THE OVERNIGHTERS (2014)

Tidak ada komentar
Negeri dongeng akan selalu ada. Bagi kita warga Indonesia, Jakarta adalah negeri itu. Tempat dimana begitu banyak orang dari berbagai daerah berbondong-bondong melakukan migrasi dengan harapan mendapat pekerjaan layak dan uang melimpah. Tapi impian tidak selalu berakhir sebagai kenyataan manis. Banyak dari mereka akhirnya mendapati jangankan untuk mendapat uang banyak, sekedar memiliki pekerjaan serta tempat tinggal layak saja sulit. Permasalahan serupa juga hadir di Amerika, tepatnya di Williston, North Dakota. Proyek tambang minyak yang "menggila", memberikan pendapatan per-kapita mencapai 29% (di atas rerata nasional) sekaligus membuka lapangan kerja melimpah. The Overnighters garapan Jesse Moss mengajak penonton menyaksikan bagaimana ribuan orang ber-migrasi ke Williston untuk mencari pekerjaan yang mereka impikan, sebelum akhirnya harus menerima kenyataan tidak semudah itu mendapatkan pekerjaan.

Masalahnya, banyak dari mereka datang tanpa bermodalkan apapun. Tanpa pekerjaan tidak ada uang, dan tanpa uang tidak ada tempat tinggal. Beberapa yang cukup "beruntung" memiliki RV masih bisa tinggal di dalam sana, atau berkemah di beberapa lahan yang ada. Tapi banyak pula yang datang hanya dengan one-way ticket. Datang penuh impian besar, orang-orang ini berakhir sebagai homeless. Dari situlah seorang Pastur bernama Jay Reinke mulai tergerak hatinya untuk memberikan tempat tinggal. Alhasil ia memfungsikan Gereja disana menjadi penampungan bagi orang-orang tersebut. Bermula dari satu orang, hanya dalam tempo dua tahun saja sudah lebih dari 1000 orang yang tinggal. Ada yang tidur di lantai, ada pula yang menginap di mobil yang terparkir di halaman Gereja. Tentu dengan mudah penonton akan bersimpati pada sang Pastur yang rela melakukan itu meski harus bertentangan dengan banyak pihak.
Jamaah Gereja banyak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran para overnighters. Begitu pula masyarakat Williston secara umum yang mulai diselimuti ketakutan akibat terjadinya beberapa kasus pemerkosaan dan tindak kriminal lain yang dilakukan para pendatang. Tentu hal itu natural. Mementingkan keselamatan pribadi serta keluarga tercinta daripada orang asing yang mendadak memenuhi seisi kota adalah hal yang wajar dilakukan. Tapi disisi lain sebagai suatu komunitas masyarakat apalagi berpatokan pada ketentuan agama, bukankah menolong sesama yang membutuhkan adalah suatu keharusan? Disitulah Jesse Moss mulai melontarkan isu sosial yang ada pada penonton. Kita tahu bahwa membantu sesama adalah kebaikan, tapi bagaimana jika kebaikan tersebut justru membahayakan diri kita dan keluarga? Karena itulah Pastur Jay Reinke menjadi sosok pahlawan yang ideal. Pahlawan yang rela berdiri melawan segala rintangan untuk melakukan sesuatu yang kita tak berdaya melakukannya.
Tapi kemudian The Overnighters mulai berubah arah dengan begitu "halus". Dari sebuah paparan sekaligus social commentary, dokumenter ini beranjak menuju kisah tentang gejolak personal. Disaat kondisi semakin memojokkan Jay dengan munculnya hukum-hukum baru bagi para pendatang serta keterlibatan media dalam memanaskan suasana, kita sebagai penonton mulai mempertanyakan motivasi Jay dalam memberikan segala bantuan tersebut. Benarkah semua itu merupakan panggilan kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang harus membantu sesama? Benarkah semua itu tulus ikhlas ia lakukan? Ataukah semuanya karena faktor lain seperti obsesi pribadi, keseganan untuk mengatakan "tidak", atau mungkin sebagai bentuk penebusan dosa? Seiring berjalannya film khususnya setelah kehadiran kejutan menjelang akhir, kita pun menyadari sang Pastur tidak "seputih" yang selama ini terlihat. Seperti yang ia katakan sosok publiknya begitu berbeda dengan sosok pribadinya.

The Overnighters akhirnya jadi sebuah eksplorasi tentang keresahan disaat sang karakter utama mulai berada dalam posisi yang terpojok. Dari seorang panutan sempurna yang dicintai banyak orang, ia langsung berubah jadi orang yang dibenci, bahkan oleh mereka yang sebelumnya begitu memuja dirinya. Kita pun memahami alasan orang-orang tersebut. Karena memang begitu menyakitkan jika orang yang selama ini kita hormati karena begitu menyayangi kita dengan tulus, serta merta membuang kita begitu saja dalam tempo waktu yang amat singkat cenderung mendadak. Dengan kamera yang mampu menangkap momen-momen sampai pada tingkat paling intim sekalipun, The Overnighters berhasil menguak segala sisi dengan gamblang dan mendalam. 

Verdict: Bergerak dari dokumenter tentang social commentary menjadi inner personal conflict, The Overnighters turut menjadi penampang wajah kehidupan sosial-ekonomi di era modern. Penuh ironi saat ending-nya, menunjukkan lingkaran setan yang ada kembali lagi ke awal.


Tidak ada komentar :

Comment Page: