MAD MAX: FURY ROAD (2015)

6 komentar
Orang boleh berkata bahwa sekuel demi sekuel merupakan salah satu bentuk kemiskinan ide industri perfilman mainstream. Tapi George Miller baru saja memberi bukti bahwa sekuel berapapun jumlahnya (entah diperlukan atau tidak) bukan suatu masalah asal digarap dengan baik. Mungkin berkaca pada fakta bahwa film terakhir Mad Max yakni Beyond the Thunderdome dirilis 30 tahun lalu, banyak yang akan menuduh pembuatan Fury Road tidak lebih dari sekedar usaha Miller menimbun pundi-pundi dollar. Tapi melihat hasil akhirnya saya berani menyangkal opini tersebut. Fury Road merupakan bentuk pelampiasan idealisme sekaligus kegilaan terpendam seorang pria berumur 70 tahun yang sejak 1998 hingga 2011 menghabiskan karirnya untuk membuat tiga film bernafaskan "film anak". Meski tanpa Mel Gibson, Miller memang siap seutuhnya kembali ke dunia post-apocalyptic penuh kekeraasan serta kegilaan yang pertama ia hadirkan tahun 1979 lalu.

Gaya bertutur film ini bagaikan The Raid-nya Gareth Evans: bergerak cepat dan mengalir tanpa putus menuturkan satu kejadian. Bedanya, Miller tidak hanya menggunakan setting sempit melainkan padang gurun tandus yang begitu luas sebagai "arena balapan" antara Max (Tom Hardy) dengan sekelompok tentara gila dari tiga kota berbeda. Mengacu pada premis tersebut, dua jam film ini berisikan kejar-kejaran antar mobil-mobil modifikasi aneh nan gahar. Tapi mereka tidak hanya berpacu, namun juga saling berperang di atas kendaraan masing-masing yang melacu kencang menembus gurun gersang sampai salah satu badai pasir paling ganas yang pernah ditampilkan dalam film. Disinilah Miller menumpahkan seluruh kegilaan yang telah terpendam puluhan tahun. Tidak hanya melacu kencang tapi juga brutal, penuh stunt sinting, serta dikemas dengan CGI yang luar biasa. George Miller sungguh memanfaatkan dengan baik bujet $150 juta yang ia miliki. Efek CGI bukan sekedar "gaya" melainkan aspek penting demi mewujudkan visinya membentuk suasana wasteland yang brutal dan penuh bahaya.
Terus bergerak dengan kecepatan tinggi, Fury Road tidak pernah kehabisan bahan bakar. Awalnya saya ragu Miller sanggup melebihi rentetan adegan aksi yang sudah ia munculkan saat badai menyerang di awal film. Saya pun bertanya-tanya apakah klimaksnya bakal lebih gila atau justru berakhir mengecewakan karena kekalapan sang sutradara mengeksploitasi segalanya di paruh awal. Tapi George Miller memang seorang kakek-kakek jenius yang disaat bersamaan rupanya juga orang gila. Tidak hanya memperbesar skala dan menambah ledakan serta kesadisan, klimaksnya menyuntikkan ketegangan tingkat tinggi saat penonton tanpa sadar sudah peduli pada karakternya, khususnya mereka para wanita. Para istri Joe adalah wanita lemah secara fisik namun tangguh di dalam yang merupakan modal cukup. Furiousa (Charlize Theron) adalah perwujudan badass heroine. Max? Well, he's mad anti-hero right? Tapi patut disayangkan dalam filmnya sendiri Max justru kalah bersinar dibanding karakter-karakter lainnya. Dengan sintingnya, Miller juga melibatkan gang nenek-nenek dalam pertempuran tersebut. Membuat mereka beraksi hingga membunuh mereka dengan cara yang brutal. Siapa tidak tercengang melihat hal semacam itu?

Mad Max: Fury Road boleh saja berjalan layaknya The Raid yang tanpa henti, tapi bedanya film ini punya naskah kuat. Lagi-lagi kejeniusan Miller berperan besar. Naskah yang ia tulis bersama Brendan McCarthy dan Nico Lathouris berpadu sempurna dengan penyutradaraannya yang cermat. Tidak hanya hebat mengemas adegan aksi, Miller masih jeli menyelipkan kekayaan cerita yang tertuang dalam naskah. Musuh utama Max kali ini adalah seorang raja bernama Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne) yang dipuja bagaikan Tuhan oleh para pengikutnya. Karakterisasi Immortan Joe beserta kepemimpinannya adalah cara George Miller menyelipkan kritik terhadap perbedaan kasta sosial. Joe beserta pasukan serta orang-orang dekat termasuk anaknya hidup di bebatuan tinggi yang bagian atasnya dipenuhi rerumputan hijau (satu-satunya tumbuhan segar yang kita lihat sepanjang film). Mereka hidup makmur. Bahkan di satu adegan kita melihat sekelompok orang obesitas yang terus-terusan duduk sambil bersantai. Hal itu berbanding terbalik dengan rakyatnya yang hidup di bawah, kelaparan, kekeringan, dan menderita banyak penyakit menjijikkan.
Karena itulah Joe begitu dipuja termasuk saat ia menurunkan air yang langsung diperebutkan oleh orang-orang. Miller memperlihatan sebuah tirani yang mencengkeram kehidupan kaum bawah, mengadu mereka hingga berkelahi satu sama lain hanya untuk mendapatkan air bersih. Sedangkan bagi pasukannya, Joe adalah panutan yang membuat mereka rela mati dalam pertempuran. Karena dengan itu mereka percaya sang pemimpin bakal menuntun mereka menuju "valhalla". Hal ini tidak jauh beda dengan realita masa kini tentang kemunculan kelompok cult yang menjanjikan surga versi mereka yang seringkali coba digapai dengan melakukan bunuh diri. Ditambah dengan sub-plot beberapa karakternya seperti Max yang dihantui kematian sang puteri, penebusan dosan Furiosa dan Nux, hingga ambisi Immortan Joe mendapat putera dengan fisik sempurna, menunjukkan bahwa Mad Max: Fury Road sejatinya adalah film tentang kemanusiaan. Disaat dunia telah hancur, kegilaan menyelimuti, penyakit pun menyebar, nyatanya beberapa orang masih berusaha mencari jawaban atas kehidupan mereka sebagai manusia meski lewat caranya masing-masing.

Saya begitu suka penggambaran dunia post-apocalyptic film ini. Tentu saja salah satu hal wajib adalah kondisi dunia yang begitu gersang, hampir tidak tersisa apapun termasuk hewan, air dan tumbuhan hijau. Tapi diluar itu, atmosfer hopeless dalam diri manusia yang berujung pada kegilaan digambarkan begitu nyata. Desain karakter dengan pakaian maupun make-up yang unik cenderung aneh plus banyaknya kendaraan-kendaraan berat dengan modifikasi yang tak kalah sinting pun jadi terasa bukan sekedar gaya-gayaan. Bayangkan anda hidup dalam dunia seperti Fury Road dimana sandang pangan dan air bersih semakin langka, namun penyakit justru merajalela. Manusia didorong untuk bertahan hidup hingga batasan terakhir, pastilah membuat hati serta pikiran mereka tak lagi jernih. Jangankan dandanan tak wajar, mental breakdown, nurani yang menghilang, serta memuja penguasa yang diharap bisa memberikan kemakmuran layaknya Tuhan pun bisa dimaklumi. 

Verdict: Mad Max: Fury Road adalah penceritaan mendalam dan cerdas tentang kondisi post-apocalyptic yang bersembunyi dalam sampul B-Movie penuh kegilaan tak berotak. 

6 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

menurut saya,ini adalah film terbaik tahun ini (sementara) dan juga film tergila tahun ini.
saya suka sekali dgn sekuel ketiga Mad Max kli ini,karena selain menghadirkan aksi yg gila,rig (mobil rakitan) yg jauh lebih gila sebenarnya terdapat sebuah makna.karena kita semua yg sudah mennton film mad max ini sudah thu kalau Max Rockatansky (Seperti) bukan main character di film ini,melainkan para wanita yg walaupun lemah tpi tetap pantang menyerah.
intinya,di dunia yg sudah rapuh,gila & candu akan air bersih ada sekelompok perempuan yg ingin lepas dri cengkraman seorg pria rakus dan gila.sgt menggambarkan realita hidup kita ya,gan!

Rasyidharry mengatakan...

Yap, film ini keren karena nggak cuma modal action gila tapi naskah yang kuat juga

Unknown mengatakan...

memang pantas bgt George Miller di juluki "Mastermind",karena ide dia itu gk ada yg gk bagus (kecuali Happy Feet Two,menurut saya kurang enak),memang dia gk segila Takashi Miike tpi ingat,dia punya 1 hal yg tidak dipunyai sutradara lain,yaitu Rig (mobil rakitan) dan ke-gregetan-nya dalam membuat setiap adegan di film Fury Road semakin gila dan seru!
dan saya sudah siap utk sekuel terbarunya,Mad Max: The Wasteland.

LevittJunior17 mengatakan...

sbenarnya miller mnggunakan lbih sring practical effects drpd CGI

Unknown mengatakan...

betul sekali,gan.Seperti apa yg dilakukan Gareth Edwards dlm film Godzilla yaitu Minimal Using CGI,George Miller pun melakukan hal yg sama tpi lebih dri apa yg pernah dilakukan oleh Gareth Edwards.
George Miller lebih natural dlm membuat film.Fury Road ini karena ia sudah thu bagimana struktur padang pasir yg begitu kacau dan sepi layaknya post-apocalyptic sungguhan mengingat kan dia juga yg menyutradarai Trilogi Mad Max sebelumnya.

Atiqoh Nur Wiqoyah mengatakan...

Film sekeren ini dapet 4 bintang?? Yang dapet 5 bintang ada gak?? Penasaran??