THE ADMIRAL: ROARING CURRENTS (2014)

Tidak ada komentar
Mari melakukan sedikit hitung-hitungan. Estimasi penduduk Korea Selatan pada tahun 2014 berjumlah sekitar 51 juta jiwa, bukan angka yang besar jika dibandingkan 252 juta penduduk Indonesia pada tahun yang sama. Menilik angka tersebut, prestasi yang ditorehkan The Admiral: Roaring Currents jelas luar biasa saat berhasil mengumpulkan lebih dari 17,6 juta penonton (total penghasilan diatas $131 juta). Angka tersebut menjadikan film ini sebagai film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan, mengalahkan The Host bahkan Avatar-nya James Cameron. Jika mau dibandingkan tentu saja film terlaris negeri kita yaitu Laskar Pelangi yang "hanya" mengumpulkan sekitar 4,6 juta penonton tidak ada apa-apanya. Cerita yang berasal dari kisah nyata tentang perjuangan heroik Laksamana Korea Selatan pada masa peperangan melawan Jepang, serta nama besar macam Choi Min-sik dan Ryu Seung-ryong memang menjadi dua faktor terbesar dari kesuksesan film ini. Tentu mayoritas penonton berharap mendapat sajian historical yang heroik sekaligus epic.

Pada tahun 1597, Laksamana Yi Sun-yin (Choi Min-sik) dibebaskan dari penjara menyusul semakin gentingnya situasi Korea disaat pasukan Jepang semakin dekat untuk mengepung ibukota. Yi Sun-yin sendiri sempat dipenjara dan mendapat penyiksaan karena dianggap melawan perintah raja. Tapi kondisi saat itu memang menyudutkan pihak Korea. Setelah berbagai kekalahan, pasukan dan persenjataan yang tersisa kini tinggal sedikit. Bahkan angkatan laut yang dipimpin oleh Yi Sun-yin hanya memiliki 12 kapal. Tentu bagaikan misi bunuh diri saat mereka harus berhadapan dengan 330 kapal armada angkatan laut Jepang. Tapi Yi Sun-yin tidak gentar. Bahkan ia tidak menuruti perintah raja yang menyuruh pasukannya untuk mundur. Walau banyak prajurti yang kabur bahkan berusaha membunuh Yi Sun-yin, sang laksamana tetap yakin bahwa ia bisa mengubah rasa takut prajuritnya menjadi keberanian yang akan berujung kemenangan.
Sutradara Kim Han-min memilih untuk membagi filmnya ini kedalam dua fase. Fase pertama lebih banyak berisikan drama seputar ketakutan yang melanda pasukan Korea. Alih-alih juga menyelipkan sedikit adegan aksi, Han-min memilih mengesampingkan secara total unsur tersebut dan 100% berfokus pada dramanya. Hal itu dilakukan dengan harapan penonton bisa ikut merasakan ketakutan dan keputus asaan yang ada di benak setiap prajurit Korea. Tapi hasil akhirnya tidak seperti itu. Satu jam pertama film ini begitu melelahkan karena drama yang hanya berputar-putar saja. Dinamika yang dibangun juga kurang padat. Ibarat sebuah tembok, paruh pertama film ini adalah tembok yang penuh lubang, tidak padat, tidak kokoh. Tentu saja faktor ekspektasi akan mendapat disuguhi adegan aksi spektakuler cukup berpengaruh terhadap kebosanan yang terasa, tapi akan lain ceritanya jika unsur drama yang ada terasa kuat. Tidak buruk, hanya saja untuk menjadi pondasi utama jelas jauh dari kata kuat. Untung ada akting solid Choi Min-sik yang membuat saya tidak menyerah dan memilih tidur.

Saya sendiri pesimis The Admiral: Roaring Currents bisa membangun intensitasnya lagi saat memasuki momen peperangan yang ditunggu-tunggu. Pesimis, karena akan sangat sulit mengemas durasi satu jam menjadi full action. Saya tahu Han-min berusaha memberikan "balasan" atas kesabaran penonton, tapi mungkinkah itu dilakukan? Butuh usaha ekstra, dan kesan epic yang tinggi untuk bisa membayar kebosanan di paruh pertamanya. Nyatanya Kim Han-min bukanlah sutradara yang bodoh, melainkan percaya diri. Semegah apapun adegan peperangan tetap bisa menjadi sajian flat jika hanya asal menaruh ledakan, asal cepat, dan asal berisik (film Michael Bay bisa jadi contoh sempurna). Tapi diluar dugaan paruh kedua film ini tidak hanya berhasil menyuguhkan aksi bombastis yang seru tapi juga penuh dinamika dan emosi. Sesuatu yang sama sekali hilang dalam satu jam pertamanya. 
Pertempurannya penuh suasana bombastis yang menggelegar, disusun rapih sehingga setting nyata dan CGI pun berpadu selaras. Kim Han-min tidak hanya asal melempar ledakan demi ledakan. Satu jam adegan peperangan punya beberapa fase yang menghasilkan dinamika pemacur adrenaline dan perasaan. Pertanyaan yang hadir tentu "bagaimana strategi Yi Sun-yin untuk memenangkan peperangan tidak seimbang itu?" Sebuah pertanyaan yang mendapat jawaban setimpal dimana setiap satu demi satu taktik sang Laksamana diungkap, saya dibuat terkagum-kagum akan kehebatannya. Bagaimana ia memanfaatkan medan perang dan rasa takut begitu luar biasa. Setiap pergerakan kapal, setiap perintah yang ia berikan jadi terasa bermakna hingga membangun intensitas adegan. Ditambah lagi keberhasilan Kim Han-min menyuguhkan momen heroik yang menggugah pada bagian ini. Tidak hanya merinding, saya menteskan sedikit air mata saat melihat bagaimana Yi Sun-yin melecut semangat tidak hanya anak buahnya tapi juga para warga sipil. Sebuah penggambaran sempurna dari keberanian serta kepahlawanan.

Semua itu juga ditambah scoring garapan Kim Tae-seong yang begitu megah nan menggelegar. Sebuah iringan musik yang bahkan jauh lebih baik dalam aspek skala serta pembangunan emosi dibandingkan banyak musik di film-film aksi Hollywood. Pada akhirnya The Admiral: Roaring Currents memang bukanlah sajian epic yang luar biasa. Penyajian adegan aksi heroik dan penuh emosi di paruh keduanya memang luar biasa, tapi satu jam pertama yang membosankan itu membuat film ini gagal untuk "naik kelas". Mungkin untuk bertutur lebih jauh tentang filosofi seorang Yi Sun-yin film ini kurang berhasil, tapi sebagai sebuah film hiburan yang brutal dan penuh aksi kepahlawanan tanpa melupakan dinamika emosi sehingga rangkaian adegan aksinya tidak kosong melompong, The Admiral: Roaring Currents telah berhasil.

Tidak ada komentar :

Comment Page: