THE HOMESMAN (2014)

Tidak ada komentar
Nebraska tahun 1850, dengan suasana midwest yang gersang dan langit biru cerah membuka adaptasi novel The Homesman karya Glendon Swarthout ini. Karakter sentralnya adalah Mary Bee Cuddy (Hilary Swank), seorang perawan tua yang cukup kaya di lingkungannya. Meski hidup berkecukupan, Cuddy nyatanya diselimuti rasa sepi karena tinggal sendirian. Kita bisa melihat bagaimana desperate-nya wanita ini, termasuk saat ajakannya untuk menikah ditolak seorang pria. Cuddy menyediakan makan malam, bahkan bernyanyi hanya untuk menemukan sang pria tertidur lalu menolak ajakan menikah darinya. Kesedihan terpancar jelas saat untuk kesekian kalinya ia dianggap sebagai wanita dengan penampilan "biasa" dan suka mengatur. Menyedihkan. Tapi menjadi tragis saat kita melihat nasib tiga wanita lain di kota itu. Dikisahkan ada tiga wanita malang yang menjadi gila karena pengalaman traumatis. Ada yang kehilangan tiga anaknya dalam waktu berdekatan karena penyakit, ada yang kehilangan sang ibu lalu mengalami pemerkosaan, ada pula yang depresi karena kemiskinan dan berujung pada membuang bayinya sendiri di jamban.

Keluarga masing-masing wanita itu merasa tidak mampu merawat mereka dan memutuskan untuk menyerahkan ketiganya pada gereja. Saat saya menyebut "keluarga", secara lebih khusus adalah para suami. Pada masa itu, kultur yang menempatkan wanita pada keharusan menjadi istri serta ibu yang baik (baca: bertugas memasak, membersihkan rumah, merawat/melahirkan anak) masih amat kuat. Wanita seolah tidak berharga, sedangkan suami mereka tidak peduli bahkan tidak bersedia merawat sang istri. Wanita dalam film ini adalah korban, sosok malang yang diharapkan mengundang simpati. Sebagai penyeimbang, ada karakter Cuddy yang mampu melakukan semua keahlian pria, mulai dari menunggang kuda sampai menembak. Dengan semua itu, The Homesman jelas bukan sajian western yang macho. Sebaliknya, ini kental unsur feminise. Sekilas unik, karena western biasanya mengeksploitasi kejantanan karakter pria dalam bentuk koboi tangguh. Tapi meski jadi sentral, film ini tidak cukup menjadikan karakter wanitanya sebagai sosok menonjol.
Untuk jadi film feminis, The Homesman terasa kurang lantang berteriak. Bandingkan dengan Meek's Cutoff yang tanpa harus berlebihan dalam menggambarkan pria sebagai sosok tak berguna atau wanita sebagai sosok pemimpin tetap bisa menyuarakan bagaimana tangguhnya seorang wanita dalam setting padang gurun yang keras. Segala konflik hadir saat Cuddy mengajukan diri sebagai "Homesman" yang bertugas mengantar ketiga wanita itu menuju sebuah gereja tempat perawatan pasien gangguan mental di Iowa. Padahal biasanya homesman adalah sebuah pekerjaan yang diemban seorang pria. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan George Briggs (Tommy Lee Jones). Merasa berhutang nyawa, Briggs pun setuju membantu Cuddy dalam perjalanannya. Sampai sini kita melihat Cuddy sebagai wanita yang begitu tangguh, sampai kerapuhan merenggut semua itu. Saya tidak beranggapan sebuah film feminis tidak boleh menujukkan kerapuhan. Sebaliknya, hal itu berguna untuk penguatan karakter. Permasalahannya ada pada konklusi yang diambil. Begitu film makin jauh bergerak, kita diberikan tiga wanita gila dan satu wanita yang putus asa terhadap statusnya sebagai perawan tua. Mereka pun gagal mengambil simpati saya.

Tapi jika ditengok dari sudut pandang lain, The Homesman tidaklah gagal dalam eksplorasi tema. Midwestern dengan segala padang tandusnya memang tempat yang keras pada masa itu. Sebuah panggung sempurna bagi kisah mengenai desperation. Fokus utama adalah menampilkan sulitnya hidup baik secara fisik maupun psikis. Aspek psikis jelas lebih terasa disini. Pada beberapa bagian, film ini menampilkan suatu flashback yang menggambarkan bagaimana mengenaskannya kehidupan ketiga wanita. Suatu adegan singkat tapi berhasil menyalurkan kesan depresif yang tidak jarang meninggalkan rasa tidak nyaman. Belum lagi kita diperlihatkan bagaimana Cuddy yang seolah semakin tidak mengindahkan lagi harga diri untuk mengobati keputus asaannya sebagai perawan tua. Mungkin film ini merupakan salah satu tontonan western paling kelam dan depresif dalam beberapa tahun terakhir.
Kesan depresif tersalur kuat, tapi Tommy Lee Jones selaku sutradara tidak sebagai performa aktingnya sebagai George Briggs. Dengan alur lambat plus durasi yang mencapai dua jam, tidak banyak momen yang sanggup memberikan kekuatan bagi filmnya. Kebanyakan terasa datar, melelahkan, membosankan. Belum lagi ditambah kesan repetitif dalam pengambilan gambarnya. Menyebut kata "western", tentu hal pertama yang tergambar adalah hamparan gurun pasir dengan langit biru cerah di atasnya. Sudah bisa ditebak akan banyak muncul gambar landscape luas yang mengeksploitasi visual alam tersebut. Tapi tidak ada keindahan, tidak ada kesan memukau dalam gambar yang pada masa sekarang tidak lagi luar biasa itu. Hanya menyisakan repetisi membosankan yang predictable. Tapi sebagai Briggs, jelas Tommy Lee Jones tidak kesulitan berperan. Karakter pria tua yang pada awalnya terasa minim kepedulian sebelum perjalanan mengubahnya perlahan mampu diperankan dengan baik. Hal sama terjadi pada Hilary Swank yang membuat keputus asaan Cuddy begitu believable.

Dengan dua akting bagus, ternyata film ini masih meninggalkan kekecewaan dalam aspek akting. Bukan para pemain lain berakting buruk, tapi salah satu alasan saya menonton film ini adalah kehadiran ensemble cast. Selain Tommy Lee Jones dan Swank, ada nama besar seperti James Spader, Hailee Steinfeld sampai "the great" Meryl Streep. Patut disayangkan kemunculan ketiganya tidak lebih dari extended cameo. Streep menyuntikkan kesan bahwa Altha Carter sang istri pendeta nampaknya tidaklah punya kemampuan mumpuni dalam merawat pasien gangguan jiwa, membuat saya berharap ia mendapat porsi lebih. Hailee Steinfeld adalah yang paling tersia-siakan bakatnya meski "mulut pedasnya" mampu mencuri perhatian. Memang nama-nama besar ini bisa memanfaatkan screen time minim yang didapat, tapi sebagai film dengan embel-embel ensemble cast, ekspektasi saya akan porsi mereka jelas tidak terpenuhi. Untuk keseluruhan film? Ternyata sama mengecewakannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: