GODZILLA (2014)

2 komentar
Sebutkan sosok monster paling terkenal sepanjang sejarah perfilman atau bahkan dalam sepanjang sejarah pop culture pasti akan banyak yang menyebut Godzilla/Gojira sebagai jawabannya. Memulai sejarahnya semenjak tahun 1954 atau 60 tahun yang lalu, sudah ada sekitar 31 film tentang Godzilla sebelum ini termasuk versi Hollywood yang disutradarai oleh Roland Emmerich pada tahun 1998 lalu. Sayangnya versi Emmerich yang diharapkan bakal menjadi franchise baru malah menjadi kegagalan serta dicaci maki kritikus serta para fans Godzilla. Emmerich dianggap tidak mengerti tentang sang kaiju dan visinya melenceng terlalu jauh sehingga Godzilla miliknya dianggap hanya "nama" belaka atau sering disebut GINO (Godzilla In Name Only). Akhirnya keburukan film tersebut "memaksa" Toho memulai kembali Godzilla setahun kemudian lewat Godzilla 2000 sebelum akhirnya mematikan lagi sang monster dalam Godzilla: Final Wars 10 tahun yang lalu. Selang satu dekade, Gareth Edwards membuat versi reboot dan usaha kedua Hollywood untuk membangun franhise Godzilla. Edwards sendiri dikenal lewat debut penyutradaraannya yang sukses dalam Monsters, sebuah film invasi alien/monster indie. Jadi apakah versi Edwards sanggup menghapus mimpi buruk dari versi Emmerich?

Film ini membuka ceritanya dengan beberapa gambaran tentang beberapa peledakan bom nuklir yang ditengarai menyimpan rahasia di dalamnya. Pada tahun 1999, ilmuwan Jepang bernama Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bersama rekannya, Dr. Vivienne (Sally Hawkins) dipanggil ke Filipina untuk memeriksa sebuah penemuan fosil makhluk raksasa beserta dua kepompong/telur yang salah satunya sudah menetas. Di saat bersamaan, terjadi sebuah kecelakaan di tempat penelitian nuklir yang berada di Jepang. Kecelakaan tersebut menewaskan Sandra Brody (Juliette Binoche) yang tewas di depan mata suaminya, Joe Brody (Bryan Cranston). Joe yang amat terpukul atas kejadian tersebut terus meneliti apa yang sesungguhnya terjadi pada hari itu bahkan sampai 15 tahun kemudian. Frod Brody (Aaron Taylor-Johnson) yang kini telah menjadi letnan dan merupakan penjinak bom handal suatu hari mengunjungi Jepang setelah menerima berita bahwa sang ayah ditangkap karena melintasi perbatasan daerah karantina. Joe yang dianggap gila oleh sang anak berusaha membuktikan bahwa ada sosok misterius yang tidak diektahui orang-orang berkeliaran disana. Sosok itu jugalah yang menurut Joe menjadi penyebab kecelakaan 15 tahun yang lalu. Tanpa ada yang tahu sosok itu ternyata berwujud monster-monster raksasa yang siap membawa kehancuran dunia
Satu hal yang membuat saya begitu menantikan film ini adalah setelah melihat trailer-nya. Disana terlihat bahwa janji Edwards untuk membuat film ini lebih realistis dan epic dengan sekala global yang pastinya sangat luas bukan sekedar janji kosong. Tapi tentu saja itu semua bukan jaminan. Mungkin anda masih ingat bagaimana teaser trailer dari Godzilla milik Roland Emmerich yang epic itu dan dianggap sebagai salah satu teaser paling bagus yang pernah dibuat dengan menampilkan kaki Godzilla mengiinjak fosil T-Rex. Tapi sayangnya apa yang ditampilkan oleh filmnya jauh dari kehebatan teaser-nya. Tapi Gareth Edwards membuktikan bahwa versinya ini merupakan versi yang jauh dari kata memalukan atau merusak sosok Godzilla meski sayangnya tetap tidak bisa memenuhi ekspektasi tinggi yang muncul karena trailer-nya itu. Godzilla tidak langsung dibuka dengan banyak ledakan dan tidak segera memperlihatkan sosok sang kaiju. Film ini memulai narasinya dengan tempo sedang yang banyak mengambil waktu untuk memperkenalkan berbagai karakternya serta berbagai kisah konspirasi rahasia yang mengiringi kemunculan para monsternya. Tentu saja bagi anda yang mengharapkan sebuah film full throttle dari awal layaknya Pacific Rim mungkin akan kecewa. Bahkan saya yang mengharapkan film yang lebih humanis dengan drama karakter mencukupi pun kecewa.

Bicara soa kuantitas eksplorasi cerita dan karakter, film ini memang unggul tapi lain halnya dengan kualitas. Meski banyak drama tapi tidak ada yang sanggup menyentuh dan membuat saya bersimpati dengan karakter yang ada. Kebanyakan karakternya tetap saja terasa setipis kertas. Hal ini tentu saja mengurangi ketegangan dalam menonton. Film ini sebenarnya punya tiga opsi sebagai fokus Yang pertama adalah karakter, yang kedua adalah perjuangan umat manusia, yang ketiga adalah eksploitasi sosok Godzilla. Pada akhirnya yang dipilih Edwards adalah poin pertama untuk kemudian mengembangkannya dengan poin kedua mendekati klimaks sambil sesekali memperlihatkan kehebatan Godzilla. Mungkin ini dimaksudkan untuk memberikan "hati" pada film ini hingga tidak berakhir hanya sebagai film monster yang pamer CGI, namun karena eksplorasi karakternya yang kurang berhasil film ini malah jadi terasa bertele-tele dan membosankan di beberapa bagian. Kualitas naskah yang kurang kuat juga jadi penyebab utama kegagalan film ini dalam menciptakan studi karakter yang baik. Salah satu yang paliing memperlihatkan kekurangan naskahnya adalah begitu sering muncu "kebetulan konyol" disini. Semisal karakter A ada di tempat B, maka kaiju akan ada di tempat itu dengan alasan yang dipaksakan, dan disaat si monster kembali berpindah temat, ia akan berada di tempat D dimana karakter C sedang ada disana.
Kegagalan tersebut membuat satu lagi target yang dicanangkan Edwards gagal terpenuhi, yakni menciptakan sebuah film epic berskala global yang memperlihatkan bagaimana umat manusia berjuang dan bertahan hidup dari serbuan monster-monster raksasa. Pada klimaksnya, Edwars menampilkan pertempuran "dua sisi", yakni Godzilla melawan dua monster lain dan para tentara yang dipimpin Ford yang berusaha mengamankan bom nuklir. Saya suka bagaimana film ini mencoba menyeimbangkan hal itu sambil menjaga kesan realistis. Realistis karena kita tidak akan melihat para manusia yang sukses menghajar kaiju raksasa layaknya Shia LaBeouf yang bisa mengalahkan para Decepticon. Tapi lagi-lagi saya merasa perjuangan yang dihasilkan kurang epic. Lemahnya Aaron Taylor-Johnson sebagai lead actor juga cukup berpengaruh. Andaikan Joe Brody dengan karakternya yang lebih menarik dijadikan sosok lead saya yakin film ini akan lebih menarik lagi. Tapi untungnya kelemahan ini bisa ditambal oleh pertempuran para monster yang memang luar biasa. Dengan desain monster yang bagus serta CGI yang memikat, pertempuran ketiga monster di klimaksnya benar-benar seru dan menarik untuk dinikmati. 

Bicara soal sosok Godzilla, banyak yang mengkritisi kemunculannya yang minim. Meski punya desain bagus yang setia pada versi aslinya, jika ditotal kemunculan sang monster tidak mencapai 30 menit yang jelas amat minim mengingat durasi film yang mencapai 2 jam. Tapi saya sendiri merasa itu bukan masalah besar karena sekalinya muncul Godzilla terasa luar biasa dan begitu mudah disukai sebagai monster keren yang badass. Yang paling saya sukai jelas dikembalikannya sosok Godzillla dari sekedar monster tidak jelas yang berkeliaran kesana kemari dan mengerami telur dalam versi Emmerich menjadi Godzilla sang monster anti-hero keren yang ditasbihkan sebagai The King of Monster. Hal ini sangat berguna karena dengan begini mayoritas penonton yang mengetahui versi Godzilla dari versi Emmerich bisa tahu sosok sang monster yang sesungguhnya. This is the rea Godzilla! Mungkin pada akhirnya film ini tidak sanggup memenuhi ekspektasi saya dengan terlalu bertele-tele pada drama karakter yang tidak efektif dibandingkan mengeksplorasi perjuangan mati-matian manusia menghadapi kaiju layaknya Pacific Rim. Tapi setidaknya film ini sudah berhasil menunaikan misi mulianya, yakni untuk memperlihatkan siapa sesungguhnya Godzilla sang raja monster. Tentu saja saya sangat menantikan sekuel film ini yang kabarnya akan mengambil inspirasi dari Destroy All Monsters yakni tentang sebuah pulau yang berisi galeri monster-monster musuh Godzilla. Semoga kita bisa melihat King Ghidorah atau Destroyah disana.

2 komentar :

Comment Page:
Gantono mengatakan...

Komen orang jepang yg bilang gemukan itu ternyata nampak banget, juga itu malah terlalu mirip ama beruang mukanya

Rasyidharry mengatakan...

Hehe iyasih agak overweight, tapi masih jauuh lebih keren daripada versinya Emmerich yang kadal gajebo