INHERENT VICE (2014)

Tidak ada komentar
Bayangkan Richard Linklater membuat Boyhood sambil menghisap ganja, dan menjadikan karakter Mason Jr. sebagai pothead pula. Seperti itulah Inherent Vice karya Paul Thomas Anderson (PTA) ini. Kesamaan terbesar terdapat pada alur yang melompat dari satu fragmen ke fragmen berikutnya daripada mengalir dengan lurus. Kita disuguhi potongan demi potongan dengan gap, menjadikannya sebagai film dengan alur episodik. Lalu hadir pembeda dalam bentuk ganja dan kokain yang memberikan kesan disoriented, dazed and confused pada pemakainya. Hasilnya adalah kekacauan tidak terstruktur dan halusinasi membingungkan. PTA menghadirkan semua itu lewat alur complicated film ini. Jangan berharap narasi voice over-nya akan membantu, karena yang terdengar tidak jauh beda dari mendengarkan omongan orang mabuk. Ber-setting pada tahun 1970 di kota fiktif bernama Los Angeles County saat kultur hippie tengah merangsek, film dibuka dengan pertemuan kembali sepasang mantan kekasih, Shasta (Katherine Waterston) dan Larry "Doc" Sportello (Joaquin Phoenix).

Doc adalah seorang hippie sekaligus licensed private investigator. Kedatangan Shasta bertujuan meminta tolong Doc menghalangi usaha Sloane (Serena Scott Thomas) untuk menculik dan memasukkan sang suami, seorang real estate developer bernama Mickey Wolfmann (Eric Roberts) ke dalam rumah sakit jiwa. Mickey sendiri adalah kekasih baru Shasta. Sekilas ini hanyalah kasus sederhana tentang perselingkuhan dan perebutan harta. It's not really complicated, right? Perkiraan saya keliru. Setelah itu Doc mendapat beberapa klien. Pertama ada Tariq (Michael K. Williams) anggota Black Guerrilla Family yang mencari pria bernama Glen Charlock (Christopher Allen Nelson), anggota Aryan Brotherhood yang berhutang uang padanya. Klien berikutnya adalah Hope (Jena Malone) yang percaya bahwa sang suami, Coy (Owen Wilson) yang selama ini diasumsikan telah mati masih hidup entah dimana. Tiga kasus hadir silih berganti, satu per satu semakin meluas, tapi ternyata memiliki benang merah satu sama lain.

Beberapa kasus berbeda yang ternyata saling berhubungan bukanlah hal baru. Rumit, tapi tetap bisa dipahami. Tapi yang membuat film ini berbeda dan membingungkan adalah pengemasan dari Paul Thomas Anderson. Cara PTA bertutur sama sekali tidak terstruktur. Saya tidak sedang membicarakan non-linear narrative seperti Memento-nya Nolan. Ini jauh lebih memusingkan karena PTA seolah melemparkan barang secara acak tanpa target tertentu lalu meninggalkan penonton untuk merangkai kekacauan tersebut. Tentunya sebagai intended chaotic, kesan kacau disini bukan berarti buruk meski memusingkan. Tidak memberikan kesempatan penonton untuk mencerna sejenak apa yang baru terjadi, PTA langsung menghadirkan plot baru, pertanyaan baru, jawaban baru yang melompat-lompat, sambil diiringi (drunken) voice over dari Joanna Newsom, dialog rumit seenaknya yang tidak mau repot-repot mengecek apa penonton paham dengan bertanya "you know what I mean?", sampai scoring nyaris tanpa henti dari Jonny Greenwood bahkan saat adegannya sudah menampilkan suara bising lain. It's a mess. Complicated but also beautiful at the same time.
Percayalah, ditambah durasi 149 menit penonton tidak perlu repot-repot ingin langsung mencerna semuanya dalam usaha menonton pertama. Meski otak sudah diperas dan fokus terpasang 100%, hampir tidak mungkin semua aspek kasus bisa langsung dicerna. Jadi akan lebih menyenangkan untuk menonton film ini dengan santai pada pengalaman pertama. Tetap fokus, tapi tidak perlu berusaha terlalu keras memikirkan semua pertanyaan. Sedikit perenungan setelah film usai ditambah menonton untuk kedua kali baru akan bisa menjawab semuanya. Pertanyaannya adalah "apa semua kerumitan ini diperlukan?" Disaat sinopsis dari Wikipedia mampu menjelaskan mayoritas plot dengan lebih simpel, apakah kekacauan dari PTA ini hanya sekedar gimmick? Sekali lagi saya menghadirkan komparasi dengan Boyhood. Apakah proses 12 tahun Linklater hanya tempelan? Tentu tidak. Proses panjang itu adalah hal esensial untuk menangkap rentang perkembangan hidup seorang manusia. Sedangkan kekacauan Inherent Vice esensial terhadap kondisi karakter khususnya Doc.
Mengikuti cara bertutur PTA, saya pun bisa ikut merasakan berada dalam posisi Doc. Dia kembali bertemu dengan mantan pacar yang masih ia cintai, mengetahui si wanita berada dalam masalah lalu kemudian menghilang tiba-tiba. Disaat bersamaan Doc juga harus menangani beberapa kasus rumit yang seolah tidak punya jalan keluar sebelum secara mengejutkan mengetahui bahwa semuanya saling berkaitan. Kasus-kasus yang ia usut pun tidak jarang menempatkan Doc dalam situasi berbahaya. Belum lagi konfliknya dengan anggota LAPD bernaa Bigfoot (Josh Brolin). Sungguh kacau dan memusingkan bukan? Nuansa film semakin sempurna menggambarkan kondisi Doc saat PTA menyelipkan sentuhan komedi. Tidak akan bisa membuat film bagus dengan karakter pothead tanpa komedi bukan? Apalagi PTA mengakui adanya inspirasi dari film-film Cheech & Chong. Salah satu komedi favorit saya adalah saat Doc melihat foto anak Coy dan Hope, lalu berteriak histeris. Ekspresi dan timing sempurna membuat saya memberikan respon yang sama, hanya saja disusul ledakan tawa tanpa henti.

Karakter Doc memang dominan, tapi film ini bukan hanya tentang dia mengingat ada segudang tokoh lain sebagai pendukung. Mulai dari Bigfoot, Coy, Shasta, sampai Mickey punya kisah masing-masing. Seperti alur filmnya, kisah mereka nampak jauh berbeda tapi sebenarnya memiliki kesamaan. Mari tengok judul Inherent Vice itu sendiri. Kalimat itu kurang lebih bermakna: "kecenderungan rusaknya suatu physical object karena ketidakstabilan komponen yang menyusun benda itu, dan bukan karena faktor eksternal." Bukankah segala permasalahan, dilema dan konflik yang mengiringi kehidupan tiap karakter memang berasal dari diri mereka sendiri? Bicara tentang karakter tidak akan lepas dari akting. Phoenix dan Brolin adalah yang terbaik disini. Berlawanan dengan sosoknya di The Master, Phoenix dalam film ini sukses bertransformasi sebagai hippie yang seenaknya sendiri lengkap dengan gestur maupun cara bicara yang mendukung itu. Doc terlihat begitu "asal" dalam menjalani hidup, tapi terstruktur. Mirip dengan nuansa filmnya bukan? Sedangkan Brolin nampak berlawanan dengan kesan antagonis, wajah keras dan amarah yang mudah muncul. Tapi lewat satu adegan yang melibatkan sang istri, semua kesan ganas itu luntur seketika. Membuat saya bisa memahami semua sikap antagonis yang ia hadirkan sedari awal. 

Mungkin respon pertama yang akan muncul di benak banyak penonton adalah bahwa Inherent Vice merupakan film terburuk Paul Thomas Anderson. Mungkin itu tidak salah, tapi film terburuk PTA bukan berarti film yang memang buruk. Lihatlah filmography-nya yang terdiri dari judul-judul macam There Will be Blood, Boogie Nights sampai Magnolia. Pasti ada fim terburuk diantara karya PTA, tapi tidak ada film buruk yang pernah ia hasilkan. Justru bagi saya Inherent Vice punya semua aspek yang bakal menjadikannya sebagai cult movie di kemudian hari. Tingkat absurd yang tinggi, pergerakan cerita kacau dan alur rumitnya memang memusingkan pada pengalaman pertama, tapi membuka peluang besar untuk ditonton secara berulang-ulang. Sangat mungkin pada pengalaman menonton berikutnya film ini akan terasa semakin bagus. Ini juga akan menjadi satu dari sekian banyak film dimana beberapa penonton berpura-pura menyukainya meski sama sekali tidak paham dengan alurnya. For the sake of being (called) smart.

Tidak ada komentar :

Comment Page: