan Michael Bay tersebut sanggup mendulang pendapatan hingga 3 bahkan 4 kali lipat bujetnya. Bahkan film ketiganya, Dark of the Moon berhasil melewati angka 1 milyar. Dari segi kualitas pun, film pertama G.I. Joe banyak dicela kritikus akibat plot serta akting yang buruk. Tapi toh sama seperti Transformers, kisah para militer Amerika Serikat ini bukanlah film yang mengandalkan plot melainkan adegan aksi sebagai fokus utama hiburannya. Jika adegan aksinya menghibur meski ceritanya buruk, maka saya bisa bilang film itu berhasil. Tapi nampaknya dengan kesuksesan yang tidak menyamai Transformers tersebut pihak Paramount mulai berpikir ulang untuk membuat sekuelnya, terbukti film kedua ini rilis empat tahun semenjak film pertamanya. 

Saya masih belum membicarakan banyak kisah dibalik layar yang membuat film kedua ini makin meragukan, dimana pada dasarnya film ini akan dirilis pada Juni 2012, namun pada akhirnya mundur hingga 9 bulan sampai Maret 2013. Ada beberapa kabar yang mengiringi penundaan itu, mulai dari konversi ke 3D, Paramount yang tidak yakin filmnya akan cukup bagus bersaing di musim panas, hingga kabar diadakannya syuting ulang guna menambah screen time Channing Tatum yang memang tahun lalu mulai berada di puncak karirnya sekaligus menjadi jaminan kesuksesan komersil sebuah film. Retaliation berkisah tentang pasukan G.I. Joe yang kini dipimpin oleh Duke (Channing Tatum) serta Roadblock (Dwayne Johnson) dimana mereka sedang melaksanakan tugas untuk mengamankan sebuah senjata nuklir di Pakistan. Namun setelah misi sukses tiba-tiba mereka diserang oleh sekelompok tentara misterius yang ternyata dipimpin oleh Firefly (Ray Stevenson), salah satu anak buah Cobra Commander (Luke Bracey) yang saat itu masih dikurung di penjara tingkat tinggi. Serangan tersebut membuat banyak anggota Joe yang tewas termasuk Duke. Tidak hanya itu, G.I. Joe justru dituduh mengkhianati Amerika dan kini menjadi musuh bangsa. Para anggota Joe yang tersisa mulai dari Roadblock, Flint (D.J. Cotrona), Lady Jaye (Adrianne Palicki) hingga Snake Eyes (Ray Park) kini haris berloma dengan waktu guna mengembalikan nama baik mereka serta menghentikan rencana Cobra Commander.

G.I. Joe: Retaliation punya semuanya untuk menjadi sebuah film yang buruk. Pertama adalah dari segi ceritanya. Jelas Retaliation memang tidak mengandalkan plot sebagai senjata utamanya, tapi parahnya cerita di film ini sudah sampai pada tingkat keburukan yang dibawah rata-rata. Tentu saja film action popcorn seperti ini akan penuh dengan plot hole, dan saya memaafkan itu andaikan filmnya masih menghibur dan lubangnya tidak terlalu banyak dan besar. Namun untuk film ini, lubang dalam ceritanya sudah terlampau banyak dan besar hingga membuat ceritanya semakin bodoh. Saya rasa hampir tidak mungkin menuliskan satu persatu secara lengkap plot hole serta kebodohan apa saja yang muncul di filmnya pada review ini karena terlalu banyak yang harus saya tuliskan. Saya ambil contoh konspirasi untuk menjebak Snake Eyes diawal film, rencana Cobra untuk memfitnah G.I. Joe, rahasia yang disembunyikan Storm Shadow, dan masih banyak lagi lubang-lubang menganga yang menggambarkan bagaimana asal-asalannya naskah film ini ditulis. Kemana pula anggota G.I. Joe lain yang tampil di film pertama? Retaliation nampak bagaikan sebuah kebingungan antara sekuel ataupun reboot. Kontinuitas mungkin terlihat seperti sekuel, tapi penggarapan dan pengemasannya seperti berusaha me-restart ulang ceritanya.
Kemudian muncul salah satu keputusan terbodoh yang dilakukan film ini, apalagi kalau bukan membunuh karakter Duke. Saya bukan penggemar G.I. Joe dan tidak tahu menahu tentang ceritanya, jadi saya tidak merasa bahwa hilangnya karakter Duke tidak menjadikan kontroversi bagi saya. Tapi keputusan terbodoh dibuat saat film ini sudah sedari awal memberi tahukan bahwa karakter Duke akan dimatikan. Bukankah cara terbaik adalah membunuh karakter tersebut dan menjadikannya sebagai kejutan? Saya rasa akan menjadi sebuah shocking moment yang efektif jika di tengah karakter Duke dimatikan, bukan diawal dan tidak perlu dijadikan materi promosi. Bukankah Hitchcock sudah mengajari kita dalam Psycho bagaimana cara dan timing membunuh karakter utama? Mungkin untuk itulah ada nama Bruce Willis dan Dwayne Johnson disini. Dwayne Johnson membuktikan bahwa ia bisa memberikan suntikan testosteron serta tenaga baru yang bisa membuat sebuah franchise action mendapatkan nyawa lagi, sebut saja Fast Five. Tapi bahkan disini sosok Roadblock tidak segahar dan se-badass yang saya harapkan. John Chu sang sutradara nampaknya tidak tahu bagaimana cara memaksimalkan potensi Dwayne Johnson. Jika memang Tatum harus dihilangkan, maka berikan Dwayne Johnson lebih banyak lagi aksi gila dan bombastis. Bagaimana dengan Bruce Willis? Penampilannya tidak buruk dan berhasil menjadi penyegar suasana lewat celetukannya. Tapi jelas kemunculan karakternya begitu minim bahkan bisa dibilang tidak penting dan gagal menyelamatkan film ini.

Bicara soal menyia-nyiakan bakat, Lee Byung-hyun juga salah satu yang disia-siakan. Saya suka aktingnya di A Bittersweet Life hingga I Saw the Devil dan saya rasa dia pantas memerankan Storm Shadow yang complicated. Tapi lagi-lagi dia tidak diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi hal itu, padahal penampilannya cukup menjadi scene stealer bersama Snake Eyes yang cukup keren dan Adrianne Palicki yang super seksi itu. Lupakan saja karakter milik RZA yang daripada terlihat sebagai master bijak lebih seperti orang tua yang tidak tahu cara berbicara secara natural. Jadi bisa dibilang tidak ada yang spesial dari presentasi ceritanya yang super buruk dan pemanfaatan talenta aktornya yang banyak tersia-sia kecuali penampilan hot Adrianne Palicki yang selalu menghibur. Lantas bagaimana dengan adegan aksi yang menjadi momen paling ditunggu di film ini? Ternyata tidak kalah buruk. Tidak ada momen bombastis yang sanggup membuat saya terhibur. Ledakan dan baku tembak yang ada semuanya kosong dan tidak punya greget. Adegan baku tembaknya tidak terbungkus dengan rapih lengkap dengan ledakan-ledakan yang hambar. Adegan klimaksnya juga jauh dari kata bagus. Biasa saja, datar dan tidak menghibur. Penghancuran London cukup baik tapi sekali lagi kurang bombastis karena hanya muncul sebentar. Adegan pertarungan antara ninja di tebing jadi set-piece aksi yang terbaik dan cukup keren. Selebihnya datar. Jika dirangkum, maka hal yang membuat saya terhibur di film ini hanyalah Adrianne Palicki, beberapa dialog Bruce Willis, serta kemunculan Snake Eyes dan Storm Shadow, tidak lebih dari itu.

2 komentar :

Comment Page:

TRAINSPOTTING (1996)

3 komentar
Diadaptasi dari sebuah novel karya Irvine Welsh, Trainspotting bisa dibilang salah satu film British terpenting yang pernah dibuat. Bagaimana tidak, film ini berhasil berada di posisi 10 dalam daftar 100 film British terbaik sepanjang masa versi BFI (British Film Institute). Bahkan dalam sebuah polling, Trainspotting juga menjadi film Skotlandia terbaik sepanjang masa. Tidak hanya itu, film ini dianggap penting karena sanggup menjadi batu loncatan yang melambungkan dua sosok yang terlibat di dalamnya, yakni sutradara Danny Boyle dan aktor Ewan McGregor. Pada saat itu Boyle baru memulai debut penyutradaraannya pada tahun 1994 melalui Shallow Grace yang secara kebetulan juga merupakan debut pertama McGregor sebagai aktor utama setelah sebelumnya hanya mendapat peran kecil dalam Being Human. Film ini sendiri menyoroti tentang adiksi narkoba yang menimpa para remaja di Edinburgh, sebuah kota dengan tingkat ekonomi yang tidak terlalu tinggi di Skotlandia. Film yang bertemakan narkoba memang sudah banyak dibuat, dan bagi saya sampai saat ini film Requiem for a Dream karya Darren Aronofsky masih yang terbaik, namun Trainspotting punya kekuatan dan keunikan tersendiri dibandingkan film-film tersebut.

Kisahnya bercerita tentang Mark Renton (Ewan McGregor), seorang pecandu heroin yang selalu menghabiskan tiap harinya dalam kondisi sakaw. Bersama teman-temannya seperti Spud (Ewen Bremmer) dan SickBoy (Jonny Lee Miller), dia selalu menghabiskan waktunya dengan heroin di tempat Swanney (Peter Mullan) atau yang dipanggil Mother Superior, seorang penjual narkoba. Suatu hari selepas dari sakaw yang ia alami dan mempertimbangkan banyak hal, Renton memutuskan untuk mencoba menghentikan adiksinya terhadap heroin. Disinilah konflik mulai bergantian mengisi, mulai dari usaha Renton lepas dari ketergantungan yang tentunya tidak mudah, pertemuannya dengan seorang gadis bernama Diane (Kelly Macdonald) di sebuah klub dan berbagai hal-hal lain yang makin menyulitkan usaha Renton lepas dari ketergantungannya, termasuk urusan dengan Francis Begbie (Robert Carlyle), rekannya yang psikopat dan selalu membuat onar. Dari tulisan diatas, terlihat bahwa Trainspotting benar-benar mengeksplorasi teman adiksi narkoba yang pada akhirnya akan berujung pada berbagai konflik dan dampak-dampak yang terjadi pada para penggunanya. Ini tidak hanya drama tentang para pecandu narkoba, namun juga horror yang menimpa mereka, bahkan komedi hitam tentang adiksi narkoba. Trainspotting dirangkum dengan begitu lengkap dalam menghadirkan berbagai macam konfliknya.

3 komentar :

Comment Page:

A WEREWOLF BOY (2012)

1 komentar
Kisah cinta dua makhluk berbeda jenis memang semakin menjadi tren semenjak kesuksesan Twilight Saga yang menampilkan kisah cinta segitiga antara manusia-vampir-werewolf. Awal tahun ini Warm Bodies malah menyajikan kisah cinta antara manusia dengan zombie. Nampaknya perfilman Korea juga tidak mau kalah dan mengikuti fenomena ini dengan menampilkan sebuah kisah cinta antara manusia dengan werewolf. Hasilnya luar biasa dimana A Werewolf Boy berhasil meraih sukses dengan mampu menjadi film melodrama terlaris sepanjang masa di Korea sekaligus menempati posisi 20 dalam daftar film terlaris sepanjang masa disana. Tentu saja selain karena kisahnya yang memang menarik bagi semua kalangan penonton, fakta bahwa film ini dibintangi oleh dua bintang muda Korea yang tengah bersinar yakni Park Bo-young dan Song Joong-ki ikut andil besar dalam kesuksesan film ini. Park Bo-young dikenal lewat perannya dalam Speedy Scandal yang juga termasuk film terlaris sepanjang masa di Korea (urutan 10), sedangkan Song Joong-ki yang sempat menjadi member Running Man hingga tahun 2011 itu juga tengah menanjak karirnya lewat beberapa peran di film layar lebar hingga serial televisi. Namun diluar berbagai faktor tersebut, A Werewolf Boy memang sebuah film yang punya kualitas cukup mengesankan.

Kim Suni (Lee Young-lan) adalah seorang wanita tua yang tinggal di Amerika bersama anak dan cucunya mendapat sebuah telepon yang meminta dirinya untuk kembali ke Korea. Suni pun kembali dan akhirnya tiba bersama cucunya, Eun-joo (Park Bo-young) di sebuah rumah tua yang dulu sempat ia tinggali bersama ibu dan adiknya. Disana ia mulai mengingat kenangan 47 tahun lalu saat ia masih remaja (Suni muda juga diperankan oleh Park Bo-young) dimana ketika itu Suni dan keluarganya baru saja pindah ke rumah tersebut. Suni sendiri adalah gadis pendiam yang jarang bergaul akibat badannya yang lemah karena sebuah gangguan paru-paru. Suatu hari Suni dikejutkan oleh kemunculan sebuah makhluk misterius dari dalam gudang rumahnya. Ternyata makhluk tersebut adalah seorang pemuda. Namun pemuda yang nantinya diberi nama Chul-soo (Song Joong-ki) tersebut punya banyak keanehan. Dia tidak bisa berbicara dan terlihat begitu liar layaknya hewan buas. Ya, Chul-soo seperti yang sudah kita tahu adalah werewolf. Keberadaan Chul-soo awalnya membuat Suni terganggu, namun lama kelamaan Suni justru berusaha mengajari Chul-soo untuk berperilaku layaknya manusia pada umumnya, dan tanpa disadari kehidupan Suni yang sebelumnya muram menjadi lebih ceria.

1 komentar :

Comment Page:

HITCHCOCK (2012)

2 komentar
Nama Alfred Hitchcock sebagai master of suspense jelas sudah begitu melegenda. Berbagai filmnya seperti Vertigo, Rear Window hingga Psycho sering berada di dalam jajaran film-film terbaik sepanjang masa. Namun dibalik karya-karyanya, sang maestro juga punya cerita menarik dalam kehidupan pribadinya. Sang sutradara dikenal mempunyai obsesi terhadap wanita berambut pirang, khususnya para aktris yang menjadi pemain utama dalam filmnya, dimana hal tersebut juga beberapa kali membuat aktris yang bekerja sama dengannya tidak betah. Di tahun 2012 lalu, ada dua film yang mengangkat kisah hidup Hitchcock, khususnya kehidupan pribadinya termasuk obsesi sang sutradara terhadap gadis berambut pirang. Satu film berjudul The Girl yang merupakan sebuah film televisi dan dibintangi oleh Toby Jones sebagai Hitchcock yang berkisah tentang intrik dibalik pembuatan film The Birds dan Marnie. Sedangkan Hitchcock yang akan saya review ini adalah versi layar lebar yang dibintangi oleh Anthony Hopkins sebagai Hitchcock dan Helen Mirren sebagai istri Hitchcock, Alma Reville. Film ini sendiri diadaptasi dari sebuah buku karya Stephen Rebello, Alfred Hitchcock and the Making of Psycho. Dari situ sudah terlihat bahwa film ini akan bercerita tentang kisah yang terjadi dibalik pembuatan film Psycho.

Alfred Hitchcock baru saja merilis film terbarunyayang berjudul North by Northwest yang berujung kesuksesan baik itu secara komersil maupun kualitas. Pihak studio berharap Hitchcock akan membuat film lagi yang mirip dengan North by Northwest untuk mengejar keuntungan finansial, namun sang sutradara berpikiran lain. Dia ingin membuat sebuah film baru yang berbeda dari film-film yang pernah ia buat sebelumnya. Setelah mencari isnpirasi, akhirnya Hitchcock tertarik dengan sebuah novel berjudul Psycho yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang psikopat bernama Ed Gein yang telah membantai banyak orang dan tinggal bersama mayat ibunya yang ia perlakukan selayaknya manusia yang masih hidup. Tertarik pada materi ceritanya, Hitchcock menemukan proyek terbarunya. Namun keinginan sang sutradara untuk mengangkat kisah tersebut mendapat tanggapan miring dari berbagai pihak akibat konten ceritanya yang penuh dengan sadisme dan dianggap hanya akan menjadi sebuah film horor dengan kualitas cerita yang rendah, tidak seperti film-film dari Alfred Hitchcock. Berbagai konflik mulai terjadi dalam pembuatan film tersebut. Mulai dari pihak studio yang enggan membiayai pembuatan Psycho dan memaksa Hitchcock merogoh koceknya sendiri, perselisihan dengan lembaga sensor, hingga konflik pribadi dengan sang istri, Alma Reville berkaitan dengan obsesi Hitchcock terhadap aktris berambut pirang yang bermain di filmnya.

2 komentar :

Comment Page:

IRON MONKEY (1993)

2 komentar
Nama Wong Fei-hung sang master kung-fu dari China memang sudah begitu terkenal dan melegenda. Bahkan sudah ada sekitar 80 lebih film yang menampilkan sosok sang kung-fu master seperti Once Upoun a Time in China yang dibintangi Jet Li hingga Drunken Master yang menampilkan Jackie Chan. Namun dalam Iron Monkey yang muncul bukanlah Wong Fei-hung yang sudah menjadi master kung-fu melainkan disaat dia masih dan tinggal bersama ayahnya yang juga ahli kung-fu, Wong Kei-ying. Film Iron Monkey sendiri sebenarnya adalah film yang dirilis tahun 1993 namun popularitasnya baru terasa disaat Miramax merilis film ini secara internasional pada tahun 2001 dengan Quentin Tarantino sebagai produser. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Tarantino memang pecinta film kung-fu, namun sebuah film yang sampai membuat Tarantino tergoda untuk merilis ulang secara luas berarti film itu memang film yang bagus. Dibintangi oleh Donnie Yen yang saat itu baru saja naik daun setelah bermain di Once Upon a Time in China, film ini berkisah tentang sosok misterius bernama Iron Monkey yang menjadi buronan pemerintah karena dianggap melawan hukum dan membahayakan. Padahal sesungguhnya yang dilakukan oleh Iron Monkey adalah mencuri dari orang kaya korup yang semena-mena termasuk sang Gubernur dan membagikan hasil curiannya kepada rakyat miskin.

Semua usaha dilakukan oleh Gubernur Cheng (James Wong) untuk menangkap Iron Monkey termasuk menyewa para pendekar Shaolin, namun semuanya gagal membuahkan hasil dan identitas Iron Monkey masih misterius. Tidak ada yang tahu bahwa identitas sebenarnya dari Iron Monkey adalah seorang dokter bernama Yang Tianchun (Yu Rongguang) yang begitu dihormati oleh semua orang. Bersama asistennya, Miss Orchid (Jean Wang) ia membuka praktek di siang hari lalu mencuri dari orang korup di malam hari. Suatu hari datanglah jago kung-fu terkenal dari daerah Foshan, Wong Kei-ying (Donnie Yen) dan anaknya Wong Fei-hung (Angie Tsang) yang tengah melakukan perjalanan. Setelah terlibat dalam sebuah pertarungan melawan perampok, ia justru ditangkap oleh pasukan Gubernur atas tuduhan sebagai Iron Monkey. Disana ia mendapati banyak rakyat yang mendapat tuduhan sama karena berbagai alasan yang tidak jelas. Bahkan Wong Fei-hung pun turut menjadi korban dan harus dijebloskan kedalam penjara dan membuat Wong Kei-ying harus menuruti perintah Gubernur Cheng untuk menangkap Iron Monkey.

2 komentar :

Comment Page:

FACE/OFF (1997)

1 komentar
John Woo adalah salah satu sutradara paling berpengaruh dan memberikan influence bagi banyak sutradara besar saat ini sebut saja Quentin Tarantino hingga Robert Rodriguez. Film-filmnya seperti The Killer, A Better Tomorrow hingga Hard Boiled sering dianggap sebagai jajaran film aksi terbaik yang pernah dibuat, sehingga Woo sering disebut sebagai Hitchcock-nya genre action. John Woo sendiri telah mempopulerkan berbagai signature yang sering ia pakai dalam film-filmnya mulai dari gun fu hingga heroic bloodshed dimana kedua teknik tersebut juga mempengaruhi gaya berbagai sutradar termasuk Tarantino. Face/Off sendiri adalah film Hollywood ketiga yang dibuat oleh John Woo setelah Hard Target dan Broken Arrow. Bagi John Woo sendiri meski ini adalah film ketiganya, namun disini adalah kali pertama Woo mendapat kendali total atas proses kreatif dalam film Hollywood miliknya dimana dalam kedua film pertamanya ia terkena batasan-batasan khususnya untuk tingkat kekerasan yang sering dianggap kelewat batas dalam filmnya. Namun dalam Face/Off yang dibintangi oleh duo Nicolas Cage dan John Travolta akhirnya Woo mendapat kebebasan untuk mengontrol proses kreatif yang berarti kita akan menemui banyak signature dan tingkat kekerasan yang cukup tinggi disini.

Face/Off berkisah tentang perburuan seorang agen FBI, Sean Archer (John Travolta) terhadap seorang teroris gila bernama Castor Troy (Nicolas Cage) yang enam tahun lalu membuat anaknya terbunuh. Dalam sebuah perburuan yang memakan banyak korban dari pihak FBI, Sean akhirnya berhasil membekuk Castor Troy dan membuatnya berada dalam kondisi koma. Namun permasalahan belum selesai, karena Castor dan adiknya, Pollux Troy (Alessandro Nivola) telah menyimpan sebuah bom aktif yang akan menghancurkan kota Los Angeles namun tidak diketahu keberadaannya. Pollux sendiri bungkam dan hanya mau bicara jika ia sudah bertemu dengan sang kakak, namun masalahnya saat itu Castor masih koma dan jika tidak segera diambil tindakan maka kota Los Angeles akan segera musnah. Untuk itulah Sean Archer kembali diutus dalam sebuah tugas rahasia yang amat berbahaya dimana dia harus menyamar sebagai Castor Troy untuk menyusup dalam sebuah penjara dimana Pollux ditahan dan mengumpulkan informasi tentang keberadaan bom tersebut. Untuk melakukan penyamaran tersebut, maka dilakukan operasi untuk menukar wajah Castor dengan Sean. Misi berjalan lancar dan aman sampai tanpa diduga Castor terbangun dari koma dan berhasil memasang wajah milik Sean pada dirinya. Kini identitas mereka berdua tertukar dan Sean harus berusaha keluar dari penjara untuk menghentikan aksi Castor yang tengah memakai identitasnya.

Ini memang adalah sebuah film aksi dengan berbagai ledakan dan berondongan peluru, tapi style dari John Woo membuat film ini tidak terasa seperti sebuah film aksi brainless ala Hollywood yang hanya mengandalkan ledakan bombastis tanpa dikemas dengan teknik yang mengesankan. Berbagai signature style dari Woo membuat Face/Off tidak hanya menjadi sebuah suguhan aksi yang seru namun juga artistik. Tentu saja ada berbagai adegan dibalut slow motion namun dalam kadar yang tidak berlebihan. Woo bukanlah Snyder yang membalut semua adegan aksi dengan slo-mo panjang yang kadang berlebihan. Hal tersebut diterapkan oleh Woo hanya pada adegan-adegan kunci baik itu adegan aksi ataupun bukan dengan durasi secukupnya sehingga momen tersebut mampu tertangkap dengan sempurna. Gaya gun fu yang dimiliki oleh Woo juga membuat adegan baku tembak yang ada terlihat lebih indah dimana pistol bukan hanya sekedar sebuah hiasan dalam adegan tersebut tapi menjadi sebuah properti yang penggunaannya menjadi begitu artistik layaknya sebuah film kung-fu atau martial arts dengan pedang sebagai senjatanya. Kadar kekerasannya memang tidak berlebihan namun lagi-lagi punya tingkatan yang pas. Sebuah adegan operasi wajah yang dilakukan pada Sean dan Castor juga begitu disturbing.
Hebatnya, Face/Off tidak hanya berfokus pada adegan aksi belaka, namun juga memperhatikan karakter dan jalan ceritanya. Kematian, konspirasi dan kesalah pahaman adalah sebuah hal biasa dalam film aksi, tapi Face/Off mampu menampilkan semua unsur tersebut dengan begitu baik sehingga film ini terasa sebagai sebuah tontonan yang bisa begitu pahit dan tragis. Kejadian yang menimpa para karakternya bukan hanya sebuah momen konflik numpang lewat saja tapi punya sebuah emosi yang begitu kuat dan mampu mengikat penonton dengan jalan cerita maupun karakter yang ada. Pada akhirnya hal tersebut membuat kita sebagai penonton merasa peduli pada karakternya mulai dari Sean yang kehilangan orang-orang terdekatnya bahkan sampai sosok Castor Troy pun tidak terasa hanya sebagai seorang teroris dua dimensi yang asal dibuat jahat. Keputusan untuk membuat Cage dan Travolta memainkan karakter satu sama lain (bertukar peran) juga keputusan yang baik dimana menarik melihat bagaimana transformasi Sean Archer dan Castor Troy dalam penyamaran mereka masing-masing. Cage sebagai Troy yang awalnya terlihat gila dan over-the-top harus menjadi Sean Archer milik John Travolta yang lebih kalem dan depresif. Hal sebaliknya juga berlaku pada Travolta yang harus memerankan Castor Troy yang gila.

Film ini juga punya studi karakter yang kuat tentang bagaimana seseorang secara tidak sadar memahami sosok orang lain, dimana hal itu terjadi pada masing-masing baik itu Archer ataupun Troy saat mereka bertukar identitas. Castor Troy secara tidak sadar mulai merasa memiliki istri Archer dan puterinya, sedangkan Archer sendiri mulai akrab dengan kerabat Castor Troy bahkan kekasihnya sendiri. Momen-momen tersebut tidak hanya terasa pahit tapi juga cukup menyentuh. Pada akhirnya ini adalah salah satu film aksi paling lengkap yang pernah saya tonton. Selain punya adegan aksi yang seru juga dilengkapi pengambilan gambar indah serta koreografi stylysh (pertarungan di gereja yang dihiasi dengan merpati ciri khas John Woo begitu keren) Face/Off juga tidak melupakan unsur psikologis karakternya sekaligus punya emosi yang kuat sehingga penonton merasa terikat. Namun film ini juga bukannya tanpa kekurangan, karena diawal saya merasa ceritanya masih terasa membosankan, begitu juga dengan bagian akhir dengan adegan klimaks yang menjadi terasa terlalu panjang setelah sampai pada adegan kejar-kejaran di laut. Namun overall masih sebuah film aksi yang bagus, seru dan berbobot.


1 komentar :

Comment Page: