CHEAP THRILLS (2013)

1 komentar
Jika berbicara tentang ambiguitas moral, mungkin salah satu hal yang paling sering ditanyakan adalah "sejauh manakah seseorang akan berbuat demi mendapatkan uang untuk menghidupi orang yang dia sayangi?" Tentu saja akan muncul sebuah dilema besar disana. Pertanyaan itulah yang pada akhirnya menjadi dasar dari film yang disutradarai oleh E.L. Katz ini. Seperti judulnya, Cheap Thrills memang pada akhirnya mengembangkan premis tersebut menjadi sebuah sajian penuh hiburan serta ketegangan yang nampak murahan diluar tapi sesungguhnya jauh dari kata murahan jika ditinjau lebih jauh lagi. Karakter utamanya adalah Craig (Pat Healy), seorang pria yang tengah menghadapi kesulitan finansial. Jangankan untuk menghidupi istri dan anaknya yang masih bayi, Craig pun tengah menghadapi ancaman diusir dari apartemennya karena terlambat membayar uang sewa. Seolah masih belum cukup, di hari yang sama Craig dipecat dari bengkel tempatnya bekerja. Craig yang depresi dan merasa tidak berguna menghabiskan malamnya minum-minum di sebuah bar. Disanalah ia bertemu kembali dengan teman lamanya semasa sekola, Vince (Ethan Embry). Obrolan "reuni" keduanya pun dengan cepat merambat ke masalah finansial yang dialami Craig. Vince sendiri tidak jauh lebih beruntung karena sebagai seorang penagih hutang, ia pun tidak mendapatkan uang yang besar.

Saat itulah keduanya bertemu dengan pasangan suami istri kaya raya, Colin (David Koechner) dan Violet (Sara Paxton) yang berada disana untuk merayakan ulang tahun Violet. Untuk merayakan itu, Colin pun mengajak Criag dan Vince untuk minum-minum bersama. Tidak hanya itu, Colin pun mulai menawarkan sejumlah uang jika Craig dan Vince berhasil menyelesaikan tantangan yang ia berikan. Pada awalnya tantangan yang diberikan memang sederhana bahkan terkesan konyol seperti siapa yang bisa pertama menghabiskan minuman, siapa yang bisa membuat seorang wanita di bar menamparnya, atau melemparkan dart tepat pada sasaran. Hanya itu saja pada awalnya sampai "pesta" berpindah dari bar ke rumah Colin dan Violet. Disanalah taruhan yang diberikan oleh Colin semakin tinggi seiring dengan semakin gila dan berbahayanya tantangan yang diajukan. Mungkin dari sinopsis tersebut anda sudah bisa menebak hal apa yang dijadikan daya tarik utama dalam film ini. Ya, apalagi kalau bukan tantangan demi tantangan yang makin lama makin ekstrim. Tantangan yang awalnya terlihat ringan dan menghibur bagi penonton lama kelamaan bakal terasa menegangkan bahkan disturbing. Seperti yang muncul dalam salah satu dialognya, ini memang mirip dengan Fear Factor, hanya saja dalam tingkatan yang jauh lebih gila dan berbahaya.

1 komentar :

Comment Page:

THE GRAND BUDAPEST HOTEL (2014)

4 komentar
Judul film kedelapan dari Wes Anderson ini memang mengesankan sesuatu yang benar-benar besar nan megah. Lalu melihat posternya kita akan diperlihatkan bentuk dari The Grand Budapest Hotel yang memang nampak begitu megah. Belum lagi melihat jajaran cast-nya yang terdiri dari begitu banyak nama besar mulai dari mereka yang sudah jadi langganan film-film Wes Anderson sampai yang baru pertama kali terlibat. Sebesar apa cast tersebut? Mari mulai berhitung. Disini ada nama-nama seperti Ralph Fiennes, Adrien Brody, Willem Dafoe, Saoirse Ronan, Edward Norton, Jude Law, Harvey Keitel, Bill Murray, Tilda Swinton, Tom Wilkinso hingga Owen Wilson yang bermain dalam peran utama hingga sekedar cameo. Jajaran ensemble cast super besar, setting hotel raksasa, cerita yang dituturkan dalam berbagai rentang generasi, apakah ini memang film termegah dari Wes Anderson? Naskahnya ditulis oleh Wes Anderson sendiri yang terinspirasi dari tulisan-tulisan milik seorang penulis asal Austria bernama Stefan Zweig. Mereka yang pernah atau bahkan menyukai menonton film-film Wes Anderson pasti tahu tontonan macam apa yang akan ia hadirkan disini. Ekspektasi tersebut tidak keliru, karena The Grand Budapest Hotel masih punya gambar-gambar penuh warna, set yang tertata begitu artistik, atmosfer yang quirky, hingga kekacauan yang terasa absurd namun menyenangkan. Bedanya tentu saja film ini lebuh mewah.

Film ini berkisah tentang seorang penulis yang menceritakan kisahnya bertemu dengan seorang pria yang menceritakan kisah masa lalunya pada sang penulis (yap, bahkan dari struktur ini saja Wes Anderson sudah menunjukkan keabsurdannya). Pada tahun 1968 sang penulis tanpa nama (Jude Law) tengah menginap di Grand Budapest Hotel. Disana ia bertemu dengan Zero Mustafa (F. Murray Abraham), seorang pria tua pemilik hotel tersebut yang ternyata adalah penggemar tulisan-tulisannya. Mustafa pun bersedia menemui sang penulis saat makan malam untuk menceritakan semua kisahnya dan bagaimana ia akhirnya bisa menjadi pemilik hotel megah tersebut yang kini telah begitu sepi dan dilupakan. Ceritanya mundur lagi ke tahun 1932 saat Zero Mustafa muda (Tony Revolori) masih bekerja sebagai lobby boy pada masa keemasan Grand Budapest Hotel. Dia mempunyai atasan bernama Monsieur Gustave (Ralph Fienne) yang flamboyan dan terkenal doyan menjalankan "tugas" untuk "melayani" wanita tua pirang kaya raya yang menjadi tamu di hotel tersebut. Salah satu wanita tersebut adalah Madame Celine (Tilda Swinton) yang sebelum kepergiannya dari hotel mengaku ketakutan karena merasa tidak akan bertemu lagi dengan Gustave. Benar saja, tidak berapa lama Madame Celine tewas akibat sebab yang belum diketahui. Gustave dan Zero pun datang ke rumah Madame Celine untuk mengucap bela sungkawa. Tapi tanpa disangka semuanya berujung kekacauan dimulai saat Gustave menerima warisan sebuah lukisan mahal dari Celine sampai akhirnya justru dia yang dituduh sebagai pembunuh Celine.

4 komentar :

Comment Page:

22 JUMP STREET (2014)

Tidak ada komentar
Saya bahkan mungkin sebagian besar orang tidak akan mengira bahwa 21 Jump Street (review) akan berhasil meraih kesuksesan baik secara kualitas maupun komersil. Diluar dugaan film yang berasal dari sebuah serial televisi berjudul sama yang melambungkan nama Johnny Depp tersebut berhasil memberikan sajian komedi penuh kegilaan lengkap dengan unsur buddy cop yang kuar berkat duet Channing Tatum-Jonah Hill. Dengan bujet hanya $42 juta, film tersebut berhasil meraih kesuksesan besar saat berhasil meraup pendapatan lebih dari $200 juta di seluruh dunia. Film itu juga termasuk dalam 20 film favorit saya pada tahun 2012 lalu (list). Memang 21 Jump Street adalah kejutan yang menyenangkan, sama mengejutkan dan sama menyenangkannya dengan cameo dari Johnny Depp pada klimaks filmnya. Tentu saja berkat kesuksesan tersebut sekuel yang memang sudah direncanakan bahkan sebelum film pertamanya rilis semakin mendapat lampu hijau untuk dikerjakan. 22 Jump Street dengan bujet yang lebih besar ($65 juta) masih diisi nama-nama yang jadi kunci sukses film pertamanya mulai dari sutradara, penulis naskah, sampai tentu saja dynamic duo Tatum-Hill, semuanya kembali lagi. Tidak hanya timnya saja yang sama, cerita dan inti filmnya pun sama dengan film pertama, sesuatu yang disadari bahkan dijadikan bahan lelucon oleh film ini.

Seperti yang terlihat dalam ending film pertamanya, kali ini Schmidt (Jonah Hill) dan Jenko (Channing Tatum) akan kembali melakukan misi penyamaran, bedanya sasaran target mereka bukanlah lingkungan SMA melainkan perkuliahan. Misi yang diemban keduanya pun sama, yaitu mencari pengedar sebuah narkoba bernama WHYPHY yang telah menewaskan seorang mahasiswi. Sama juga seperti film pertamanya, Schmidt dan Jenko harus menghadapi banyak masalah seperti kebodohan mereka sampai perpecahan yang terjadi dalam persahabatan keduanya. Jenko merasa menemukan dunia yang dia idam-idamkan saat menjadi andalan dalam tim american football di kampusnya dan menemukan sahabat baru bernama Zook (Wyatt Russell). Dia pun meninggalkan Schmidt yang dianggapnya terus menahan Jenko untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Disisi lain Schmidt yang kesepian mulai tertarik pada seorang wanita bernama Maya (Amber Stevens). Terasa familiar? Tentu saja karena sesungguhnya cerita ini adalah pengulangan dari film pertamanya dengan sedikit perombakan yang tidak siginifikan seperti perubahan kecil judulnya sampai mengganti Korean Jesus dengan Vietnamese Jesus. Tapi 22 Jump Street bukanlah The Hangover Part II yang menutup mata akan persamaan dengan prekuelnya. Film ini menyadari betul hal tersebut dan malah menjadikan semua itu bahan lelucon.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HOW TO TRAIN YOUR DRAGON 2 (2014)

Tidak ada komentar
Film pertama How to Train Your Dragon jelas merupakan kejutan yang menyenangkan dari DreamWorks. Disaat studio yang satu ini biasanya lebih banyak menelurkan animasi-animasi konyol yang hanya bisa dinikmati anak-anak saya tidak menyangka bakal mendapat sebuah film yang tidak hanya seru tapi juga punya cerita bagus dengan perasaan di dalamnya, sesuatu yang selama ini lebih identik dengan film-film Pixar. Kemunculan film pertama HTTYD juga hadir di saat yang tepat, karena pada saat itu franchise andalan DreamWorks yakni Shrek mulai mengalami penurunan kualitas meski disaat hampir bersamaan muncul Kung Fu Panda, tapi tentu saja itu tidak cukup. Dengan keberhasilan meraih $494 juta, HTTYD juga menjadi game changer bagi DreamWorks yang kini jadi punya media untuk menghadirkan animasi yang lebih dewasa dan gelap setelah selama ini hanya berfokus pada membuat animasi yang kekanak-kanakan. Cukup mengejutkan memang pasca kesuksesan luar biasa film pertamanya butuh waktu empat tahun sampai sekuelnya rilis, tapi toh itu menandakan bahwa DreamWorks tidak ingin asal-asalan dalam membuat film keduanya. Jelas merupakan sinyal positif karena hal itu berarti How to Train Your Dragon 2 bukan sekedar sekuel yang dibuat untuk menambah pundi-pundi uang tapi juga untuk mengembangkan ceritanya.

Film keduanya ini ber-setting lima tahun setelah akhir film pertamanya. Desa Berk kini sudah semakin tentram dimana para Viking dan naga telah hidup bersama daam harmoni serta kebahagiaan. Hiccup sendiri kini bukanlah remaja payah yang lemah dan diremehkan. Dia kini sudah berummur 20 tahun dan bersama Toothless, naga night fury peliharaannya, Hiccup telah menjadi pengendali naga terbaik di desanya. Bahkan sang ayah kini sudah berpikir untuk pensiun menjadi kepala suku dan mempersiapkan Hiccup untuk menggantikannya sesegera mungkin. Hiccup sendiri merasa tidak siap karena baginya kehidupan sebagai kepala suku bukanlah hal yang cocok bagi dirinya. Hiccup hanya ingin terbang bersama Toothles menelusuri tempat-tempat baru yang selama ini belum sempat dijamah olehnya maupun bangsanya. Sampai dalam sebuah penelusurannya Hiccup bertemu dengan para pemburu naga yang mengaku sebagai anak buah dari Drago Bludvist. Drago adalah seorang pria kejam yang ingin menguasai semua naga dan menjadikan naga-naga sebagai miliknya sendiri. Bagi Drago, ia adalah satu-satunya orang yang bisa mengendalikan naga-naga tersebut. Untuk itu Drago berniat menyerang Berk untuk mendapatkan naga-naga yang ada disana termasuk Toothless. Tentu saja Hiccup tidak akan membiarkan hal itu, dan bersama teman-temannya ia kembali bersatu untuk menggagalkan rencana Drago. Tidak hanya itu, kali ini Hiccup juga mendapat bantuan dari seseorang yang telah lama menghilang dari kehidupannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE MISSING PICTURE (2013)

Tidak ada komentar
Perfilman Kamboja mungkin belum menjadi kekuatan besar baik di Asia apalagi dunia. Salah satu buktinya bisa dilihat dari jumlah film yang dikirim ke ajang Oscar. Sampai saat ini baru ada tiga film Kamboja yang dikirim ke ajang Oscar dimana dua diantaranya adalah film karya sutradara Rithy Panh. Film Rithy yang pertama dikirim ke Oscar adalah Rice People (1994) yang juga sempat diputar pada ajang Cannes Film Festival. Tapi pencapaian terbesar dari perfilman Kamboja memang didapat oleh film Rithy Panh yang lain, yaitu The Missing Picture ini. Tidak hanya dikirim, film ini juga berhasil menjadi nominator final dalam ajang Oscar tahun ini. Selain itu, The Missing Picture pun berhasil membawa pulang penghargaan Un Certain Regard di Cannes Film Festival tahun 2013. Film keempat belas dari Rithy Panh ini juga termasuk unik, karena jarang sekali ada film dokumenter yang dikirim untuk berkompetisi pada kategori Best Foreign Language Film di Oscar. Apakah The Missing Picture memang sebegitu spesialnya sampai mengalahkan film-film drama untuk menjadi perwakilan Kamboja bahkan akihrnya berhasil menjadi satu dari lima film nominator final?

Film ini akan membawa kita kembali ke masa lalu, ke salah satu masa paling kelam dalam sejarah Kamboja. Hal itu terjadi pada tahun 1975-1979 saat gerakan kaum komunis yang disebut Khmer Merah mulai menguasai Kamboja dibawah pimpinan Pol Pot. Dengan cerita dari Rithy Panh sebagai sudut pandang utama, kita diajak untuk menelusuri bagaimana menderitanya rakyat Kamboja pada masa itu. Dibawah kepemimpinan Pol Pot yang seorang diktator, rakyat Kamboja diharuskan mengikuti kerja paksa dan hidup dibawah kelaparan serta kemiskinan. Hampir semua rakyat sipil pada saat itu harus hidup dibawah ancaman kekerasan setiap harinya, bekerja paksa, kehilangan keluarganya, kelaparan dan tidak memiliki apapun akibat diterapkannya paham komunis yang menjadi ideologi seorang Pol Pot. Pada masa itu diperkirakan hampir 3 juta rakyat Kamboja meninggal (dari total penduduk diatas 8 juta) akibat kehidupan yang jauh dari kata makmur tersebut Tapi seperti banyak diktator lain, tentu saja Pol Pot berusaha menutupi "pembantaian" tersebut dengan berbagai macam propaganda sehingga dunia luar melihat rakyat Kamboja hidup bahagia dan bekerja suka rela untuk membangun negara yang makmur dengan semua rakyatnya yang hidup setara tanpa ada si kaya dan si miskin. Hal itulah yang membuat banyak kepingan sejarah yang hilang dan tidak bersisa. Tapi disaat sejarah yang terekam tidaklah ada, masih ada memori dari saksi hidupnya termasuk Rithy Panh sendiri yang bisa dituturkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

OMAR (2013)

Tidak ada komentar
Nama Hany Abu-Assad mulai dikenal saat sutradara asal Palestina ini membuat Paradise Now, sebuah film yang berhasil menjadi film Palestina pertama yang mendapat nominasi Oscar serta berhasil memenangkan Golden Globe untuk kategori Best Foreign Language Film. Sebagai sutradara asal Palestina, tentunya isu mengenai pertikaian antara Palestina dengan Israel tidak akan terlewatkan untuk ia angkat kedalam film. Setelah Paradise Now bicara tentang kisah pelaku bom bunuh diri, maka lewat Omar giliran kisah para gerilyawan Palestina dalam usaha mereka memberikan perlawanan pada pihak Israel. Omar sendiri berhasil mengulangi keberhasilan Paradise Now dengan meraih nominasi Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik meski lagi-lagi gagal meraih kemenangan. Bahkan dalam ajang Cannes Film Festival, film ini berhasil memenangkan Jury Prize. Kisahnya sendiri akan memadukan banyak unsur, mulai dari romansa, drama tentang persahabatan, sampai sentuhan thriller "double agent" semua dimiliki oleh film ini. Kita akan dibawa langsung untuk melihat sosok Omar (Adam Bakri) yang kesehariannya bekerja sebagai pembuat roti. Tapi layaknya kebanyakan pemuda Palestina, Omar juga ingin turut berkontribusi pada tanah airnya dengan cara melakukan perlawanan terhadap Israel bagaimanapun caranya.

Untuk itulah dia bergabung dengan dua sahabatnya, Tarek (Iyad Hoorani) dan Amjad (Samer Bisharat) sebagai pemberontak terhadap pihak Israel. Tapi kehidupan Omar tidak hanya diisi dengan membuat roti atau latihan menembak saja, karena ia juga tengah menjalin hubungan "rahasia" dengan Nadia (Leem Lubany) yang tidak lain adalah adik dari Tarek. Mereka pun berencana untuk menikah setelah semua rencana perlawanan selesai dilakukan. Tapi setelah menjalankan sebuah misi dimana ketiganya berhasil membunuh seorang prajurit Israel, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehadiran para pasukan Israel. Omar pun tertangkap dan dipenjara serta disiksa guna menyaring informasi mengenai kelompok perlawanan yang ia ikuti. Tentu saja Omar tidak membocorkan informasi yang tidak ia ketahui, tapi akibat jebakan licik dari Agen Rami (Waleed Zuaiter), Omar pun sekarang tersudut. Rami menawarkan kerja sama dimana Omar harus bersedia membantu pihak Israel untuk menjebak Tarek. Jika Omar bersedia dan misi rahasia itu berhasil, dia bisa lepas dari hukuman penjara, tapi jika ia menolak Omar harus menghabiskan sisa hidupnya dalam penjara yang seperti neraka itu. Omar pun terjebak dalam dilema untuk membela negara dan para sahabatnya atau menyelamatkan dirinya sendiri dan berkesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik bersama Nadia.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MALEFICENT (2014)

Tidak ada komentar
Dongeng Sleeping Beauty sudah menjadi salah satu kisah fairy tale paling dikenal bahkan hingga sekarang. Sampai sekarang total sudah ada 10 film yang mengangkat kisah Aurora sang puteri tidur sebagai dasar ceritanya termasuk yang paling terkenal yakni animasi milik Disney yang rilis pada tahun 1959. Dari keseluruh adaptasi tersebut memng banyak yang melakukan perubahan termasuk versi Mike Leigh yang rilis tahun 2011 lalu, tapi baru Maleficent ini yang mengambil sudut pandang cerita dari sang penjahatnya. Tentu saja hal ini merupakan twist yang menarik bagi ceritanya, tapi daya tarik paling besar dari film garapan sutradara debutan Robert Stromberg ini tentu saja kehadiran Angelina Jolie yang bermain sebagai Maleficent. Jolie memang masih merupakan seorang aktris dengan magnet yang begitu besar meskipun sudah sekitar tiga tahun dia tidak berakting dengan film terakhirnya adalah The Tourist yang jeblok baik dari segi kualitas maupun komersial. Selain Jolie ada juga nama-nama besar lain seperti Sharlto Copley dan Elle Fanning. Dengan bujet raksasa senilai $180 juta, Maleficent memang menjanjikan cukup banyak hal mulai dari cerita yang berbeda, akting para pemainnya, sampai tentunya efek CGI yang memikat. 

Alkisah terdapat dua negeri yang selalu bermusuhan. Negeri pertama adalah kerajaan yang dihuni oleh para manusia biasa sedangkan yang kedua adalah tempat bernama Moors yang diisi oleh banyak makhluk-makhluk aneh yang hidup bahagia bersama. Di Moors tinggal juga seorang peri muda bernama Maleficent (Isobelle Molloy). Maleficent dikenal sebagai seorang peri yang sangat kuat dan merupakan penjaga dari Moors. Karena ketidak akuran kedua negeri tersebut, mereka yang tinggal di Moors pun selalu merasa terancam dengan kehadiran manusia. Namun semuanya mulai berubah bagi Maleficent saat ia bertemu dengan Stefan (Michael Higgins) yang bersikap begitu baik pada Maleficent tidak seperti manusia lainnya. Mereka berdua pun mulai menjalin pertemanan yang perlahan berkembang menjadi cinta saat mereka remaja. Namun ambisi besar dari Stefan untuk menjadi raja menjauhkannya dari Maleficent. Bahkan demi mendapatkan tahta raja, Stefan yang telah dewasa (Sharlto Copley) tega untuk menipu Maleficent (Angelina Jolie) yang kini telah menjadi penjaga terkuat Moors dan mengambil sayap sang peri. Rasa sakit hati yang mendalam menjadikan Maleficent menjadi sosok peri jahat seperti yang kita kenal dan menjatuhkan kutukan pada Aurora, putri Stefan yang juga puteri kerajaan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - ASYLUM (2012)

2 komentar
Musim pertama dari American Horror Story (review) memang jauh dari kata sempurna, tapi tontonan bertajuk Murder House tersebut jelas berhasil memberikan suguhan horror dan misteri yang sangat menghibur. Maka dari itu saya tidak pikir panjang untuk segera menonton musim kedua yang berjudul Asylum. Meski banyak menghadirkan pemain dari musim pertamanya tapi musim kedua ini punya karakter dan cerita yang sama sekali berbeda. Jika musim pertama menjadikan sebuah rumah penuh hantu dan konflik keluarga sebagai fokus utamanya, maka Asylum seperti yang terlihat dari judulnya akan membawa kita menyaksikan horror yang terjadi dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dengan jumlah satu episode lebih banyak dari musim pertamanya (13 episode), Asylum akan membawa kita ke tahun 1964 di sebuah institusi mental bernama Briarcliff yang bertempat di Massachusetts. Briarcliff dipimpin oleh Monsignor Timothy Howard (Joseph Fiennes) dan dikelola oleh Suster Jude (Jessica Lange). Institusi tersebut pada awalnya didirikan untuk menangani pasien sakit jiwa supaya mereka sembuh dan menjalani hidupnya sesuai dengan jalan yang diperintahkan Tuhan. Tapi pada kenyataannya, pasien-pasien disana tidaklah mendapat perawatan yang layak.
Banyak pasien yang justru mendapat banyak penyiksaan mulai dari sifat keras Suster Jude yang sering memukul pasien yang berulah dengan tongkat kayu, sampai menjadi korban "pengobatan" dari Dr. Arden (James Cromwell). Dr. Arden sendiri diam-diam melakukan eksperimen terhadap para pasien disana untuk menciptakan sebuah makhluk misterius dengan dibantu oleh Suster polos bernama Mary Eunice (Lily Rabe) yang juga menjadi bahan "imajinasi" Dr. Arden. Suatu hari datanglah seorang reporter ambisius yang juga merupakan lesbian (pada era itu lesbian belum dianggap sesuatu yang wajar) bernama Lana Winters (Sarah Paulson). Dia berambisi membongkar semua kebobrokan Briarcliff tapi malah akhirnya terjebak sebagai pasien disana akibat akal bulus Suster Jude. Ada juga Kit Walker (Evan Peters) yang baru saja menjadi tersangka kasus pembunuhan terhadap tiga orang wanita termasuk istrinya sendiri. Ketiga korban itu tidak hanya dibunuh tapi juga dikuliti dan konon katanya kulit tersebut dijadikan topeng oleh sang pembunuh yang memakai nama "Bloody Face". Namun Kit menyangkal tuduhan tersebut dan berkata bahwa pada saat kejadian pembunuhan ia melihat cahaya terang dan diculik oleh alien. Ya, Asylum akan penuh dengan berbagai misteri tentang tiap-tiap karakternya. Tidak hanya itu, musim kedua ini memang tidak menampilkan hantu, tapi sebagai gantinya akan ada serial killer, alien, dan iblis yang "bertugas" memberikan teror pada penonton.

2 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - MURDER HOUSE (2011)

7 komentar
Nama Ryan Murphy dan Brad Falchuk paling dikenal sebagai kreator serial televisi Glee yang sempat menjadi fenomena tapi kini perlahan mulai dilupakan. Tapi apa jadinya jika kedua orang ini membuat sebuah serial televisi yang jauh berbeda? Dalam serial yang satu ini, jelas tidak ada nyanyian gembira, kisah cinta remaja, serta perjuangan anak-anak yang diremehkan untuk menjadi seseorang yang dipandang. Dalam American Horror Story yang ada hanya jeritan, tragedi, kematian, teror dan kesan sensual. AHS seperti yang terlihat pada judulnya mengambil konsep mengenai cerita-cerita horror yang populer di Amerika Serikat, dimana musim pertamanya berfokus pada teror di sebuah rumah berhantu. Kisah ruah hantu sudah sangat familiar diangkat dalam medium film, tapi sebagai sebuah serial televisi tentunya ini akan menjadi hal yang menarik. Musim pertamanya yang mempunyai subjudul Murder House ini ditayangkan pada tahun 2011 dan sukses menjadi serial tv kabel baru yang paling banyak ditonton pada tahun 2011 bersandingan dengan Falling Skies. Murder House akan mengajak kita melihat teror yang menanti di sebuah rumah tua yang terletak di Los Angeles dalam 12 episode-nya yang tidak hanya diisi kengerian tapi berbagai misteri-misteri seputaran rumah berhantu tersebut. 
Pada awalnya kita akan diajak berkenalan dengan keluarga Harmon yang terdiri dari Ben (Dylan McDermott), Vivien (Connie Britton) dan Violet (Taissa Farmiga). Keluarga tersebut baru saja ditimpa permasalahan berat disaat Vivien yang baru saja mengalami keguguran memergoki suaminya sedang berhubungan seks dengan Hayden (Kate Mara) yang tidak lain adalah murid dari Ben. Untuk memulai awal yang baru, mereka pindah dari Boston ke Los Angeles, tepatnya di sebuah rumah tua disana. Sejak awal mereka sudah mengetahui ada yang tidak beres dengan rumah tersebut karena dijual dengan harga yang sangat murah. Mereka pun akhirnya mengetahui bahwa pemilik sebelumnya meninggal di dalam rumah. Tapi karena sudah terlanjur menyukai rumah tersebut dan dengan sedikit "paksaan" dari sang puteri, Violet, Ben dan Vivien pun memutuskan membelinya. Tapi tentu saja usaha mereka untuk memulai hidup baru disana tidak berjalan lancar karena belum apa-apa sudah muncul beberapa kejadian serta orang-orang aneh di sekitar mereka. Mulai dari Tate (Evan Peter) pasien dari Ben yang sering bermimpi melakukan pembantaian dan mulai menjalin hubungan dengan Violet, Constance (Jessica Lange) tetangga sebelah yang sekilas terlihat ramah tapi nampak menyembunyikan sesuatu dan mempunyai seorang puteri dengan down syndrome bernama Addie (Jamie Brewer) yang sering menerobos masuk ke dalam rumah, sampai seorang pria dengan luka bakar bernama Larry (Denis O'Hare) yang selalu membuntuti Ben dan menceritakan banyak hal mengerikan tentang rumah tersebut.

7 komentar :

Comment Page:

MR. PEABODY & SHERMAN (2014)

1 komentar
"Every boy should have a dog." Ungkapan tersebut tentunya sudah sering kita dengar yang merujuk pada bagaimana setiap anak laki-laki "harus" memelihara seekor anjing guna melatih rasa tanggung jawab, kepemilikan serta pendewasaan diri mereka. Tapi bagaimana jika istilah itu dibalik? Bagaimana jika justru seekor anjinglah yang "memiliki" anak laki-laki? Hal itu mungkin saja terjadi jika sang anjing adalah makhluk paling cerdas di seluruh dunia serta merupakan pemenang hadiah nobel. Kurang lebih begitulah konsep unik yang diusung oleh Mr. Peabody & Sherman, sebuah animasi yang diadaptasi dari Peabody's Improbable History yang merupakan salah satu segmen dari serial animasi berjudul The Rocky and Bullwinkle Show yang ditayangkan pada era 50-an sampai 60-an. Salah satu daya tarik dari animasi buatan Dreamworks ini tentunya perpaduan antara premise dan sosok yang menjadi sutradara. Premise tentang perjalanan menembus banyak waktu di masa lalu sudah terasa menarik, apalagi saat mengetahui bahwa sosok yang duduk di bangku sutradara adalah Rob Minkoff. Sepanjang karirnya, Minkoff mungkin paling dikenal sebagai salah satu sutradara The Lion King (berduet dengan Roger Allers) tapi selain itu Minkoff juga banyak menyutradarai jenis film mulai dari The Forbidden Kingdom (kung-fu yang dibintangi Jackie Chan dan Jet Li), Stuart Little, The Haunted Mansion, bahkan komedi-kriminal Flypaper.

Seperti yang sudah saya singgung diatas, karakter utamanya adalah Mr. Peabody, seekor anjing yang di masa kecilnya dianggap berbeda karena kejeniusannya yang melebihi anjing biasa bahkan manusia. Karena itulah Peabody memilih memanfaatkan kejeniusannya untuk mendalami banyak khususnya science dan menjadikannya sebagai sosok paling cerdas di seluruh dunia. Tidak hanya itu, Mr. Peabody juga mengadopsi seorang anak laki-laki yang ia beri nama Sherman. Untuk mendidik Sherman, Mr. Peabody sering membawa anaknya itu kembali ke masa lalu untuk mempelajari banyak peristiwa sejarah menggunakan mesin waktu bernama WABAC yang ia ciptakan. Dengan mesin itulah Sherman bisa belajar dan bertemu dengan banyak sosok penting di masa lalu mulai dari George Washington hingga Leonardo da Vinci. Hingga pada suatu hari tibalah waktunya bagi Sherman untuk bersekolah. Tentu saja dengan semua bekal yang diberikan Mr. Peabody, Sherman kepintaran Sherman langsung menonjol di kelas. Hal itulah yang membuat seorang anak perempuan bernama Penny merasa iri padanya. Hal inilah yang menjadi awal dari hubungan antara Sherman dan Penny yang awalnya saling membenci satu sama lain tapi akhirnya terpaksa harus bekerja sama saat keduanya nekat menggunakan WABAC untuk kembali ke masa lalu dan terlibat banyak masalah.

1 komentar :

Comment Page:

OCULUS (2014)

Tidak ada komentar
Tahun 2013 lalu berhasil memberikan harapan besar pada franchise horror mainstream dengan kesuksesan The Conjuring (review) dan Insidious: Chapter 2 (review) milik James Wan. Tidak hanya sukses secara finansial, kedua film tersebut merupakan sajian horror dengan scare jump yang cukup mengagetkan dan kreatif setidaknya bagi saya. Karena itulah saat saya mendengar tentang perilisan Oculus lengkap dengan segala pujian tentangnya saya pun semakin menanti film garapan sutradara Mike Flanagan ini. Berasal dari film pendek karya Mike Flanagan sendiri yang berjudul Oculus: Chapter 3 - The Man with the Plan, film ini sesungguhnya bukanlah sebuah film horror "besar" layaknya dua film James Wan yang saya sebutkan diatas. Diproduksi oleh WWE Studio, Oculus hanya mempunyai bujet sebesar $5 juta. Tapi justru itulah yang menarik dari film ini. Menarik melihat bagaimana Mike Flanagan akan memanfaaatkan bujet minim tersebut. Menarik juga menantikan bagaimana Oculus akan memberikan kengerian pada penontonnya dengan berbekal sebuah cermin tua sebagai sajian utamanya. Jadi semengerikan apakah cermin jahat yang memberikan teror dalam Oculus?

Filmnya akan membawa kita bolak-balik dari masa sekarang ke masa lalu tepatnya 11 tahun yang lalu. Adalah sepasang kakak beradik, Kaylie (Karen Gillian) dan Tim (Brenton Thwaites) yang akan jadi karakter utama disini. Tim kini baru saja diperbolehkan keluar dari rumah sakit jiwa tempat ia dirawat akibat trauma masa kecilnya, sedangkan Kaylie yang kini bertunangan dengan Michael (James Lafferty) menghabiskan banyak waktunya untuk melakukan penelitian sekaligus mencari keberadaan sebuah cermin. Cermin yang selama ini dicar Kaylie adalah sebuah cermin yang dipercaya menyimpan kekuatan supranatural jahat di dalamnya. Cermin itu jugalah yang 11 tahun lalu menjadi pemicu tragedi mengerikan yang terjadi di keluarga Kaylie dan Tim sekaligus yang membuat Tim pada akhirnya didiagnosis menderita gangguan jiwa akibat segala ceritanya tentang cermin jahat tersebut. Dengan segala terapi yang telah ia terima, Tim pun kini mulai meyakini bahwa segala cerita tentang cermin pembunuh tersebut hanya rekayasa belaka. Tapi belum lama ia keluar dari rumah sakit jiwa, Tim sudah harus bertemu lagi dengan cermin tersebut dan kembali ke rumah lama miliknya setelah Kaylie dengan segala rencan yang telah lama ia susun memutuskan bahwa sekarang adalah waktunya bagi mereka untuk menuntut balas dan memusnahkan iblis penunggu cermin tersebut.
Cermin memang bukan barang baru untuk dieksplorasi dalam film horror, tapi jelas potensinya luar biasa besar. Bahkan di dunia nyata pun cermin seringkali menjadi barang yang cukup mengerikan, apalagi jika cermin itu adalah cermin lama yang punya desain ukiran kayu yang klasik. Saya sendiri seringkali merasa tidak betah menatap cermin seperti itu karena merasa ada sosok yang mengawasi. Hal itulah yang menjadi potensi terbesar bagi Oculus. Mike Flanagan sendiri nampaknya sadar bahwa filmnya ini tidak hanya berpotensi bagus tapi juga berpotensi disandingkan dengan film-film horror sukses milik James Wan diatas. Karena itulah Flanagan mencoba pendekatan yang sedikit berbeda dan cukup unik disini. Alih-alih memberikan sebuah narasi yang linear, Flanagan mengemas Oculus dengan memadukan teror yang terjadi di masa sekarang saat Kaylie dan Tim coba menghancurkan cermin tersebut dengan flashback 11 tahun lalu saat keduanya masih kecil dan terjadi tragedi mengerikan yang menimpa keluarga mereka. Hal tersebut memang unik dan saya akui cukup menyegarkan melihat kedua plot yang silih berganti tersebut, Pengemasan Flanagan pun cukup menarik saat "menabrakkan" kedua alur tersebut tapi tetap membuatnya terasa sebagai sebuah satu kesatuan. Sayangnya teknik yang menarik itu tidak dibarengi dengan pembangunan tensi yang menarik pula.
Penggabungan dua plot bakal terasa maksimal jika ada penyelipan misteri di dalamnya yang membuat penonton bertanya-tanya apa yang terjadi, khususnya pada paruh flashback. Kemudian pada akhirnya saat kedua plot bertabrakan di konklusi maka akan tercipta sebuah klimaks dengan intensitas dan revelation yang memuaskan. Sayangnya Oculus tidak memiliki itu, dan yang terjadi pada akhirnya adalah film ini tetap terasa sebagai sebuah straight horror biasa meski dikemas dengan berbeda. Alurnya sendiri berjalan dengan cukup lambat bahkan seringkali terasa membosankan. Ironisnya, lagi-lagi hal ini terjadi akibat usaha Flanagan untuk membuat filmnya berbeda dari kebanyakan horror pada umumnya. Oculus bukanlah film yang setiap beberapa menit sekali menyajikan penampakan dengan memakai jump scare. Film ini lebih berusaha membangun atmosfer dan ketegangan lewat pikiran penontonnya. Usaha yang patut diapresiasi sebenarnya mengingat banyak film horror malas melakukan ini dan lebih memilih melakukan jump scare untuk mengageti penonton daripada menciptakan sebuah kengerian. Tapi sayangnya hal itu tidak berhasil. Kadangkala bahkan perpadua kedua plotnya terasa berantakan. Tidak membingungkan, hanya saja kekacauan itu membuat ketegangannya gagal terbangun. Beberapa jump scare yang dipakai juga sama sekali tidak menimbulkan efek shocking, malah beberapa diantaranya menggelikan.

Untungnya masih ada poin yang membuat Oculus terasa sebagai horror yang meneror, yaitu lewat aspek gore dan beberapa gambar-gambar disturbing yang ada. Beberapa adegannya terasa menyakitkan seperti adegan "makan lampu" dan sebagainya. Beberapa graifk yang ada khususnya saat Kaylie memperlihatkan foto-foto para korban dari cermin tersebut juga sanggup membuat imajinasi saya bermain-main dan berujung pada kengerian yang cukup efektif. Belum lagi ditambah dengan sebuah ending yang sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan tapi dieksekusi dengan jalan yang shcoking sehingga memberikan efek kejut yang cukup besar. Ya, saya menyukai ending-nya yang menguatkan kesan betapa jahatnya cermin terkutuk itu. Sampai disini Oculus terlihat akan mendapat penilaian positif dari saya, tapi sayangnya ada satu poin yang sangat mengganjal, yaitu kebodohan karakternya. Ya, saya tahu bahwa sebuah film horror "halal" untuk sebodoh apapun asal bisa memberikan kengerian. Bahkan karakter dalam Oculus masih jauh lebih cerdas daripada korban-korban di film slasher. Tapi ada satu hal yang benar-benar mengganggu, yaitu fakta bahwa Kaylie sebenarnya telah mengetahui bagaimana kekuatan iblis jahat di dalamnya yang mampu memanipulasi pikiran korbannya dengan cara apapun tanpa bisa disadari oleh mereka. Dengan menegtahui fakta itu bukankah merupakan keputusan yang begitu bodoh untuk melakukan perlawanan "hanya" dengan cara yang menurut saya cuma efektif untuk melawan para pembunuh itu? Terasa sekali bahwa Flanagan menggiring plotnya tersebut untuk menciptakan sebuah ending yang cukup "depresif".

Tidak ada komentar :

Comment Page:

VERONICA MARS (2014)

Tidak ada komentar
Diputar selama tiga musim dari tahun 2004 hingga 2007, serial televisi Veronica Mars yang dibuat oleh Rob Thomas mungkin bukan termasuk serial yang mendapat rating tertinggi, namun serial tersebut mempunyai banyak barisan penggemar cult. Serial ini juga berhasil melambungkan nama Kristen Bell hingga seperti sekarang. Pasca serialnya, Rob Thomas sebenarnya sudah memulai usaha untuk membuat versi layar lebar dari Veronica Mars tapi selalu terbentur masalah pendanaan. Sampai akhirnya pada awal 2013, Rob Thomas dan Kristen Bell berusaha memanfaatkan keberadaan cult following serial tersebut dengan mengadakan penggalangan dana melalui website kickstarter. Benar saja, setelah satu bulan, akhirnya proyek ini mendapat lebih dari $5.7 juta dan akhirnya memulai produksinya hingga dirilis awal tahun ini. Saya sendiri tidak pernah menonton serial televisi yang satu ini, bahkan baru mendengar judulnya menjelang film dirilis. Untuk cerita dalam filmnya sendiri, naskah yang ditulis sendiri oleh Rob Thomas akan melanjutkan apa yang menjadi akhir dari musim ketiga serial tersebut, tepatnya sembilan tahun pasca ending tersebut sebagai bukti bahwa adaptasi film ini masih setia pada kontinuitas serial televisinya. Tidak hanya itu, jajaran cast-nya pun turut kembali meramaikan film ini.

Berselang sembilan tahun setelah akhir serial televisinya, kini Veronica Mars (Kristen Bell) telah pindah dari Neptune ke New York. Disana ia menjalin hubungan yang damai dan bahagia dengan Piz (Chris Lowell). Tidak hanya itu, Veronica kini berkesempatan untuk bekerja di sebuah firma hukum besar disana. Tapi ditengah semua hal baik itu Veronica mendapat kabar mengejutkan tentang kematian teman masa sekolahnya, Carrie Bishop (Andrea Estella) yang kini dikenal sebagai seorang pop superstar dengan nama panggung Bonnie DeVille. Carrie ditemuka tewas di bathtub rumahnya, dan yang lebih mengejutkan bagi Veronica adalah karena orang yang menjadi tersangka utama kasus pembunuhan tersebut adalah Logan (Jason Dohring), mantan kekasihnya sendiri semasa sekolah. Logan sendiri meminta bantuan Veronica untuk mencarikan pengacara yang membuat Veronica harus kembali lagi ke Neptune. Logan sendiri bersikeras bahwa ia bukanlah pembunuh Carrie yang pada saat itu berstatus sebagai mantan pacarnya meski segala bukti mengarah padanya. Pihak kepolisian pun menemukan bahwa ada motif yang masuk akal bagi Logan untuk membunuh Carrie. Pada akhirnya Veronica yang telah meninggalkan kehidupan sebagai private investigator pun merasa terpanggil untuk menyelidiki kasus ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DIAL M FOR MURDER (1954)

1 komentar
Mengatakan bahwa sebuah dekade tertentu merupakan era keemasan Alfred Hitchcock nampaknya sedikit merendahkan sang sutradara legendaris, karena bisa dibilang sepanjang lebih dari 50 tahun karirnya, ia seolah tidak pernah berhenti melahirkan masterpiece demi masterpiece. Tapi era tahun 50-an memang boleh dibilang merupakan puncak karir Hitchcock, dimana ia tidak hanya banyak melahirkan film-film terbaiknya tapi juga yang paling besar dan dikenal semua orang sebut saja Strangers on a Train, Rear Window, Vertigo, North by Northwest hingga Dial M for Murder ini. Selain itu, era ini juga cukup berdekatan dengan perilisan Psycho pada tahun 1960, yaitu film Hitchcock yang paling dikenal orang. Dial M for Murder sendiri dirilis pada tahun 1954, dengan kata lain sama dengan Rear Window. Film ini masih punya banyak elemen yang menjadi ciri khas Hitchcock, semisal tema pembunuhan yang dipenuhi misteri dan twist samapi aura pertunjukkan teater yang begitu kuat. Banyak film Hitchcock memang diadaptasi dari pertunjukkan teater, tidak terkecuali film ini yang diadaptasi dari pertunjukkan teater berjudul sama yang dibuat oleh Frederick Knott. Knott jugalah yang menjadi penulis naskah bagi film ini. 

Dial M for Murder akan memperkenalkan kita pada pasangan suami istri Tony (Ray Milland) dan Margot (Grace Kelly). Tony adalah mantan petensi profesional yang pensiun karena sang istri terus mengeluhkan kesibukan jadwalnya berkompetisi. Tapi ternyata tanpa sepengetahuan Tony, sang istri selama ini berselingkuh dengan Mark (Robert Cummings), seorang penulis novel misteri asal Amerika. Meski keduanya tidak pernah lagi bertemu akhir-akhir ini karena Mark kembali ke Amerika ternyata mereka masih saling berkirim surat. Margot dan Mark sendiri tidak tahu bahwa Tony sesungguhnya sudah mengetahui perselingkuhan mereka berdua, bahkan tidak hanya itu Tony pun sudah cukup lama mempersiapkan sebuah rencana untuk membalaskan sakit hatinya. Rencana Tony tidak lain adalah membunuh sang istri. Tapi ini bukanlah pembunuhan biasa karena yang Tony rencanakan adalah sebuah pembunuhan terencana yang mendekati pembunuhan sempurna. Untuk itulah ia mulai memanfaatkan Swann (Anthony Dawson) yang merupakan teman lamanya semasa kuliah. Tony mencoba memeras Dawson supaya ia bersedia membunuh Margot berdasarkan rencana yang telah ia buat selama ini. Tapi pada akhirnya pembunuhan sempurna ini tetaplah tidak berjalan dengan sempurna.

1 komentar :

Comment Page:

EDGE OF TOMORROW (2014)

2 komentar
Biasanya adaptasi Hollywood terhadap materi yang berasal dari luar Amerika seperti komik dan novel dari Jepang atau Korea tidak pernah memuaskan. Kekecewaan tersebut seringkali karena terjadinya perubahan signifikan dalam film yang justru mengurangi kekuatan utama dari sumber cerita tersebut. Karena itulah saat saya mendengar Hollywood akan mengadaptasi All You Need is Kill, sebuah light novel (novel Jepang yang mengambil target pasar para remaja) karya Hiroshi Sakurazaka saya tidak begitu tertarik. Meskipun punya dasar cerita yang cukup menarik yakni tentang seorang prajurit yang terbunuh di medan perang hanya untuk hidup kembali secara terus menerus dan mengulangi peperangan yang sama serta kehadiran berbagai nama besar mulai dari Tom Cruise, Emily Blunt, Bill Paxton dan Brendan Gleeson, Edge of Tomorrow tidak pernah membuat saya antusias untuk menantikannya. Film ini juga disutradarai oleh Doug Liman (The Bourne Identity, Mr & Mrs. Smith, Jumper) dan mempunyai Christopher McQuarrie (The Usual Suspects, The Wolverine) sebagai salah satu penulis naskahnya. Sedari pembukanya kita sudah langsung diajak melihat kondisi masa depan dimana Bumi tengah berada dalam ancaman kehancuran akibat kedatangan ras alien bernama Mimic yang berhasil menghancurkan banyak tempat dan membunuh banyak manusia.

Namun disaat harapan seolah sudah menghilang bagi umat manusia, pasukan militer Bumi pada akhirnya berhasil meraih satu kemenangan dalam sebuah pertempuran setelah rangkaian kekalahan yang dialami. Kemenangan itu berhail diraih berkat penggunaan baju mesin tempur yang membuat para tentara bisa memiliki kekuatan luar biasa lengkap dengan persenjataan berat. Kehadiran Rita Vrataski (Emily Blunt) yang sanggup membunuh ratusan mimics dalam satu kali pertempuran juga menjadikannya simbol peperangan dan memberikan harapan baru bagi umat manusia. Disisi lain, ada Mayor William Cage (Tom Cruise) yang selama ini bertugas untuk mempromosikan peperangan tersebut guna menarik dukungan masyarakat. Tapi diluar dugaan, pada sebuah pertempuran vital ia "dipaksa" oleh Jenderal Brigham (Brendan Gleeson) untuk terjun langsung ke baris depan peperangan. Cage yang belum pernah mendapat latihan dasar militer apalagi terjun ke medan perang tentu saja tidak bisa berbuat banyak melawan para alien tersebut meski telah memakai baju perang yang canggih. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya ia terbunuh meski sempat menghabisi salah satu alien. Yang mengejutkan, Cage terbangun kembali pada waktu beberapa jam sebelum peperangan terjadi. Hal itu kemudian terjadi secara berulang-ulang dan bagi Cage itu menjadi latihan yang terus membuatnya lebih baik dalam medan perang. Dengan bantuan Rita, Cage kini berusaha mencari cara untuk meraih kemenangan dalam peperangan tersebut.

2 komentar :

Comment Page:

THE LUNCHBOX (2013)

4 komentar
Apanya yang menarik dari sebuah film yang menghadirkan rantang dan surat menyurat sebagai sajian utamanya? Sutradara debutan Ritesh Batra membuktikan bahwa kedua hal yang sederhana bahkan terkesan ketinggalan jaman tersebut bisa dikemas untuk menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik. Semua berawal dari renana Batra untuk membuat sebuah dokumenter tentang Dabbawala, yaitu para pengantar makan siang yang konon katanya tergabung dalam sebuah organisasi dengan sistem pendataan yang benar-benar efisien sehingga memungkinkan mereka mengantar makan siang tepat waktu dengan memanfaatkan berbagai macam jenis transportasi. Bahkan di hari yang sama pun mereka sudah langsung mengembalikan rantang yang dikirim ke rumah masing-masing. Begitu luar biasanya sistem yang dipakai, pihak Harvard pun sampai tertarik menelitinya. Awalnya Ritesh Batra ingin membuat dokumenter untuk merangkum kehebatan para dabbawala ini pada tahun 2007, sampai kemudian ia justru menemukan banyak cerita personal yang amat menarik berhasil ia temukan dari para pengguna jasa dabbawala. Batra pun memutuskan membuat sebuah drama romantis dengan menjadikan dabbawala sebagai salah satu unsur penggeraknya, dan pada akhirnya jadilah The Lunchbox ini.

Diawal kita akan diajak untuk melihat Ila (Nimrat Kaur), seorang ibu rumah tangga yang sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk ia kirim menggunakan jasa dabbawala. Sekilas saja bisa ditebak bahwa Ila sedang menyiapkan makanan untuk seorang pria, entah pacar atau suaminya. Makanan yang ia buat pun diantar melintasi berbagai keramaian dan kumuhnya Mumbai sebelum pada akhirnya diterima oleh seorang pria bernama Saajan Fernandez (Irrfan Khan). Jadi siapakah Mr. Fernandez ini? Apakah ia suami Ila? Atau kekasihnya? Ternyata dia bukan siapa-siapa, karena paket makan siang tersebut tidak sampai pada tujuan. Disaat Saajan mendapatkan rantang makan siang dari Ila, suami Ila, Rajiv (Nakul Vaid) justru mendapat makanan dari restoran yang dipesan oleh Saajan, dengan kata lain makan siang keduanya tertukar. Berawal dari situlah keduanya memulai komunikasi mereka lewat surat yang dimasukkan dalam rantang makanan. Tanpa mereka sadari, kehadiran masing-masing telah menambal kesepian dalam hidup keduanya. Baik Ila yang tidak lagi mendapatkan kehangatan dari sang suami maupun Saajan yang sudah ditinggal mati sang istri. Bagi Saajan khususnya, surat-surat dari Ila perlahan mulai merubah dirinya yang tadinya dingin dan seolah tidak peduli dengan sekitarnya menjadi lebih ramah serta lebih sering mengumbar senyum.

4 komentar :

Comment Page:

NON-STOP (2014)

1 komentar
Taken membuat nama Liam Neeson melesat cepat sebagai salah satu aktor laga kelas satu. Bahkan bisa dibilang namanya kini sudah lebih besar dan jauh lebih bankable dibanding aktor-aktor laga legendaris macam Stallone, Schwarzenegger samapi Bruce Willis. Dengan Liam Neeson, sebuah film aksi yang buruk sekalipun bisa terhindar dari menjadi sampah berkat kharisma dan kedalaman akting yang dia miliki, khususnya jika berperan sebagai seorang pria kuat yang tersiksa batinnya. Dalam Non-Stop yang disutradarai oleh Jaume Collet-Serra (Unknown) ini, Neeson kembali memerankan karakter serupan, yaitu seorang polisi udara alkoholik yang menyimpan luka akibat tragedi masa lalu. Tapi Non-Stop tidak hanya memiliki Liam Neeson seorang, ada Julianne Moore, Michelle Dockery, hingga Lupita Nyong'o yang saat film ini dibuat masih belum menjadi pemenang Oscar seperti sekarang. Jadi dengan keberadaan Liam Neeson sebagai aktor utama dan Jaume Collet-Serra dengan jajaran filmography seperti House of Wax, Orphan hingga Unknown kita sudah bisa menebak dengan mudah apa yang akan kita dapatkan dari film ini, yaitu sebuah hiburan brainless yang berjalan cepat (and literally non-stop) dilengkapi dengan sentuhan misteri di dalamnya.

Bill Marks (Liam Neeson) adalah seorang polisi federal yang tengah bertugas mengamankan sebuah penerbangan internasional menuju London. Sedari awal kita sudah diajak untuk mempelajari bahwa Bill adalah seorang polisi yang bermasalah dengan ketergantungan alkohol. Tentu saja bagi Bill penerbangan ini bagaikan sebuah rutinitas biasa yang tidak perlu ia khawatirkan sedikitpun. Sampai di tengah penerbangan Bill mendapat sebuah sms dari seseorang misterius yang mengatakan bahwa ia akan membunuh satu orang di dalam pesawat tersebut setiap 20 menit. Untuk menghentikan aksinya ia meminta uang tebusan senilai $150 juta. Kini dengan bantuan beberapa orang termasuk pramugari bernaa Nancy (Michelle Dockery) dan wanita yang baru ia temui, Jen (Julianne Moore), Bill harus berusaha menghentikan orang misterius tersebut sebelum banyak nyawa orang tidak bersalah menjadi korban. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk mencari satu orang diantara lebih dari seratus orang, apalagi Bill harus berpacu dengan waktu. Sebuah film aksi-thriller dengan balutan misteri yang ber-setting puluhan ribu kaki di udara, terdengar seperti sebuah tontonan yang mengasyikkan bukan?

1 komentar :

Comment Page:

DUEL (1971)

4 komentar
Bisa bayangkan film Spielberg tanpa efek CGI atau efek spesial canggih lainnya, tanpa kisah penuh dramatisasi, tanpa adanya drama keluarga di kompleks perumahan, atau tanpa iringan musik dramatis milik John William? Sekarang memang sulit, namun seperti itulah gambaran dari Duel yang merupakan debut penyutradaraan film panjang dari Steven Spielberg. Pasca kesuksesannya menyutradarai sebuah episode dari serial tv The Name of the Game, Spielberg pun berkesempatan membuat fim panjang pertamanya ini yang pada awalnya hanya akan ditayangkan di televisi. Tapi berkat respon positif penonton, Duel pun akhirnya dirilis ke layar lebar setahun kemudian dengan tambahan durasi yang awalnya hanya 74 menit menjadi 90 menit (Spielberg diberi waktu dua hari untuk menambal kekurangan durasi tersebut). Duel sendiri ditulis naskahnya oleh Richard Matheson berdasarkan sebuah cerita pendek berjudul sama yang ia tulis sendiri dan sempat dimuat di majalah Playboy. Seperti yang saya bilang di kalimat awal, film ini adalah film Spielberg yang jauh dari segala kemewahan dan kecanggihan seperti yang kita kenal dari karya-karyanya sekarang. Dengan hanya berbujet $450 ribu nyatanya dia tetap mampu menyajikan sebuah tontonan cukup menyenangkan yang sama sekali jauh dari kesan murahan.

Cerita dalam film ini sangatlah sederhana, yaitu tentang seorang sales bernama David Mann (Dennis Weaver) yang tengah melakukan perjalanan bisnis dengan mengendarai mobil Plymouth Valiant merah buatan tahun 1971 miliknya. Saat sampai di sebuah padang gersang di California, David dikejutkan dengan kemunculan sebuah truk besar butut yang mulai mengganggu perjalanannya. Pada awalnya truk tersebut hanya menghalangi jalan David dan sesekali membalapnya. Tapi lama kelamaan situasi makin tambah berbahaya saat truk misterius itu mulai menyerang mobil David secara brutal. Kini di tengah jalanan gersang yang sepi David harus berjuang menyelamatkan diri dan berduel dengan truk yang tidak ia ketahui siapa pengendaranya itu. Kurang lebih hanya itu ceritanya. Sepanjang sekitar 90 menit kita "hanya" akan diajak melihat David dan pengemudi truk misterius itu beradu di jalan raya sambil sesekali ada selipan konflik yang memperlihatkan bagaimana frustrasinya David dalam kondisi tersebut termasuk usahanya untuk mengungkap siapa jati diri sang supir truk. Pada dasarnya Duel terasa seperti sebuah car chase scene versi extended, tidak lebih. Matheson hanya menambahkan sedikit bumbu cerita seperti misteri tentang jati diri supir struk sampai sedikit observasi rasa frustrasi David. 

4 komentar :

Comment Page:

GLORIA (2013)

Tidak ada komentar
Pernahkah anda membayangkan akan seperti apa kehidupan anda di masa senja nanti? Disaat anak-anak anda sudah berkeluarga dan hidup jauh dari anda, disaat teman-teman lama anda pun sudah banyak yang tidak berada di sekitar anda, bahkan yang paling "parah" jika anda sudah tidak bersama pasangan hidup anda lagi entah karena ia meninggal atau akibat perceraian. Apakah yang akan anda lakukan pada masa itu? Pastinya kesepian bakal menjadi sajian kehidupan sehari-hari dan sangat ingin anda hindari, entah dengan cara apapun itu. Hal yang sama disajikan oleh Sebastian Lelio dalam filmnya ini. Film yang menjadi perwakilan Chile dalam ajang Oscar awal tahun ini akan membawa kita menengok kehidupan seorang wanita berusia 58 tahun bernama Gloria (Paulina Garcia) yang harus menjalani hidupnya dengan kesendirian setelah kedua anaknya yang dewasa kini telah memiliki kehidupan mereka masing-masing dan pergi meninggakan rumah. Gloria sendiri sudah hidup menjanda beberapa tahun setelah perceraian yang ia alami. Namun tidak seperti banyak wanita tua lain yang memilih diam di rumah menikmati kesendirian dan kesepian di hari tuanya, Gloria memilih menghabiskan hari-harinya dengan berbagai macam kegiatan yang mungkin tidak menggambarkan usianya.

Pada siang hari ia memilih untuk bekerja atau sesekali mengunjungi kedua anak-anaknya. Sedangkan di malam hari Gloria akan mengunjungi teman-temannya untuk sekedar mengobrol dan berbagi cerita atau datang ke pesta-pesta sambil memamerkan kebolehannya menarik untuk menarik perhatian para lelaki tua. Gloria memang punya harapan besar untuk bisa menambal kesepian hidupnya lewat berbagai macam kegiatan tersebut. Tapi ia tidak pernah mendapatkan yang ia inginkan dan Gloria pun masih terus hidup dalam kesendirian dan kesepian yang sunyi. Yang menemaninya hanyalah seekor kucing yang begitu ia benci karena sering masuk ke dalam rumahnya dan sang pemilik kucing yang tinggal tepat diatas apartemen Gloria dan selalu menimbulkan keributan saat dia merasakan stress. Sampai akhirnya pada sebuah pesta Gloria bertemu dengan Rodolfo (Sergio Hernandez), seorang pria yang beberapa tahun lebih tua darinya dan juga baru saja bercerai satu tahun yang lalu. Dengan cepat keduanya pun saling tertarik dan perlahan kesepian Gloria pun semakin menghilang dengan segala perhatian yang diberikan oleh Rodolfo. Tapi tetap saja semuanya tidak berjaan mulus khususnya karena Rodolfo masih sering mendapat "gangguan" dari anak-anak dan mantan istrinya yang tengah sakit.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ASSASSINATION OF JESSE JAMES BY THE COWARD ROBERT FORD (2007)

2 komentar
Apakah anda mengenal nama Jesse James? Dia merupakan salah satu sosok paling terkenal pada masa perang sipil Amerika sebagai gerilyawan. Namanya makin tersohor namanya saat mulai beraksi dalam berbagai perampokan bank dan kereta bersama keompoknya yang dikenal sebagai "James-Younger Gangs". Banyak yang menyamakan Jesse dengan Robin Hood karena dia selalu mencuri barang dari orang kaya untuk membagikannya pada rakyat miskin meskipun sebenarnya anggapan ini tidaklah terbukti. Meskipun seorang bandit, Jesse James mendapatkan popularitas layaknya selebritis pada masa itu dan kisahnya pun banyak diangkat dalam berbagai cerita bahkan setelah kematiannya di tangan Robert Ford. pada tahun 1882. Film ini pun seperti judulnya akan mengangkat kisah tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Robert Ford pada Jesse James yang juga mengambil adaptasi dari novel berjudul sama karangan Ron Hansen. Jadi apa yang harapkan dari sebuah film western yang menampilkan sosok salah satu perampok paling terkenal sepanjang masa? Adegan perampokan kereta atau bank yang epic lengkap dengan aksi tembak-menembak yang dilakukan para koboi? Aksi kejar-kejaran diatas kuda dengan kecepatan tinggi? Ekspektasi yang wajar, tapi sutradara Andrew Dominik akan meruntuhkan segala ekspektasi tersebut.

Kisahnya dimulai dengan persiapan yang dilakukan oleh sebuah gang perampok yang dipimpin oleh Jesse James (Brad Pitt) dan kakaknya, Frank James (Sam Shepard) untuk merampok sebuah kereta di daerah Blue Cut, Missouri. Dalam kelompok tersebut terdapat seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Robert Ford (Casey Affleck) yang selama ini begitu mengidolakan Jesse James dan mengoleksi semua buku yang menceritakan kehebatan Jesse. Bagi Robert kesempatan ini adalah mimpi yang menjadi nyata dan dia pun muai berusaha mendekati Jesse guna mendapatkan perhatian dari idolanya tersebut. Tapi ternyata dia tidak mendapatkan respon yang diharapkan karena baik Jesse, Frank maupun anggota kelompok yang lain meremehkan Robert. Pada akhirnya perampokan pun berhasil yang ternyata menjadi perampokan terakhir yang dilakukan oleh "James Gangs". Memang gang tersebut bisa dibilang sudah sangat berkurang kekuatannya karena mayoritas anggota aslinya sudah tewas atau ditangkap pihak berwajib. Yang tersisa hanya Frank dan Jesse. Jesse pun akhirnya memilih pulang ke rumahnya di Kansas dan membawa beberapa anggota gang yang lain termasuk Robert untuk tinggal di rumahnya sambil bersembunyi dari kejaran sheriff. Dari situlah ambisi Robert untuk menjadi seperti Jesse semakin besar bahkan perlahan nampak berubah menjadi kebencian setelah Jesse selalu meremehkan dan mengejeknya. Hal inilah yang nantinya akan berujung pada pembunuhan yang ia lakukan terhadap Jesse James, sang idolanya.

2 komentar :

Comment Page:

REALITA, CINTA DAN ROCK 'N ROLL (2006)

5 komentar
 
Ada kalanya seorang aktor bisa begitu melambung namanya secara cepat berkat satu film, entah sebelumnya dia pernah berakting dalam film atau belum. Sebagai contoh DiCaprio dengan Titanic atau yang paling mentereng tentu saja para bintang-bintang dalam Twilight Saga. Bagi Vino Bastian, Realita, Cinta dan Rock 'n Roll adalah film itu. Sebelumnya Vino memang dikenal lewat peran-peran dalam film seperti Catatan Akhir Sekolah tapi baru lewat film garapan Upi Avianto inilah sosoknya benar-benar menjadi superstar. Entah itu dikenal sebagai aktor muda berbakat atau pria idaman wanita dengan paras ganteng dan perut six pack-nya itu. Bagi Upi juga film ini membuatnya jadi salah satu sutradara wanita yang paling diperhitungkan di Indonesia. Seolah ingin membuktikan bahwa seorang sineas perempuan juga bisa membuat film yang "jantan" bahkan jauh lebih jantan daripada film-film sineas pria, Upi pun dengan percaya diri membuat film ini...yang mempunyai embel-embel "rock 'n roll" di dalamnya. Tentu bukan hal mudah untuk membuat sebuah film dengan jiwa rock 'n roll yang sesungguhnya. Apalagi dengan tema cinta, persahabatan dan keluarga di dalamnya, sudah banyak drama-drama Indonesia yang justru berakhir cengeng. Tapi Upi membuktikan bahwa dia "berbeda".

Ipang (Vino Bastian) dan Nugi (Herjunot Ali) adalah dua siswa SMA yang bersahabat dengan begitu dekat. Mereka berdua selalu melakukan banyak hal termasuk berbagai kenakalan bersama-sama mulai dari cabut dari kelas saat jam pelajaran, hobi mengajak ribut orang-orang sampai lari-larian tanpa pakaian di jalan. Keduanya pun juga mempunyai mimpi yang sama, yaitu menjadi seorang anak band, menjadi seorang rockstar. Diantara mereka hadir juga seorang gadis penjaga toko CD musik bernama Sandra (Nadine Chandrawinata). Bersama-sama ketiganya selalu menghabiskan waktu bersama meski hanya untuk ngobrol dengan ditemani rokok sambil sesekali meneriakkan betapa payahnya kehidupan mereka. Bagi Ipang dan Nugi memang diluar kegiatan nongkrong dan nge-band, kehidupan mereka terasa jauh dari kata menyenangkan. Nugi harus berurusan dengan ibunya (Sandy Harun) yang membuka praktek terapi relaksasi dan membuat Nugi terganggu oleh pacar-pacarnya yang nyentrik. Belum lagi saat ia harus bertemu kembali dengan ayahnya (Barry Prima) yang dahulu adalah atlet Tae Kwon Do yang kini beralih menjadi transgender penggila salsa. Sedangkan bagi Ipang, sang ayah (Frans Tumbuan) selalu menjadi pengganggu yang begitu membenci mimpinya menjadi anak band. Bagi sang ayah Ipang hanya perlu belajar rajin di sekolah.

5 komentar :

Comment Page: