NGENEST (2015)

3 komentar
Semakin hari, isu SARA termasuk rasial terasa lebih sensitif dari sebelumnya. Bukan karena makin banyak orang intoleran (still a lot, though) tapi justru disebabkan bertambah mudahnya para "korban" tersinggung oleh hal tersebut. Memanggil seseorang sebagai "Cina" dapat membuat anda dituding rasis, sehingga masyarakat dihimbau menggunakan kata "Tionghoa". Bukan maksud membenarkan tindakan rasisme, tapi harus diakui orang-orang jadi semakin gampang tersinggung menyikapi itu, seolah tiap sisi kehidupan harus dipandang teramat serius. Lalu muncul Ernest Prakasa dengan segala materi komedi self-mocking membuat film adaptasi buku trilogi "Ngenest" garapannya yang mengusung tagline "Kadang hidup perlu ditertawakan". Menarik, cerdas, berani. Bahkan andai hasilnya mengecewakan sekalipun, "Ngenest" adalah tipikal film yang wajib diapresiasi berkat keberaniannya.

"Ngenest" adalah sajian semi-biografi tentang hidup Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) yang sejak kecil kerap menjadi korban bullying akibat statusnya sebagai keturunan etnis Cina. Beruntung ia mempunyai sahabat sesama Cina bernama Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey) yang setia menemani dan memberikan bantuan. Ernest tidak tinggal diam. Berbagai cara ia tempuh untuk keluar dari penindasan itu, termasuk mencoba menjalin pertemanan dengan mereka yang mem-bully dirinya. Semua usaha itu gagal, hingga timbul kekhawatiran jika anaknya kelak akan mendapat perlakuan serupa. Berawal dari rasa khawatir itu, Ernest memutuskan untuk mencari istri orang pribumi demi "memperbaiki" keturunan. Hingga sewaktu berkuliah, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela) yang sempurna memenuhi kriterianya; wanita pribumi, cantik, berkulit sawo matang. Tapi rasa takut Ernest tentang nasib sang anak nyatanya tak semudah itu sirna.
Film ini menjadi debut penyutradaraan sekaligus penulisan naskah bagi Ernest, sehingga wajar timbul keraguan. Bisakah ia menciptakan koherensi alur ketika di atas panggung stand-up comedy poin demi poin dituturkan secara melompat-lompat dan tak jarang berisi lelucon absurd? Tapi yang paling penting bisakah Ernest tetap menyuarakan kritik mendalam tanpa harus terdistraksi komedi? Secara mengejutkan, ia mampu melakukan semua itu. Alur cerita nyaman diikuti karena menciptakan satu kesatuan utuh, bukan kumpulan sketsa yang dipaksakan menjadi satu (penyakit banyak komedi). Tiap fase mulai dari Ernest kecil, remaja hingga dewasa punya permasalahan sendiri. Ketika masih SD hingga SMP permasalahan berupa sering diejek dan dipalak, ketika remaja mencari pacar, dan begitu dewasa seputaran anak. Penuturannya rapih dan bertahap. Jokes yang dilontarkan pun berhasil menyesuaikan dengan kondisi pada tiap fase. 

Beberapa lelucon membawa situasi absurd penuh kekonyolan semau sendiri. Tapi karena bersinkronisasi baik dengan cerita dan memperhatikan timing, saya bisa menerima semua itu untuk tertawa lepas tanpa harus garuk-garuk kepala akibat absurditas bertebaran. Tentu saja Ernest mengajak teman-temannya para komika untuk turut ambil bagian dalam porsi peranan bervariasi. Ada yang muncul beberapa kali seperti Ge Pamungkas, tapi ada pula yang hanya sambil lalu macam Arie Keriting. Hebatnya mereka semua mampu mencuri perhatian, selalu berhasil menimbulkan gelak tawa dalam tiap kemunculan. Kuncinya adalah pemahaman. Sebagai sesama komika, Ernest tahu cara memaksimalkan potensi kawan-kawannya. Dia juga tidak memaksakan kuasa selaku sutradara sekaligus penulis naskah untuk terlalu banyak memaksakan menullis lelucon yang tak sesuai dengan ciri mereka. Di akhir film ada behind the scene yang terlihat menyenangkan. Semua cast bersenang-senang tanpa ada beban, berujung pada aliran komedi alamiah. Sudah banyak film menampilkan para komika, tapi sejauh ini "Ngenest" yang paling berhasil memanfaatkan potensi mereka.
Jajaran cast non-komika juga berhasil memukau. Morgan Oey membuktikan keputusannya menaruh fokus pada akting sebagai langkah tepat. Ketika "Assalamualaikum Beijing" menjadi bukti kapasitas drama, maka "Ngenest" menjadi tempat Morgan mengeksplorasi sisi komediknya tanpa kehilangan kesan charming. Mampukah anda membayangkan ia bicara tentang tokai saat menjadi personil SMASH? Tentu tidak. Pelontaran jokes-nya halus, tidak memaksakan diri menjadi lucu tapi karena itulah sosoknya mampu menghadirkan kelucuan. Berkat penulisan cermat Ernest pula karakter Patrick bukan sekedar sidekick tanpa peran. Kehadirannya esensial dalam cerita, memberi sumbangsih besar menciptakan hubungan pertemanan hangat antar-karakter. Sedangkan Lala Karmela memberi kejutan besar ketika mampu menangani momen dramatik dan komedik sama baiknya. Liht bagaimana ia memainkan ekspresi dalam adegan yang melibatkan "bajaj" dan kegelisahan Meira akan sikap Ernest yang ragu untuk mempunyai anak sebagai contoh. 

Ernest memperlihatkan kepekaannya terhadap hal-hal sederhana dalam keseharian, lalu mereka ulangnya menjadi adegan yang menggelitik. Hubungan Ernest dan Meira pun terasa romantis berkat kepekaan ini. Filmnya tidak harus berpuitis ria untuk itu. Penonton yang pernah berpacaran pasti tahu kebahagiaan saat akhirnya bisa mereferensikan diri sebagai pacar seseorang untuk pertama kali. Itu hal sederhana, tapi amat berkesan. "Ngenest" mampu membangun banyak momentum berkesan hasil peristiwa sederhana macam itu. Sebagaimana komika cerdas harusnya bertutur, Ernest piawai menyulap hal remeh temeh jadi menggelitik sembari membangun kritik. Mulai dari adat pernikahan Cina yang seolah mengharuskan semua aspek bernuansa Cina sampai kebiasaan mengomentari karangan bunga ucapan selamat tak luput dari sasaran tembak. "Ngenest" bukan usaha memberi pesan moral (sok) suci. Sederhana saja, lewat film ini Ernest mengajak semua orang (mayoritas dan minoritas) untuk lebih santai bersikap, tak segan mentertawakan hidup sambil menyelipkan curhatan personal. Karena lewat tawa hidup lebih menyenangkan. Sebuah komedi romantis lucu pula manis berisi kecerdasan menyuarakan kritik sosial.

3 komentar :

Comment Page:
Alvi mengatakan...

setelah poin-poin positif diatas, kok ratingnya cuma lumayan gan?

Rasyidharry mengatakan...

Well, masalah personal taste aja. Sering sebuah film isinya mayoritas positif, tapi ada keengganan buat ngasih rating lebih. Jadi secara universal, rating 3.5-4.5 itu recommended. Pembedanya cuma di ranah selera. Kalau 5, artinya sempurna secara dua sisi

Mimi Hamada mengatakan...

Ernes emank Comic paling sukses.. selalu suka joke2nya yang pintar.. nyindirnya kena banget tapi orang gak bisa marah... w sih ratingnya 5 hehehehe...

===============================================================

Tanpa janji-janji palsu, bonus menarik dan cashback hingga jutaan rupiah.

Buktikan sendiri kalau kami Bandar Taruhan Bola Terbaik yang pernah anda temui...

Untuk info lebih jelasnya silahkan hubungi kami di:
Ym: cs1_skorbet99@yahoo.com; cs2_skorbet99@yahoo.com; cs3_skorbet99@yahoo.com

Pin bb: 2A84CB8A
Line id: skorbet99
Sms: +66929391685

Terima Kasih