THE ROCKET (2013)

Tidak ada komentar

Setiap tahunnya Australia selalu berhasil menghasilkan film-film yang sukses menyita perhatian dunia khususnya lewat berbagai festival-festival. Sebut saja Snowtown, Lore, Samson and Dellilah, dan masih banyak lagi film bagus lainnya dari negeri kanguru tersebut. Untuuk tahun 2013 sendiri The Rocket-lah yang mencuri perhatian. Tidak hanya menjadi perwakilan Australia di ajang Oscar tahun ini, film garapan sutradara Kim Mordaunt ini juga berhasil meraih kesuksesan di berbagai macam festival. Pada Tribecca Film Festival, The Rocket berhasil meraih dua penghargaan di ajang Audience Award, yaitu untuk Best Narrative Feature dan Best Actor bagi aktor cilik Sittiphon Disamoe. Meskipun ini merupakan film Australia, tapi setting tempatnya berada di Laos, tepatnya di sebuah desa tradisional yang terletak di dekat hutan. Ceritanya dimulai saat seorang wanita bernama Mali (Alice Keohavong) tengah menjalani proses persalinan dengan dibantu oleh ibunya, Taitok (Bunsri Yindi). Tentu saja kebahagiaan begitu terasa setelah anak Mali yang berjenis kelamin laki-laki akhirnya lahir. Tapi kebahagiaan tersebut langsung berubah menjadi kekhawatiran disaat Mali ternyata mengandung anak kembar. Berdasarkan kepercayaan lokal, jika ada bayi kembar maka salah satu diantaranya akan membawa keberuntungan dan satunya lagi membawa kutukan kesialan.


Tapi ternyata bayi yang kedua meninggal dalam proses persalinan, membuat Taitok menyarankan untuk membunuh bayi pertama karena bisa saja bayi yang bertahan hidup itulah yang membawa kutukan. Tapi tentu saja Mali tidak bersedia membunuh puteranya. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk menguburkan bayi yang meninggal di bawah pohon mangga dan merahasiakan hal tersebut dari sang suami, Toma (Sumrit Warin). Bayi yang bertahan hidup diberi nama Ahlo (Sittiphon Disamoe). Ahlo tumbuh menjadi bocah yang ceria dan begitu aktif. Taitok sendiri masih tidak menyukai Ahlo karena kekhawatirannya akan kutukan yang bisa dibawa oleh anak itu. Disisi lain Mali terus bersikukuh bahwa puteranya itu bukanlah seorang pembawa sial dan amat menyayanginya. Sampai suatu hari terjadi sebuah tragedi yang membuat Ahlo disalahkan atas kejadian tersebut. Berbagai hal buruk pun mulai terjadi di sekitarnya. Benarkah Ahlo memang seorang anak yang membawa kesialan? Ahlo pun berusaha membuktikan bahwa ia tidak membawa kesialan sambil dibantu oleh seorang gadis cilik bernama Kia (Loungnam Kaosainam) yang tinggal bersama pamannya yang eksentrik dan penggemar James Brown bernama Purple (Suthep Po-ngam) setelah orang tuanya meninggal akibat malaria.

Sebagai sebuah drama yang menjadikan anak kecil sebagai sosok sentral, The Rocket harus berhadapan dengan sebuah masalah besar yang sering dihadapi film serupa, yaitu jangan sampai konflik dan pengemasannya terlalu dewasa sehingga terasa dipaksakan. Banyak sekali film yang menjadikan anak-anak sebagai karakter utama tapi bukannya berfokus pada kepolosan yang natural dari seorang bocah, film tersebut justru memaksakan diri untuk memasukkan konlik dewasa. Hal itu justru membuatnya menjadi kurang mengena. The Rocket sendiri memang terasa dewasa, mulai dari segi konflik hingga dialog-dialog yang terlontar dari mulut kedua karakter anak kecilnya. Sesekali saya sedikit terganggu dengan hal itu tapi hebatnya tidak sampai terasa benar-benar dipaksakan dan tidak aneh sama sekali. Meski kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Kia terasa terlalu bijak dan Ahlo terlalu dewasa saya tidak merasakan itu sebagai hal yang buruk. Semua itu disebabkan oleh kehebatan berakting kedua pemain utamanaya. Sittiphon Disamoe dan Loungnam Kaosainam berhasil mengemban tugas berat. Mereka harus berdialog layaknya orang dewasa dan memainkan berbagai adegan yang cukup menguras emosi khususnya bagi Sittiphon Disamoe. 
Film ini juga tidak terasa kaku berkat beberapa sentuhan humor yang efektif. Jelas konfliknya serius, tapi ada berbagai momen lucu yang secara kuantitas minim tapi dari segi kualitas amat baik dengan timing yang juga sempurna, membuat setiap kemunculannya berhasil membuat saya tertawa. Keunggulan lain film ini berasal dari sinematografinya yang berhasil menagkap dengan sempurna keindahan-keindahan alam di Laos. Tidak ada pemandangan yang benar-benar megah, tapi pengemasan sinematografi yang baik membuat kesederhanaan itu tetaplah terasa indah. Sutradara Kim Mordaunt sanggup memanfaatkan dengan baik setiap keunggulan yang dia punya dan menyatukan semuanya menjadi satu kemasan yang bagus. Padahal secara tempo, The Rocket tidaklah berjalan cepat, bahkan di beberapa bagian terasa lambat. Tapi walaupun lambat, temponya tidak pernah terasa diseret, semuanya berjalan dengan lancar dan nyaman untuk diikuti. Belum lagi ditambah beberapa letupan-letupan yang hadir baik dari adegan emosional sampai beberapa adegan mengejutkan dengan timing sempurna hingga membuat saya tidak menyadari adegan itu akan datang. Begitu datang saya pun hanya dibuat ternganga dan terdiam.

Berbicara tentang adegan yang emosional, The Rocket punya puncak yang emosional. Klimaksnya cukup "kurang ajar" dalam mengaduk-aduk perasaan saya. Saya dibuat merasakan berbagai jenis emosi pada klimaks film ini. Saya dibuat tegang, takut, haru, hingga pada akhirnya meneteskan air mata akibat sebuah adegan yang begitu uplifting di akhirnya. Menonton klimaks film ini rasanya mirip seperti saat saya menonton tim sepak bola favorit saya bertanding. Berasa harap-harap cemas, hingga saat momen terjadinya gol saya bersorak kegirangan, sama seperti yang saya rasakan saat melihat roket milik Ahlo akhirnya turut serta dalam festival roket. Secara keseluruhan The Rocket sebenarnya cukup sederhana dari segi cerita. Bertutur tentang para outsider yang berusaha untuk membuktikan pada orang-orang bahwa mereka bukanlah seorang yang buruk seperti yang dikira oleh masyarakat sekitar, film ini sebenarnya predictable. Pertanyaan tentang "apakah Ahlo pembawa sial atau bukan" sudah bisa diduga jawabannya sesaat setelah pertanyaan tersebut terlontar. Tidak ada kejutan. Namun perjalanan menuju pertanyaan itulah yang mempunyai banyak kejutan dan naik turunnya emosi, menjadikan The Rocket sebagai film yang sederhana diluar, tapi di dalam begitu penuh warna.

Tidak ada komentar :

Comment Page: