DOPE (2015)

Tidak ada komentar
Film ini dibuka dengan tiga definisi dari kata "dope"; sebuah narkoba, orang bodoh, dan istilah slang yang bersinonim dengan "keren". Rick Famuyiwa yang berposisi sebagai sutradara sekaligus penulis naskah memang meniati filmnya dipenuhi ketiga hal tersebut. Erat kaitannya dengan narkoba, disaat tiga remaja geek yang kerap di-bully, Malcolm (Shameik Moore), Jib (Tony Revolori) dan Diggy (Kiersey Clemons) harus berurusan dengan seorang pengedar narkoba bernama Dom (A$AP Rocky). Mereka bertiga (dan beberapa karakter lain) juga adalah orang bodoh yang banyak melakukan tindakan diluar nalar. Lalu bagian mana yang mewakili definisi "dope" sebagai suatu hal keren? Rick Famuyiwa mungkin berharap sinematografi cerah, kisah absurd yang berjalan cepat plus editing cepatnya, atau langkah yang ditempuh tiga tokoh utama untuk mengatasi segala kekacauan bakal membuat penonton berujar "dooope!". Tapi tidak untuk saya.

Pada awalnya "Dope" terasa sebagai satir terhadap stereotip bagi remaja kulit hitam yang tinggal di daerah sumber kriminalitas. Malcolm tinggal di daerah suburban yang disebut "The Bottom", karena sedikit saja mengalami kesialan, seseorang bisa kehilangan nyawa. Belum lagi bertebarannya para pengedar narkoba di tiap sudut jalan. Maka banyak pihak memandang sebelah mata ambisi Malcolm untuk dapat berkuliah di Harvard. Bahkan konselor di sekolahnya pun menganggap Malcolm arogan karena berani bermimpi setinggi itu. Jadi film ini merupakan kisah "from zero to hero" saat protagonisnya mampu mengatasi berbagai macam rintangan untuk menggapai cita-cita setinggi langit bukan? Well, sort of. Alurnya memang bergerak kesana, tapi Famuyiwa tidak mau menempuh jalan aman yang lurus. Kenapa? Supaya penonton bisa berujar "dooope!" saat menonton film ini tentunya.
Secara teknis filmnya harus diakui memang keren. Dandanan karakter utama yang terobsesi akan kultur hip-hop 90-an bersinergi dengan visual cerahnya yang penuh warna. Sama halnya dengan iringan lagu menghentak penuh energi juga alur dinamis berisikan editing secepat kilat yang terkedang bermain-main menggunakan momen flashback. Rick Famuyiwa sengaja mengemas "Dope" menjadi tontonan energik yang memiliki kekacauan tidak hanya di dalam alur tapi juga cara bertutur. Kekacauan tersebut memang disengaja dan mampu mewakili kegilaan yang harus dialami Malcolm, Jib dan Diggy. Namun karena ini pula filmnya berakhir tidak lebih dari kesenangan sesaat, sama seperti "Lily" yang dijual oleh karakternya. Begitu aspek kriminal menjalar masuk, plot-nya bergerak semakin gila, rumit dan twisty
Famuyiwa ingin membuat "Dope" lebih pintar, lebih kompleks dari kebanyakan film bertemakan ras dan mimpi. Masalahnya, terlalu banyak kebodohan di tengah usahanya menjadi pintar itu. Salah satu yang paling mengganggu adalah begitu seringnya muncul unsur "kebetulan" guna mengaitkan satu karakter dengan karakter lain. Semua karakter saling berkaitan entah meski harus dihubungkan lewat cara yang kelewat dipaksakan. Sebagai kegilaan menyenangkan film ini berhasil, tapi kompleksitas tidak berbanding lurus dengan kecerdasan tontonan. Tidak pula saat Famuyiwa menyuntikkan sisi kultural modern dunia internet lewat kehadiran "bitcoin". "Dope" terlalu berantakan dan bodoh untuk menjadi tontonan pintar, tapi disisi lain terlalu rumit untuk sekedar menjadi hiburan bodoh yang tak mementingkan nalar.

Tingkat keberhasilan komedinya pun 50/50, sama rata antara yang hit dengan miss. Lelucon yang kurang berhasil ada yang karena simply unfunny, namun ada pula yang terbentur oleh kultural, sehingga bagi saya tidak terasa lucu. Terdapat pesan yang berpotensi (for lack of better word) "inspiratif". Sayang, pesan itu ditenggelamkan oleh absurditas alurnya. Lagipula bagian mana yang inspiratif dari keberhasilan yang didapat melalui tindak kriminal? Jika ini adalah usaha Rick Famuyiwa untuk menghantarkan satir, garis yang ia gambar sebagai pemisah dengan "keseriusan" terlalu buram. Gagal menjadi tontonan yang lebih dalam, saya masih mengapresiasi "Dope" sebagai sajian menghibur penuh kegilaan menyenangkan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: