SENDIRI DIANA SENDIRI / FOLLOWING DIANA (2015)

2 komentar
Melalui film pendeknya yang sempat menjalani pemutaran di Toronto International Film Festival 2015 ini, Kamila Andini membuktikan bahwa kisah sederhana yang bahkan di atas kertas terdengar cheesy dapat menjadi cerminan realita mengesankan bila diramu secara tepat. Diana (Raihaanun) sang titular character adalah ibu rumah tangga dengan satu orang putera yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Tampak dari situasi rumah, perabotan, serta pakaian yang ia kenakan bahwa Diana bukanlah orang kaya. Namun ia terlihat cukup bahagia menjalani rutinitas rumah tangga dan merawat sang anak dengan senyum tersungging di bibir. Saya pun langsung percaya bahwa Diana adalah seorang istri yang tak akan keberatan menantikan sang suami, Ari (Tanta Ginting) pulang kerja meski hinga larut malam. 
Sebuah adegan sederhana minim dramatisasi pula emosi tersaji saat Diana menyambut kepulangan Ari. Kesunyian malam hari, senyum simpul di wajah seorang istri menyambut kepulangan sang suami yang memunculkan tatapan lelah karena telah seharian mencari nafkah. Pemandangan ini jelas biasa kita temukan di kehidupan sehari-hari. Tapi kemudian Ari menunjukkan sebuah slide dari laptopnya pada Diana. Isinya amat mengejutkan. Sekilas nampak seperti presentasi kerja biasa, namun berisikan pembagian waktu dan materi untuk Diana dan seorang lagi istri. Ya, Ari yang baru saja pulang tanpa lupa membelikan pianika bagi puteranya itu sedang memaparkan niatannya untuk menikah lagi. Wajar bila Diana terkejut, sedih, marah. Tapi tiada luapan amarah penuh teriakan disana. Tidak ada pula tangisan membanjiri Diana layaknya sinetron-sinetron di layar kaca atau film romansa rasa opera sabun yang sering jadi idola masyarakat. Sunyi. Saya pun hanya diam. Tapi dibalik kediaman itu ada berbagai rasa bergejolak. Saya yakin itu pula yang dirasakan Diana.

Bagaimana Kamila Andini menjadikan Sendiri Diana Sendiri tidak terjerumus ke ranah dramatisasi memuakkan? Semua karena ia memahami, bahwa emosi tak dapat ditakar hanya dengan memperhatikan tampak luar. Justru kediaman yang menyembunyikan gejolak itu jauh lebih mencengkeram. Tanpa harus dipertunjukkan secara gamblang, kita tetap mengetahui bagaimana perasaan Diana, bahkan bersimpati. Terciptalah drama melankoli secara esensi yang tidak dipaparkan secara melankoli. Begitulah sajian berkelas. Pastinya tidak hanya kecermatan Andini yang bermain. Tanpa akting kuat Raihaanun, sutradara sehebat apapun bakal kerepotan untuk sampai pada pencapaian tersebut. 
Sang aktris berhasil menyuguhkan penampilan emosional namun secara subtil. Entah melalui tatapan mata, perubahan raut wajah kecil, hingga business act seperti sebuah cengkeraman yang mampu membuat penonton secara tak sadar terhisap menuju kedalaman emosinya. Hanya sekali tangisan ia ledakkan, yakni saat terjadi pembicaraan dengan Ari mengenai pernikahan keduanya di dalam kamar. Itupun tidak ia munculkan dengan berlebih. Dia "hanya" mengajukan beberapa pertanyaan, yang tiap jawabannya makin menghancurkan hati Diana. Setiap progres kehancuran itulah tangisnya setahap demi setahap mulai pecah. Bukan tangis murahan meminta belas kasih penonton, melainkan murni tangis kesedihan seorang wanita yang tersakiti. 

Di samping itu, saya pun makin yakin bahwa Raihanuun merupakan salah satu aktris negeri ini yang paling mampu bertransformasi menjadi sosok wanita dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Lihat bagaimana ia menaiki tangga untuk membetulkan lampu, bagaimana ia menjemur pakaian, bahkan mengendarai motor. Hal-hal sederhana, tapi begitu sering saya mendapati aktris lain seolah ragu melakukan kegiatan-kegiatan "susah" semacam itu. Contoh lain untuk pernyataan ini coba tengok akting Raihaanun di Lovely Man. Tidak ada sedetikpun waktu anda akan melihat sosok seorang selebriti papan atas dalam peran-perannya.
Untuk makin mendekatkan penonton pada Diana, Andini pun sebanyak mungkin memberikan fokus kamera pada sang karakter. Saat terjadi pembicaraan sengit dengan keluarga Ari misalkan, hanya Diana yang nampak. Kita baru berkesempatan melihat anggota keluarga lain saat pembicaraan telah usai. Berkat itu keintiman antara penonton dengan Diana tercipta. Progresi emosi Raihanuun dapat kita perhatikan secara mendetail. Begitu pula untuk sisi kesendirian Diana. Seperti judulnya, Diana memang sendiri. Secara visual, Andini sering menempatkan karakternya di tengah kesendirian, dimanapun dan kapanpun itu. Secara lebih dalam lagi, Diana makin sendiri dikala kerabat-kerabatnya entah ibu kandung maupun mertua bagai tidak memberikan dukungan. Tentu ada rasa iba, tapi dukungan nyata yang dibutuhkan (atau diharapkan) Diana adalah tentangan terhadap keputusan Ari berpoligami. Itu tidak ia dapatkan. Diana makin sendiri, dan saya pun ikut terhanyut dalam kesendirian yang memikat tersebut.

Sisi religiusitas turut disinggung oleh film ini. Ibu dari Diana kecewa dengan keputusan Ari, tapi menyarankan puterinya untuk bertahan dengan alasan berdosa jika bercerai disaat sang imam kehilangan arah. Orang tua Ari pun serupa. Begitu adzan berkumandang, sang ayah memilih pergi untuk menjalankan solat. Dia menyatakan ketidaksetujuan, tapi tak pernah secara frontal memberikan larangan. Ari juga tergambar sebagai pria yang taat beribadah. Dari hal kecil seperti salam yang tak pernah lupa ia ucapkan, hingga kritikannya kepada cara berpakaian sang istri saat nongkrong bersama teman kantornya. Padahal Diana memakai pakaian yang sopan. Disisi lain, istri kedua Ari adalah wanita berjilbab. Ari tak pernah mengungkapkan alasan pastinya berpoligami. Dia pun menyangkal terjadi masalah dengan sang istri. Mungkinkah ia merasa Diana kurang muslimah? Kamila Andini tidak berusaha menjawab itu secara gamblang, karena film ini pun nampak sebagai pencariannya terhadap kebenaran di samping curahatan serta kritikan. 

Nampak luar, Sendiri Diana Sendiri hanyalah drama realis sederhana yang menonjolkan kekuatan seorang wanita di tengah kondisi paling rapuh sekalipun. Tapi dibalik itu, ada banyak hal tak nampak yang membuat saya begitu mudah jatuh cinta. Saya jatuh cinta pada emosi subtilnya. Saya jatuh cinta pada penampilan Raihaanun yang mampu mengeksplorasi emosi tanpa perlu meluapkan dengan berlebih. Saya jatuh cinta pada kesepian serta kesendirian yang dibangun atmosfernya. Bahkan dialog penutup saat Diana mengiyakan pertanyaan sang putera tentang bersama siapa ayahnya akan tinggal pun membuat saya jatuh cinta. 

2 komentar :

Comment Page:
Amatir dalam Hidup mengatakan...

pah kalau mau nonton film pendek itu cuman bisa pas ada eventnya doang ya? kalau aku mau nonton ini mesti tunggu next event kah berarti..? :(

Rasyidharry mengatakan...

Mayoritas film pendek dari sutradara yang "bernama" emang cuma diputer kalo ada event. Kalo "Sendiri Diana Sendiri" emang nunggu event sih.

Coba cek web buttonijo, mereka nyediain film-film keren mereka (pendek & panjang) kalo kamu mau bikin event pemutaran sendiri