BLACK DYNAMITE (2009)

Tidak ada komentar
Pada era 70-an ada sebuah genre yang menjadi tren dan begitu menjamur di perfilman dunia termasuk Hollywood dengan mengusung nama blaxploitation. Dari namanya pun sudah terlihat bahwa genre tersebut erat kaitannya dengan kaum kulit hitam (singkatan dari black dan exploitation). Pada kenyataannya film-film blaxploitation memang dibuat oleh dan untuk kaum kulit hitam, namun pada era 70-an ternyata masyarakat umum juga cukup menyukai genre film tersebut. Beberapa hal yang menjadi ciri khas genre ini salah satunya adalah para pemainnya dimana mayoritas merupakan kaum kulit hitam dengan rambut afro sedangkan para kulit putih biasanya menjadi sosok penjahat atau pemerintah yang korup. Lalu kisahnya berada di sekitaran perbudakan atau gembong narkoba berisikan banyak wanita sekso yang dieksploitasi tubuhnya dan dialognya akan banyak berisi istilah-istilah kaum kulit hitam lengkap dengan umpatan-umpatan khas mereka. Seperti rindu akan semua hal itu, Michael Jai White mencetuskan ide untuk membuat lagi sebuah film blaxploitation. Dengan bantuan sutradara Scott Sanders, keduanya membuat sebuah trailer guna mencari dana meski saat itu naskah filmnya belum ada. Setelah dana terkumpul barulah filmnya mulai dibuat dan jadilah Black Dynamite ini.

Black Dynamite berkisah tentang Black Dynamite (Michael Jai White) mantan anggota CIA sekaligus veteran perang Vietnam yang begitu ditakuti oleh banyak pihak bahkan termasuk para gangster dan pengedar narkoba. Suatu hari ia mendapat kabar duka saat sang adik ditemukan tewas tertembak di jalan. Tentu saja sebagai seorang jagoan sekaligus ahli kung-fu yang juga ahli menaklukkan hati para wanita Black Dynamite tidak tinggal diam. Dia pun mulai mengumpulkan orang-orang dan menyelidiki kematian sang adik, mencari tahu siapa sebenarnya dalang dibalik hal itu. Disamping itu ada juga subplot tentang usaha Black Dynamite membersihkan jalanan  dari para pengedar narkoba setelah ia tahu dari Gloria (Salli Richardson) bahwa anak-anak di panti asuhan juga ketagihan narkoba. Berhubung Black Dynamite adalah orang berhati mulia yang tidak tega melihat anak-anak polos tersebut ketagihan ditambah rasa senasib karena ia juga adalah yatim piatu serta modus untuk bisa bercinta dengan Gloria, pahlawan tak terkalahkan kita inipun memulai aksinya memberantas semua kejahatan yang ada di depannya. Ya, Black Dynamite ini memang hebat, berondongan senapan tidak bisa mengenainya, bahkan para secret service milik Presiden pun semua tumbang dalam hitungan detik.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TJOET NJA' DHIEN (1988)

2 komentar
Mungkin sampai sekarang Tjoet Nja' Dhien tetap menjadi sebuah ilm yang tidak pernah absen jika ada daftar film-film terbaik Indonesia sepanjang masa. Mari kita tengok prestasi film yang dibuat oleh Eros Djarot ini. Di dalam negeri, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih delapan piala di FFI termasuk film terbaik dan aktris terbaik untuk Christine Hakim. Film ini juga menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar untuk Best Foreign Language Film meski akhirnya gagal masuk nominasi final. Film ini juga menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Cannes Film Festival bahkan berhasil meraih penghargaan Best International Film. Bagi Christine Hakim sendiri perannya sebagai Tjoet Nja' Dhien merupakan perannya yang paling ikonik dan memantapkan namanya tidak hanya sebagai salah satu aktris terbaik Indonesia bahkan dunia, dimana salah satu buktinya dia pernah menjadi salah seorang juri di Cannes Film Festival tahun 2002 lalu. Selain Christine Hakim, film ini juga diisi banyak nama besar lain sebut saja Slamet Rahardjo, Pitrajaya Burnama (bagi yang menggemari film-film Warkop DKI pasti akrab dengan aktor satu ini), Rita Zahara, sampai Rudi Wowor. 

Film ini sendiri mengambil kisah dari tahun 1897 saat Teuku Umar (Slamet Rahardjo) makin memperkuat perlawanannya terhadap tentara Belanda setelah selama ini berpura-pura bekerja sama dengan tujuan mengumpulkan persenjataan yang memadahi. Tjoet Nja' Dhien sendiri tidak hanya seorang istri bagi Teuku Umar tapi juga merupakan "otak" dari segala perlawanan yang dilakukan sang suami terhadap penjajahg. Jika Teuku Umar adalah adalah ujung tombak dan pemimpin, maka sang istri adalah otak yang membidani segala taktik yang dipakai dalam peperangan. Perlawanan terus berlanjut dan pihak Belanda mulai tertekan, hingga akhirnya tahun 1899 Teukuk Umar tewas akibat tertembak di medan perang. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Leubeh (Muhamad Amin) juga jadi salah satu penyebab diketahuinya gerakan yang dilakukan Teuku Umar dan pasukannya. Sepeninggal sang suami, Tjoet Nja' Dhien akhirnya turun langsung memimpin pasukan Aceh di medan peperangan. Filmnya pun mulai memperlihatkan bagaimana perjuangannya yang tidak kenal menyerah bahkan saat kondisi fisik sudah melemah akibat beberapa penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

2 komentar :

Comment Page:

FULL METAL JACKET (1987)

Tidak ada komentar
Another Kubrick's movie...yang berarti akan identik dengan kegilaan, visi luar biasa jenius, perfeksionisme sang sutradara yang kental terasa hingga konten cerita yang menyiratkan kerapuhan manusia. Lagi-lagi Kubrick membawa itu semua dalam sebuah genre yang berbeda. Kali ini giliran kisah perang Vietnam yang ia angkat dalam sebuah adaptasi dari novel The Short-Timers karangan Gustav Harford. Memang Full Metal Jacket bukanlah satu-satunya film perang dari Kubrick, karena 30 tahun sebelumnya ia pernah membuat film peperangan lain berjudul Paths of Glory, namun bisa dibilang film inilah yang lebih fenomenal. Filmnya dibagi menjadi dua bagian, dimana 45 menit pertama akan berfokus pada pelatihan gila-gilaan yang dialami oleh para calon marinir dimana pelatihan tersebut benar-benar menggembleng fisik dan mental mereka secara habis-habisan. Sedangkan lebih dari satu jam sisanya dihabiskan untuk membawa kita menuju medan perang yang sesungguhnya di Vietnam. Saya sendiri lebih merasa terikat pada paruh pertamanya dimana kita akan melihat para marinir ini dihajar habis dalam latihan berat yang dipimpin oleh Sersan Hartman (R. Lee Ermey). Hartman tidak hanya menyuruh anak buahnya berlatih fisik tapi juga rutin "menyemprot" mereka dengan berbagai makian yang membuat setiap anggota disana tidak ada harganya sama sekali.

Keseharian yang begitu keras itu jugalah yang memberi tekanan pada para calon marinir tersebut termasuk bagi Gomer Pyle (Vincent D'Onofrio). Pyle yang bertubuh gemuk dan sering kesulitan saat latihan fisik dan kedisiplinan selalu jadi korban teriakan Hartman. Namun itu belum seberapa sampai akhirnya ia juga mendapat perlakuan bullying dari rekan-rekannya, termasuk Joker (Matthew Modine) yang sebenarnya selama ini selalu setia membantu Pyle dan menjadi satu-satunya sahabat bagi dirinya. Kemudian paruh keduanya berpindah ke Vietnam dimana Joker kini telah menjadi sersan dan bertugas sebagai jurnalis dalam kesatuan marinir. Setelah terjadinya sebuah serangan di markas, Joker dan rekannya, Rafterman (Kevyn Major Howard) ditugaskan untuk meliput peperangan yang terjadi di belahan lain Vietnam. Mereka berdua bergabung di sebuah pasukan yang di dalamnya juga terdapat Cowboy (Arliss Howard), salah seorang teman Joker di masa pelatihan dulu. Pada penugasannya itulah Joker menjadi saksi kejam dan tragisnya perang Vietnam disaat ia melihat banyak mayat bergelimpangan mulai dari rekannya sendiri sampai para wanita dan anak-anak yang tidak bersalah. 

Saya kembali menyatakan bahwa paruh pertama film ini lebih saya sukai. Bahkan paruh pertama film ini terasa jauh lebih disutrbing dan lebih gila dibandingkan saat filmnya sudah bergerak maju menuju peperangan yang sesungguhnya. Di 45 menit awal ini Kubrick memperlihatkan bagaimana efek psikologis yang dialami oleh para calon marinir dibawah tempaan dari Sersan Hartman. Kita diajak melihat bagaimana orang-orang yang bisa dibilang polos dan lemah ini digembleng tidak hanya untuk menjadi tentara dengan fisik yang kuat, tapi lebih dari itu mereka dilatih untuk memiliki mental sebagai mesin pembunuh. Daripada "latihan" mungkin apa yang terlihat lebih tepat disebut "brainwashing" dimana pada otak mereka ditanamkan begitu banyak pola pikir yang intinya menjurus bahwa mereka hidup sebagai tentara adalah untuk membunuh musuh sebanyak mungkin di medan perang dan mereka harus menyerahkan seluruh jiwa raga mereka kepada tujuan tersebut. Tapi apa yang akhirnya terjadi sungguh ironis. Ada yang "kehilangan kewarasan" seperti Gomer Pyle akibat tekanan dan trauma yang ia alami bahkan sebelum terjun di medan perang. Sedangkan bagi mereka yang akhirnya tiba di peperangan menelan mentah-mentah kalimat "bunuh musuhmu" yang akhirnya membuat banyak dari mereka menjadi mesin pembunuh yang tidak pandang bulu dan membunuh untuk kesenangan.
Menyebut film seorang Stanley Kubrick sebagai film yang "aman" nampaknya tidak tepat, namun jika dibandingkan karya-karya Kubrick lain yang sudah saya tonton Full Metal Jacket terasa paling tidak ambisius setidaknya paruh kedua film ini. Disaat paruh pertamanya benar-benar gila mengeksplorasi dampak psikologis yang diterima oleh para calon tentara, paruh kedua terasa biasa saja. Jelas segala momen peperangannya dibuat dengan baik entah itu setting sampai efek peperangan (ledakan, desing peluru, asap, darah). Tapi tetap saja tidak ada aura outstanding di paruh keduanya. Akhirnya meski aura outstanding muncul di paruh pertama, namun karena yang kedua lebih lama berjalan Full Metal Jacket secara keseluruhan pun berakhir "hanya" sebagai film yang bagus. Sedangkan untuk ukurang Stanley Kubrick sebutan "bagus" menandakan filmnya tidak maksimal. Saya tidak merasakan aspek horor dalam peperangan di paruh keduanya. Bandingkan dengan Apocalypse Now milik Coppola yang benar-benar memperlihatkan betapa perang Vietnam itu merupakan horor nyata dalam kehidupan ini. Tapi meski secara nuansa horor-psikologis paruh keduanya kurang, lagi-lagi berkat penyutradaraan Kubrick berbagai momennya tetap tersaji menarik. Pemilihan lokasi perangnya sendiri cukup unik disaat mayoritas film berlatar perang Vietnam memilih hutan tropis, Kubrick memilih reruntuhan gedung sebagai lokasinya.

Saya sempat berpikir tentang apa yang coba Kubrick sampaikan lebih jauh dalam film ini. Jelas ini adalah film anti perang. Diluar segala satirnya serta sindiran tentang efek negatif perang pada mereka yang terlibat, Kubrick juga coba menyampaikan kontradiksi tentang fakta peperangan. Lihat sosok Joker yang memakai helm bertuliskan "Born to Kill" tapi di seragamnya memakai pin lambang perdamaian. Disitulah kontradiksi terasa dimana perang sering dilakukan dengan alasan mencari perdamaian, tapi dengan apa yang kita lihat dan telah terjadi di medan perang, apakah logis menyatakan itu semua sebagai sebuah jalan mencapai perdamaian? Kemudian saya mencoba melihat lebih jauh kenapa Kubrick memutuskan memecah filmnya menjadi dua bagian yang punya rasa sangat berbeda, ditambah paruh keduanya yang tidak terlalu "horor" untuk film yang coba memperlihatkan efek psikologis peperangan. Kenapa Kubrick yang perfeksionis "luput" akan hal vital itu? Jawabannya karena ini merupakan satir Kubrcik dimana segala dampak psikologis yang terjadi bukan serta merta "hanya" karena mereka melihat pemandangan mengerikan di medan perang tapi sudah dipupuk jauh-jauh hari sejak mereka berada di pelatihan. Semua itu adalah pupuknya, sedangkan medan perang adalah pemicu bangkitnya segala hal yang sudah ditanamkan di masa latihan dulu. Kedua bagian ini juga sama-sama menggambarkan transformasi karakternya. Jika paruh pertama menggambarkan Pyle dari seorang pecundang menjadi psikopat, maka paruh kedua memperlihatkan Joker dari seorang tentara bagian jurnalistik yang tidak berpengalaman menjadi "tentara sejati" yang diperlihatkan oleh thousand yard stare yang ia perlihatkan di akhir film.

Paragraf diatas mungkin terasa kontradiktif dengan apa yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya tentang kritikan terhadap paruh kedua film ini. Ya, pada akhirnya saya memahami kenapa Kubrick mengemas Full Metal Jacket sedemikian rupa, namunsaya tetap ingin menyampaikan segala apa yang saya rasakan saat menonton film ini hingga saya putuskan tetap menuliskan dua pendapat yang bertentangan tersebut. Kesimpulannya Full Metal Jacket adalah film yang hebat secara keseluruhan berkat keputusan Kubrick menyajikan semua tentang perang dan dampaknya dari sudut pandang yang berbeda dibanding film-film lain, bahkan hingga ke detail filmnya seperti pemakaian reruntuhan gedung sebagai arena peperangan dan bukannya hutan tropis. Full Metal Jacket pun meninggalkan banyak hal ikonik mulai dari helm bertuliskan born to kill, sosok Pyle yang mengerikan saat ia akhirnya "jatuh", dan tentunya sosok Sergeant Hartman lengkap dengan segala sumpah serapahnya. R. Lee Ermey tampil luar biasa dengan mayoritas dialog hasil improvisasinya sendiri yang memiliki banyak istilah aneh yang menggelitik. Bahkan Kubrick pun sampai tidak memahami makna kata "reach-around" yang ia gunakan sampai akhirnya menyetujui itu karena enak didengar. Disaat seorang Stanley Kubrick yang perfeksionis dan selalu ingin mengontrol semua aspek dalam filmnya, membiarkan seorang aktor mengimprovisasi "seenaknya" dialog yang ia gunakan menandakan betapa hebatnya aktor tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AUGUST: OSAGE COUNTY (2013)

3 komentar
August: Osage County mempunyai naskah yang merupakan adaptasi dari sebuah pementasan teater berjudul sama karya Tracy Letts. Pementasannya yang pertama dilakukan pada Juni 2007 meraih kesuksesan bahkan memenangkan pulitzer hingga akhirnya diadaptasi menjadi film yang disutradarai oleh John Wells ini. Ada banyak hal yang menjadikan film adaptasi naskah teater menjadi menarik untuk ditonton. Yang pertama adalah set lokasi yang biasanya tidak terlalu banyak, bahkan beberapa hanya berada di satu tempat sebut saja Rope milik Alfred Hitchcock. Hal lain yang menarik dari adaptasi naskah teater adalah karakter-karakternya yang begitu kuat hingga mampu menjadikan konflik sederhana yang tidak jarang hanya berupa pertengkaran dan barter dialog bisa terasa begitu hidup dan menarik. Kabar baiknya adalah orang yang menulis naskah film ini tidak lain adalah Tracy Letts sendiri, jadi kita bisa berharap filmnya masih punya semangat yang sama dengan versi teaternya. Selain itu, film ini juga diisi oleh begitu banyak nama besar mulai dari Julia Roberts, Ewan McGregor, Chris Cooper, Abigail Breslin, Bennedict Cumberbatch dan tentunya Meryl Streep. Bukannya berlebihan, namun jika suatu film punya naskah dan penggarapan yang buruk sekalipun film itu bisa tetap enak ditonton jika ada Meryl Streep, seperti The Iron Lady misalnya.

Bulan Agustus yang begitu panas menyengat di Osage County tepatnya di kediaman Violet Weston (Meryl Streep) terjadi kehebohan saat sang suami tiba-tiba saja menghilang ddan ditemukan tewas bunuh diri beberapa hari kemudian. Violet sendiri adalah seorang wanita yang ketagihan pil-pil penghilang rasa sakit setelah mengidap sebuah kanket mulut yang cukup parah. Seusai pemakaman diadakan makan malam yang diikuti semua anggota keluarga termasuk ketiga puteri Violet. Ada pasangan Barbara (Julia Roberts) dan Bill (Ewan McGregor) yang rumah tangganya tengah dilanda permasalahan datang bersama puteri mereka, Jean (Abigail Breslin) yang rebel. Kemudian ada Karen (Juliette Lewis) yang selalu banyak omong dan membanggakan hidup mewahnya datang bersama sang tunangan, Steve (Dermot Mulroney). Lalu si puteri bungsu Ivy (Julianne Nicholson) yang tinggal tidak jauh dari sana juga turut datang. Selain itu datang juga adik Violet, Mattie Fae (Margo Martindale) bersama sang suami Charles (Chris Cooper). Yang terakhir menyusul adalah putera mereka berdua yang canggung dan dianggap pecundang, Little Charles (Bennedict Cumberbatch). Namun acara makan keluarga itu tentunya tidak berjalan lancar karena akan ada banyak teriakan, umpatan, ejekan, tawa, perkelahian bahkan rahasia-rahasia besar yang terungkap. 

3 komentar :

Comment Page:

THE DAY HE ARRIVES (2011)

Tidak ada komentar
The Day He Arrives adalah satu lagi film Hong Sang-soo yang berhasil menembus Cannes Film Festival dimana film ini diputar peradana di kategori Un Certain Regard pada tahun 2011 lalu. Kali ini Hong kembali membungkus filmnya dengan format hitam putih, format yang bukan pertama kali ia gunakan karena dalam film  Virgin Stripped Bare by Her Bachelors yang rilis tahun 2000 pun Hong memakai format hitam putih. Aktor langganan Hong, Yoo Jun-sang yang total pernah lima kali berkolaborasi dengan sang sutradara juga kembali bermain dalam film ini sebagai karakter utamanya. Yoo Jun-sang berperan sebagai Seong-joon, mantan sutradara film yang sekarang bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah film dan tinggal di pedesaaan, meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai sutradara. Dalam The Day He Arrives diceritakan Seong-joon baru saja tiba di Seoul untuk bertemu dengan sahabatnya, Young-hoo (Kim Sang-joong). Tapi karena tidak terlebih dahulu menghubungi Young-hoo, Seong-joon pun terpaksa harus berjalan-jalan dulu di Seoul menunggu kabar dari sahabatnya tersebut. Beberapa tempat ia kunjungi, dan beberapa orang ia temui selama ia berada di Seoul. 

Salah satu orang yang dikunjungi oleh Seong-joon adalah mantan pacarnya, Kyung-jin (Kim Bo-kyung). Disana keduanya saling mengutarakan perasaan mereka secara emosional dimana mereka sesungguhnya masih sama-sama mencintai namun akhirnya memutuskan untuk benar-benar berpisah kali ini dan tidak akan pernah lagi saling menghubungi meski hanya lewat sms. Selepas dari ruma Kyung-jin, Seong-joon pun kembali mengunjungi beberapa tempat. Disinilah ceritanya mulai sedikit absurd dimana kita akan diajak melihat Seong-joon dan Young-hoo mengunjungi beberapa tempat secara berulang-ulang entah itu di hari yang berbeda atau dalam satu hari yang sama namun sebagai alternate reality. Beberapa orang pun secara bergantian ikut bersama Seong-joon dan Young-hoo mulai dari Bo-ram (Song Seon-mi), teman wanita dari Young-hoo yang juga mengajar di sekolah film, Joong-won (Kim Eui-seong) seorang mantan aktor yang pernah bermasalah dengan Seong-joon, sampai pemilik cafe tempat mereka minum-minum, yaitu wanita bernama Ye-jeon (diperankan juga oleh Kim Bo-kyung) yang selalu pergi meninggalkan cafe yang ia miliki.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

GIE (2005)

1 komentar
Nama Soe Hok Gie akan selalu dikenal sebagai sosok aktifis mahasiswa, ikon perlawanan terhadap orde lama yang sangat kritis dan vokal, serta tentunya sebagai pencetus berdirinya Mapala UI yang bisa dibilang merupakan pionir berdiri komunitas-komunitas mahasiswa pecinta alam lainnya di seluruh Indonesia. Film Gie yang dibuat oleh duet maut Riri Riza (sutradara & penulis naskah) dan Mira Lesmana (produser) ini adalah film yang memenangkan kategori Film Terbaik FFI tahun 2005. Selain itu film ini juga memberikan Nicholas Saputra piala FFI pertamanya sebagai aktor terbaik. Dengan segala prestasi dan orang-orang hebat yang terlibat, jelas film yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran tulisan Soe Hok Gie ini cukup berpotensi sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Saya sendiri baru pertama kali menonton Gie sekarang, sembilan tahun setelah filmnya rilis (memalukan memang, dan banyak film lokal lain yang saya lewatkan berniat saya tonton mulai sekarang). Awalnya saya menyesali keterlambatan saya menonton film biopic yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terbaik ini, namun sekarang saya justru menyesali penyesalan saya tersebut. Gie ternyata mengecewakan, dan merupakan salah satu yang terburuk dari seorang Riri Riza.

Ceritanya bermula sedari masa muda Soe Hok Gie (Jonathan Mulia) yang dari bangku sekolah terkenal sering melakukan protes dan mengecam ketidak adilan yang terjadi di sekitarnya. Berawal dari situlah ia mulai tumbuh menjadi seorang pemuda yang kritis terhadap segala hal yang ia anggap tidak adil. Hingga pada saat memasuki masa perkuliahan, Gie (Nicholas Saputra) mulai berorganisasi bersama sahabat-sahabatnya seperti Herma Lantang (Lukman Sardi), Denny Mamoto (Indra Birowo) dan Ira (Sita Nursanti). Bentuk organisasi mereka diawali dari pembentukan Mapala UI sampai keterlibatan mereka di senat mahasiswa. Dari sinilah perlawanan Gie dan para mahasiswa lainnya terhadap pemerintahan orde lama milik Soekarno yang dinilai penuh kediktatoran apalagi saat ia diangkat menjadi Presiden seumur hidup dimulai. Terjadinya konflik dengan PKI pun turut memicu konflik lainnya termasuk yang melibatkan sahabat masa kecil Gie, Han (Thomas Nawilis). Tidak hanya berkisah tentang sepak terjang Gie sebagai aktifis, kehidupan romansanya pun sedikit diangkat disini, dimana Gie sesungguhnya menyimpan rasa cinta kepada Ira namun merasa harus menghormati sahabatnya itu. Disisi lain Gie juga sempat menjalin hubungan dengan Sinta (Wulan Guritno) yang amat mengagumi Gie.

1 komentar :

Comment Page:

LONE SURVIVOR (2013)

Tidak ada komentar
Konflik militer di Afghanistan yang berlangsung dari tahun 2001 dan belum juga usai hingga sekarang. Selama lebih dari satu dekade sudah puluhan bahkan mungkin ratusan ribu nyawa yang menjadi korban peperangan tersebut. Salah satu kisah tragis nan heroik yang muncul dalam peperangan tersebut adalah sebuah kisah mengenai Operation Red Wings. Operasi itu adalah sebuah operasi yang dijalankan di tahun 2005 oleh US Navy SEAL namun akhirnya malah berujung kegagalan tragis. Hanya satu orang yang berhasil selamat dari menjalankan misi tersebut, dia tidak lain adalah Marcus Luttrell yang akhirnya pada tahun 2007 menerbitkan sebuah buku berdasarkan kejadian tersebut yang ia beri judul Lone Survivor.  Bukut itu jugalah yang menjadi dasar Peter Berg menulis naskah film ini. Sebenarnya setelah Battleship yang hancur-hancuran, saya sendiri cukup pesimistis Peter Berg dapat menghasilkan sebuah karya yang memikat. Lone Survivor sendiri memiliki beberapa nama besar di dalamnya mulai dari Mark Wahlber, Emilie Hirsch, Ben Foster, Eric Bana, sampai Taylor Kitsch. Untuk nama yang terakhir mungkin Lone Survivor bisa jadi ajang kebangkitannya setelah tahun 2012 lalu adalah momen hero to zero bagi Kitsch. Dari seorang aktor muda yang digadang menjadi the next big thing menjadi rajanya film box office bomb berkualitas mengecewakan seperti John Carter dan Battleship.

Pada 28 Juni 2005, SEAL team 10 yang bertugas di Afghanistan mendapat misi untuk membunuh salah seorang pimpinan Taliban bernama Ahmad Shah. Maka dikirimlah sebuah tim yang dipimpin oleh Michael Murphy (Taylor Kitsch) untuk melakukan penyergapan. Bersama Michael ada tiga orang prajurti lainnya, yakni Marcus Luttrell (Mark Wahlberg), Danny Dietz (Emilie Hirsch) dan Matt 'Axe' Axelson (Ben Foster). Awalnya misi tersebut berjalan lancar dimana mereka berempat masih bisa saling bercengkerama dna bercanda satu sama lain. Namun semuanya berubah disaat sinyal komunikasi mulai menghilang dan terjadi sebuah hal yang tidak mereka perkirakan. Mereka berempat terjebak di sebuah pegunungan terjal sekaligus dikepung oleh pasukan Taliban yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dari mereka. Jelas Lone Survivor berbeda dengan Battleship. Diluar film ini tidak melibatkan alien dan berbujet jauh lebih kecil, pendekatan yang dilakukan pun jelas berbeda dengan tujuan akhir yang berbeda pula. Jika Battleship murni sebuah film hiburan penuh ledakan yang "bodoh", maka Lone Survivor meski tetap punya banyak ledakan, dibuat sebagai bentuk penghormatan pada mereka para prajurit super tangguh Amerika khususnya yang gugur di medan perang. Ya, ini bukan sekedar pameran ledakan dari Peter Berg.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BLUE VELVET (1986)

Tidak ada komentar
"She wore blue velvet...Bluer than velvet was the night...Softer than satin was the light...From the stars..." Itu adalah cuplikan lirik lagu dari Blue Velvet yang dinyanyikan pertama kali oleh The Clovers pada tahun 1954 dan baru-baru ini dinyanyikan lagi oleh Lana Del Rey. Berulang kali mendengarkan lagu tersebut sembari berusaha mencerna liriknya perlahan saya pun mulai terhanyut dalam suasana misterius, terasa penuh dengan hasrat dan cinta namun tetap memiliki kesan yang misterius. Ada unsur "keseksian" yang kental dalam lagu tersebut tapi tetap tidak menutupi fakta bahwa atmosfer yang ditawarkan cukup kelam. Mungkin itu juga yang membuat David Lynch tertarik untuk membuat film ini.  Sampai saat ini Blue Velvet sendiri sering disebut sebagai salah satu film terbaik David Lynch bersama Eraserhead dan Mulholland Drive. Dirilis dua tahun setelah Dune yang gagal total baik secara pendapatan maupun respon kritikus (Lynch sampai menolak namanya dicantumkan dalam credit film tersebut) Blue Velvet bagaikan sebuah pembuktian kapasitasnya sebagai sutradara jenius nan sinting. Lewat film ini jugalah Lynch mendapat nominasi Oscar keduanya sebagai Best Director (yang pertama lewat The Elephant Man).

Tokoh sentral dalam film ini adalah Jeffrey Beaumont (Kyle MacLachlan) yang pulang ke kampung halamannya setelah sang ayah terkena serangan stroke yang fatal. Dalam perjalanan pulang setelah menjenguk sang ayah di rumah sakit, Jeffrey secara tidak sengaja menemukan sebuah potongan telinga manusia. Jeffrey kemudian menyerahkan telinga tersebut pada Detektif Williams (George Dickerson) untuk diperiksa. Merasa penasaran dengan kebenaran di balik telinga itu, Jeffrey mencoba menggali fakta dari sang detektif yang menolak untuk memberikan keterangan lebih jauh tentang kasus tersebut. Namun berkat informasi dari puteri sang detektif, Sandy (Laura Dern) Jeffrey pun mengetahui bahwa penemuan telinga itu ada hubungannya dengan seorang penyanyi cafe bernama Dorothy Vallens (Isabella Rossellini) yang tinggal di apartemen tidak jauh dari rumahnya. Merasa penasaran, pada suatu malam Jeffrey pun nekat menyusup masuk ke dalam apartemen Dorothy dan bersembunyi di dalam lemari pakaian. Malam itulah Jeffrey melihat pemandangan mengerikan saat seorang pria mengerikan pemilik fetish menjijikkan bernama Frank Booth (Dennis Hopper) datang ke apartemen Dorothy. Sejak malam itulah Jeffrey secara tidak ia sadari terlibat semakin jauh dalam hal yang sangat berbahaya termasuk hubungan yang ia jalin dengan Dorothy.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

NEW WORLD (2013)

2 komentar
 
Ada tiga alasan utama saya tertarik menonton film ini. Pertama, filmnya disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Park Hoon-jung yang merupakan penulis naskah dari I Saw the Devil yang merupakan salah satu film favorit saya. Kedua karena film ini berfokus pada dunia gangster, dimana film Korea dengan tema serupa yang terakhir saya tonton adalah Nameless Gangster yang masuk sebagai salah satu film favorit saya di tahun 2012 lalu. Alasan ketiga tentu saja karena keberadaan sosok Choi Min-sik, sang aktor terbaik dan terbesar Korea saat ini yang kebetulan juga ikut bermain dalam Nameless Gangster. Disini Min-sik masih berperan sebagai seorang anti-hero, bedanya dia tidaklah menjadi karakter slengekan seperti yang selama ini lekat dengan sosoknya. Disini Choi Min-sik berperan sebagai seorang pimpinan kepolisian bernama Kang Hyung-chul. Kang tengah menjalankan suatu operasi rahasia yang dinamakan Operation New World. Target dalam operasi tersebut adalah Goldmoon, sebuah perusahaan sekaligus sindikat kriminal terbesar di Korea yang terdiri dari gabungan beberapa geng besar. Untuk operasi itulah Kang menggunakan Lee Ja-sung (Lee Jung-jae) polisi yang sudah 10 tahun melakukan penyamaran sebagai anggota Goldmoon.

Setelah terjadinya kecelakaan misterius yang menewaskan sang pimpinan, Goldmoon pun mulai limbung dan harus segera mencari pimpinan baru. Kandidatnya adalah Jung Chung (Hwang Jung-min) dan Lee Joong-gu (Park Sung-woong) dimana keduanya adalah orang nomor 2 dan 3 di Goldmoon. Kondisi inilah yang coba dimanfaatkan oleh pihak kepolisian untuk turut mengatur pemilihan ketua Goldmoon supaya mereka bisa mendapat kontrol sepenuhnya terhadap organisasi tersebut. Untuk itulah kedekatan Ja-sung dengan Jung Chung coba dimanfaatkan untuk mendapat lebih banyak informasi. Menjalankan operasi ini bukan hal yang mudah bagi Ja-sung. Setelah 10 tahun melakukan penyamaran dia merasa bahwa ini akan sangat membahayakan jika diteruskan. Namun Kang berpikiran lain dan melanggar janjinya untuk menarik Ja-sung dan tetap menjadikannya umpan bagi segala informasi mengenai Goldmoon. Hal inilah yang terasa dilematis bagi Ja-sung. Disaat ia tengah menanti kelahiran bayi pertamanya ia justru dihadapkan pada misi berbahaya yang dilematis. Dilematis karena ia harus menjalankan tugasnya sebagai polisi dimana hal itu artinya dia harus mengkhianati Jung Chung yang sudah sangat percaya pada Ja-sung dan seperti saudara sendiri.

2 komentar :

Comment Page:

LOST HIGHWAY (1997)

Tidak ada komentar
Jalan cerita absurd yang tidak masuk akal, atmosfer kelam lengkap dengan iringan musik atmosferik yang menghantui, karakter-karakter sinting yang baik dari luar ataupun dalam tidaklah terasa seperti manusia, rangkaian adegan creepy bahkan disturbing yang bagaikan mimpi buruk. Disaat semua itu berpadu menjadi satu dibalik sebuah gorden merah misterius, maka saya tahu saya sedang berada dalam dunia antah berantah milik David Lynch. Saya bukan penggemar berat karyanya yang dengan bangga menyebut diri saya pengantu Lynchian, tapi selalu saja ada rasa penasaran bahkan mungkin kerinduan untuk kembali ke dunia sureal David Lynch yang tidak pernah mudah untuk dimengerti. Saya suka Mulholland Drive dan Eraserhead, sedangkan Inland Empire sampai sekarang menjadi film yang paling berhasil membuat saya tersesat dalam sebuah labirin mimpi buruk yang tidak nyaman. Selalu dibutuhkan atensi lebih saat menonton karya Lynch tapi seperti yang sudah saya bilang, bagaimanapun filmnya membuat saya pusing saya tetap selalu ingin menonton karyanya yang lain lagi. Kali ini giliran Lost Highway yang sampai saat ini dianggap sebagai salah satu film Lynch paling underrated yang jadi pilihan saya. Saya pun siap dibawa tersesat di sebuah jalan penuh kegelapan yang penuh misteri pekat. Tapi apa daya, kali ini dunia Lynch tidaklah seadiktif itu.

Fred Madison (Bill Pullman) adalah seorang pemain saxophone yang tinggal berdua bersama sang istri, Renee (Patricia Arquette). Suatu hari keduanya mendapat kiriman sebuah rekaman video misterius. Di dalamnya terdapat sebuah rekaman yang memperlihatkan rumah mereka. Bahkan di kiriman video berikutnya terlihat bahwa orang yang merekam video tersebut merekam Fred dan Renee saat sedang tidur, yang berarti ia berhasil masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan mereka. Disisi lain Fred mencurigai bahwa pelakunya adalah seorang pria misterius (Robert Blake) yang ia temui di pesta. Pria misterius tersebut memperlihatkan kemampuan anehnya yang bisa berada di dua tempat sekaligus dalam satu waktu. Hal itulah yang membuat Fred curiga. Filmnya kemudian melompat pada momen dimana Fred berada dalam tahanan polisi dengan tuduhan membunuh sang istri. Fred yang dijatuhi hukuman mati menjalani hari-harinya di penjara dengan tubuh yang dipenuhi rasa sakit. Hingga suati pagi seorang sipir dikejutkan saat melihat bahwa orang yang berada dalam sel bukan lagi Fred, namun seorang pemuda bernama Pete Dayton (Balthazar Getty). Dari sinilah ceritanya berubah, berfokus pada kehidupan Pete yang menjalani affair dengan Alice (Patricia Arquette), kekasih dari seorang gangster bernama Mr.Eddy (Robert Loggia).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE MAN WHO WASN'T THERE (2001)

Tidak ada komentar
Satu lagi film dari Coen Brothers yang mengangkat tema crime sebagai fokus utamanya. Sekedar informasi, dalam The Man Who Wasn't There Joel Coen masih mendapat kredit penyutradaraan sendirian karen baru pada tahun 2003 Directors Guild of America memperbolehkan sebuah film memberi kredit penyutradaraan pada dua orang atau duet. Sehingga dari debut mereka di tahun 1984 dalam Blood Simple sampai Intolerable Cruelty yang rilis di 2003 nama Ethan Coen masih belum mendapat kredit penyutradaraan. Barulah pada film The Ladykillers di tahun 2004 Joel dan Ethan berbagai kredit penyutradaraan. Kembali ke filmnya, The Man Who Wasn't There yang menjadikan Billy Bob Thornton sebagai aktor utamanya dikenal sebagai satu-satunya film Coen Brothers yang disajikan dalam format hitam-putih. Dengan bantuan sinematografer handal Roger Deakins yang juga menjadi langganan film-film Coen, The Man Who Wasn't There bagaikan sebuah tribute kepada genre film noir yang kental dengan suasana gelap, penuh bayangan dan siluet serta tentunya asap rokok yang mendominasi filmnya. Seperti film-film Coen Brothers lainnya disini kita masih akan menjumpai kegiatan kriminal yang tidak berjalan lancar, dilakukan oleh amatiran dan tidak pernah lepas dari hal-hal ganjil nan mengejutkan yang berbau kebetulan.

Ed Crane (Billy Bob Thornton) adalah seorang pria pendiam yang bekerja di tempat potong rambut milik kakak iparnya, Frank (Michael Badalucco). Ed tidak merasakan kebahagiaan atau hasrat dalam hidupnya yang selalu ia jalani dengan keheningan. Di tempat kerja ia selalu dibuat tidak nyaman oleh Frank yang selalu berbicara, sedangkan di rumah dia sudah lama tidak menjalin kemesraan dengan sang istri, Doris (Frances McDormand) hingga segala ungkapan cinta yang keluar dari mulut masing-masing terasa hampa. Bahkan Ed mencurigai Doris berselingkuh dengan Big Dave (James Gandolfini), bos dari pusat perbelanjaan tempat Doris bekerja. Suatu hari di tempat potong rambutnya Ed bertemu dengan pelanggan bernama Creighton Tolliver (John Polito) yang bercerita tentang sebuah investasi untuk sebuah produk berteknologi baru yang menawarkan dry cleaning. Merasa tertarik, Ed pun menawarkan diri untuk berinvestasi $10 ribu dengan uang yang rencananya akan ia dapat lewat memeras Big Dave. Ed mengirimkan sebuah surat tanpa nama yang mengancam jika Big Dave tidak membayar sejumlah itu, perselingkuhannya dengan Doris akan diketahui publik termasuk Ed. Awalnya semua nampak akan berjalan lancar disaat Big Dave justru mencurigai orang lain yang mengancamnya, bukan Ed. Uang pun akhirnya berhasil ia dapat, namun berbagai kejadian tidak terduga sudah menanti di depan Ed.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BLUE IS THE WARMEST COLOR (2013)

9 komentar
Diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karangan Julie Maroh, Blue is the Warmest Color adalah film yang tidak hanya berhasil meraih Palme d'Or pada ajang Cannes Film Festival tahun lalu namun juga berhasil mengguncang dengan kontroversi yang muncul karena konten seksualnya yang sangat vulgar. Selain karena kemenangannya di Cannes film ini memang banyak dibicarakan karena adegan seks lesbian yang dilakoni oleh dua aktrisnya dimana adegan tersebut disajikan dengan vulgar dan berlangsung selama lebih dari tujuh menit. Beberapa cerita miring tentang perlakuan tidak mengenakkan sutradara Abdellatif Kechiche kepada para kru dan pemainnya juga turut mengiringi perilisan film ini. Namun diluar segala kontroversi tersebut, Blue is the Warmest Color memang sebuah film yang begitu kuat dalam bertutur selama durasinya yang mendekati tiga jam. Menggabungkan kisah coming-of-age tentang pencarian jati diri dengan kisah romansa erotis sesama jenis, film ini membuktikan bahwa segala momen vulgar dan ketelanjangan yang hadir bukan sekedar cari sensasi belaka namun merupakan sebuah aspek substansial yang tidak bisa dipisahkan sebagai salah satu pondasi emosi filmnya. Jika dalam novel grafisnya ada sosok Clementine, maka versi filmnya memiliki Adele (Adele Exarchopoulos), seorang remaja SMA berusia 17 tahun.

Bersama teman-temannya Adele sering bergosip tentang para pria di lingkungan sekolah mereka. Adele sendiri tengah memulai sebuah hubungan dengan Thomas (Jérémie Laheurte), namun anehnya Adele tidak merasakan adanya gejolak seperti cinta dan hasrat dalam hubungan tersebut. Suatu hari ia dan sahabatnya yang gay, Valentin (Sandor Funtek) pergi ke sebuah gay bar. Disanalah Adele bertemu dengan Emma (Lea Seydoux), seorang gadis tomboy berambut biru yang dulu pernah berpapasan dengannya di jalan. Keduanya pun mulai saling mengobrol dan rutin bertemu sekedar untuk menghabiskan waktu bersama mengobrol di taman. Perlahan keduanya pun mulai berpacaran dan tinggal bersama. Hari-hari mereka diisi dengan kebahagiaan dan hasrat memuncak yang selalu tersalurkan lewat hubungan seks yang penuh gairah. Namun memasuki paruh kedua dalam kisah kehidupan Adele semuanya perlahan mulai berubah dimana segala kebahagiaan dan cinta mereka mulai mendapat cobaan. Termasuk dilema yang terjadi berkaitan dengan pencarian jati diri dan orientasi seksual dari Adele.

9 komentar :

Comment Page:

FINDING SRIMULAT (2013)

2 komentar
Meskipun bukan termasuk orang yang memuja Srimulat, harus diakui grup lawak yang berdiri tahun 1951 ini turut mengisi masa kecil saya dulu. Saya teringat sering menghabiskan waktu menonton "Aneka Ria Srimulat"di salah satu stasiun televisi swasta. Sayangnya acara tersebut harus berakhir pada tahun 2003 seiring dengan mulai munculnya hiburan-hiburan lain di televisi dan guyonan Srimulat sendiri mulai dianggap ketinggalan jaman. Mungkin benar pada awal tahun 2000-an guyonan yang ditampilkan oleh para anggota Srimulat sudah dianggap membosankan, namun saya yakin sampai saat ini komedi khas mereka yang mengandalkan slapstick dan plesetan-plesetan masih ampuh digunakan untuk sekedar mencairkan suasana saat berkumpul bersama teman-teman. Saya sendiri masih sering "mempraktekkan" komedi seperti jatuh dari kursi atau mata yang tercolok jari (atau benda apapun itu) dan percaya atau tidak semua itu masih ampuh. Jadi ambisi dan niat "mulia" dari Charles Gozali untuk mengadakan reuni Srimulat di layar lebar serta memperkenalkan mereka pada generasi zaman sekarang jelas angin segar dalam dunia perfilman khususnya komedi Indonesia. Disaat Indonesia tengah miskin komedi berkualitas memang sudah waktunya Srimulat "turun gunung" dan seperti tagline-nya mereka dibutuhkan untuk menyelamatkan Indonesia dengan tawa.

Adi (Reza Rahadian) tengah dililit banyak permasalahan. Mulai dari ide yang dicuri oleh teman kerja yang berujung pada bangkrutnya perusahaan tempat ia bekerja, sampai kesulitan keuangan yang membuatnya pusing tujuh keliling akibat sang istri, Astrid (Rianti Cartwright) dua minggu lagi akan segera melahirkan. Saat itulah ia secara tidak sengaja bertemu dengan Kadir yang kini membuka usaha soto. Pertemuan itu membuatnya teringat lagi akan masa kecilnya yang sangat mengagumi Srimulat. Akhirnya ia pun bermimpi untuk mengembalikan lagi grup lawak idolanya tersebut. Disatu sisi hal itu adalah mimpinya sejak lama dan disisi lain dia berharap pertunjukkan reuni Srimulat akan menghasilkan keuntungan besar guna membantu persalinan sang istri. Maka dimulailah perjalanan Adi untuk mengumpulkan anggota Srimulat yang kini telah berpisah dan menjalani hidupnya masing-masing mulai dari Tessy, Mamik, Gogon, hingga Djujuk. Tapi tentu saja usaha ini tidak berjalan mudah karena berbagai rintangan termasuk kesulitan finansial terus menghalangi jalan Adi dan para anggota Srimulat mewujudkan pentas reuni tersebut.

2 komentar :

Comment Page:

IN ANOTHER COUNTRY (2012)

Tidak ada komentar
Setelah dibuat terpukau oleh Nobody's Daughter Haewoon saya pun tertarik untuk menonton karya-karya lain dari Hong Sang-soo. Pilihan jatuh kepada In Another Country yang sempat berkompetisi memperebutkan Palme d'Or di ajang Cannes Film Festival tahun 2012 lalu. Pada saat itu ada dua film dari Korea yang berhasil berkompetisi disana yakni In Another Country dan The Taste of Money milik Im Sang-soo. Namun disaat The Taste of Money berada di posisi terbawah dalam penilaian para juri Cannes, In Another Country milik Hong Sang-soo berhasil berada di posisi 14 dari total 22 film yang berkompetisi. Filmnya sendiri dibintangi oleh aktor langganan Hong yakni Yoo Jun-sang dan aktris legendaris Prancis Isabelle Huppert. Dari cerita Huppert sendiri proyek film ini dimulai dari obrolan santai antara Hong dan dirinya di sebuah cafe dimana Hong menawari Huppert bermain dalam filmnya yang langsung diiyakan oleh sang aktris. Kisah dalam film ini dibuka dengan obrolan antara Won-joo (Jung Yoo-mi) dan ibunya (Yoon Yeo-jeong) yang sedang berada di daerah pesisir tepatnya di dekat pantai Mohang. Mereka disana untuk bersembunyi dari para penagih hutang. Untuk mengatasi rasa bosan yang ia alami, Won-joo memutuskan menulis naskah tentang cerita yang berlokasi di tempat ia berada sekarang. Tiga cerita berhasil ia tuliskan saat itu.

Dalam ketiga cerita tersebut semuanya memiliki karakter seorang wanita asal Prancis bernama Anne (Isabelle Huppert) yang tengah berkunjung ke Korea dan singgah di pantai Mohang. Namun meski punya nama yang sama dan berada di tempat yang sama, dalam tiap-tiap ceritanya karakter serta latar belakang dari sosok Anne selalu berbeda. Dalam cerita pertama Anne adalah seorang sutradara film terkenal asal Prancis yang datang untuk bertemu dengan temannya sesama sutradara, Jong-soo (Kwon Hae-hyo) yang tinggal bersama istrinya yang pencemburu dan sedang hamil tua, Geum-hee (Moon So-ri). Dalam cerita kedua, Anne datang ke tempat yang sama untuk bertemu dengan selingkuhannya, seorang sutradara asal Korea Moon-soo (Moon Sung-keun) disaat sang suami sedang dinas di Hong Kong. Sedangkan di cerita yang ketiga, Anne adalah seorang wanita Prancis yang baru saja bercerai dengan suaminya dan berkunjung ke Mohang bersama temannya, Park Soon (Yoon Yeo-jeong). Disana Anne berusaha mencari pemaknaan spiritual setelah dilanda kesedihan akibat perceraian yang dipicu perselingkuhan sang suami dengan wanita Korea. Dalam ketiga cerita tersebut selalu ada benang merah atau berbagai persamaan. Salah satunya adalah pertemuan dan interaksi Anne dengan seorang penjaga pantai (Yoo Jun-sang) yang canggung, terbata-bata dalam berbahasa Inggris namun menyukai Anne.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE WOLF OF WALL STREET (2013)

Tidak ada komentar
Jadi ini dia kolaborasi kelima antara Martin Scorsese dan Leonardo DiCaprio yang terakhir kali berduet di tahun 2010 lalu dalam Shutter Island. Kali ini mereka kembali dalam adaptasi memoir milik Jordan Belfort yang berjudul sama. Jordan Belfort sendiri adalah mantan pialang saham sukses yang dijuluki The Wolf of Wall Street dan kini dikenal sebagai seorang motivator. DiCaprio yang memerankan Belfort memang bakal menjadi sorotan utama, namun film ini tidak hanya memiliki DiCaprio. Ada Matthew McConaughey yang kini tengah berada di puncak karirnya dan digadang-gadang menjadi calon kuat pemenang Oscar tahun ini bersaing dengan DiCaprio sendiri, ada Jonah Hill yang perlahan mulai membuktikan bahwa dia tidak hanya bisa bermain dalam komedi-komedi jorok, ada Jean Dujardin sang aktor terbaik Oscar tahun 2012 lalu, hingga Kyle Chandler yang tengah kebanjiran peran dalam film-film bagus macam Argo, Zero Dark Thirty hingga The Spectacular Now. Filmnya sendiri sempat mengundang kontroversi saat dirilis akibat banyaknya adegan seks, penggunaan kokain, dialog penuh sumpah serapah, bahkan penggunaan hewan dalam filmnya sempat mengundang kontroversi dari banyak organisasi pecinta hewan. Dengan durasi hampir tiga jam (179 menit) nampaknya The Wolf of Wall Street akan jadi kolaborasi tergila Scorsese-DiCaprio.

Jordan Belfort (Leonardo DiCaprio) mengawali karirnya di Wall Street dengan bekerja untuk firma milik Mark Hanna (Matthew McConaughey). Lewat bimbingan Mark, Jordan mulai belajar menjadi pialang saham yang "baik" lengkap dengan gaya hidup hedonism penuh kokain dan seks seperti yang diajarkan sang mentor. Setelah peristiwa Black Monday yang mengejutkan dunia saham termasuk membuat bangkrut tempatnya bekerja, Jordan pindah ke sebuah perusahaan bisnis penny stocks di sebuah kota kecil di Long Island. Berkat bekal dan bakatnya merayu dengan tipuan licik pada para klien, perlahan Jordan pun meraup sukses disana. Tidak lama, bersama dengan teman barunya Donnie Azoff (Jonah Hill) Jordan membuka perusahaan kecil-kecilan yang dinamai Stratton Oakmont. Dengan mempekerjakan beberapa teman Jordan yang lebih banyak berurusan dengan marijuana daripada saham, mereka pun memulai usaha mereka dari nol. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya Stratton Oakmont menjadi perusahaan besar yang mempunyai banyak karyawan. Tentunya semua itu berasal dari kelihaian mereka untuk merayu dan akhirnya "membuang" para klien yang sudah berinvestasi. Keserakahan Jordan membuatnya tidak tahu bagaimana mengontrol diri. Kehidupannya semakin liar dengan kokain dan seks tidak terkontrol, bahkan ia berselingkuh dan akhirnya menikah dengan Naomi Lapaglia (Margot Robbie). Semuanya lancar sampai seorang agen FBI Patrick Denham (Kyle Chandler) mulai curiga dan menyelidiki perusahaan tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE SECRET LIFE OF WALTER MITTY (2013)

4 komentar
Pamor Ben Stiller sebagai seorang aktor komedi memang tengah meredup dimana terakhir kali filmnya meraih kesuksesan adalah tdi tahun 2011 lalu dalam The Heist. Namun mungkin banyak yang lupa bahwa komedian satu ini punya bakat lain diluar komedian. Dia membuktikan bahwa dia bisa berakting dengan baik seperti dalam Greenberg. Namun bakatnya yang satu lagi adalah menjadi seorang sutradara dimana sampai sebelum ini dia sudah pernyah menyutradarai empat film. Salah satu yang paling terkenal tentunya adalah Tropic Thunder yang dirilis tahun 2008 lalu dan sukses memberikan Robert Downey Jr. sebuah nominasi Oscar. Kali ini Ben Stiller kembali menjadi sutradara untuk kelima kalinya dalam sebuah adaptasi dari cerita pendek berjudul The Secret Life of Walter Mitty yang ditulis oleh James Thurber dan dipbulikasikan pada tahun 1939. Ya, ini adalah sebuah kisah klasik yang sudah berumur lebih dari 70 tahun dan sebelumnya juga pernah diadaptasi ke layar lebar pada tahun 1947. Film ini sendiri sebelum perilisannya sempat disebut-sebut sebagai salah satu yang akan meramaikan ajang penghargaan tahun ini. Pada akhirnya itu memang tidak terwujud karena tanggapan para kritikus pada film ini terhitung mixed. Namun saya tetap tertarik melihat bagaimana visi seorang Ben Stiller terhadap kisah tentang berpadunya fantasi dan realita kehidupan ini.

Walter Mitty (Ben Stiller) adalah karyawan di majalah Life yang bertugas mengurus negatif sebuah foto yang nantinya akan ditampilkan di majalah termasuk untuk sampulnya.Walter sendiri adalah seorang pria pendiam dan pemalu. Dia sering terdiam dan tenggelam dalam lamunannya tentang berbagai peristiwa luar biasa yang ia alami. Tentu saja semua itu hanyalah khayalan Walter semata karena ia sama sekali tidak punya keberanian untuk melakukan hal-hal tersebut termasuk salah satunya adalah mendekati Cheryl Melhoff (Kristen Wiig), rekan kerjanya yang sudah lama ia sukai. Jangankan untuk berkomunikasi langsung, hanya untuk "menyapa" Cheryl lewat sebuah situs kencan online pun Walter ragu-ragu. Suatu hari datanglah permasalahaan disaat majalah Life akan berganti format menjadi majalah online dan akan segera menerbitkan edisi terakhirnya termasuk melakukan banyak pemecatan terhadap karyawan yang dianggap tidak memberikan kontribusi maksimal bagi perubahan majalah tersebut. Untuk edisi terakhir itulah akan dipakai sebuah foto dari Sean O'Connell (Sean Penn) yang selama ini telah cukup banyak memberikan karyanya pada Life. Namun ternyata negatif foto yang akan dipakai tidak ada dalam paket negatif yang diterima Walter. Kini Walter pun harus berpacu dengan waktu untuk menemukan negatif yang hilang tersebut. Kali ini dia pun harus menjalani sebuah petualangan nyata yang tidak hanya berasal dari imajinasinya belaka.

4 komentar :

Comment Page:

BLUE JASMINE (2013)

2 komentar
Woody Allen jelas merupakan salah satu sutradara terbaik sekaligus paling produktif di Hollywood. Namun jika menilik karyanya akhir-akhir ini, sangat terasa bagaimana fluktuatifnya kualitas film yang ia hasilkan. Sebagai contoh setelah tahun 2011 ada Midnight in Paris yang sangat bagus bahkan berhasil memenangkan Oscar bagi naskah yang ia tulis, Woody Allen membuat To Rome With Love di tahun 2012 yang mengecewakan. Pada akhirnya saya sendiri tidak pernah terlalu antusias disaat Woody Allen merilis film tiap tahunnya kecuali jika film tersebut mendapatkan respon yang amat positif atau bahkan mendapat buzz di ajang penghargaan. Blue Jasmine sendiri mendapat respon positif khususnya terhadap performa Cate Blanchett yang digadang-gadang bakal meraih Oscar keduanya tahun ini (piala pertamanya adalah Best Supporting Actress dalam film The Aviator). Mungkin Blue Jasmine tidak akan lagi mengajak kita berjalan-jalan menikmati pemandangan-pemandangan berbagai kota indah di Eropa seperti yang belakangan ini dilakukan Woody Allen, namun ia kembali mengajak kita ke kota New York dan apartemen kelas menengah. Masih menghadirkan drama berbalut komedi lewat rentetan dialog yang muncul bertubi-tubi dengan selipan dialog khas sang sutradara. Kali ini ditambah akting bagus Cate Blanchett.

Jasmine (Cate Blanchett) baru saja pindah dari rumah mewahnya di San Francisco ke rumah sederhana milik adiknya, Ginger (Sally Hawkins) di New York setelah mengalami depresi akibat kebangkrutan yang ia alami. Sebelumnya, Jasmine adalah seorang sosialita yang hidup mewah, rajin berpesta, memiliki barang-barang mahal dan bersuamikan seorang pengusaha sukses bernama Hal (Alec Baldwin). Namun suatu hari bisnis ilegal yang dijalankan oleh Hal diketahui pihak kepolisian. Hal pun ditangkap dan semua hartanya disita. Kebangkrutan yang tiba-tiba itu membuat Jasmine tidak siap dan mengalami depresi. Sekarang dia sering bicara sendiri di jalan. Jasmine pun menetap di rumah Ginger sampai dia bangkit kembali sambil terus berusaha menata ulang kehidupannya termasuk berusaha mencari uang dan pendamping hidup yang baru. Namun tentu saja bukan hal mudah bagi Jasmine yang sudah terbiasa hidup mewah untuk berada dalam kondisi tidak punya apa-apa dan bekerja keras seperti itu. Disisi lain Ginger sendiri tengah memulai hubungan baru dengan Chili (Bobby Cannavale) setelah bercerai dengan suami pertamanya. Kali ini memang Woody Allen tidak terlalu banyak memainkan kisah romansa, meski aspek tersebut masih ada. Tema depresi yang dijadikan fokus disini, dan tentunya dikemas dengan gaya Woody Allen yang menyelipkan humor.

2 komentar :

Comment Page:

MODERN TIMES (1936)

5 komentar
 
Charlie Chaplin masih tetap kukuh membuat film bisu meskipun semenjak 1929 film suara mulai mengambil alih. Tapi karyanya terbukti masih berkualitas seperti yang ia buktikan dalam City Lights yang rilis tahun 1931 dan menjadi salah satu karya terbaik Chaplin diantara karya-karyanya yang selalu masuk deretan komedi sepanjang masa. Bagi saya sendiri yang bukan termasuk penyuka komedi slapstick City Lights yang juga merupakan perkenalan saya dengan film Chaplin adalah sajian yang bagus. Bukan hanya dari komedinya tapi juga dari sisi dramanya. Bahkan ending film tersebut merupakan salah satu ending paling mengharukan yang pernah saya tonton. Lima tahun kemudian Chaplin membuat Modern Times yang awalnya menjadi usahanya untuk membuat film bersuara namun ia urungkan karena menurut Chaplin itu akan merusak ciri khas dari karakter The Tramp yang begitu ikonis dengan ekspresi dan gestur. Akhirnya dalam film yang ide dasarnya berawal dari obrolan antara Chaplin dengan Mahatma Gandhi ini, dilakukan sebuah eksperimen yang menggabungkan antara film bisu dengan beberapa efek suara dialog. Bahkan dalam Modern Times penonton untuk kali pertama mendengarkan suara The Tramp sekaligus yang terakhir karena setelah ini karakter itu "dipensiunkan".

Modern Times berkisah tentang era great depression yang terjadi pada era 30-an saat kondisi perekonomian tengah carut marut dan orang-orang berebut pekerjaan di berbagai pabrik. The Tramp disini pun merupakan salah satu pekerja di sebuah pabrik yang mengeksploitasi para buruhnya. Bahkan ada usaha untuk memaksimalkan waktu kerja dengan menghilangkan jam makan siang. Hal itu membuat Tramp mengalami nervous breakdown yang menyebabkan kecelakaan di pabrik, dan diapun harus masuk ke rumah sakit jiwa. Sialnya setelah keluar dari sana ia terjebak dalam sebuah demonstrasi dan akibat suatu kesalah pahaman (yang tentu saja konyol) dia pun harus dijebloskan ke dalam penjara. Singkat cerita, Tramp dianggap pahlawan karena menggagalkan usaha beberapa narapidana untuk kabur dan menyerang polisi. Hal itu membuatnya mendapat kehidupan yang tercukupi dan bahagia di penjara. Kebingungan ia rasakan saat tiba waktunya hari kebebasan. Diluar penjara itulah ia bertemu seorang gadis yatim piatu (Paulette Goddard) yang baru saja kehilangan ayahnya. Gadis tersebut menolak dibawa ke penampungan dan memilih hidup di jalan dan makan dengan cara mencuri. Dari situlah kedua orang ini mulai saling mengenal dan membangun mimpi bersama untuk kehidupan yang lebih baik.

5 komentar :

Comment Page:

BELENGGU (2013)

1 komentar
Bagi yang sudah pernah menonton film-film garapan Upi Avianto pasti familiar bahwa sutradara yang satu ini gemar membuat film-film yang bisa dibilang stylish seperti Realita, Cinta dan Rock'n Roll, Radit dan Jani sampai Serigala Terakhir terlepas dari apakah style tersebut substansial dan terasa pas ataukah hanya tempelan belaka dan kadang terasa menggelikan. Tapi dari deretan filmnya saya yakin sesungguhnya Upi punya kemampuan serta potensi yang sangat besar untuk menyajikan film yang memuaskan dan punya gaya yang unik, berbeda dibanding film-film Indonesia kebanyakan. Maka dari itu saat trailer dari film Belenggu atau yang berjudul lain Shackled ini muncul dan mengingatkan pada film-film macam Black Swan serta karya-karya surealis David Lynch saya pun tertarik untuk menontonnya, dan baru kesampaian setelah DVD filmnya rilis karena jaringan bioskop di kota saya seperti biasa kurang bersahabat dengan film-film lokal yang dianggap kurang mainstream seperti ini. Melakukan premier di Puchon International Fantastic Festival pada 2012 lalu, Belenggu tidak dibintangi oleh Vino Bastian layaknya film-film Upi melainkan Abimana Arsatya (Catatan Harian Si Boy) yang mulai memantapka namanya sebagai salah satu aktor terbaik negeri ini.

Belenggu berkisah tentang Elang (Abimana) seorang pria yang tinggal di sebuah apartemen sendirian, bertetangga dengan Djenar (Laudya Cynthia Bella) dan puterinya yang masih kecil, Senja (Avrilla). Di kota tempat Elang tinggal sedang muncul teror dari seorang pembunuh berantai yang mengincar para perempuan sebagai korbannya. Elang sendiri sering mengalami mimpi aneh tentang seorang wanita dan kemunculan sosok misterius dengan kostum kelinci membantai orang-orang dengan bersenjatakan kapak. Elang akhirnya bertemu dengan sosok wanita misterius tersebut yang ternyata adalah seorang pelacur bernama Jingga (Imelda Therinne). Elang yang merasa iba pada Jingga akhirnya membawa wanita itu untuk tinggal ke apartemennya, dimana perlahan terkuak bahwa ada misteri yang lebih besar dalam diri Jingga. Disatu sisi misteri tentang sosok pembunuh berantai tersebut juga terus menarik perhatian Elang dimana dia mencurigai suami dari Djenar sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Elang pun harus bergelut dengan usahanya meyakinkan Djenar ditambah dengan berbagai pemandangan misterius nan menyeramkan yang selalu mengganggu hari-harinya.

1 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HUSTLE (2013)

6 komentar
 
David O. Russell memang akhir-akhir ini tengah rajin merilis film dan film-filmnya tersebut selalu dicintai oleh juri Oscar. Mulai dari The Fighter sampai Silver Linings Playbook semuanya meraih keberhasilan di Oscar dimana masing-masing mendapat enam dan delapan nominasi termasuk di kategori Best Picture. Hal yang sama juga nampaknya akan diraih oleh film terbarunya ini, American Hustle. Setelah mendapat buzz yang sangat kuat dan dianggap menjadi salah satu front runner untuk Oscar 2014, yang terbaru adalah keberhasilan film ini meraih kemenangan di ajang Golden Globe untuk kategori Best Musical or Comedy. Saya sendiri bukan termasuk fans dari karya-karya David O. Russell. Saya kecewa dengan The Fighter dan meski saya menyukai Silver Linnings Playbook, namun film tersebut bagi saya tidaklah sehebat yang dibilang banyak orang sampai berhasil meraih delapan nominasi Oscar. Namun saya setuju bahwa David O. Russell memang ahli memilih dan mengarahkan para pemainnya. Maka dari itu American Hustle tetap sangat menarik bagi saya dimana David O. Russell "menggabungkan" jajaran pemain dari dua film terakhirnya mulai dari Christian Bale, Bradley Cooper, Amy Adams, Jennifer Lawrence sampai Robert De Niro yang mendapat sebuah peran kecil.

Cerita dalam American Hustle diadaptasi secara lepas dari sebuah operasi Abscam yang dilakukan oleh FBI pada akhir 70-an hingga awal 80-an. Christian Bale berperan sebagai Irving Rosenfeld yang sekilas terlihat sebagai seorang pemilik laundry biasa namun sesungguhnya dia adalah penipu yang handal dengan modus meminjamkan uang kepada orang-orang. Dia berpartner dengan Sydney Prosser (Amy Adams), seorang mantan stripper yang kemudian mengganti identitasnya menjadi seorang wanita Inggris bernama Lady Edith Greensly. Keduanya tidak hanya menjadi rekan kerja dalam menipu tapi juga menjalin romansa. Namun hubungan mereka "terganggu" dengan keberadaan istri Irving, Rosalyn (Jennifer Lawrence) yang akan mengambil hak asuh anak adopsi Irving jika Irving menceraikannya. Namun penipuan yang dilakukan Irving dan Sidney akhirnya berhasil dibongkar oleh agen FBI, Richard "Richie" DiMaso (Bradley Cooper) yang kemudian memanfaatkan kemampuan menipu mereka berdua untuk menjebak para pejabat korup. Salah satu tergetnya adalah Carmine Polito (Jeremy Renner) walikota New Jersey yang dicintai rakyat dan dikenal sebagai family man. Sang walikota tengah berusaha melegalkan bisnis casino untuk meningkatkan perekonomian New Jersey namun terganjal masalah dana, sebuah situasi yang coba dimanfaatkan oleh Richie.

6 komentar :

Comment Page:

ENOUGH SAID (2013)

Tidak ada komentar
Film yang disutradarai sekaligus ditulis naskahnya oleh Nicole Holofcener ini merupakan salah satu film "kecil" yang berhasil menjadi kejutan di tahun 2013 lalu. Enough Said berhasil meraih keuntungan yang cukup besar ($20 juta dari bujet yang hanya $8 juta) serta mendapat tanggapan sangat positif dari para kritikus. Bahkan film ini juga berhasil mendapat nominasi di berbagai ajang penghargaan seperti Golden Globe untuk Julia Louis-Dreyfus di kategori Best Actress-Comedy or Musical dan Screen Actor Guild Awards untuk James Gandolfini di kategori Best Supporting Actor. Selain kedua nama tersebut ada juga aktris Toni Collette (The Way Way Back) dan tentunya Catherine Keener yang selalu menjadi langganan Nicole Holofcener dan selalu bermain dalam semua film sang sutradara. Enough Said sendiri memberikan pendekatan kisah cinta ala komedi romantis kebanyakan, hanya saja kedewasaan yang dimiliki ceritanyalah yang menjadi perbedaan. Filmnya memang bercerita tentang hubungan percintaan yang terjalin antara dua orang paruh baya yang sama-sama telah bercerai dari pasangan mereka masing-masing.

Karakter utamanya adalah Eva (Julia Louis-Dreyfus), seorang ahli pijat yang tinggal bersama puteri tunggalnya, Ellen (Tracey Fairaway) yang akan segera pindah keluar kota untuk berkuliah. Suatu malam ia datang ke sebuah pesta bersama sepasang temannya, Will (Ben Falcone) dan Sarah (Toni Collette). Pada pesta itulah Eva berkenalan dengan dua orang yang kemudian akan mengisi kehidupannya. Yang pertama adalah seorang wanita yang berprofesi sebagai penulis puisi, Marianne (Catherine Keener). Semenjak pertemuan itu Marianne pun mulai menjadi klien dari Eva sekaligus sehabat yang setia berbagi cerita. Bagi Marianne yang tidak punya seorang pun sahabat, kehadiran Eva membuatnya mempunyai teman cerita khususnya tentang hubungannya dengan sang mantan suami yang juga telah kandas. Sedangkan satu orang lagi adalah Albert (James Gandolfini), seorang pria paruh baya yang awalnya tidak menarik perhatian Eva namun setelah berkenalan lebih jauh keduanya mulai saling tertarik satu sama lain dan memulai hubungan romansa. Selain berusaha kembali membangun hubungan romansanya, Eva juga harus berhadapan dengan sang puteri yang terasa menjauh darinya meski sebentar lagi akan pindah keluar kota. Ironisnya Eva justru lebih dekat dan lebih sering berbagi dengan teman Ellen, Chloe (Tavi Gevinson).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE SPECTACULAR NOW (2013)

4 komentar
Satu lagi film bertemakan coming-of age di tahun 2013 setelah The Way Way Back  dan The Kings of Summer berasal dari James Ponsoldt yang sebelumnya menyuguhkan pada kita drama tentang alkoholik dalam Smashed di tahun 2012 lalu. Dalam The Spectacular Now, Ponsoldt membawa kembali Mary Elizabeth Winstead yang menjadi aktris utama dalam Smashed, namun kali ini Elizabeth Winstead hanya menjadi pemeran pembantu karena sosok sentral dari film ini ada pada duo Miles Teller (Rabbit Hole & Project X) dan Shailene Woodley (The Descendants). Tentu saja layaknya film-film lain yang bertemakan coming-of age, The Spectacular Now akan membawa kita pada perjalanan karakter utamanya dalam menghadapi berbagai konflik yang menimpanya dan membawa sang karakter menuju pendewasaan diri berkat pelajaran hidup yang ia pahami setelah melewati segala konflik tersebut. Fokus utama film ini adalah Sutter Keely (Miles Teller), seorang remaja yang menjalani hidup penuh pesta dan hedonisme. Dia adalah tipikal remaja yang hidup untuk bersenang-senang hari ini tanpa mau repot-repot memikirkan masa depannya kelak. Sutter sendiri merasa bahagia dengan hal itu termasuk dengan hubungan cinta yang ia jalin dengan Cassidy (Brie Larson).

Namun akibat sebuah salah paham, Cassidy memilih untuk memutuskan hubungan dengan Sutter, bahkan tidak lama kemudian ia menjalin hubungan dengan Marcus (Dayo Okeniyi) yang seorang ketua kelas dan siswa beprestasi di sekolah. Tentu saja itu membuat Sutter begitu terpukul dan memilih mabuk-mabukan untuk melampiaskan patah hatinya. Tanpa ia sadari ia mabuk sampai tertidur di halaman orang lain dan ditemukan oleh Aimee Finecky (Shailene Woodley), gadis teman sekolahnya yang lugu, sedikit nerd, dan tentu saja tidak dikenal oleh Sutter yang hobinya mabuk-mabukan di pesta. Sutter pun akhirnya memilih menjadikan Aimee sebagai pelampiasan sementara dari patah hatinya. Dia mau membantu Aimee melakukan pekerjaannya mengantar koran, mengajak Aimee ke pesta, sampai puncaknya menjadikan Aimee teman kencannya di acara prom. Aimee yang polos tentu saja merasa bahwa kedatangan Sutter yang membuatnya jatuh cinta merupakan babak baru dan kebahagiaan yang juga baru dalam kehidupannya. Sedangkan bagi Sutter yang masih mengharapkan cinta Cassidy, hubungan yang ia jalin dengan Aimee memang pada awalnya ia niati hanya bersifat sementara, namun ia tidak sadar bahwa Aimee juga membawa babak baru dalam kehidupannya.


The Spectacular Now adalah kisah tentang bagaimana kita menghadapi masa lalu, masa kini dan masa sekarang. Ini adalah kisah coming-of age tentang bagaimana kita seharusnya hidup tidak hanya untuk masa kini dan terus tenggelam untuk memikirkan masa lalu. Seperti karakter Sutter yang menjalani hidupnya hanya untuk menikmati masa sekarang dan terus tenggelam pada kenangan masa lalu dimana dia masih belum bisa move on dari sang mantan pacar. James Ponsoldt dan The Spectacular Now mengajak kita untuk menatap ke depan dan beranjak maju seberapa indahnya masa lalu dan seberapa menyenangkannya masa sekarang. Namun bukan berarti kita benar-benar harus meninggalkan masa lalu karena pada akhirnya masa lalu akan menjadi sebuah keping memori yang indah layaknya seorang mantan pacar yang pernah memberikan kenangan romansa yang memabukkan. Biarkan hal itu menjadi memori indah untuk dikenang namun jangan jadikan itu sebagai jalan hidup kita sekarang yang selalu kita kejar lagi. Namun The Spectacular Now tidak hanya menuturkan hal-hal tersebut di seputaran kisah cinta, karena paruh keduanya mengajak kita menelusuri hal yang lebih mendalam dari sekedar romansa masa SMA. Ya, ini adalah tentang memandag ke depan dan move on dalam segala hal baik itu cinta maupun kehiudpan secara keseluruhan.
Kekuatan utama The Spectacular Now ada pada segala kesederhanaan ceritanya yang membuat saya mampu merasakan bahwa kisah-kisah yang ada juga sempat atau bahkan sedang terjadi dalam kehidupan saya sendiri. Karakterisasi serta akting dari kedua pemain utamanya juga sangat menarik untuk disimak. Shailene Woodley sempurna sebagai Aimee yang karakternya membuat saya merasakan sensasi yang sama seperti saat bertemu dengan seorang gadis yang menarik di dunia nyata. Kenapa saya bilang menarik? Karena pada awalnya sosok Aimee dengan segala kepolosannya termasuk kepolosan make-upnya tidaklah terlihat cantik-cantik amat namun semakin saya mengenal karakternya dan semakin sering berinteraksi dengannya sosok Aimee semakin terlihat menarik, cantik dan likeable. Chemistry yang ia jalin dengan Miles Teller juga begitu kuat dan membuat momen-momen mereka berdua terasa mengena entah itu obrolan yang terasa menyenangkan, seks lugu yang lucu, hingga pertengkaran dalam mobil yang begitu emosional dan menyentuh. Hubungan antar Sutter dengan Aimee pun menjadi terasa simpatik dan hingga akhir saya dibuat terus berharap supaya mereka berakhir bersama.

Cukup dengan segala kesederhanaan cerita dan karakter yang membumi dan mudah disukai sudah cukup menjadikan The Spectacular Now sebagai film coming-of age terbaik dari deretan film-film serupa yang dirilis tahun 2013 lalu. Sebuah kisah menyentuh yang mengajarkan untuk beranjak ke masa depan dan mengambil keputusan yang tepat diantara pilihan-pilihan sulit yang dilematis. The Spectacular Now pada akhirnya juga mengajarkan tentang bagaimana kita untuk menerima kenyataan disaat sesuatu yang begitu kita bela dan puja ternyata tidak seindah dan tidak sebaik yang kita bayangkan sebelumnya. Alurnya mengalir dengan begitu mulus termasuk saat pergantian babak dari kisah romansa di paruh keawal menuju pencarian fakta kehidupan lebih mendalam yang dilakukan oleh Sutter. Pada akhirnya The Spectacular Now ditutup dengan begitu dramatis saat kita diperlihatkan ekspresi Shailene Woodley yang terasa ambigu namun menyisakan banyak harapan akan kelanjutan romansa Sutter dan Aimee. Anda yang sedang bingung karena tidak bisa move on dari segala aspek hidup apapun termasuk romansa segeralah menonton The Spectacular Now. Tidak salah bersenang-senang hari ini, tidak salah pula mengenang masa lalu asalkan tetap terus hidup menatap masa depan.

4 komentar :

Comment Page:

12 YEARS A SLAVE (2013)

2 komentar
Meminggirkan Shame serta Michael Fassbender dari ajang Oscar tahun lalu jelas merupakan hal yang harusnya membuat para juri Oscar malu. Sebuah karya luar biasa Steve McQueen yang diisi studi mendalam tentang pria dengan satyriasis yang diisi penampilan memikat Michael Fassbender itu nyatanya tidak dilirik oleh mereka. Mungkin karena tema filmnya yang terlalu kontroversial dan vulgar? Saya tidak tahu. Yang jelas kali ini McQueen kembali lagi kali ini dengan tema perbudakan yang sudah sering diangkat dalam media film dan tentunya lebih bersahabat untuk para juri Oscar. Michael Fassbender untuk ketiga kalinya secara berturut-turut akan bermain dalam film McQueen. Namun kali ini ia tidak sendiri karena ada ensemble cast besar yang mengisi 12 Years A Slave dimana selain Fassbender ada Chiwetel Ejiofot, Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Paul Giamatti serta Brad Pitt yang juga bertindak sebagai produser. Ceritanya sendiri berdasarkan sebuah memoir berjudul sama milik Solomon Northup, seorang budak kulit hitam yang menuturkan kisahnya selama menjadi korban perbudakan keji selama 12 tahun lamanya. Sosok Solomon sendiri diperankan oleh Chiwetel Ejiofot yang selama ini lebih banyak dikenal dalam perannya dalam berbagai miniseri di televisi.

Solomon adalah seorang kulit hitam yang hidup sebagai manusia bebas dan tinggal di Saratoga, New York bersama istri dan dua anaknya. Solomon hidup dalam kebahagiaan lengkap dengan statusnya sebagai seorang pemain biola berbakat yang terpandang di masyarakat. Suatu hari ia ditawari untuk bergabung dalam rombongan sirkus sebagai pemain biola yang mengiringi pertunjukkan sulap sirkus tersebut. Tentu saja Solomon menerimanya dengan senang hati apalagi ia dijanjikan bayaran yang tidak sedikit dalam pekerjaan tersebut. Namun malang bagi Solomon ternyata itu semua hanyalah perangkap untuk menjual Solomon kepada seorang penyalur budak bernama Theophilus Freeman (Paul Giamatti) yang mulai menawarkan Solomon beserta budak-budak kulit hitam lainnya kepada para pemilik perkebunan. Solomon pun mulai menjalani 12 tahun kehidupannya sebagai seorang budak yang banyak mengalami serta menyaksikan peristiwa mengenaskan. Beberapa kali Solomon berpindah tuan. Pernah ia dimiliki oleh William Ford (Bennedict Cumberbatch) yang baik hati. Namun pernah juga ia berakhir di perkebunan kapas milik Edwin Epps (Michael Fassbender) yang terkenal kejam pada para budaknya.

2 komentar :

Comment Page:

NOBODY'S DAUGHTER HAEWON (2013)

3 komentar
Selain Kim Ki-duk yang merupakan sutradara favorit saya (ranking filmnya bisa dilihat disini) ada beberapa sutradara asal Korea Selatan yang dikenal sebagai langganan festival-festival film macam Venice hingga Cannes, salah satunya adalah Hong Sang-soo. Sama seperti Kim Ki-duk, film-film karya Hong Sang-soo merupakan film arthouse yang tidak bersahabat dengan penonton mainstream, kurang berhasil di Box Office, namun sering meraih kesuksesan di festival luar negeri. Sebelum Kim Ki-duk memenangkan Un Certain Regard di Cannes pada 2011, Hong Sang-soo sudah meraihnya terlebih dahulu tepat setahun sebelumnya lewat filmnya Hahaha. Nobody's Daughter Haewoon merupakan satu dari dua film yang dirilis Hong Sang-soo pada 2013 (satunya berjudul Our Sunhi) sekaligus merupakan pengalaman pertama saya menonton karya sang sutradara. Jika Kim Ki-duk lebih sering mengeksplorasi sisi tergelap manusia lewat jalan yang ekstrim, maka Hong Sang-soo lebih sederhana dalam bertutur dengan mengambil banyak kejadian dan aspek yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari tanpa memberikan banyak dramatisasi. Hal itupun tergambar jelas dalam Nobody's Daughter Haewon. Seperti judulnya film ini berkisah tentang seorang wanita bernama Haewon (Jung Eun-chae) yang kisahnya akan dituturkan layaknya sebuah diary.

Haewon baru saja bertemu lagi dengan sang ibu setelah lima tahun lamanya. Namun ironisnya pertemuan itu juga merupakan perpisahan karena esoknya sang ibu akan pergi meninggalkan Korea untuk tinggal di Kanada. Jadilah hari itu mereka gunakan untuk mengobrol dan berjalan-jalan berdua menghabiskan waktu. Merasa kesepian setelah kepergian sang ibu, Haewon pun menghubungi Lee Seong-joon (Lee Sun-kyun) yang merupakan profesor di sekolah film tempat Haewon belajar. Keduanya sendiri dulu sempat menjalin hubungan sebelum memutuskan berhenti salah satunya karena sang profesor masih berstatus suami orang yang baru saja mempunyai bayi. Keduanya pun bertemu kembali dan menyadari bahwa mereka masih sama-sama merasakan cinta. Yang terjadi setelah itu adalah penelusuran keseharian Haewon berkaitan dengan hubungannya dengan Seong-joon termasuk saat mereka secara tidak sengaja bertemu dengan mahasiswa lain di sebuah tempat makan yang berujung pada sebuah acara minum-minum yang begitu awkward. Kisahnya begitu sederhana dan semakin kisahnya berjalan saya menyadari bahwa karakternya pun begitu nyata dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kesederhanaan yang sangat menguatkan filmnya secara keseluruhan.


Hong Sang-soo menghadirkan semuanya dengan begitu realistis mulai dari adegan yang ada, konflik yang terjadi, dialog yang muncul sampai tiap-tiap karakternya, semuanya begitu familiar karena sering terjadi di sekitar kita. Seorang mahasiswi jatuh cinta dengan profesornya yang sudah menikah? Obrolan yang berujung pada gosip tentang seseorang yang sesungguhnya tidak terlalu disukai meski berbagai gosip yang diobrolkan banyak yang tidak jelas kebenarannya? Semuanya sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kisahnya sendiri memang berfokus pada hubungan cinta Haewon dan Seong-joon, namun dibalik cerita cinta tersebut, ini adalah kisah tentang seseorang yang berkeinginan untuk hidup bebas. Seperti judulnya, Haewon memang adalah seorang gadis yang hanya ingin melakukan hal yang dia mau dan mengatakan yang dia inginkan. Dia ingin bebas. Ini adalah studi terhadap karakter Haewon yang punya keinginan besar untuk bebas. Dia seenaknya menerobos lokasi terlarang, dia berpacaran dengan profesornya dan lain-lain. Sadar atau tidak sosok seperti Haewon sering kita temui dalam keseharian. Wanita cantik yang ceria, easy going, terkesan seenaknya, mudah dekat dengan laki-laki hingga banyak yang membenci secara diam-diam. Sosok seperti Haewon saya yakin banyak yang membenci di dunia nyata, dan Nobody's Daughter Haewon mengajak ktia untuk mempelajari lebih mendalam tentang sosok wanita seperti itu.
Seperti yang sudah saya tuliskan, Haewon adalah seorang yang ingin bebas dan hanya mau melakukan yang dia inginkan. Semua hal itu karena dia memiliki pemikiran dan prinsip yang ia selalu pegang teguh tanpa bisa diganggu gugat. Hingga akhirnya jika ada orang yang berusaha mendebatnya itu hanya akan menjadi hal yang percuma karena Haewon terus memegang prinsipnya. Dia adalah wanita yang kuat, namun jika ditengok lebih dalam dia tidak lebih dari seseorang yang sedih dan kesepian. Dia baru saja ditinggal pergi oleh sang ibu, hubungan cintanya pun ia jalani secara diam-diam dan sejauh yang saya lihat ia tidak benar-benar mempunyai teman untuk berbagi cerita kecuali Yeon-joo (Ye Ji-won) yang notabene juga punya hubungan cinta yang sama dengan yang dialami oleh Haewon. Kesepian itulah yang memicu cara Haewon menjalani hidupnya dengan terkesan semaunya. Namun ia menjadi seseorang yang tidak memakai topeng dalam hidupnya dengan tingkah "semaunya" itu. Justru teman-temannya yang bergunjing itulah yang memakai topeng. Di depan mereka terlihat baik-baik saja namun di belakang banyak cerita buruk tentang ketidak sukaan mereka terhadap Haewon, dimana banyak dari cerita itu yang tidak benar dan ironisnya itu terjadi karena mereka tidaklah mengenal Haewon secara mendalam. Bukankah kejadian tersebut sering ktia temui atau bahkan lakukan di kehidupan sehari-hari?

Hong Sang-soo merangkum semuanya dengan begitu sederhana. Banyak one shot dan sudut kamerayang tidak terlalu bervariasi. Namun ia mampu membungkus semua adegannya dengan begitu kuat. Dalam Nobody's Daughter Haewon saya sangat suka bagaimana Hong Sang-soo beberapa kali menghadirkan momen pembicaraan yang tadinya hangat tiba-tiba berubah menjadi awkward dan tidak nyaman. Ketidak nyamanan yang berujung keheingan, salah tingkah ataupun pengalihan topik pembicaraan secara tiba-tiba. Akting bagus dari Jung Eun-chae juga turut berperan besar membangun rasa dan suasana film ini. Semuanya nampak begitu natural mulai dari ekspresi, gestur, caranya bertutur sampai bagaimana ia merespon lawan dialognya dalam berbagai situasi. Akting bagus ditambah bonus kecantikannya itu berhasil membuat sosok Haewon yang dalam dunia nyata adalah sosok yang dibenci menjadi likeable dalam film ini. Hal tersebut sangat membantu studi karaktenya, karena apa jadinya jika penonton sudah terlanjur tidak menyukai sebuah karakter dan "dipaksa" untuk mempelajari karakter tersebut?

Hadir dengan begitu realistis dan sederhana, film ini berhasil menghentak saya dengan ending yang terasa ambigu dan menghadirkan pertanyaan tentang mana yang kenyataan dan mana yang hanya mimpi dari Haewon. Namun jikalau banyak dari momen pentingnya yang hanya mimpi itu bukanlah "kecurangan" bagi saya karena hal itu tetap menggambarkan bagaimana keinginan dan impian Haewon untuk menjalani hidup apa adanya dan mendapatkan yang dia mau sebagai gambaran kebahagiaan idela baginya. Akhirnya Nobody's Daughter Haewon merupakan sebuah perkenalan yang begitu mengesankan kepada karya Hong Sang-soo. Sebuah studi karakter yang mengalun lambat, tanpa percikan emosi yang tinggi namun begitu menghanyutkan, mendalam dan menyenangkan ditonton. Semuanya begitu nyata dan dekat dengan kehidupan ini. Saya pun menjadi tertarik mengikuti karya-karya lain dari sang sutradara setelah ini.

3 komentar :

Comment Page: