LE WEEK-END (2014)

Tidak ada komentar
Dalam kolaborasi keempatnya (tiga film, satu serial televisi) sutradara Roger Michell dan penulis naskah Hanif Kureishi kembali mengangkat kisah tentang karakter lansia seperti yang pernah mereka lakukan di Venus delapan tahun lalu. Ceritanya sendiri telah dikembangkan oleh keduanya selama tujuh tahun, dimulai saat mereka melakukan perjalanan ke Bukit Montmartre yang terletak di sebelah Utara kota Paris. Le Week-End sendiri terasa seperti versi lansia dari trilogi "Before" milik Richard Linklater karena sepanjang film fokusnya hanya berada pada seputaran obrolan serta konflik (yang juga hadir dalam obrolan) antara kedua karakter utamanya ditambah dengan setting sebuah kota yang indah. Kedua karakter utamanya adalah Nick (Jim Broadbent) dan Meg (Lindsay Duncan) yang tengah merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-30. Tentu saja anniversary dari pernikahan yang telah berlangsung lama itu harus spesial, dan hal itu jugalah yang ada di benak Nick. Dia berencana mengajak istrinya ke Paris yang tidak lain adalah tempat dimana mereka melakukan bulan madu. Untuk menambah kesan nostlgia, Nick pun menyewa hotel yang sama dengan yang mereka gunakan dahulu.

Tapi ternyata rencana tersebut tidak berjalan sesuai rencana disaat hotel yang dipesan Nick sudah tidak sama lagi bentuknya dengan masa bulan madunya dulu, dan hal itu membuat Meg begitu kecewa. Apa yang terjadi berikutnya adalah kedua pasangan ingin "berimprovisasi" dalam perjalanan mereka di Paris, mendatangi banyak tempat dan menginap di hotel mahal. Namun pada kenyataannya, kekecewaan karena hotel itu bukanlah permasalahan terakhir dan terbesar yang mereka hadapi. Pernikahan mereka yang telah berlangsung 30 tahun lamanya akan benar-benar mendapat ujian berat yang ironisnya terjadi pada hari anniversary keduanya. Dengan alur yang berjalan lambat dan mayoritas berisi dialog antara Nick dan Meg, maka wajar saja jika ekspektasi saya akan Le Week-End adalah film ini menjadi "versi lansia" dari trilogi "Before". Tentu saja bukan berarti membandingkan kedua film itu, tapi lebih kepada bagaimana saya berharap film ini akan punya rangkaian dialog yang menarik untuk disimak, bisa terasa romantis dan menyentuh tanpa perlu dramatisasi berlebihan, serta mengeksplorasi manis dan pahitnya hubungan cinta para orang-orang tua. Harapan yang akhirnya gagal terpenuhi.
Dialog berisi pertengkaran kecil antara Nick dan Meg begitu mendominasi paruh awal sampai pertengahan film. Pada awalnya momen demi momen penuh letupan kecil itu terasa menghibur, karena begitu menarik melihat bagaimana dua sosok lansia dengan karakter masing-masing yang kuat saling bertengkar, berbeda pendapat, dan sering tidak akur tapi pada akhirnya selalu saling mengerti dan terpancar rasa sayang yang begitu besar diantara keduanya. Tapi setelah beberapa lama dan momen serupa terus menerus diulang oleh Roger Michell, kesan repetitif yang kuat makin terasa, dan filmnya pun jadi semakin membosankan. Kenapa Before Sunrise dan sekuel-sekuelnya bisa terasa begitu menarik meski hanya diisi oleh dialog? Jawabannya karena apa-apa saja yang dikatakan oleh karakter dalam film-film tersebut menarik dan kaya dimana tidak hanya membahas konflik diantara mereka. Banyak dialog quoteable yang membahas berbagai macam subjek mulai dari cinta sampai yang berbau filosofis. Sedangkan dalam Le Week-End, dialognya tidak bergerak keluar dari konflik dan pertengkaran antara Nick dan Meg. Mungkin penyebab pertengkarannya selalu berbeda, tapi yang terjadi repetitif, dimana Meg yang keras akan marah sedangkan Nick yang lebih "lemah" akan bimbang. Pada akhirnya mereka pun berbaikan dan tertawa bersama lagi. Begitu seterusnya, dan terasa membosankan.
Tensinya baru terasa kembali menarik saat tingkatan emosional yang muncul dalam konfliknya mulai meninggi seperti saat Nick menuduh Meg berselingkuh, munculnya "kata-kata mengejutkan" dari Meg, sampai pertemuan dengan teman lama Nick, Morgan (Jeff Goldblum). Salah satu adegan favorit saya tentunya bagian makan malam di rumah Morgan yang terasa begitu menyentuh lewat katarsis dari kedua karakter utamanya yang dihantarkan juga dengan sempurna oleh Jim Broadbent dan Lindsay Duncan. Semenjak kehadiran momen-momen itulah Le Week-End kembali terasa menarik, meski sayangnya keberadaan momen demi momen membosankan tadi sudah membuat saya tidak bisa mencintai film ini. Mungkin secara keseluruhan saya masih bisa menikmatinya, tapi tidak mencintainya seperti yang saya harapkan sebelum menonton. Naskah dari Hanif Kureishi memang bagus, khususnya dalam hal penggambaran tentang pasangan suami istri tua yang sudah puluhan tahun menikah. Dengan sempurna kita akan diajak melihat akan seperti apa bentuk konflik yang hadir, seperti apa resolusi dari konflik tersebut, sampai seperti apa cara mereka menyatakan cinta satu sama lain yang tentunya berbeda dengan pasangan-pasangan muda.

Penggambaran kisah bittersweet-nya memang sempurna, tapi sebagai film yang berbasis dialog, kalimat-kalimat yang hadir kurang menarik untuk disimak, ditambah lagi pengemasan dari Roger Michell yang repetitif. Sempat kembali menarik sampai klimaks, sangat disayangkan Le Week-End ditutup dengan sebuah feel good ending yang dikemas dengan begitu klise. Bukan konten klisenya yang saya kritisi, tapi lebih kepada bagaimana Roger Michell memilih adegan menarik sebagai penutup. Mungkin tariannya unik tapi tetap saja sebuah adegan menari untuk menutup film guna menciptakan aura feel good sudah terlalu klise, bahkan sedikit tercipta awkward moment saat melihat bagaimana ekspresi dan reaksi dari Jeff Goldblum pada adegan ini. Mungkin Le Week-End adalah gambaran yang sempurna tentang bagaimana pasangan di usia pernikahan mereka yang sudah menginjak puluhan tahun lengkap dengan akting yang memikat. Sebagai observasi film ini bagus, tapi sebagai sebuah tontonan yang menarik film ini kurang berhasil, meski saya tidak sampai hati mengatakannya sebagai film yang buruk karena memang digarap dengan baik meski memang mengecewakan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: