AMERICAN HORROR STORY - FREAK SHOW (EPISODE 4)

Tidak ada komentar
Apa kelebihan serial antologi macam American Horror Story? Salah satunya adalah cerita yang tidak terlalu diulur-ulur. Lalu apa kekurangannya? Kebalikan dari kelebihannya, dengan hanya satu musim dan 13 episode, cerita yang telah dibangun dengan baik seringkali mendapatkan konklusi yang buru-buru. Kekurangan itu sudah beberapa kali terjadi pada AHS, dan kembali terulang pada episode Edward Mordrake Part 2. Melanjutkan cerita bagian pertamanya, disini Edward Mordrake kembali melanjutkan pencariannya terhadap freak yang bisa ia bawa jiwanya. Episode ini akan lebih banyak berfokus pada latar belakang beberapa karakternya saat menuturkan masa lalu mereka pada Edward. Mulai dari Suzi, Paul hingga akhirnya Elsa mengungkapkan sisi gelap yang mereka pendam di masa lalu. Penuturan yang dilakukan mereka bertiga sebenarnya sudah berhasil membuka episode ini dengan amat baik. Tidak perlu berlama-lama, bagian kedua ini langsung tancap gas dengan kisah-kisah twisted dan gila dari tiap-tiap karakternya. Ketegangan semakin memuncak saat penonton dibuat bertanya-tanya siapa pada akhirnya yang akan dibunuh oleh Edward.

Pertanyaan "siapa?" adalah yang paling sering muncul dalam episode ini dan menjadi penjaga tensi yang baik. Tapi kemudian saat pertanyaan besar itu dijawab yang muncul justru kekecewaan. (MAJOR SPOILER) Membunuh Twisty dan memberikan tongkat estafet pada Dandy sebenarnya bukanlah twist yang buruk, bahkan sesungguhnya punya potensi efek kejut yang luar biasa. Siapa menduga Twisty yang sejak awal diposisikan sebagai villain utama akan tewas saat musim baru berjalan sepertiga. Tapi semua itu baru bisa berhasil setelah Twisty punya peran yang besar dan penonton telah mengetahui lebih dalam tentangnya. Tapi hingga episode ketiga dia baru memasuki fase pengenalan, dan semua pendalaman dilakukan hanya dalam beberapa menit pada episode ini. Momen kematian Twisty memang berhasil memberikan kejutan, tapi bukan dalam artian yang sepenuhnya positif. Twisty adalah karakter yang berpotensi menjadi favorit (belum menjadi favorit), dan kematiannya saat ia belum mencapai status favorit gagal memberikan dampak yang diinginkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MAPS TO THE STARS (2014)

Tidak ada komentar
David Cronenberg punya berbagai fase dalam karirnya. Yang pertama dan paling lekat dengan dirinya adalah fase body horror saat ia membuat film-film seperti Videodrome dan The Fly. Kemudian fase kedua adalah fase thriller dengan judul-judul macam Eastern Promises dan A Histroy of Violence  Meski berbeda, film-film thriller Cronenberg masih mempunyai DNA dari karya-karya lawasnya. Barulah pada era 2010-an, Cronenberg seolah total bertransformasi meninggalkan jati dirinya sebagai master of body horror dengan banyak membuat drama khususnya drama satir. Dimulai dengan A Dangerous Methods dan dilanjutkan dengan Cosmopolis, sang sutradara seolah "melembut" meski dalam dramanya masih ada keanehan dan jiwa-jiwa yang tersiksa. Pada karya terbarunya yang berjudul Maps to the Stars ini dia pun masih menampilkan sebuah drama satir, atau lebih detailnya drama satir tentang kehidupan orang-orang di Hollywood. Film ini juga menjadi kolaborasi kedua secara beruntun antara Cronenberg dan Robbert Pattinson setelah Cosmopolis. Selain Pattinson banyak nama-nama besar lain seperti Mia Wasikowska, John Cusack, serta Julianne Moore yang berhasil menyabet penghargaan aktris terbaik dalam Cannes Film Festival 2014 lewat perannya disini.

Maps to the Stars berkisah tentang beberapa karakter yang tengah berjuang dalam kehidupan mereka di L.A. Agatha (Mia Wasikowska) adalah seorang gadis muda yang baru saja sampai di L.A. dan berusaha mendapatkan pekerjaan disana. Setibanya di L.A. ia menyewa limusin yang disupiri oleh Jerome (Robert Pattinson). Meski hanya seorang supir limo, Jerome sendiri punya mimpi untuk menjadi aktor sekaligus penulis naskah. Sedangkan Agatha akhirnya mendapat pekerjaan sebagai asisten pribadi dari Havana (Julianne Moore) atas referensi dari Carrie Fisher. Havana adalah seorang aktris senior yang karirnya mulai tenggelam. Untuk menghidupkan karirnya lagi, ia berambisi mendapatkan peran sebagai ibunya sendiri dalam sebuah film biopic yang tengah dalam pengembangan. Havana yang merasa mendapat pelecehan dari sang ibu sampai saat ini terus dihantui oleh sosoknya. Kemudian ada Benjie (Evan Bird) seorang aktor remaja berusia 13 tahun yang sering membuat sensasi dan tengah berusaha memperbaiki karirnya setelah lepas dari ketergantungan narkoba. Sedangkan ayah Benjie, Dr. Stafford (John Cusack) adalah seorang terapis terkenal yang punya banyak klien selebritis termasuk Havana. Keluarga Benjie sendiri mempunyai sebuah rahasia tentang masa lalu mereka yang berkaitan dengan menghilangnya si anak perempuan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ICHI THE KILLER (2001)

Tidak ada komentar
Satu lagi filmTakashi Miike yang masuk dalam jajaran film paling disturbing dan tentunya di-banned di banyak negara karena tingkat kesadisan serta kekerasan yang tinggi. Ichi the Killer diangkat dari manga buatan Hideo Yamamoto yang awalnya juga diminta oleh Miike untuk menulis naskah film ini sebelum akhirnya digantikan oleh Sakichi Sato karena writer's block. Bisa dimaklumi kenapa Takashi Miike tertarik mengadaptasi manga yang satu ini, karena di dalamnya terdapat banyak unsur yang menjadi favorit sang sutradara seperti Yakuza, komedi hitam dan kekerasan tingkat tinggi. Tapi sebelum membahas lebih lanjut tentang film ini, patut diketahui bahwa sosok Ichi yang ada pada judulnya bukanlah pria berambut kuning dengan wajah penuh luka yang terpampang di berbagai poster filmnya. Pria berambut kuning itu adalah Kakihara (Tadanobu Asano), salah seorang petinggi Yakuza yang juga anak buah dari bos Yakuza bernama Anjo. Kakihara adalah seorang sadomasokis yang menikmati segala kekerasan dan rasa sakit yang dirasakan oleh tubuhnya. 

Pada suatu malam, Anjo menghilang dari kamarnya secara misterius. Kakihara yang percaya bahwa sang bos masih hidup mati-matian mencarinya bersama anak-anak buah yang lain. Tapi mereka tidak tahu bahwa Anjo sebenarnya telah dibunuh secara brutal oleh Ichi (Nao Omori) atas perintah Jijii (Shinya Tsukamoto) dengan tujuan mengadu domba para anggota Yakuza. Ichi sendiri meskipun sudah berulang kali melakukan pembunuhan dengan sadis sebenarnya hanyalah seorang pemuda cengeng dan pendiam yang pada masa lalunya menjadi korban bullying. Pengalaman trauma masa lalu itulah yang kemudian dimanfaatkan Jijii untuk menjadikan Ichi sebagai sebuah mesin pembunuh, karena sekalinya marah, dia langsung berubah menjadi pembunuh yang tidak kenal rasa kasihan. Jadilah saling buru terjadi antara Kakihara dengan Ichi. Saling buru yang mengakibatkan banyak pembunuhan dan kebrutalan dimana-mana. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

OBVIOUS CHILD (2014)

Tidak ada komentar
Diangkat dari sebuah film pendek berjudul sama yang juga ditulis dan disutradarai oleh Gillian Robespierre, Obvious Child akan mengagkat kisah tentang kehamilan diluar nikah dan aborsi. Tapi tentu saja dengan genre komedi-romantis yang diusung, film ini akan menyikapi tema sensitif tersebut dengan berbagai candaan, apalagi karakter utamanya adalah seorang stand-up komedian. Karena ini juga adalah mumblecore, maka bersiaplah dengan kehadiran dialog-dialog panjang yang meluncur cepat dari mulut karakter-karakternya dan seringkali dialog tersebut keluar seenak jidat tanpa peduli konteks pembicaraan. Karakter utama dalam film ini adalah Donna Stern (Jenny Slate), seorang wanita yang di siang hingga sore hari bekerja di sebuah toko buku dan malam harinya menjadi seorang comic di sebuah bar. Salah satu ciri khas materi yang ia bawakan dan juga yang membuatya dicintai penonton adalah kehidupan sehari-hari. Donna tidak segan mengutarakan berbagai masalah pribadinya. Dia tidak ragu mengungkap berbagai hal yang orang lain anggap sebagai suatu hal yang sifatnya rahasia pribadi untuk menjadi bahan komedi, termasuk permasalahan yang ia hadapi bersama pacarnya, Ryan (Paul Briganti).

Tapi betapa terkejutnya Donna saat Ryan memberitahu bahwa ia sudah berselingkuh dengan wanita yang tidak lain adalah teman Donna sendiri. Merasa terpukul dan belum bisa move-on, Donna pun menghabiskan setiap harinya dalam kesedihan dan kekacauan. Yang dia lakukan hanya meninggalkan pesan-pesan tidak jelas di voice mail Ryan, minum-minum, bahkan stalking di depan rumah mantan pacarnya itu. Kehidupannya kacau, bahkan saat tampil diatas panggung Donna hanya meracau tentang semua kegalauannya itu sambil mabuk. Sampai suatu malam usai sebuah pertunjukkan yang kacau ia bertemu dengan Max (Jake Lacy). Max adalah tipikal pria baik dan sopan, yang mana bukan merupakan tipe idaman Donna. Tapi demi melupakan semua kesedihannya, Donna pun bersedia menghabiskan malam dirumah Max dan berhubungan seks dengannya. Tapi hubungan yang awalnya hanya direncanakan sebagai one night stand itu menimbulkan masalah saat Donna justru mengandung anak dari Max.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

STARRED UP (2013)

Tidak ada komentar
Prison movie selalu penuh dengan kekerasan dan itu wajar saja karena kehidupan dalam penjara yang memang keras. Tapi yang membuat saya makin menyukai film bertemakan kehidupan keras dalam penjara tidak hanya itu, karena pasti ada kisah drama yang kuat, akting maksimal, serta tidak jarang kejutan-kejutan tak terduga bermunculan bahkan di pertengahan film. Film asal Inggris yang satu ini pun tidak jauh berbeda, hanya saja sentuhan dramanya jauh lebih kental. Starred Up disutradarai oleh David Mackenzie dan ditulis naskahnya oleh Jonathan Asser. Asser sendiri mendapatkan ide untuk menulis naskahnya berdasarkan pengalaman saat ia menjadi seorang terapis volunteer di penjara Wandsworth yang banyak diisi oleh penjahat-penjahat paling berbahaya di Inggris. Judul Starred Up sendiri merupakan sebutan untuk mereka yang ditransfer lebih cepat dari Young Offender Institution (penjara untuk usia 18-20) ke penjara bagi dewasa. Jadi bisa disimpulkan orang yang mendapat sebutan itu adalah pembuat onar yang berada dalam taraf "luar biasa". 

Eric Love (Jack O'Connell) adalah remaja pembuat onar yang baru saja ditransfer ke penjara dewasa. Tapi bahkan baru di hari pertamanya Eric langsung terlibat pertengkaran dengan penghuni penjara lainnya. Hal itu menarik perhatian Neville (Ben Mendelsohn), seorang pria yang tampak begitu disegani disana. Neville terus memperingatkan Eric supaya bisa lebih menjaga sikapnya. Tapi bukannya menurut Eric malah terlibat kekacauan lain, dimana salah satunya membuat seorang narapidana terluka parah. Saat sedang hendak dihajar oleh para penjaga penjara, Eric ditolong oleh Oliver Baumer (Rupert Friend), seorang terapis yang bekerja secara suka rela di penjara tersebut. Baumer meminta izin pada kepala penjara untuk membimbing Eric supaya bisa menahan hasrat mengacau dan emosinya. Caranya adalah dengan mengikut sertakan Eric dalam sebuah grup diskusi yang berisi para narapidana yang bermasalah dalam mengendalikan emosi mereka. Tapi tentu saja tidak mudah bagi Eric untuk membiasakan diri disana dan ia pun masih terus terlibat dalam berbagai konflik lainnya dengan penghuni penjara lain, sampai akhirnya sebuah fakta mengejutkan terungkap berkaitan dengan kenapa Eric bisa mendekam dalam penjara tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW (EPISODE 3)

Tidak ada komentar
Seperti biasanya, American Horror Story menghadirkan episode spesial Halloween yang kali ini terdiri dari dua episode dengan judul Edward Mordrake (Part 1 & 2). Edward Mordrake (Wes Bentley) sendiri dulunya merupakan seorang bangsawan Inggris yang diberkati dengan kecerdasan dan berbagai macam bakat, salah satunya adalah kemampuan bermain piano. Tapi dibalik segala kesempurnaan tersebut Edward ternyata (literally) mempunyai dua wajah. Wajahnya yang kedua ada di kepala bagian belakang dan selalu memberikan bisikan-bisikan "setan" dimana hanya Edward sendiri yang bisa mendengarnya. Hal tersebut akhirnya membuat Edward gila, dan sempat masuk ke rumah sakit jiwa sebelum berakhir sebagai salah satu penampil di sebuah freak show. Tapi pada suatu malam Halloween ia membantai semua teman-temannya dan ia sendiri gantung diri. Walaupun telah mati kutukan Edward masih tetap ada dimana ia akan kembali jika ada freak show yang melakukan pertunjukkan di malam Halloween. Edward Mordrake tidak akan pergi sebelum mengambil nyawa salah satu dari freak.

Karakter baru lain yang diperkenalkan adalah Stanley (Denis O'Hare) dan Maggie Esmeralda (Emma Roberts). Keduanya berencana untuk mengambil organ dari anggota freak show milik Elsa Mars guna dijual dengan harga mahal pada sebuah museum. Caranya adalah dengan memasukkan Maggie sebagai anggota disana. Maggie sendiri menyamar menjadi seorang peramal yang dengan mudah mengambil hati Elsa lewat kata-kata manisnya. Dalam episode ketiga ini konflik-konflik yang dialami karakternya makin berkembang. Ada Ethel yang harus menerima fakta umurnya tidak lama lagi karena penyakit yang ia derita dan penonton pun akan diajak melihat seperti apa hubungan yang pernah ia jalin dengan Dell Toledo. Jimmy tengah dalam depresinya setelah kematian tragis dari Meep, Bette dan Dot masih terlibat konflik satu sama lain dimana kali ini justru Bette lah yang semakin punya hasrat besar untuk menjadi bintang dan ingin berpisah dari kembarannya itu. Elsa Mars? Dia masih berkutat pada mimpinya menjadi bintang panggung. Diluar freak show Dandy semakin gila dan mulai mengenakan kostum badut layaknya Twisty the Clown yang masih menebar teror.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

RUMA MAIDA (2009)

Tidak ada komentar
Dengan torehan 12 nominasi pada FFI 2009 sudah cukup untuk menjadi gambaran betapa (dianggap) bagusnya film garapan Teddy Soeriaatmadja ini. Dengan naskah debut dari Ayu Utami, Ruma Maida juga memiliki banyak nama-nama tenar di jajaran pemainnya seperti Atiqah Hasiholan, Yama Carlos,  Nino Fernandez, Henky Solaiman, sampai Frans Tumbuan. Ceritanya sendiri berkisah tentang dua garis waktu, yaitu pada tahun 1998 dan pada era perjuangan kemerdekaan Indonesia khususnya pada saat Jepang mulai menjajah. Karakter utamanya adalah Maida (Atiqah Hasiholan), seorang mahasiswi jurusan sejarah yang juga menjadi guru sukarela untuk mengajar anak-anak jalanan. Kegiatan belajar tersebut dilakukan Maida di sebuah rumah kosong yang dulunya milik seorang pilot keturunan Belanda sekaligus pencipta lagu "Pulau Tenggara" yang menginspirasi Soekarno membuat Gerakan Non-Blok, Ishak Pahing (Nino Fernandez). Namun keberlangsungan sekolah milik Maida itu mulai terancam saat seorang arsitek bernama Sakera (Yama Carlos) datang dan mengatakan bahwa rumah itu akan dirobohkan.

Perintah merobohkan rumah tersebut datang dari seorang developer yang masih tetap kaya raya meskipun Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi, Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan). Dasaad yang membenci hal-hal berbau sejarah ingin segera merubuhkan rumah tua itu untuk dibandung menjadi sebuah bangunan modern. Tentu saja Maida tidak tinggal diam begitu saja mengetahui sekolah miliknya akan segera dihancurkan. Dengan bantua Sakera, ia pun mulai mencari cara apapun supaya rumah itu bisa diselamatkan. Sebuah usaha yang pada akhirnya justru membawa Maida banyak mengetahui rahasia-rahasia sejarah khususnya yang berkaitan dengan pemilik asli rumah tersebut, Ishak Pahing beserta kisah cintanya dengan sang istri Nani Kuddus (Imelda Soraya) yang berbeda ras dan agama. Begitulah Ruma Maida. Ada kisah tentang cinta, pendidikan, sejarah, hingga pluralisme. Semuanya dirangkum kedalam sebuah film yang terasa begitu ambisius ini. Semakin terasa ambisius lagi mengingat timeline-nya yang bergerak pada dua setting waktu. Tapi sayangnya ambisi besar ini tidak dibarengi dengan eksekusi yang bagus pula dan justru membuat filmnya terasa amat dipaksakan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TRACKS (2013)

2 komentar
Seorang wanita berjalan sendirian melintasi padang gurun selama sembilan bulan dengan hanya bermodalkan bekal seadanya dan "ditemani" empat ekor unta serta seekor anjing. Jika hal itu terdengar seperti sebuah dongeng atau kisah dramatis dalam film itu wajar saja, karena saat perjalanan tersebut dilakukan pun banyak yang meragukan bahkan mentertawakannya. Wanita nekat yang melakukannya adalah Robyn Davidson. Pada tahun 1977 Davidson melakukan perjalanan menyeberangi gurun Australia dengan tujuan Samudera Hindia. Perjalanan luar biasa yang diabadikan dalam sebuah artikel di National Geographic itu akhirnya berbuah buku berjudul Tracks yang ditulis sendiri oleh Davidson. Buku itu akhirnya menjadi sangat populer dan beberapa usaha untuk mengangkatnya menjadi sebuah film pun sempat beberapa kali dilakukan. Tercatat selama era 80 sampai 90-an ada lima kali usaha membuat film adaptasi dari buku itu termasuk yang menyertakan nama Julia Roberts sebagai pemeran utama yang kesemuanya gagal terwujud. Barulah pada tahun 2013 sutradara John Curran berhasil mengangkat Tracks menjadi sebuah film yang dibintangi Mia Wasikowska sebagai Robyn Davidson.

Film ini akan mengangkat kisah Robyn sedari ia mulai melakukan persiapan pada tahun 1975. Selama dua tahun ia berlatih bagaimana mengendalikan unta dan bertahan hidup di padang gurun yang gersang dan liar. Alasan Robyn melakukan perjalanan itu adalah karena rasa jengahnya terhadap kehidupan di kota yang selama ini ia jalani. Menurutnya kehidupan itu terasa monoton dan terus berulang. Singkatnya, Robyn ingin melakukan hal baru dalam hidupnya yang selama ini tidak pernah ia ketahui. Setelah mendapatkan empat ekor unta yang ia dapat lewat hasil bekerja keras selama dua tahun, ia pun tinggal memerlukan bekal uang. Karena itulah Robyn menyetujui tawaran National Geographic untuk menjadi sponsor dan meliput perjalanannya. Jadilah dikirim seorang fotografer bernama Rick Smolan (Adam Driver) yang akan datang setiap beberapa minggu sekali untuk mengabadikan kegiatan Robyn. Kehadiran Rick sendiri menjadi "cobaan" tambahan bagi Robyn karena ia tidak menyukai sosok sang fotografer yang terus mengambil gambar dan selalu mencoba "sok ramah" pada Robyn.

2 komentar :

Comment Page:

3 NAFAS LIKAS (2014)

1 komentar
Rako Prijanto yang dulu lebih dikenal sebagai sutradara film-film komedi tasteless macam Benci Disko, D'Bijis, Pengantin Sunat dan masih banyak lagi, akhir-akhir ini seolah mulai "bertobat". Tiga film terakhirnya punya genre lebih serius dan digarap dengan lebih baik pula. Mulai dari Malaikat Tanpa Sayap hingga Sang Kiai jelas merupakan peningkatan kualitas dibanding film-film Rako sebelumnya, meski pencapaian Sang Kiai yang menjadi perwakilan Indonesia di ajang Oscar tahun lalu memang terasa kurang pantas. Kali ini Rako Prijanto kembali membuat film bermuatan sejarah dan perjuangan Indonesia di masa penjajahan dengan 3 Nafas Likas. Film ini diangkat dari kisah nyata dari kehidupan Likas Tarigan atau yang dikenal juga sebagai Likas Gintings. Cerita dalam film ini memebentang panjang dari zaman 1930-an sampai masa sekarang serta berlokasi di banyak tempat mulai dari Sumatera Utara, Jakarta sampai Ottawa. Terkesan ambisius memang saat sebuah film bertutur tentang cerita yang terjadi dalam jangka waktu panjang karena pasti akan banyak hal yang terjadi dan sebuah tantangan tersendiri untuk membuat rangkaian kisahnya tetap terfokus dan tergali dengan baik.

Likas kecil (Tissa Biani Azzahra) adalah perempan yang punya ambisi besar dalam hidupnya. Dia bercita-cita menjadi seorang guru meski sang ibu (Jajang C. Noer) menentang keras pilihan tersebut. Alasan penolakan sang ibu adalah karena ia tidak ingin kembali "kehilangan" anaknya setelah sang putera pertama, Mulia (Mario Irwnsyah) sudah lebih dulu merantau untuk menjadi polisi. Tapi berkat dukungan penuh sang ayah (Arswendi Nasution) cita-cita Likas akhirnya terpenuhi dan dia pergi menuntut ilmu di sekolah guru (disebut normal school). Sebuah keputusan yang sebenarnya juga berat bagi Likas karena untuk pertama kalinya ia harus hidup jauh dari keluarganya. Tapi semua pengorbanan itu ahirnya terbayar saat Likas dewasa (Atiqah Hasiholan) berhasil meraih cita-citanya sebagai guru. Pada masa itulah Likas bertemu dengan Djamin Gintings (Vino Bastian), seorang prajurti PETA yang sempat tinggal bersebelahan dengannya. Diam-diam keduanya mulai saling mencintai dan berhubungan lewat surat menyurat.Tapi hubungan keduanya harus mendapat tantangan besar disaat Djamin yang menjadi tentara harus berjuang di medan perang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun banyak tantangan besar dalam hidupnya Likas tidak pernah menyerah khususnya dalam memenuhi janji yang pernah ia ucapkan pada tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya.

1 komentar :

Comment Page:

THE PURGE: ANARCHY (2014)

Tidak ada komentar
Film pertama The Purge jelas merupakan kesuksesan ditinjau dari segi finansial, dimana film tersebut berhasil mendapatkan $89 juta dollar dari bujetnya yang hanya $3 dollar. Meski mendapat banyak respon negatif dari kritikus, tidak butuh waktu lama bagi Universal Pictures untuk membuat sekuelnya. The Purge: Anarchy pun dirilis setahun setelah film pertamanya dan masih disutradarai serta ditulis naskahnya oleh James DeMonaco. Sebuah pekerjaan besar bagi DeMonaco untuk menambal banyak keburukan film pertama, khususnya pada kegagalannya untuk membuat film yang sama menarik dengan premisnya. The Purge memang punya ide dasar gila yang menarik sebelum akhirnya berakhir menjadi sebuah film home invasion yang membosankan. DeMonaco pun memutuskan membuat Anarchy lebih besar dari fim pertamanya, sebuah formula standar dalam sekuel tapi dalam kasusk The Purge hal tersebut memang perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi dari premisnya.

The Purge: Anarchy akan berfokus pada jumlah karakter utama yang lebih banyak dimana mereka semua adalah muka-muka baru yang tidak muncul di film pertama. Kita akan dibawa mengikuti usaha bertahan hidup dari lima orang yang terjebak diluar saat Purge berlangsung. Eva (Carmen Ejogo) dan putrinya Cali (Zoe Soul) berada diluar setelah secara mendadak rumah mereka diserbu oleh pasukan bersenjata milik pria misterius bernama Big Daddy (Jack Conley) sebelum akhirnya diselamatkan oleh Leo Barnes (Frank Grillo). Leo sendiri sebenarnya tengah berada dalam perjalanan untuk melakukan “pembersihan” tapi rasa iba membuatnya memilih menyelamatkan Eva dan Cali. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Shane (Zach Gilford) dan mantan pacarnya, Liz (Kiele Sanchez) yang terjebak diluar setelah mobil mereka dirusak oleh sekelompok orang bertopeng. Bersama-sama, mereka berlima harus bertahan hidup melewati malam disaat pasukan bersenjata milik Big Daddy dan pria-pria bertopeng misterius yang mengejar Shane dan Liz sama-sama memburu mereka semua.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW (EPISODE 2)

Tidak ada komentar
Musim keempat dari American Horror Story dibuka dengan Monsters Among Us, sebuah episode yang berfokus pada pengenalan tiap-tiap karakter dan universe dari musim ini. Bukan sebuah episode yang buruk tapi juga bukan sesuatu yang spesial. Bahkan dibandingkan dengan epsiode pertama dari musim-musim sebelumnya yang biasanya memang tidak terlalu kuat, pembuka dari Freak Show ini termasuk lemah, berjalan lambat dan agak membosankan di beberapa bagian. Akting Jessica Lange masih memukau tapi bagi penonton setia serial ini karakter yang ia mainkan memang selalu sama dari tiap musim. Ditambah lagi nomor musikal yang mengecewakan membuat episode tersebut terasa kurang greget. Untungnya ada Twisty the Clown dengan aksi brutalnya yang mencuri perhatian. Harus diakui juga karakter freak-nya cukup menyegarkan. Tapi AHS jelas butuh sebuah booster untuk meningkatkan daya tarik musim keempatnya, dan seperti yang selalu berhasil dilakukan tiga musim sebelumnya, episode keduanya berhasil memenuhi semua harapan saya. Massacres and Matinees adalah saat dimana Freak Show mulai tancap gas.

Ceritanya mulai berkembang dengan kehadiran berbagai karakter baru seperti Dell si "Strongman" (Michael Chiklis) dan istrinya yang punya tiga payudara, Desiree (Angela Bassett). Kehadiran mereka berdua menyuntikkan konflik baru diantara rombongan Freaks. Disisi lain Twisty the Clown masih beraksi dengan brutal dan masih menyimpan misteri akan identitas yang sesungguhnya. Bedanya kali ini karakternya mendapat sedikit pengembangan sejak pertemuan dengan Dandy, si pemuda manja yang nampaknya masih menyimpan sebuah rahasia. Episode ini memberikan tease akan perkembangan hubungan twisted antara keduanya. Yang menjadikan serial American Horror Story menarik adalah disamping berbagai kegilaannya ada konflik batin yang dialami masing-masing karakter, dan seperti biasa karakter yang paling banyak mengalami konflik internal dan menciptakan garis buram antara hitam dan putih adalah karakter yang diperankan Jessica Lange. Elsa Mars di episode ini makin memperlihatkan kegundahan berkaitan dengan ambisinya untuk menjadi bintang, apalagi sejak Bette memperlihatkan bakatnya bernyanyi. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ANNABELLE (2014)

4 komentar
Beberapa hari lalu saya datang ke dua bioskop yang ada di Yogyakarta dengan niatan menonton film-film seperti The Equalizer, A Walk Among Tombstone, The Maze Runner sampai Tabula Rasa yang sempat tertunda ditonton karena uang yang belum ada. Tapi begitu sampai, kedua bioskop tersebut didominasi oleh Annabelle dan film-film yang hendak saya tonton sudah menghilang dari peredaran. Tentu saja saya merasa kesal karena sejatinya saya tidak berniat menonton Annabelle, karena saya tahu film horror yang begitu diminati ini dibuat hanya dengan niatan cari duit dan tidak terlalu memperhatikan kualitas. Jangankan menyamai The Conjuring, untuk mendekati kualitas masterpiece James Wan itu saja saya pesimis. Jadilah saya batalkan niat menonton dan beralih membeli CD Ultraviolence-nya Lana Del Rey. Sampai hari ini akhirnya saya kembali ke bioskop dengan niatan menonton Strawberry Surprise yang lagi-lagi gagal karena tanpa pemberitahuan, studio tempat diputarnya film tersebut sedang direnovasi. Karena saya datang berdua bersama pacar, mau tidak mau kita menonton film dengan jam pemutaran terdekat yang tidak lain adalah Annabelle.

Saya merasa bagaikan ditarik oleh kutukan boneka Annabelle kepada takdir tak terhindarkan menonton film ini. Setelah menonton saya pun percaya pada kekuatan boneka terukut itu yang bisa memberikan teror dan mimpi buruk. Sebuah teror dan mimpi buruk tak tertahankan berupa 98 menit tontonan buruk yang terasa berjalan tiga jam. Seperti karakter dalam filmnya, sayapun dipaksa memberikan persembahan berupa uang tujuh puluh ribu rupiah untuk membayar tiket yang terbuang sia-sia. Hebatnya lagi, sihir boneka Annabelle tidak hanya menyerang saya tapi juga ribuan orang lain di seluruh Indonesia yang rela mengantri begitu panjang bahkan bisa dihipnotis sehingga membuat mereka merasa bahwa filmnya menakutkan. Bersama dengan para penonton lainnya saya dibuat berteriak-teriak menonton film ini. Berteriak tidak kuat menahan siksaan buruknya film disaat pacar saya sibuk menikmati begitu menggemaskannya sosok bayi dalam film ini. Filmnya sendiri membuat dia pusing dan selalu marah-marah saat si bayi tidak muncul di layar. Saya yakin pasti ada yang salah dengan sebuah film horror saat seorang perempuan yang bisa kaget dan ketakutan setengah mati meihat kucing malah gagal dibuat takut oleh film itu.

4 komentar :

Comment Page:

BARTON FINK (1991)

Tidak ada komentar
Film ini ditulis naskahnya oleh Coen Brothers pada tahun 1989 saat mereka tengah mengalami kebuntuan membuat Miller's Crossing (review). Meski terlihat hanya seperti sebuah "pelarian" dari kejenuhan yang mereka alami, nyatanya Barton Fink justru menjadi salah satu film tersukses dari mereka dengan berhasil mendapatkan tiga piala pada Cannes Film Festival 1991. Ketiga piala tersebut adalah Palme d'Or (film terbaik), aktor terbaik untuk John Turturo, serta sutradara terbaik. Sedangkan di ajang Oscar, film ini mendapat tiga nominasi yaitu Best Supporting Actor bagi Michael Lerner, Best Art Direction dan Best Costume Design meski akhirnya tidak meraih satupun kemenangan. Cerita dari Barton Fink sendiri bagaikan sebuah cerminan atau mungkin curhatan dari Joel dan Ethan Coen, karena cerita utama film ini adalah tentang seorang penulis naskah yang mengalami writer's block dalam proses penulisan naskah film pertamanya. Tentunya dikemas dengan gaya Coen Brothers yang absurd, akan banyak keanehan disini yang membuat sulit untuk menentukan genre sesungguhnya dari film ini.

Barton Fink (John Turturo) adalah penulis naskah broadway yang sukses di New York. Pada tahun 1941 dia mencapai puncak kesuksesan karirnya dan mendapat tawaran dari Capitol Pictures yang dipimpin Jack Lipnick (Michael Learner) untuk menulis naskah bagi mereka. Meski mendapat iming-iming bayaran besar dan popularitas, Barton tidak langsung menerima tawaran itu karena kekhawatiran bahwa ia akan terpisah dari aspek "The Common Man" yang selama ini menjadi fokusnya saat menulis naskah pementasan. Meski pada akhirnya menerima tawaran tersebut, Barton tetap sebisa mungkin menjauh dari segala kemewahan Hollywood salah satunya dengan tinggal di sebuah hotel kumuh. Disanalah Barton memulai proses penulisan naskah film pertamanya, sebuah B-Movie tentang seorang pegulat. Tidak adanya pengalaman menulis naskah film khususnya film bertemakan gulat membuat Barton mengalami writer's block dan tidak kunjung berhasil memulai tulisannya. Hal-hal yang bisa menghibur Barton adalah pertemuannya dengan beberapa orang, seperti Charlie (John Goodman) seorang salesman yang tinggal di kamar sebelah. Barton juga menyimpan perasaan pada Audrey (Judy Taylor), sekretaris sekaligus kekasih W.P. Mayhew (John Mahoney) seorang penulis yang diidolakan Barton.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE TWO FACES OF JANUARY (2014)

Tidak ada komentar
Pada poster film ini terpajang tiga judul film, yaitu Tinker Tailor Soldier Spy, The Talented Mr. Ripley dan Drive. Apa kesamaan dari ketiga judul fiilm tersebut? Ketiganya sama-sama thriller yang berfokus pada karakter dengan ketegangan yang dibangun secara perlahan. Dari situlah kita bisa mulai meraba target penonton dan akan seperti apa debut penyutradaraan Hossein Amini. Hossein Amini sendiri selama ini lebih dikenal sebagai penulis naskah dari film-film seperti Drive, Shanghai, Snow White and the Huntsman dan 47 Ronin. Film ini sendiri merupakan adaptasi novel berjudul sama karangan Patricia Highsmith (penulis novel The Talented Mr. Ripley dan Strangers on a Train). Selain nama-nama menjanjikan di balik layar tersebut, The Two Faces of January juga dimeriahkan oleh jajaran nama-nama besar seperti Viggo Mortensen, Kirsten Dunst serta Oscar Isaac yang namanya mulai menanjak setelah Inside Llewyn Davis dan mendapat peran di Star Wars: Episode VII.

Dengan setting Yunani tahun 1962, film ini bersentral pada tiga karakter utama. Yang pertama adalah Rydal (Oscar Isaac), pemuda yang bekerja sebagai guide dan secara diam-diam menipu kliennya meski dalam jumlah yang tidak besar seperti menambah harga barang yang akan dibeli sekitar puluhan sampai ratusan dollar. Dua karakter lainnya adalah sepasang suami istri asal Amerika, Chester (Viggo Mortensen) dan Colette (Kirsten Dunst) yang sedang berlibur. Rydal sendiri akhirnya menjadi guide tour mereka tanpa mengetahui bahwa Chester bukanlah orang kaya biasa melainkan seorang penipu yang sudah memakan banyak korban. Pada suatu malam Chester dikejutkan dengan kehadiran seorang detektif swasta yang disewa oleh salah satu korban penipuan Chester. Detektif tersebut datang "hanya" untuk menagih hutang dari Chester dan pada akhirnya berujung pada perkelahian yang menewaskan sang detektif. Chester yang kebingungan berusaha menyembunyikan mayat tersebut, dan secara tidak sengaja bertemu dengan Rydal yang hendak mengembalikan gelang Collette yang tertinggal. Pada akhirnya ketiga orang tersebut sama-sama terjebak dalam kasus pembunuhan tersebut dan harus secepat mungkin meninggalkan Yunani.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DRACULA UNTOLD (2014)

Tidak ada komentar
Mungkin sudah ratusan film yang mengangkat ceritanya berdasarkan novel Dracula milik Bram Stoker, tapi yang paling terkenal mungkin adalah versi dimana Bela Lugosi berperan sebagai Count Dracula di film tahun 1931 produksi Universal. Universal sendiri pada masa itu memang dikenal banyak memproduksi film-film monster seperti Dracula, Frankenstein, Mummy, Wolfman dan masih banyak lagi. Masa kejayaan film-film monster Universal akhirnya berakhir pada era 60-an. Merasa ingin mengulangi era kejayaan tersebut, Universal pun berniat mengikuti tren perfilman masa kini, yaitu menciptakan universe dari franchise mereka. Ambisi untuk mengumpulkan para monster dalam satu dunia (atau bahkan satu film?) dimulai dengan Dracula Untold garapan Gary Shore. Memulai dengan Dracula memang langkah yang amat wajar karena dibandingkan yang lain, sosok satu ini punya nilai juetal paling tinggi, terima kasih pada makin digemarinya sosok vampire akhir-akhir ini. Dengan mengusung kata Untold pada judulnya, film ini berusaha me-reboot franchise monster Universal dengan cerita asal muasal dari sosok Dracula, tepatnya saat ia masih dikenal sebagai Vlad "The Impaler".

Sebelum dikenal sebagai Dracula, Vlad adalah prajurit Turki yang dikenal tidak terkalahkan sekaligus kejam dalam membantai lawan-lawannya. Tapi reputasi itu justru membuat Vlad muak, dan akhirnya ia kembali ke Transylvania untuk memerintah sebagai pangeran disana sambil tetap rutin memberikan upeti pada Sultan Mehmed II (Dominic Cooper). Tapi rupanya segala upeti itu masih belum memuaskan sang sultan dan ia kembali menerapkan kebijakan yang telah bertahun-tahun ditinggalkan, yaitu mengirimkan ribuan anak-anak untuk dijadikan prajurit secara paksa, sesuatu yang dulu juga menimpa Vlad semasa ia kecil. Hal itu memaksa Vlad untuk harus menyerahkan putera tunggalnya juga, sesuatu yang tidak begitu saja ia turuti. Di tengah keputu asaan, Vlad memutuskan untuk meminta kekuatan pada sosok vampire (Charles Dance) yang selama ini bersemayam di sebuah gua dan telah memakan banyak korban. Kesepakatan pun terjali setelah Vlad meminum darah sang vampire dan ia mendapatkan kekuatan luar biasa yang mampu digunakan untuk megalahkan pasukan Turki. Tapi untuk kembali menjadi manusia biasa, Vlad harus menahan diri untuk tidak meminum darah manusia selama tiga hari, jika gagal selamanya ia akan menjadi vampire haus darah.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

WE ARE THE BEST! (2013)

Tidak ada komentar
Apa yang ada di pikiran anda saat melihat gerombolan anak punk? Dengan dandanan jauh dari kata rapih bahkan seringkali terkesan kumuh, rambut mohawk dan tingkah laku yang seenaknya mungkin banyak orang yang akan mencibir mereka. Tapi tidak banyak yang tahu atau ingat bahwa esensi punk sesungguhnya adalah perlawanan dan kebebasan dimana dandanan nyentrik itu merupakan salah satu bentuk perwujudan dari rasa ingin bebas yang mereka tunjukkan. Lalu bagaimana jika anda melihat anak-anak perempuan yang masih SMP berdandan punk dan menyukai musik-musik punk yang "keras" itu? Apakah mereka berandalan? Apakah mereka nakal? Apa mereka tidak terdidik? Hal itulah yang coba diangkat oleh Lukas Moodysson dalam filmnya ini yang juga merupakan adaptasi dari grafik novel Never Goodnight buatan istrinya sendiri, Coco Moodysson. We Are the Best! ber-setting di Stockholm tahun 1982, era dimana disko tengah menjadi raja dan punk dianggap telah mati. Tapi anggapan tersebut ditolak oleh dua sahabat, Bobo (Mira Barkhammar) dan Klara (Mira Grosin) yang memuja musik punk dan berdandan ala punk.


Baik Bobo dan Klara mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, dan diperlakukan layaknya orang aneh oleh teman-teman di sekolah karena selera punk mereka. Tapi hal itu tidak menghentikan hasrat dan kecintaan mereka pada punk, bahkan mereka berdua pada akhirnya memutuskan membentuk band punk. Tapi karena sama-sama tidak bisa memainkan alat musik, Bobo dan Klara memutuskan mencari satu orang personel lagi. Pilihan mereka jatuhkan pada Hedvig (Liv LeMoyne), seorang gadis pendiam penganut Kristen taat yang ahli memainkan gitar. Dengan sikapnya yang pendiam dan religius, Hedvig memang tampak begitu berbeda dengan Bobo dan Klara, tapi sesungguhnya ia pun sama. Hedvig mendapat bullying karena sikap diamnya itu, dan ia juga merasa kurang cook dengan sang ibu yang baginya terlalu religius. Bersama-sama mereka bertiga mulai serius menekuni band tersebut, sebuah band punk yang berisikan tiga orang perempuan, sesuatu yang amat jarang pada masa tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BEGIN AGAIN (2013)

Tidak ada komentar
Nama John Carney memang akan identik dengan musikal setelah apa yang ia lakukan dengan Once tujuh tahun lalu. Berbekal cerita romansa sederhana tapi menyentuh serta balutan lagu-lagu romantis luar biasa macam Falling Slowly yang dibawakan Glen Hansard dan Marketa Irglova, film tersebut akan selalu menjadi salah satu film favorit saya sepanjang masa. Setelah sempat "berpaling" ke komedi lewat Zonad, akhirnya John Carney kembali membuat drama musikal sederhana lewat Begin Again. Tentu saja tidak seperti Once yang berbujet sangat minim dan tidak diisi nama besar, film terbarunya ini memang lebih mahal. Bujetnya $10 juta atau hampir 10 kali lipat dari Once, dan diisi oleh nama-nama tenar macam Mark Ruffalo, Keira Knightley, Hailee Steinfed sampai Adam Levine yang menjalani debut perdananya sebagai aktor film. Tentu saja ada ekspektasi tinggi dalam diri saya mengingat Carney telah memasang standar yang begitu tinggi lewat Once, tapi siapa mnduga bahwa ekspektasi tinggi tersebut berhasil dipenuh, karena Begin Again masih menawarkan sisi magis dari romansa dan musik yang bersinkronisasi dengan indahnya.

Dan Mulligan (Mark Ruffalo) adalah seorang eksekutif dari sebuah label rekaman yang tengah menghadapi krisis dalam kehidupannya. Dia sudah hidup berpisah dengan sang istri, Miriam (Catherine Keener) dan akan segera bercerai, sedangkan hubungannya dengan sang putri, Violet (Hailee Steinfeld) juga kurang berjalan lancar. Dari segi pekerjaan pun Dan tengah menghadapi kesulitan setelah sudah tujuh tahun lamanya ia tidak mengontrak satu artispun. Pada akhirnya ia pun harus kehilangan pekerjaannya tersebut. Pada suatu malam saat sedang tenggelam dalam depresi dan mabuk-mabukan di sebuah bar, secara tidak sengaja ia melihat Gretta (Keira Knightley) sedang bernyanyi diatas panggung. Dengan cepat insting Dan berkata bahwa Gretta punya potensi luar biasa untuk menjadi seorang penyanyi sekaligus penulis lagu besar. Tapi Gretta tidak begitu saja menerima tawaran Dan, karena disatu sisi dia sendiri tengah tenggelam dalam kesedihan setelah diselingkuhi oleh pacarnya, Dave Kohl (Adam Levine), penyanyi baru yang tengah naik daun setelah lagunya dipakai dalam film. Seiring berjalannya waktu, keduanya pun semakin dekat dan lewat musik dua jiwa yang terluka ini secara perlahan mulai menemukan kembali jalan hidup mereka.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BOOGIE NIGHTS (1997)

Tidak ada komentar
Pada era 70-an industri perfilman porno tengah mencapai puncaknya. Pada masa itu banyak film-film porno yang digarap dengan tata produksi serius, bujet besar, bahkan memberikan fokus yang lumayan pada ceritanya dengan Deep Throat yang dibintangi Linda Lovelace menjadi salah satu pionirnya. Maka tidak heran bahwa pada era itu banyak film-film porno berkualitas yang diputar secara luas di bioskop. Tapi pergantian format dari film menjadi video pada 80-an membuat banyak film porno dibuat dengan bujet rendah, berkualitas buruk dan murahan yang menjadi penanda berakhirnya Golden Age of Porn. Kehidupan para pekerja film porno di era keemasan itulah yang diangkat oleh Paul Thomas Anderson (PTA) dalam Boogie Nights ini. Lewat film keduanya inilah PTA berhasil mendapat kesuksesan besar dan mulai diakui sebagai salah satu sutradara paling berbakat. Tidak hanya PTA, Mark Wahlberg sang aktor utama pun mulai mendapat pengakuan dan reputasi setelah bermain dalam film ini sebagai Eddie Adams, seorang remaja 17 tahun yang dianugerahi penis berukuran besar.

Oleh ibunya, Eddie dianggap sebagai seorang remaja yang tidak berguna dan bodoh karena tidak berhasil menyelesaikan sekolahnya. Hari-hari Eddie pun diisi dengan bekerja sebagai seorang tukang cuci piring di klub malam "Boogie Nights" milik Maurice (Luis Guzman). Sampai pada suatu malam Eddie menarik perhatian seorang sutradara film porno yang terkenal nan ambisius bernama Jack Horner (Burt Reynolds). Eddie pun ditawari oleh Jack untuk menjadi aktor dalam film-film miliknya. Bagi Eddie yang punya mimpi menjadi besar dan diakui oleh orang-orang, tidak sulit untuk menerima tawaran tersebut. Akhirnya dengan nama panggung Dirk Diggler dan bermodalkan penisnya yang berukuran super besar, Eddie pun berhasil menjadi aktor porno besar yang banyak bermain di film-film garapan Jack. Kesuksesan instan pun menghampirinya, dimana Eddie kini bukan lagi seorang remaja berpenghasilan kecil yang tinggal bersama orang tuanya, melainkan menjadi Dirk Diggler yang kaya raya, tinggal di rumah mewah dan diidolakan banyak orang. Tapi permasalahan mulai datang saat era keemasan porno mulai memudar dan banyak masalah lain yang menyebabkan karirnya menurun.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ELAINE STRITCH: SHOOT ME (2013)

Tidak ada komentar
Tampil di lebih dari 50 pertunjukkan broadway, bermain di lebih dari 25 film, dan muncul dalam banyak acara-acara televisi adalah gambaran singkat dari betapa luar biasanya karir seorang Elaine Stritch yang berlangsung selama hampir 70 tahun. Memulai debutnya di panggung teater saat masih berusia 19 tahun, Stritch masih aktif berkesenian khususnya kabaret sampai usianya mencapai 88 tahun. Barulah di setahun terakhir hidupnya (dia meninggal pada 17 Juli 2014) Elaine Strtitch bersitirahat dari dunia seni yang membesarkan namanya dan telah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kesehariannya. Sangat jarang kalau bukan tidak ada seseorang yang masih begitu aktif dan rutin berkesenian khususnya di panggung yang tentu saja melibatkan aktifitas fisik tidak sedikit dalam usia yang hampir mencapai 90 tahun. Karena itu apa yang dilakukan Elaine Stritch merupakan sebuah pencapaian yang fenomenal. Hal itulah yang coba diangkat oleh Chiemi Karasawa dalam film dokumenternya ini. Dalam film ini kita akan diajak oleh Karasawa untuk melihat bagaimana keseharian Elaine Stritch dalam usianya yang sudah uzur tapi masih aktif tampil di panggung juga membawa kita melihat kepribadian sang aktris yang eksentrik.

Sekilas mudah saja bagi kita untuk menilai bahwa Elaine Stritch adalah wanita tua yang menyebalkan karena gaya bicaranya yang seenaknya dan blak-blakan. Tapi seiring dengan semakin jauh filmnya berjalan kita akan bisa mempelajari bahwa orang-orang di sekitar Elaine mulai dari asistennya, Rob Bowman sang pengarah musik Elaine, sampai rekan-rekannya sesama aktor dan aktris seperti Alec Baldwin, John Turturo, James Gandolfini hingga Tina Fey begitu mencintai Elaine dengan segala keterbukaan dan kata-kata "asal" yang keluar dari mulut sang aktris senior. Dari banyak interview yang muncul dalam film ini memang semuanya hanya menuturkan sisi positif dari Elaine, tapi itu bukan berarti Chiemi Karasawa hanya berusaha menangkap sisi positifnya dan meninggalkan sisi negatif Elaine, karena segala sisi yang mungkin bisa menjadi aspek negatif bisa dengan mudah ditangkap dari tindak tanduk Elaine. Dari tindak tanduk Elaine sampai beberapa footage lama kita akan melihat bahwa dia adalah aktris yang susah diatur, susah diajak bekerja sama, tapi semua kesukaran itu akan terbayar lunas pada akhirnya karena bakat Elaine yang memang luar biasa. Karena itulah para narasumber hanya berbicar hal positif karena mereka sadar bahwa segala kekurangan Elaine tidak ada apa-apanya dibanding semua kelebihan yang ia miliki khususnya dalam hal talenta.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MUPPETS MOST WANTED (2014)

Tidak ada komentar
Diluar dugaan reboot halus The Muppets garapan James Robin yang rilis tiga tahun lalu berhasil meraih kesuksesan besar. Tidak hanya meraup pendapatan lebih dari $165 juta, film yang juga merupakan installment ketujuh semenjak film pertama Muppet tahun 1979 itu juga berhasil memenangkan satu Oscar dalam kategori Best Original Song lewat lagu Man or Muppet. Tentu saja seperti yang dinyanyikan oleh para Muppet dalam lagu pembuka film ini, We're Doing a Sequel, pihak studio bergerak cepat untuk memproduksi sekuelnya meski sudah tahu bahwa sulit bagi sekuelnya untuk melebihi kualitas pendahulunya. Meski tidak lagi dibintangi Jason Segel dan Amy Adams, Muppets Most Wanted tetap dirilis. Masih disutradarai oleh James Robin yang baru saja ditunjuk sebagai sutradara sekuel Alice in Wonderland milik Tim Burton (rilis 2016), sekuel ini akan bercerita tentang tur dunia yang dilakukan oleh para Muppet menyusul kesuksesan yang kembali mereka raih lewat film The Muppets. 

Setelah kembali berkumpul dan meraih kesuksesan sekali lagi, Muppet pun mendapat tawaran dari Dominic Badguy (Ricky Gervais) untuk melakukan tur dunia. Meski pada awalnya Kermit kurang yakin bahwa mereka siap melakukan itu, desakan dari teman-temannya yang begitu bersemangat meluluhkan hatinya. Muppet pun bersiap melakukan tur dunia tanpa tahu bahwa sesungguhnya hal itu hanyalah bagian dari jebakan yang disiapkan oleh Dominic dan Constantine, katak paling berbahaya di seluruh dunia yang baru saja kabur dari penjara Gulag di Siberia. Mereka berniat mencuri Crown Jewels of England dan menggunakan Muppet sebagai kambing hitam. Constantine yang secara "kebetulan" memiliki tampang sangat mirip dengan Kermit (bedanya dia memiliki tahi lalat, Kermit tidak) pun menyamar menjadi Kermit untuk menggerakkan Muppet supaya bisa memuluskan rencana pencuriannya. Kermit sendiri menerima tuduhan palsu sebagai Constantine dan harus mendekam di Gulag sementara teman-temannya melakukan tur dunia tanpa tahu ada konspirasi jahat di belakang mereka.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BELLE (2013)

Tidak ada komentar
Film garapan sutradara wanita asal Inggris Amma Asante ini terinspirasi dari sebuah lukisan karya pelukis tidak dikenal yang dibuat pada tahun 1779. Lukisan tersebut menampilkan Dido Elizabeth Belle dan sepupunya Lady Elizabeth Murray. Yang menarik dari lukisan itu adalah kontennya yang menampilkan Dido, seorang gadis berkulit hitam dengan Elizabeth yang kulit putih secara sederajat dan merupakan salah satu lukisan pertama yang menampilkan hal tersebut. Pada era tersebut perbudakan kaum kulit hitam memang masih begitu kental termasuk di Inggris. Karena itulah hampir semua lukisan yang menampilkan orang berkulit hitam pastilah memperlihatkan mereka sebagai kaum inferior yang "diselamatkan" orang kuit putih atau sebagai pelayan mereka. Sebuah lukisan yang menampilkan keduanya secara derajat saja sudah cukup menghebohkan, apalagi disaat ada seorang gadis kulit hitam yang tinggal sederajat dengan kaum kulit putih apalagi yang bergelar bangsawan atau orang penting. Hal itulah yang terjadi pada Dido Elizabeth Belle yang dalam film ini diperankan oleh Gugu Mbatha-Raw.  Dido adalah Mulatto (anak yang lahir dari satu orang tua kulit putih dan satu kulit hitam) hasil hubungan Admiral Sir John Lindsay (Matthew Goode) dengan wanita kulit hitam bernama Maria Belle. 

Sir John Lindsay yang akan pergi berlayar pun menitipkan Dido pada pamannya, Lord Mansfield (Tom Wilkinson) yang juga merupakan Lord Chief Justice. Tentu saja pada awalnya Lord Mansfield tidak semudah itu menerima Dido karena dengan posisinya sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi di Inggris (derajatnya hanya ada di bawah Raja), merawat seorang anak kulit hitam akan menciptakan sebuah kontroversi. Namun melihat rasa sayang Sir John Lindsay pada Dido, Lord Mansfield pun akhirnya bersedia merawat dan membesarkan Dido bersama dengan keponakannya yang lain, Lady Elizabeth Murray (Sarah Gadon). Dido pun akhirnya tumbuh menjadi seorang wanita beradap dan tinggal di rumah mewah meski kadang ia masih harus merasakan ketimpangan derajat seperti saat ia tidak diperkenankan mengikuti acara makan malam formal. Suatu hari setelah pertemuannya dengan seorang anak pendeta bernama John Davinier (Sam Reid), Dido pun mulai tertarik dengan sebuah kasus mengenai pembantaian budak yang tengah diurus oleh Lord Mansfield.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BATTLESHIP POTEMKIN (1925)

2 komentar
Film propaganda memang seringkali menuai kontroversi karena kontennya. Penyebab kontroversi biasanya hadir karena sudut pandang mengenai sesuatu atau seseorang yang seringkali sepihak, berlebihan bahkan tidak jarang penuh kepalsuan. Semisal sebuah film propaganda tentang anti-Nazi maka film tersebut akan mengeksploitasi keburukan-keburukan Nazi, menyelipkan hiperbola dan dengan cara apapun berusaha membuat mereka tampak sebagai sosok yang harus dimusnahkan. Namun dibalik segala kontroversi tersebut, film-film propaganda biasanya mempunyai satu nilai plus yang amat kuat yakni totalitas. Setidaknya sampai saat ini saya belum pernah menemukan film propaganda yang digarap setengah-setengah apalagi asal-asalan. Di Indonesia sendiri, contoh terbaik untuk film tersebut adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (review). Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein ini sendiri tidak hanya sering disebut sebagai film propaganda terbaik yang pernah dibuat tapi juga salah satu film terbaik sepanjang masa. Mengambil setting tahun 1905, film ini membawa pesan mengenai keburukan rezim Tsar yang penuh dengan ketidak adilan.

Battleship Potemkin seperti judulnya merupakan dramatisasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 1905 saat para kru Potemkin melakukan pemberontakan terhadap atasan-atasan mereka. Pemberontakan tersebut didasari oleh perasaan yang sama diantara para kru tentang perlakuan semena-mena yang mereka terima. Mereka selalu mendapatkan makanan yang tidak layak seperti daging busuk yang sudah dipenuhi belatung. Bahkan saat tidur pun mereka sering menerima tindak kekerasan dari atasan mereka sebagai bentuk pelampiasan rasa kesal mereka. Merasa sudah cukup menerima semua itu, mereka pun sepakat melakukan perlawanan yang dipimpin serta diprakarsai oleh Grigory Vakulinchuk (Aleksandr Antonov). Pada akhirnya perlawanan yang terjadi diatas kapal perang tersebut justru menginspirasi rakyat-rakyat Russia dan terjadilah perlawanan yang lebih besar yang bahkan berujung juga pada pembantaian yang terjadi di Odessa. 

2 komentar :

Comment Page: