LOVE EXPOSURE (2008)

2 komentar
 
Another Sion Sono's movie, another crazy movie! Semakin banyak saya menonton karya Sono semakin saya menyukai sutradara yang satu ini. Dia punya tingkat kegilaan yang tidak kalah dari kompatriotnya sesama sineas Jepang, Takashi Miike, tapi Sono punya kelebihan dalam penulisan ceritanya yang dalam, rumit serta banyak menyentil aspek-aspek kehidupan disekitar kita. Yang jelas tidak seperti Miike, Sono belum "tergoda" merambah area film pasar untuk mencari makan. Satu lagi karya gilanya dan mungkin yang paling lengkap adalah Love Exposure, film tahun 2008 yang berhasil meraih penghargaan FIPRESCI Prize pada ajang Berlin International Film Festival. Film ini sendiri pada awalnya mempunyai durasi enam jam sebelum akhirnya dipotong menjadi empat jam atas permintaan produser. Jadi film macam apa yang punya durasi sepanjang itu? Jawabannya adalah sebuah cerita cinta, agama dan keluarga yang epic dari seorang jenius bernama Sion Sono. Ada tiga karakter utama dalam film ini yang akan diperkenalkan satu per satu kepada penonton. Yang pertama adalah Yu Honda (Takahiro Nishijima) seorang remaja yang sedari kil tinggal di sebuah keluarga religius. Sang ibu selalu mengajarkan pada Yu sedari kecil untuk menjadi penganut Kristen yang taat, dan itu membuat Yu ingin mencari sosok wanita yang seperti Bunda Maria. Sepeninggal ibunya, Yu tinggal bersama sang ayah yang memilih untuk menjadi pendeta.

Kehidupan Yu bahagia bersama ayahnya yang juga dicintai para jemaat karena ceramahnya yang menyegarkan. Tapi kehidupan Yu berubah setelah sang ayah tergoda oleh seorang wanita bernama Kaori (Makiko Watanabe). Konflik dalam hubungan cintanya membuat sang ayah berubah dan selalu memaksa Yu mengakui dosa walaupun sang anak tidak berbuat dosa. Hal itulah yang mendorong Yu untuk berusaha sebisa mungkin berbuat dosa untuk memuaskan ayahnya. Dari seorang remaja baik hati, Yu berubah menjadi seorang fotografer celana dalam wanita yang ahli. Dia pun mendapat julukan "raja mesum" karena kehebatannya mengambil foto tanpa terdeteksi. Tapi Yu sendiri tidak terlalu menikmati apa yang ia lakukan, terlihat dari fakta bahwa ia sama sekali belum pernah mengalami ereksi meskipun mengambil banyak foto celana dalam wanita. Yu berharap suatu hari ia akan bertemu dengan "Maria" yang ia impikan. Dari situlah ia bertemu dengan karakter utama yang kedua, seorang wantia remaja bernama Yoko Ozawa (Hikari Mitsushima) yang ternyata merupakan anak dari mantan pacar Kaori. Lewat Yoko-lah Yu berhasil mendapatan ereksi pertamanya yang membuat Yu yakin bahwa Yoko adalah wanita yang ia cari selama ini. Tapi usaha Yu "mendapatkan" Yoko tidaklah mudah karena kebencian Yoko pada laki-laki yang dipicu pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya dulu. Belum lagi datangnya gangguan dari karakter ketiga, Aya Koike (Sakura Ando), wanita yang juga mendapat pelecehan seksual dari sang ayah dan kini menjadi salah satu anggota "Zero Church" sebuah agama sesat yang baru didirikan dan menimbulkan kontroversi.

2 komentar :

Comment Page:

SYNDROMES AND A CENTURY (2006)

Tidak ada komentar
Saya mengenal Apichatpong Weerasethakul lewat filmnya, Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (review) yang sukses meraih penghargaan Palme d'Or di Cannes Film Festival tahun 2010. Sutradara yang satu ini memang boleh dibilang merupakan sutradara paling sukses di Thailand dengan berbagai prestasinya di ajang Cannes. Sebelum Palme d'Or, dia sempat meraih Un Certain Regard lewat Blissfully Yours pada 2002 dan Jury Prize lewat Tropical Malady  pada tahun 2004. Sedangkan lewat Syndromes and a Century, Apichaptong mendapat nominasi Golden Lion di ajang Venice Film Festival. Tapi untuk film ini bukan prestasi hebatnya di kancah internasional yang membuat saya tertarik, melainkan konsep ceritannya yang unik. Saya tertarik menonton film ini setelah mendengar bahwa filmnya mempunyai dua cerita berbeda yang mana masing-masing cerita punya dialog sama dengan setting yang mirip namun pada akhirnya memberikan sebuah konklusi yang berbeda, menarik bukan? Tentu saja saya penasaran akan seperti apa Apichatpong mengemas sebuah film dengan dua cerita yang memiliki dialog sama tapi pada akhirnya memiliki konklusi yang berbeda. Cerita pertama film ini mengambil setting di sebuah rumah sakit kecil yang terletak di pedesaan. Filmnya dibuka dengan wawancara yang dilakukan oleh Dr. Toey (Nantarat Sawaddikul) kepada Dr. Nohng (Jaruchai Iamaram).

Semenjak pertemuan pertama itu ternyata Nohng mulai jatuh cinta pada Toey yang kemudian mulai menceritakan pengalaman dan hubungan masa lalunya dengan seorang laki-laki. Selain keduanya kita akan melihat juga interaksi lain antara dua orang karakter unik, yaitu seorang dokter gigi sekaligus penyanyi country bernama Ple (Arkanae Cherkam) dengan pasiennya, seorang biksu yang menyukai musik-musik modern bernama Sakda (Sakda Kaewbuadee). Lalu pada cerita kedua, setting berpindah ke sebuah klinik kesehatan besar di Bangkok dimana beberapa kejadian, adegan serta dialog yang muncul di cerita pertama kembali terulang namun diluar itu semuanya berbeda. Bicara soal dialog yang sama, Syndromes and a Century tidak memberikan seperti yang ada di ekspektasi saya. Memang ada beberapa dialog maupun situasi yang sama, namun secara kuantitas tidak terlalu banyak. Tapi meskipun tidak sesuai dengan ekspektasi, Apichatpong ternyata masih sanggup menebarkan sisi magisnya dalam film ini yang membuat kedua cerita yang hadir tetap merasa memiliki keterikatan begitu intim dalam hal rasa. Seperti yang sempat dikatakan Apichaptong, film ini akan menyentuh tema tentang memori dan tema tersebut menjadi benang merah yang begitu kuat menyatukan kedua ceritanya. Disaat cerita pertamanya banyak mengungkap memori dari karakter Toey, pada cerita kedua paruh pertama tentang kehidupan di rumah sakit kecil tersebut terasa bagaikan sebuah memori intim yang indah untuk dikenang. Hal-hal lain seperti mimpi juga turut menambah kuat aroma memori dalam film ini

Tidak ada komentar :

Comment Page:

OUR SUNHI (2013)

Tidak ada komentar
Satu lagi karya dari Hong Sang-soo, sutradara Korea Selatan yang lebih banyak mendapat apresiasi di festival luar negeri daripada dalam negeri. Pada tahun 2013 lalu, Hong cukup produktif dengan membuat dua film. Yang pertama adalah Nobody's Daughter Haewoon yang menjadi perkenalan saya dengan film Hong Sang-soo sekaligus membuat saya tertarik untuk menonton film-film lain dari sang sutradara. Sedangkan film kedua yang dirilis pada tahun 2013 adalah Our Sunhi yang berhasil memberikan Silver Leopard alias penghargaan untuk sutradara terbaik pada Locarno International Film Festival bagi Hong Sang-soo. Dalam Our Sunhi, Hong seperti biasa akan membawa beberapa nama yang pernah berkolaborasi dengannya, dimana ada Jung Yoo-mi (Like You Know it All, Oki's Movie & In Another Country) dan Lee Sun-kyun (Night and Day, Oki's Movie & Nobody's Daughter Haewon). Dalam film ini Hong masih akan mengajak penontonnya melihat drama sederhana yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sama seperti Nobody's Daughter Haewon, sosok utama yang menjadi fokus dalam film ini adalah seorang wanita muda bernama Sunhi (Jung Yoo-mi). Sunhi sendiri adalah mahasiswi perfilman yang menurut penuturan orang-orang adalah seseorang yang pintar dan bertalenta namun kurang baik dalam hal berkomunikasi.

Setelah menghilang dan tidak bisa dihubungi dalam waktu yang cukup lama, Sunhi kembali muncul di kampusnya untuk meminta surat rekomendasi pada profesor yang dulu mengajarnya, Dognhyun (Kim Sang-joong). Surat rekomendasi tersebut akan dipakai Sunhi untuk melanjutkan sekolah di Amerika. Di hari yang sama saat sedang berada di sebuah cafe Sunhi juga bertemu dengan mantan pacarnya, Munsu (Lee Sun-kyun). Dari pertemuan itu terlihat bahwa meski sudah lama tidak bertemu, Munsu masih jatuh cinta pada Sunhi. Tapi respon Sunhi mendengar hal itu ternyata tidaklah terlalu baik, dan itu membuat Munsu merasa begitu sedih. Akhirnya Munsu pun memutuskan untuk melampiaskan segala isi hatinya pada Jaehak (Jung Jae-young), seniornya yang akhir-akhir ini entah kenapa mulai menjauhi Munsu. Awalnya semua konflik yang ada masih terasa sederhana, sampai secara perlahan semuanya bertambah rumit saat Donghyun, Munsu dan Jaehak "terjebak" dalam situasi yang sama secara bersamaan. Bagi anda yang merupakan penggemar karya Hong atau setidaknya pernah menonton film sang sutradara sebelunya pasti bisa merasakan bahwa segala yang hadir di layar akan terasa sangat familiar. Mulai dari aspek teknis, cerita, penggarapan adegan, karakterisasi, sampai tema yang diangkat memang selalu mirip-mirip dalam film-film Hong.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

PHILOMENA (2013)

Tidak ada komentar
Film ke-21 dari sutradara Stephen Frears yang dulu sempat mempersembahkan komedi romantis klasik berjudul High Fidelity ini berhasil meraih begitu banyak nominasi dan penghargaan. Empat nominasi Oscar termasuk Best Picture, empat nominasi juga di BAFTA kali ini dengan kemenangan di kategori Best Adapted Screnplay untuk naskah yang ditulis Steve Coogan dan Jeff Pope, sampai kesuksesan besar di Venice Film Festival dengan 9 piala ternasuk naskah terbaik menjadikan Philomena menjadi salah satu film terbaik dari Britania Raya tahun 2013 lalu. Dengan mengandalkan dua aktor besar dari Inggris sebagai pemeran utama yakni Steve Coogan (sekaligus penulis naskah) dan Judi Dench sang aktris senior, Philomena sendiri adalah sebuah film yang diangkat dari kisah nyata dari seorang wanita bernama Philomena Lee dalam usahanya mencari puteranya yang telah terpisah darinya selama 50 tahun. Kisah tersebut kemudian dituliskan kedalam sebuah buku berjudul The Lost Child of Philomena Lee oleh wartawan BBC bernama Martin Sixsmith. Naskah yang ditulis oleh Coogan dan Pope sendiri merupakan adaptasi dari buku tersebut dengan sedikit penambahan sebagai bumbu.

Philomena akan memperkenalkan kita langsung pada kedua karakter utamanya, Martin (Steve Coogan) dan Philomena sendiri (Judi Dench). Martin adalah mantan wartawan BBC yang baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan dan kini sedang berniat untuk menulis buku tentang sejarah Russia. Tapi segala rencananya tersebut berubah saat takdir mempertemukannya dengan Philomena Lee, seorang wanita tua penganut Katolik yang taat dari Irlandia. Philomena sendiri baru saja membuka rahasia besar yang selama ini telah ia simpan rapat-rapat selama 50 tahun kepada puterinya. Selama ini Philomena ternyata mempunyai seorang putera yang ia dapat dari sebuah hubungan "terlarang". Karena merasa hal itu adalah sebuah aib, sang ayah pun mengirim Philomena ke sebuah ruah penampungan yang diurus oleh para Suster. Disana Philomena bekerja sebagai tukang cuci dan selalu dibatasi dan dipersulit untuk bertemu dengan puteranya yang masih balita. Tidak hanya Philomena, karena ada banyak ibu-ibu muda lain yang harus bekerja disana sementara anak-anak mereka dijauhkan dan dirawat oleh para suster, menunggu kedatangan orang kaya untuk membeli anak-anak tersebut. Berawal dari pengakuan rahasia inilah perjalanan Philomena bersama Martin untuk mencari puteranya yang hilang dimulai.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

WHY DON'T YOU PLAY IN HELL? (2013)

6 komentar
Saya suka Sion Sono dengan segala kegilaan dan plot cerita kompleks penuh misteri dalam film-filmnya. Saya belum pernah menonton film dramanya macam Land of Hope atau Himizu, tapi saya sangat menyukai kegilaan dan surealisme yang dihadirkan Sion Sono dalam film-film macam Suicide Circle, Noriko's Dinner Table, Cold Fish hingga Strange Circus. Karena itulah saat ia merilis film terbaru dengan judul "sangar" yaitu Why Don't You Play in Hell? saya antusias menunggunya. Film yang berasal dari naskah lama milik Sono yang ditulis tahun 1987 ini juga berhasil mendapatkan berbagai prestasi di festival-festival film internasional termasuk menang di seksi Midnight Madness pada ajang Toronto Internasional Film Festival tahun 2013 lalu. Seksi Midnight Madness sendiri selalu memunculkan film-film gila dan brutal sebagai pemenangnya termasuk The Raid pada tahun 2011 lalu, yang makin membuat rasa penasaran saya pada film ini semakin besar. Apalagi Sion Sono sempat menyebut bahwa film ini mempunyai persamaan dengan Kill Bill-nya Tarantino. Tapi saya sama sekali tidak menduga bahwa Why Don't You Play in Hell? tidak saja brutal tapi penuh dengan komedi-komedi yang tidak kalah gila.

Film ini awalnya bercerita tentang Hirata (Hiroki Hasegawa), seorang remaja yang mempunyai obsesi sebagai sutradara film. Bersama tiga temannya, Hirata tergabung dalam sebuah klub penggila film bernama The Fuck Bombers yang kegiatannya diisi dengan membuat film-film indie dengan peralatan dua kamera video sederhana. Mereka bersumpah suatu hari nanti akan membuat sebuah film masterpiece meskipun harus bertaruh nyawa untuk membuatnya. Namun semuanya tetap belum membuahkan hasil bahkan sampai 10 tahun kemudian. Disisi lain kita juga akan diajak melihat kisah perseteruan antara dua kelompok Yakuza yang dipimpin oleh Muto (Jun Kunimura) dan Ikegami (Shinichi Tsutsumi). Semuanya dimulai saat Ikegami dan anak buahnya menyerang rumah Muto tapi yang ada hanya Shizue (Tomochika), istri dari Muto. Terjadilah pembantaian disana saat Shizue membunuh anak buah Ikegami secara brutal dan membuatnya dipenjara selama 10 tahun. Ikegami yang berhasil selamat ternyata jatuh cinta pada puteri Muto, Michiko (Fumi Nikaido) yang pada masa kecilnya terkenal sebagai bintang iklan pasta gigi. Perseteruan tersebut terus bertahan sampai 10 tahun kemudian disaat Ikegami berhasrat untuk mendapatkan Michiko yang kini berusaha mengejar mimpinya sebagai aktris film.

6 komentar :

Comment Page:

A FIELD IN ENGLAND (2013)

Tidak ada komentar
Ben Wheatley perlahan menjelma menjadi salah satu sutradara horor British paling menjanjikan saat ini. Setelah melakukan breakthrough lewat Kill List yang brutal dan twisted pada tahun 2009, Wheatley rutin merilis film tiap tahunnya. Hebatnya film-film sang sutradara selalu mempunyai keunikan masing-masing meski punya benang merah yang sama yaitu horor. Setelah Sightseers yang menggabungkan horor brutal dengan road trip plus komedi gelap, karya berikutnya dari Ben Wheatley adalah sebuah histrorical horror yang kental dengan unsur komedi hitam serta efek halusinogen berjudul  A Field in England. Ben Wheatley pun mengemas film ini dengan pewarnaan hitam putih yang memang akhir-akhir ini kembali digemari oleh banyak sutradara semenjak kesuksesan The Artist tiga tahun yang lalu. Dengan tema sejarahnya, A Field in England akan membawa kita pada masa perang sipil di Inggris yang berlangsung pada tahun 1642 sampai 1649. Karakter utamanya adalah Whitehead (Reece Shearsmith), seorang alchemist pengecut yang melarikan diri dari atasannya, Komandan Trower (Julian Barratt). Setelah berhasil kabur, Whitehead bertemu dengan tiga orang desertir, Cutler (Ryan Pope), Friend (Richard Glover) dan Jacob (Peter Ferdinando). Mereka berempat bersama-sama meninggalkan medan pertempuran untuk menuju ale house mencari persediaan bir.

Mereka berjalan melintasi padang rumput sambil sesekali beristirahat menikmati jamur yang membuat mereka berhalusinasi. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan O'Neill (Michael Smiley), seorang pria yang selama ini dicari oleh Whitehead dalam misinya. Perjalanan mencari rumah penyimpanan bir itupun mulai berubah menjadi perjalanan mengerikan mencari harta karun terpendam yang penuh pengaruh halusinogen. Dengan bujet hanya $300 ribu, pengemasan hitam-putih, plot yang sedikit sureal serta dialog dengan gaya period yang kental ala Shakespeare, A Field in England memang terasa sebagai sebuah film eksperimental dari Ben Wheatley. Bukan sebuah film yang mudah dinikmati apalagi dicintai, A Field in England tidak akan semudah Sightseers maupun Kill List mencuri hati penontonnya khususnya bagi mereka yang mengharapkan sebuah straight horror. Saya sendiri butuh waktu hampir setengah jam untuk bisa terbiasa dengan gaya Wheatley disini, khususnya membiasakan dengan editing-nya yang terkadang agak melompat dan membingungkan serta dialog period-nya yang tidak akan mudah dicerna bagi mereka yang tidak terbiasa membaca literatur ala Shakespeare atau film-film period drama. Saya sendiri bukan termasuk orang yang menyukai period drama dan salah satu faktornya adalah dialog yang susah untuk saya cerna. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ARMSTRONG LIE (2013)

Tidak ada komentar
Siapa tidak kenal nama Lance Armstrong? Meskipun anda bukan penggemar olah raga balap sepeda pastinya pernah mendengar namanya. Memenangkan tujuh Tour de France secara berturut-turut mulai dari tahun 1999-2005 membuatnya menjadi pujaan di dalam lintasa balap. Tapi tidak hanya itu, diluar lintasan pun namanya banyak dipuja berkat kisahnya yang inspiratif sebagai mantan penderita kanker yang sukses menjadi salah satu atlit paling berhasil sepanjang masa. Segala kesuksesan Armstrong tersebut ternyata tidak membuatnya lupa diri, karena sepanjang karirnya ia terus memberikan dukungan moril dan material pada para penderita kanker khususnya melalui yayasan sosial Livestrong yang ia dirikan. Lance Armstrong memang sempat menjadi pahlawan bagi banyak orang baik sebagai seorang atlit maupun sebagai manusia. Selang empat tahun setelah penisun, Lance memutuskan untuk kembali bertanding lagi di Tour de France 2009. Kembalinya Lance Arsmtrong itulah yang menarik perhatian Alex Gibney yang juga merupakan penggemar Lance untuk membuat sebuah dokumenter tentang momen comeback tersebut. Gibney pun mempersiapkan sebuah dokumenter yang menggambarkan bagaimana kehebatan Lance dengan segala cerita keberhasilannya yang banyak dianggap orang too god to be true. Tapi semuanya berubah disaat tahun 2012 Lance Armstrong terseret dalam kasus doping.

Akibat kasus tersebut Lance dilarang tampil di balapan lagi, serta ketujuh gelar Tour De France serta peringkat ketiga yang ia dapat di tahun 2009 dicabut. Lance yang tadinya pahlawan perlahan mulai dibenci dan dianggap mengkhianati orang-orang yang memujanya karena kebohongan yang ia pertahankan selama lebih dari satu dekade tersebut. Kisah Lance Armstrong pun berubah dari from zero to hero menjadi from hero to zero, bahkan mungkin enemy. Hal itulah yang pada akhirnya membuat Alex Gibney merubah film dokumenter yang dibuatnya dari sebuah film yang mengisahkan kehebatan dan kisah hidup Lance yang isnpiratif menjadi sebuah film yang menelusuri berbagai kebohongan yang ia lakukan sepanjang karir khususnya yang berkaitan dengan penggunaan doping. Bagi Lance Armstrong sendiri, tuduhan doping bukanlah hal yang baru karena sejak awal karirnya ia sudah dituduh menggunakan obat terlarang meski selalu menyangkal dan lolos dari berbagai tes. Karena hal itulah para penggemar Lance begitu kecewa bahkan membencinya, karena selama ini Lance memposisikan dirinya sebagai orang yang begitu baik dan selalu menyangkal saat dituduh melakukan doping. Sampai sebuah kemunculannya di Oprah Show pada tahun 2012 mematahkan hati para pemujanya saat Lance Armstrong mengakui semua tuduhan doping yang ditujukan kepadanya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

IN FEAR (2013)

1 komentar
Dari judulnya sudah bisa ditebak bahwa film garapan sutradara Jeremy Lovering ini merupakan sebuah film yang akan menjadikan rasa takut sebagai poros penggerak utama filmnya. Menariknya, film yang diputar perdana pada Sundance Film Festival tahun lalu ini memecah respon penontonnya. Sebagai pembanding, para kritikus di Rotten Tomatoes memuji film ini setinggi langit dan menyebutnya sebagai sebuah horor psikologis yang mendebarkan sekaligus cerdas. Disisi lain, para reviewer di IMDb justru mencaci habis-habisan film ini. In Fear sendiri sesungguhnya mempunyai sebuah premis yang sangat sederhana kalau tidak mau dibilang klise namun punya potensi yang luar biasa besar untuk bisa menjadi sebuah sajian horor psikologis yang mencekam sekaligus penuh misteri dan kejutan. Film ini bercerita tentang Tom (Iain De Caestecker) dan Lucy (Alice Englert) sepasang kekasih baru yang bepergian bersama untuk menonton sebuah festival musik di Irlandia. Untuk menghabiskan waktu bersama, Tom pun mengajak Lucy untuk menginap di sebuah hotel yang menjanjikan sebuah tempat menginap layaknya surga. Mereka berdua pun mulai mencari hotel yang terletak di pedesaan tersebut dengan menaiki mobil. Tapi setelah berputar-putar cukup lama, hotel yang mereka cari tidak juga berhasil ditemukan. Baik peta maupun penunjuk jalan yang ada malah makin menyesatkan mereka di dalam hutan.


Keadaan pun semakin bertambah menyeramkan bagi Tom dan Lucy disaat mereka mulai merasa bahwa ada orang lain yang mengikuti dan perlahan menebar teror untuk mereka di sepanjang perjalanan. Yang membuat In Fear menarik sesungguhnya adalah bagaimana film ini menjadikan rasa takut sebagai sajian utamanya. Memang masih ada sedikit scare jump maupun false alarm yang ditebar, tapi secara keseluruhan film ini terlihat berusaha untuk menghindari segala keklisean yang dipunyai film-film horor dari Hollywood. In Fear adalah film yang memfokuskan diri bukan kepada teror yang ada melainkan kepada bagaimana tokoh-tokoh di dalamnya bereaksi terhadap situasi yang ada, bagaimana mereka terpengaruh oleh rasa takut yang perlahan mulai menjalar. Ada berbagai macam situasi yang memberikan stimulus pada karakternya yang akan berujung pada sebuah respon yang sama, yakni rasa takut. Ada kegelapan, tempat asing, tersesat, pemandangan mengerikan, rasa ketidak tahuan, sampai keberadaan sosok lain yang mengancam. Semuah al tersebut adalah stimulus yang menciptakan rasa takut dimana sesungguhnya kesemua aspek tersebut hampir semuanya muncul dalam setiap film horor, tapi jarang yang memfokuskan terornya pada "rasa", dan In Fear mencoba hal tersebut meski sayangnya gagal.
Saya mengatakan usaha tersebut gagal karena meskipun paruh pertamanya benar-benar memfokuskan diri kepada aspek tersebut, saya sama sekali tidak merasakan ketegangan yang cukup untuk membuat penonton ikut merasakan ketakutan yang sama dengan yang dialami oleh karakter di dalamnya. Meski mempunyai setting yang mendukung di hutan gelap maupun mobil sempit yang (harusnya) bisa menciptakan efek claustrophobic, iringan musik yang tidak berlebihan tapi cukup efektif, serta camera work yang bagus, In Fear tetap tidak berhasil memberikan ketegangan yang cukup. Saya juga terganggu oleh dua karakter utamanya yang sering melakukan hal bodoh. Tentu saja kelakuan bodoh seorang karakter dalam film horor amat sangat biasa dan layak untuk dimaafkan, tapi In Fear merupakah horor/thriller psikologis yang seharusnya berpijak pada realisme berkaitan dengan karakternya, mulai dari sifat, tingkah laku, sampai aspek-aspek psikologis lain yang ada dalam diri mereka. Selain itu karakter Tom juga benar-benar menyebalkan disini. Sebagai seorang laki-laki yang tengah menghadapi kejadian mengerikan bersama pacarnya, Tom terus bertindak sebagai seorang pengecut yang pemarah dan annoying. Jelas saja hal tersebut semakin membuat saya tidak bisa terikat pada karakter yang ada, khususnya Tom.
Paruh pertama yang kurang maksimal harusnya bisa dimaafkan andai film ini punya paruh kedua yang menarik dengan klimaks menegangkan serta konklusi memuaskan. In Fear lagi-lagi punya potensi untuk menuju kearah sana khususnya berkat beberapa misteri yang disebar di paruh pertama. Tapi sayangnya justru paruh keduanya yang semakin menghancurkan film ini. Semenjak kemunculan karakter Max (Allen Leech) film ini semakin kehilangan arah dan makin tidak menarik apalagi menegangkan. Semuanya berujung pada klimaks yang melempem serta konklusi tidak jelas yang "sukses" menghancurkan segala ekspektasi saya terhadap berbagai misteri yang ada. Pada awal film tentu saja pertanyaan yang jamak muncul adalah "siapa yang meneror Tom dan Lucy? Seorang psikopat? hantu? atau sekedar imajinasi dari seorang karakter yang skizofrenik?" In Fear memberikan batasan yang buram atas ketiga opsi tersebut dan itu hal yang bagus. Tapi disaat jawaban diberikan film ini jadi terasa bodoh apalagi disaat filmnya tidak memberikan jawaban berkaitan dengan motif dibalik segala kejadian yang ada. Mungkin Jeremy Lovering salah mengartikan esensi kisah misteri yang "tidak boleh" membeberkan semua misterinya secara gamblang. Belum lagi klimaksnya yang benar-benar antiklimaks bahkan bodoh mulai dari adegan mud fight sampai car chase yang melempem itu.

Dalam sekejap, paruh akhirnya membuat In Fear berubah dari sebuah horor/thriller psikologis yang kurang maksimal menjadi sebuah thriller standar dengan unsur slasher yang terasa bodoh dan membosankan. Semuanya masih ditambah dengan twist yang mudah ditebak. In Fear pada akhirnya berakhir menjadi salah satu dari sekian banyak film yang punya premis dasar menarik tapi berakhir buruk akibat pengembangan serta konklusi yang buruk dan justru mengambil jalan standar. Sebagai contoh lain dari kasus serupa, anda bisa melihat The Call yang dibintangi Halle Berry. In Fear memang punya teknis mulai dari gambar dan musik yang cukup mencerminkan rasa takut, tapi sebagai sebuah film secara keseluruhan, apalagi yang memberikan fokus utamanya pada rasa takut, film ini adalah sebuah kekecewaaan.

1 komentar :

Comment Page:

INSIDE LLEWYN DAVIS (2013)

1 komentar
Jadi apa yang dilakukan oleh Coen Brothers setelah membuat sebuah western berjudul True Grit? Apakah mereka kembali membuat sebuah film kriminal bernafaskan komedi penuh twist absurd yang selama ini menjadi ciri khas keduanya? Ternyata tidak. Joel dan Ethan Coen nampaknya masih belum ingin kembali ke zona nyaman mereka, karena film terbaru yang dibuat oleh duo sutradara sekaligus penulis naskah ini adalah sebuah dramedi berbalut iringan musik folk yang begitu kental. Tidak ada aksi kriminal yang berjalan salah penuh twist gila disini meski masih ada dialog-dialog cerdas, komedi hitam, serta alur yang terkadang sedikit nyeleneh. Tapi mungkin bisa dibilang Inside Llewyn Davis merupakan film dari Coen Brothers yang kisahnya paling terfokus, karena seperti judulnya film ini memang mengisahkan sebagian kecil kehiudpan dari seorang musisi folk bernama Llewyn Davis. Sekilas dari judulnya mungkin akan banyak orang mengira bahwa ini adalah film biopic, tapi sebenarnya Inside Llewyn Davis adalah murni fiktif, meski pengemasannya layak membuat film ini disebut sebagai fiction-biopic. Karakter Llewyn Davis beserta musiknya memang terinspirasi dari sosok musisi folk nyata bernama Dave Van Ronk. Bahkan judul dari film (dan album) serta cover album milik karakter Llewyn Davis juga mengambil dari sebuah album kompilasi milik sang musisi berjudul Inside Dave Van Ronk yang dirilis pada tahun 1989. 

Ber-setting di New York tahun 1961, kita akan diperkenalkan pada Llewyn Davis (Oscar Isaac), seorang musisi folk yang menghabiskan waktunya manggung di cafe-cafe, termasuk Gaslight Cafe milik temannya, Pappi (Max Casella). Llewyn sesungguhnya merupakan musisi folk yang sangat berbakat. Dia punya suara yang indah, jago bermain gitar, serta pandai dalam membuat lagu-lagu folk yang syahdu. Bahkan dia sempat mencicipi kesuksesan saat ia membentuk duet bersama rekannya Mike (Chris Eldridge). Tapi semenjak Mike bunuh diri dengan melompat dari jembatan, karir Llewyn ikut hancur. Album solonya, Inside Llewyn Davis tidak laku di pasaran dan membuat Llewyn harus tinggal nomaden dengan menumpang tidur di sofa kenalan-kenalannya. Salah satu rumah yang paling sering ia tumpangi adalah rumah milik Jim (Justin Timberlake) dan pasangannya, Jean (Carey Mulligan). Disini kita akan melihat bagaimana kehidupan Llewyn yang sepertinya selalu diisi oleh kesialan dan hal-hal buruk lainnya.Kita akan melihat berbagai usaha Llewyn mulai dari memperbaiki karir musiknya, memperbaiki hubungan dengan Jean, sampai usahanya untuk mencari dan mengembalikan seekor kucing milik seorang teman yang tidak sengaja kabur saat Llewyn menginap dirumah temannya tersebut.

1 komentar :

Comment Page:

MY FAVORITE CHARACTERS FROM LOST

Tidak ada komentar
Seperti yang sudah saja janjikan dalam postingan 20 Episode Lost Favorit kali ini saya akan menuliskan 10 karakter yang paling saya sukai dalam serial Lost. Salah satu keunikan sekaligus keunggulan dari Lost adalah kisahnya yang berfokus tidak hanya pada misteri di pulau tapi juga terhadap masa lalu hingga perkembangan karakter-karakter yang ada lewat flashback, flash-forward, maupun cerita di pulau. Jika ditotal selama 6 musim pemutarannya, jumlah karakter utama serial ini melebihi angka 20, yang tentu saja merupakan jumlah yang amat banyak. Berikut ini daftar 10 karakter yang paling saya sukai ditambah bonus 5 karakter yang paling saya benci.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CAPTAIN AMERICA: THE WINTER SOLDIER (2014)

Tidak ada komentar
Fase kedua dari Marvel Cinematic Universe tidaklah terlalu memuaskan bagi saya. Iron Man 3 (review) memang cukup menghibur dan saya termasuk orang yang pro terhadap twist The Mandarin, tapi filmnya "mengkhianati" ekspektasi saya yang berdasarkan materi promosi yang ada berharap sebuah tontonan yang punya tone kelam. Lebih kelam dari Iron Man 2 memang, tapi Marvel nampaknya masih terlalu takut untuk mengorbankan talenta komedi Robert Downey Jr. untuk membuat film yang lebih gelap. Sedangkan Thor: The Dark World (review) juga sama saja. Menjanjikan kisah yang lebih kelam dengan kata "Dark" di judulnya, film ini malah lebih banyak memberikan sajian komedi. Memang komedinya menghibur dan sosok Loki mencuri perhatian, tapi saya mengharapkan yang lebih apalagi pasca The Avengers. Lalu datanglah Captain America: The Winter Soldier yang dijanjikan bakal lebih serius serta punya tone yang mirip dengan espionage thriller. Marvel pun menjanjikan bahwa film ini akan menjadi penghantar menuju The Avengers: Age of Ultron yang akan rilis tahun depan. Saya sendiri sudah meragukan janji-janji Marvel itu, apalagi melihat duo sutradara Anthony dan Joe Russo yang berada di belakang Captain America: The Winter Soldier. Keduanya baru menyutradarai dua film dimana keduanya adalah film komedi. Tapi dari materi promosi termasuk trailer-nya, film ini memang terasa berbeda dibanding rilisan Marvel lainnya. Benarkah hasil akhirnya seperti itu?

Ber-setting dua tahun pasca pertempuran di The Avengers, film ini membawa kita melihat kehidupan Steve Rogers (Chris Evans) sang Captain America yang kini bekerja sebagai salah satu agen S.H.I.E.L.D bersama Natasha Romanoff a.k.a Black Widow (Scarlett Johansson) yang menjalankan misi-misi dari sang pimpinan, Nick Fury (Samuel L. Jakcson). Diluar pekerjaannya sebagai agen, kehidupan Steve tidaklah terlalu menyenangkan karena di masa modern ini bisa dibilang ia hidup sendirian tanpa teman-temannya semasa Perang Dunia II yang telah tewas. Hanya Peggy Carter (Hayeley Atwell) sang mantan kekasih yang masih hidup, itupun dalam kondisi yang sudah tua renta dan sakit-sakitan. Dalam kondisi itulah Steve harus menghadapi berbagai macam konspirasi yang berada di dalam tubuh S.H.I.E.L.D. Tidak hanya itu, kali ini muncul musuh baru, yaitu sosok misterius bernama Winter Soldier yang punya kekuatan fisik seimbang dengan Captain America. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ALAN PARTRIDGE: ALPHA PAPA (2013)

Tidak ada komentar
Siapa Alan Partridge? Bagi publik Indonesia, namanya mungkin asing di telinga. Tapi bagi rakyat Inggris khususnya pendengar BBC Radio 4 nama Alan Partridge adalah legenda. Alan Partridge sendiri adalah karakter fiksi yang diciptakan untuk mengisi sebuah program parodi di radio berjudul On the Hour dan disuarakan oleh Steve Coogan. Program tersebut sukses besar dan mengudara pada tahun 1991-1992 dan melambungkan karakter Alan Partridge. Setelah itu nama Alan Partridge dan Steve Coogan makin banyak muncul di berbagai program radio bahkan akhirnya merambah ke televisi lewat berbagai sitcom seperti The Day Today. Karakter Alan Partridge pun meraih puncak kesuksesan pada medio 90-an sampai awal 2000-an. Untuk adaptasi filmnya ini sesungguhnya sudah mulai terdengar kabarnya sejak tahun 2004 tapi akhirnya baru memulai proses syuting delapan tahun kemudian untuk akhirnya dirilis pada tahun 2013 yang lalu. Dalam Alan Partridge: Alpha Papa, tidak hanya Steve Coogan saja yang kembali memerankan karakter yang ia mainkan, tapi nama-nama seperti Felicity Montagu, Phil Cornwell dan Tim Key juga kembali memerankan karakter mereka masing-masing. Film ini akan memulai kisahnya dengan memperkenalkan penonton pada sebuah stasion radio lokal di Norwich bernama North Norfolk Digital beserta para DJ-nya termasuk Alan Partridge yang berduet dengan Sidekick Simon (Tim Key) dalam membawakan acara.

Permasalahan mulai muncul saat seorang konglomerat membeli radio tersebut dan mencoba merubah "wajah" dari Norfolk. Perubahan itu mulai dari merubah namanya menjadi "Shape", merubah format acara supaya lebih modern, sampai melakukan pergantian karyawan termasuk para DJ. Salah satu yang terancam adalah Pat Farrell (Colm Meaney) yang akhrinya meminta tolong pada Alan supaya membujuk jajaran direksi supaya tidak memecat dirinya. Tapi disaat Alan menyadari bahwa para petinggi tersebut hendak memilih antara dirinya atau Pat, Alan justru menyaranan mereka untuk memecat Pat demi mengamankan pekerjaannya. Tapi yang tidak diduga oleh Alan adalah pasca pemecatan tersebut Pat kembali lagi ke stasiun radio itu untuk melakukan penculikan Dengan bersenjatakan shotgun, ia menyandera beberapa orang karyawan dan mengambil alih radio tersebut. Pat yang tidak tahu kalau Alan-lah yang menyarankan pemecatan dirinya masih percaya pada temannya tersebut dan meminta Alan untuk masuk ke radio. Hal itulah yang coba dimanfaatkan oleh polisi dengan menjadikan Alan sebagai jembatan negosiasi guna menyelamatkan para sandera yang ada. Tentu saja dengan kekonyolan dan kebodohannya, tidak mudah bagi Alan menjalankan tugas yang berbahaya tersebut. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MY FAVORITE EPISODES FROM LOST

5 komentar
Saya bukanlah seseorang yang suka mengikuti sebuah serial televisi karena dua alasan. Alasan pertama karena saya bukanlah orang yang cukup sabar untuk mengikuti sebuah cerita dalam begitu banyak season yang tiap season-nya diisi oleh cukup banyak episode. Sedangkan alasan yang kedua adalah karena jika saya sudah menyukai sebuah serial, maka akan begitu banyak waktu yang harus saya luangkan untuk meneruskan menonton episode demi episode. Beberapa kali saya menjadwal menonton sekian episode dalam sehari dan berakhir terus lanjut menonton karena rasa penasaran akan seperti apa kelanjutannya. Pada akhirnya saat saya iseng-iseng ingin menonton sebuah serial, pilihan saya jatuh pada Lost karena premis yang menarik dan karena serial ini sudah tamat.Akhirnya setelah kurang lebih dua minggu saya selesai menonton keenam season yang ada dan menyatakan jatuh cinta akan serial ini. Menonton dan menulis sebuah artikel tentang Lost mungkin terasa ketinggalan zaman saat ini karena serial ini memang sudah selesai empat tahun lalu, tapi biarlah. Disini saya akan membuat dua bentuk list yang akan dipecah dalam dua artikel, yang pertama adalah episode favorit, dan yang kedua dan akan menyusul segera adalah karakter favorit. Bukan hal mudah menyusun 20 episode favorit dalam Lost dengan total episode yang mencapai 121. Jadi berikut ini daftar 20 episode Lost yang paling saya sukai.  (A lot of SPOILERS ahead)

5 komentar :

Comment Page:

GRAND PIANO (2013)

Tidak ada komentar
Dengan nama Rodrigo Cortes sebagai produser tentu saja saya dapat mengharapkan sebuah suguhan thriller yang tidak hanya mencekam tapi juga disajikan secara unik dalam berbagai aspek. Masih ingat jelas di ingatan saya bagaimana Buried yang disutradarai Cortes mampu tampil sebagai sebuah thriller claustrophobic luar biasa dengan hanya ber-setting di sebuah peti mati. Meski dalam Grand Piano ia hanya menjadi produser, tapi tentu saja sentuhan ala Cortes tidak akan sepenuhnya menghilang dalam film yang disutradarai oleh Eugenio Mira ini. Film ini sendiri dibintangi oleh Elijah Wood dan John Cusack. Khusus untuk Wood, film ini makin memperbanyak deretan film horor/thriller yang ia mainkan pasca menjadi Frodo di trilogi TLOTR, sebut saja Maniac dan Sin City. Tapi tidak seperti dalam kedua film tersebut, disini Wood bukan berperan sebagai sosok psikopatnya melainkan sebagai korban dari teror yang ditebar oleh John Cusack. Seperti yang sudah tertulis pada judulnya, Grand Piano memang akan menjadikan sebuah grand piano sebagai fokus utama atau lebih tepatnya sebuah konser musik klasik dengan pianis sebagai sajian utamanya. Sang pianis adalah Tom Selznick (Elijah Wood) yang sempat dikenal sebagai salah satu pianis paling berbakat dengan kecepatan jari yang luar biasa dalam memainkan tuts piano. Setidaknya status itu ia dapat sampai lima tahun yang lalu saat dalam sebuah konser ia melakukan kesalahan memalukan yang terus diingat banyak orang dan membuatnya sering menjadi bahan lelucon.

Sampai akhirnya lima tahun semenjak insiden tersebut Tom bersiap melakukan comeback dalam sebuah konser yang diadakan untuk mengenang seorang pianis legendaris yang baru saja meninggal. Tom yang merupakan salah satu murid terbaik sang pianis mendapat kesempatan untuk memainkan grand piano peninggalan sang guru untuk pertama kalinya. Tentu saja bukan hal yang mudah bagi Tom untuk kembali lagi bermain diatas panggung, dan hal itu membuatnya mengalami kecemasan dan demam panggung yang luar biasa. Tapi ternyata ancaman sesungguhnya bukan berasal dari kecemasan Tom, karena saat konser baru dimulai ia mulai mendapat teror misterius dari suara seorang pria (John Cusack) yang mengawasi permainan Tom. Pria itu mengancam akan membunuh Tom dan istrinya jika dia salah memainkan satu nada saja dalam konser tersebut. Tidak hanya itu, sang pengancam juga menyuruh Tom untuk memainkan La Cinquette atau yang juga dikenal sebagai the unplayable piece karena tingkat kesulitan yang luar biasa. La Cinquette sendiri merupakan ciptaan mendiang guru Tom sekaligus merupakan lagu yang salah ia mainkan dan menyebabkan insiden memalukan lima tahun yang lalu. Premisnya memang begitu menarik dimana kita dihadapkan pada sebuah sajian thriller yang mengambil setting mayoritas diatas panggung atau lebih tepatnya Elija Wood di depan piano yang ia mainkan. Dengan lokasi yang begitu minim, film ini memang akan makin membuat "rasa" dari Rodrigo Cortes semakin terasa. Ada kesan claustrophobic yang unik karena meskipun mengambil lokasi konser yang begitu luas, film ini mengajak penontonnya terkurung bersama Tom dan pianonya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CHILD'S POSE (2013)

Tidak ada komentar
Perfilman Rumania mungkin belum menjadi salah satu kekuatan besar di Eropa seperti Italia, Inggris, Prancis maupun Spanyol. Tapi sesungguhnya ada banyak film-film bagus yang berasal dari negara ini, sebut saja 4 Months, 3 Weeks and 2 Days yang berhasil memenangkan Palme d'Or pada tahun 2007 dan menjadi perwakilan Rumania di ajang Oscar bahkan sempat menjadi unggulan sebelum secara mengejutkan gagal masuk nominasi. Kemudian pada tahun 2013, Beyond the Hills sempat masuk 9 besar Oscar sebelum lagi-lagi gagal masuk nominasi final. Child's Pose garapan sutradara Calin Peter Netzer ini juga merupakan perwakilan Rumania di ajang Oscar. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil meraih Golden Bear alias menjadi film terbaik di ajang Berlin International Film Festival tahun 2013 lalu. Seperti judulnya, Child's Pose memang bercerita tentang anak, atau lebih tepatnya hubungan antara seorang anak dengan ibunya. Tapi dalam film ini yang lebih menjadi fokus adalah sosok ibu bernama Luminita yang diperankan oleh Cornelia Keneres. Luminita adalah seorang wanita paruh baya yang bisa dibilang hidup dengan kemewahan, banyak pergi ke pesta yang penuh kalangan atas, dan punya pengaruh kuat yang terbukti dari orang-orang penting yang banyak ia kenal. Tapi biar bagaimanapun ia masihlah seorang wanita biasa, seorang ibu biasa yang menganggap bahwa anak adalah hal yang paling penting dalam hidupnya. Luminita rela melakukan dan memberikan apapun supaya anaknya bahagia.

Hal itu terbukti saat putera tunggalnya, Barbu (Bogdan Dumitracher) harus berurusan dengan pihak kepolisian saat mobil yang ia kendarai menabrak hingga tewas seorang anak berusia 14 tahun. Luminita pun langsung mendatangi kantor polisi dan menghubungi orang-orang yang ia kenal untuk membantu supaya Barbu tidak dinyatakan bersalah dalam kecelakaan tersebut. Karena apabila dinyatakan bersalah, hukuman yang menanti atas perbuatannya yang menewaskan seseorang itu pastinya bakal mendapat hukuman yang berat, apalagi kalau Barbu terbukri mengemudi dalam kondisi mabuk dan melewati batas kecepatan yang ada. Tapi usaha yang dilakukan oleh Luminita bukan hanya usaha untuk membebaskan anak tunggalnya dari segala tuduhan, tapi juga usaha untuk memperbaiki hubungan diantara mereka berdua. Memang sudah sejak lama hubungan ibu-anak antara Luminita dan Barbu tidak berjalan mulus. Barbu tidak pernah bersikap ramah pada sang ibu dan selalu memasang sikap bermusuhan. Hubungan keduanya makin memanas saat Barbu berpacaran dengan Carmen (Ilinca Goia) yang tidak direstui oleh sang ibu. Bahkan disaat sang ibu berusaha sekuat tenaga untuk membantu Barbu dalam kasus inipun ia tetap tidak mau bersikap baik pada sang ibu. Child's Pose memang bukan hanya sekedar kisah usaha seorang ibu membebaskan sang anak dari hukuman, tapi juga membahas secara mendalam antara hubungan keduanya dan menjadi studi karakter keduanya termasuk juga membahas beberapa kultur Rumania yang berpengaruh besar pada karakterisasi mereka masing-masing.

Tidak ada komentar :

Comment Page: