SPL II: A TIME FOR CONSEQUENCES (2015)

2 komentar
Pada era saat ini, tidak bisa dipungkiri The Raid (dan sekuelnya) mulai menjadi tolak ukur kualitas film aksi. Koreografi baku hantam memukau dan kadar kekerasan tinggi ditangkap oleh kamera secara mendetail tanpa berusaha melakukan cut cepat sebagai trik manipulasi. Film aksi old school yang melambungkan nama-nama seperti Bruce Willis, Sylvester Stallone hingga Jason Statham perlahan mulai ditinggalkan. Sejatinya merupakan keputusan tepat untuk tidak lagi asal membuang selongsong peluru dalam sajian action. Lihat bagaimana John Wick bisa mengundang decak kagum. Tapi bicara masalah "meniru" The Raid, mungkin SPL II: A Time for Consequences ini adalah "pelopor". Tampak jelas, bagaimana sutradara Cheang Pou-soi ingin menjadi Gareth Evans dalam usahanya memancing adreanline penonton. 

Bukan bermaksud membandingkan, tapi termasuk beberapa aspek di atas, semua DNA baik dari The Raid maupun Berandal bisa ditemukan disini Filmnya punya dua protagonis: seorang undercover cop dan penjaga penjara. Alurnya memiliki unsur tentang instansi korup. Scoring yang dipakai kental nuansa gabungan musik elektro dan orkestra klasik. Terdapat adegan kerusuhan dalam penjara. Klimaksnya menghadirkan perkelahian antara dua protagonis melawan (hanya) satu musuh. Jangan lupakan juga fakta bahwa film ini dibintangi oleh Tony Jaa yang "setipe" dengan Iko Uwais. Tapi bukan berarti SPL II adalah copycat. Cheang Pou-soi hanya mengambil template-nya, menyaring apa saja yang menjadi formula kesuksesan, kemudian merangkum semua dengan caranya sendiri. Akhirnya di tengah gemuruh action blockbuster dari Hollywood yang dipenuhi CGI dan ledakan, film ini begitu menonjol.

Walaupun memakai embel-embel "II" dalam judulnya, SPL II: A Time for Consequences sejatinya hanyalah sequel "in-name-only" dari SPL: Sha Po Lang yang rilis tahun 2005 dan dibintangi oleh Donnie Yen serta Sammo Hung. Jalan ceritanya sama sekali berbeda dengan karakter yang berbeda pula. Wu Jing dan Simon Yam memang kembali, tapi memerankan karakter lain. Dengan dua setting lokasi, yakni Thailand dan Hong Kong, fokus pun sempat terbagi kepada dua karakter. 
Chatchai (Tony Jaa) adalah penjaga penjara di Thailand. Dia adalah pria baik yang berada di tengah kondisi buruk. Sa (Unda Kunteera Yhordchanng) puterinya yang masih tujuh tahun menderita leukimia dan kesulitan mencari pendonor yang tepat. Bukan drama yang sangat kuat memang, apalagi dengan kuantitas momen emosional terbatas (baca: dibatasi) mengingat Tony Jaa sendiri bukanlah sosok yang piawai dalam hal itu. Tapi untuk sekedar membuat kisahnya tidak kosong dan memberi story arc bagi protagonisnya, itu sudah cukup, termasuk membuat saya bersimpati pada "pengampunan dosa" untuk seorang tokoh di paruh akhir. Kondisi serupa hadir di tempatnya bekerja saat Chatchai mendapati sang sipir, Ko Chun (Zhang Jin) melakukan berbagai aktivitas ilegal dibantu oleh karyawan-karyawan lain. Chatchai is a good man in bad situations, and sometimes, those situations forced him to did a bad things too.

Dari Hong Kong, ada seorang polisi bernama Kit (Wu Jing) yang tengah berada dalam misi penyamaran dalam sebuah kelompok kriminal yang dicurigai terlibat dalam penyelundupan organ tubuh manusia. Berawal dari usahanya meraih kepercayaan mereka, Kit pun terjerumus menjadi pecandu narkoba. Kit was a good man, before bad situations forced him to gone bad. Dari kedua karakter utama ini bisa dilihat walau SPL II punya cerita yang jauh berbeda dari pendahulunya, esensi yang diusung masihlah serupa. Sha Po Lang sendiri berasal dari tiga kata yang diambil dari astrologi Cina, yang masing-masing merepresentasikan bintang yang dapat menjadi baik maupun buruk tergantung pada situasinya. Begitulah kondisi Kit dan Chatchai disini. 
Malang bagi Kit, saat misinya telah mendekati akhir, sebuah kesalahan membuat penyamarannya terbongkar. Akibatnya, Kit dijebak, dan dijebloskan kedalam penjara di Thailand. Ya, sudah pasti itu adalah penjara tempat Chatchai bekerja, dan aktivitas ilegal yang dilakukan oleh sang sipir juga berkaitan dengan Mr. Hung (Louis Koo), bos dari organisasi kriminal penyelundup organ tempat Kit menyamar. Nantinya akan semakin banyak link antara berbagai konflik di Thailand dan Hong Kong. Cara film ini mengaitkan semua itu tidaklah halus. Ibarat dua tali terpisah, naskah tulisan Jill Leung dan Huang Ying tidak menyambungnya dengan simpul, tapi mengikatnya secara paksa dengan perekat. Tapi cara merekatkan kedua tali itu tidak buruk. Perekat ditempatkan di posisi yang tepat, lalu dipasang secara perlahan dan cukup rapih. 

Kemudian apa lagi yang bisa dikomentari dari film macam SPL II: A Time for Consequences? Tidak banyak, karena sajian utamanya sudah pasti action tingkat tinggi. Tapi itu saja sudah cukup. Seperti yang telah saya singgung, Cheang Pou-soi berusaha menjadi Gareth Evans, dan cukup 50% presentase keberhasilan dari usaha tersebut untuk bisa memberikan film aksi memikat. Mengkombinasikan kekerasan melalui suara tulang retak saat tubuh menghujam tanah atau terkena pukulan hingga sayatan pisau diiringi cipratan darah dengan keindahan koreografi bela diri adalah kepuasan terbesar menyaksikan film ini. Klimaksnya jadi kulminasi saat trio Tony Jaa-Wu Jing-Zhang Jin mengerahkan segala kemampuan mereka dalam sebuah baku hantam yang membuat saya bersorak. Jika harus dibandingkan, intensitasnya memang tidak setting epic threesome showdown Iko Uwais-Dony Alamsyah-Yayan Ruhian, but being the second best is more than enough in this case. Genre film aksi butuh lebih banyak lagi film seperti ini untuk kelangsungan hidupnya.

2 komentar :

Comment Page:
Mahfuzd Ahmady mengatakan...

Mas Rasyid tolong review film Tae guk gi brotherhood war dong.:)

Rasyidharry mengatakan...

Wah ntar ya, masuk daftar tonton tapi masih banyak film lain yang belum ketonton juga :)