EX MACHINA (2015)

6 komentar
Begitu banyak film bertemakan artificial intelligence mulai dari yang berstatus masterpiece hingga sampah sekalipun. Dari begitu banyak kisah, tema yang diangkat biasanya ada di seputaran kemanusiaan serta kritik terhadap umat manusia sendiri. Kritik yang dikemukakan tidak akan jauh dari usaha manusia "bermain Tuhan". Sekilas Ex Machina juga menyinggung isu tersebut. Tapi apa yang membuat debut penyutradaraan Alex Garland ini menjadi spesial hingga mampu berdiri tegak diantara film-film bertemakan A.I. lain terletak pada caranya menempatkan kritikan. Segala hal dalam film ini pun terasa sederhana dan berskala kecil yang berujung pada selalu stabilnya Ex Machina berpijak pada realita. Tidak ada pabrik raksasa untuk membuat robot, karena setting film hanya berada di satu fasilitas riset terpencil milik Nathan Baterman (Oscar Isaac) yang dikemas begitu tertutup akan dunia luar. Nathan sendiri adalah CEO dari "Bluebook" yang merupakan search engine terbesar (their Google)

Kemudian ada Caleb (Domhnall Gleeson), seorang programer "Bluebook" yang beruntung memenangkan undian untuk berkunjung ke fasilitas milik bosnya itu selama satu minggu. Datang dengan antusiasme tinggi, Caleb dibuat kebingungan saat mengetahui tempat tersebut begitu terisolasi. Berada di tengah hutan, tidak memiliki jendela, dikelilingi tembok baja dan kunci elektronik yang tidak bisa dibuka jika listrik mati demi kemanaan, fasilitas itu memang persis seperti apa yang dikatakan Nathan: klaustrofobik. Caleb kebingungan, sedangkan kita para penonton bakal menyadari ada misteri yang tersembunyi disana, atau lebih tepatnya disembunyikan oleh Nathan. Sedari awal Garland sudah membangun rasa penasaran kita dengan cara yang efektif sekaligus elegan. Sebuah tempat misterius dengan pemilik yang juga misterius memang menimbulkan tanya. Tapi cukup dengan itu saja. Tidak ada pengalih perhatian yang sifatnya menipu atau tease demi tease tidak perlu. Semua mengalir pelan tapi pasti, menyibak fakta satu per satu.
Belum lama datang, Caleb sudah diminta menandatangani surat perjanjian untuk menyimpan rahasia mengenai segala hal yang ia temui disitu. Rahasia yang harus ia jaga adalah kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam "Turing Test", sebuah tes dimana seorang manusia dihadapkan dengan sebuah mesin/komputer. Apabila manusia itu tidak merasa tengah berinteraksi dengan komputer melainkan makhluk hidup, maka artificial intelligence itu dinyatakan berhasil. Dari sini babak utama Ex Machina dimulai. Sesi pertemuan pertama antara Caleb dengan Ava sang A.I. (Alicia Vikander) menjadi awalnya. Penonton berada di posisi yang mirip dengan Caleb. Kita diajak melakukan observasi pada sosok Ava, menilai apakah ia telah memiliki intelegensi yang setara dengan manusia, punya cara pikir yang serupa, bahkan mengamati apakah di dalam dirinya juga terdapat emosi. Tapi layaknya Caleb yang tidak sadar bahwa Nathan masih menyimpan sebuah rahasia, penonton juga tidak sadar bahwa Alex Garland tengah "mempermainkan" persepsi kita.
Sampai disini saya mengira Ex Machina sedang berusaha mengangkat hal umum yang juga selalu dibawa oleh film bertemakan A.I. dengan mempertanyakan sisi kemanusiaan sang robot, lalu membandingkannya dengan sosok manusia sungguhan. Hal tersebut dituturkan sembari menyajikan hubungan rumit sekaligus menarik antara Caleb dengan Ava. Seiring berjalannya waktu, rasa kagum Caleb perlahan berkembang menjadi ketertarikan yang lebih jauh. Dia mencintai Ava, bahkan dalam satu kesempatan membayangkan sedang berciuman dengan sang robot. Tiap malam pun ia habiskan untuk memandangi Ava lewat CCTV. Hal itu sendiri turut dipicu oleh sikap Ava yang terang-terangan menunjukkan perasaan yang sama terhadap Caleb. Selipan twisted romance dalam hubungan keduanya memang menarik dan menambahkan selipan atmosfer horror yang disturbing. Tapi seperti yang saya sebutkan, Alex Garland tengah mempermainkan kita (in a good way) dan menyiapkan kejutan tidak hanya dari segi plot namun juga esensi cerita.

Mengamati interaksi antara Caleb dengan Ava, penonton bakal dibuat bertanya-tanya, "apakah sungguh Ava mencintai Caleb? Ataukah itu hanya program dari Nathan?" Kita akan mendapat jawaban yang menurut saya adalah jawaban terbaik bagi pertanyaan tersebut. Saya keliru sempat mengira Alex Garland mencoba menghadirkan sisi humanis lewat cara yang manis. Garland menghadirkan jawabannya itu sekaligus untuk memantapkan status filmnya ini sebagai pemaparan realita terhadap sifat umat manusia. Kebanyakan film-film tentang A.I. memberikan konklusi dengan menunjukkan sang robot bisa menjadi lebih manusia dari manusia, atau dengan kata lain lebih baik. Ex Machina mengeksplorasi sisi humanis tersebut dengan cara lain lewat pendalaman sifat selfish dalam diri manusia. Manusia itu egois. Jadi apabila sebuah A.I. bisa menyerupai kita, bukankah sifat tersebut juga akan begitu kental dalam diri mereka? Keegoisan yang ditampilkan juga tidak muluk karena sifatnya begitu mendasar, begitu personal. Sama seperti Nathan yang menciptakan robot-robotnya mungkin tidak lebih hanya sebagai pemuas hasrat belaka.

Verdict: Stylish and atmospheric. Penggunaan efek komputer sederhana tapi efektif turut memperkuat realisme yang diusung secara konsisten oleh ceritanya.


6 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

iki pilem flying under the radar. tumben gak mbahas acting Syid.

Rasyidharry mengatakan...

Bukane aku malah jarang ya mbahas akting?

Unknown mengatakan...

biasane ono sik nyinggung penampilan pemerane, sing iki raono

Rasyidharry mengatakan...

Haha lagi ra ngemat kayae

Anonim mengatakan...

Ini kalau mau komen dimana tombolnya selain balas ini).

Saya sangat suka resensi, resume anda atas film2. Yg saya tangkap adalah semacam refleksi atas filmnya. Saya ada kepikir menulis refleksi film sperti ini dan ternyata adana sudah melakukanya. SIp

Rasyidharry mengatakan...

Itu ada kok "tambahkan komentar"

Yah, saya cuma menulis apa saja yang dirasakan pada sebuah film dengan sudut subjektif. Makasih sudah baca2 :)