BIG (1988)

1 komentar
Saat masih kecil (sekitar usia SD atau SMP) saya begitu ingin cepat beranjak dewasa. Keinginan yang didasari oleh pemikiran bahwa orang dewasa bisa melakukan banyak hal yang anak kecil tidak bisa/boleh lakukan. Saat itu sebagai anak-anak saya merasa orang dewasa punya kebebasan lebih untuk melakukan yang mereka mau. Banyak hal terbayang dalam pikiran termasuk salah satunya tentang kehidupan percintaan. Big dari Penny Marshall menempatkan karakter utamanya dalam situasi serupa. Josh Baskin (David Moscow) adalah bocah berusia 12 tahun yang mendapati rasa ketidakpuasan terhadap sosoknya sebagai anak kecil. Josh tidak bisa dengan mudah mendekati seorang gadis yang lebih tua, bahkan untuk menaiki sebuah wahana pasar malam saja tinggi badannya tidak sampai. Kita tahu perasaan kesan yang dialami Josh. Rasa kesal karena merasa tak berdaya, bahkan tidak dianggap sebagai anak kecil. 

Josh yang kesal tiba-tiba tertuju perhatiannya pada sebuah arcade machine tua bernama "Zoltar". Begitu memasukkan koin, Josh diminta menyebutkan satu permintaan yang ia respon dengan meminta supaya menjadi "besar". "Zoltar" yang beroperasi dengan cukup creepy kemudian mengeluarkan kartu yang menyatakan permintaan Josh telah terkabul. Meski tidak terjadi apapun, Josh menyadari ada yang aneh saat mengetahui mesin tersebut sama sekali tidak dicolokkan. Tapi begitu terbangun di pagi hari alangkah terkejutnya Josh saat ia telah berubah menjadi seorang pria dewasa (Tom Hanks). Sekilas akan terasa tidak masuk akal melihat seorang anak kecil bisa berubah menjadi orang dewasa hanya karena membuat permintaan pada sebuah mesin arcade. Tapi unsur fantasi diluar nalar itu justru amat sesuai dengan sisi imajinasi seorang anak kecil. Daya imaji yang lebih luas dan bebas milik mereka seolah memang mampu membuat hal mustahil menjadi kenyataan. 
Big memang kental dengan momen perbandingan antara pola pikir anak-anak dengan orang dewasa. Gary Ross dan Anne Spielberg mengeksplorasi hal tersebut dalam naskah yang mereka tulis. Orang pertama yang ditemui Josh untuk menceritakan kondisinya itu adalah sang ibu (Mercedes Ruehl), tapi respon yang didapat tidak sesuai dengan harapan. Meski Josh menuturkan segalanya termasuk hal-hal rahasia yang hanya diketahui oleh mereka, sang ibu tetap tidak mendengar bahkan menganggap Josh dewasa sebagai penyusup yang datang untuk merampok. Tapi begitu ia menemui Billy (Jared Rushton), sahabatnya itu justru percaya dengan cerita Josh. Meski awalnya ketakutan, Billy akhirnya percaya setelah Josh menyanyikan lagu yang biasa mereka berdua nyanyikan. Film ini memperlihatkan bagaimana orang dewasa mengedepankan logika, mengeliminasi hal-hal fantasi yang ada di luar nalar dalam mencerna sebuah informasi. Otak lebih sering mendominasi dibandingkan hati. Karena itulah meski statusnya adalah seorang ibu, sulit untuk mempercayai kondisi Josh. Sedangkan anak-anak yang lebih "liar" cenderung sebaliknya.

Hal serupa juga terjadi pada saat Josh harus bekerja di perusahaan mainan milik MacMillan (Robert Loggia), sembari menunggu hasil pencarian tentang keberadaan mesin "Zoltar" yang entah dimana menemukan hasil. Berbagai produk perusahaan tersebut mengalami penurunan omset meski menurut Paul Davenport (John Heard), pembuatan produk telah menuruti apa yang ditunjukkan oleh hasil survey pasar. Tapi Josh dengan pola pikirnya sebagai anak-anak memberikan sudut pandang berbeda, persis seperti yang diinginkan MacMillan, bahwa minat anak-anak tidak bisa diukur hanya dengan data dan angka. Klise sesungguhnya, tapi saya dengan mudah terbawa dalam konflik tersebut berkat penghantaran sosok Josh yang begitu murni, begitu polos dan selalu bersenang-senang di tengah lingkungan kantor yang dipenuhi kekakuan pikir dan mengesampingkan hati. Akting Tom Hanks berperan besar dalam keberhasilan tersebut. Mungkin yang Hanks tampilkan tidak lebih dari sebuah impression seorang dewasa terhadap karakter anak kecil. Terkadang daripada polos Josh dewasa nampak bodoh, mengingatkan pada karakter Forrest Gump. Tapi Hanks yang begitu energik, lucu, dan selalu terlihat bersenang-senang membuat penonton mudah menyukai sosok Josh.
Kemudian hadirlah hubungan antara Josh dengan Susan (Elizabeth Perkins) yang membawa sedikit membawa film ini menuju ranah coming-of-age. Josh mulai secara tidak sadar menjadi lebih dewasa setelah itu. Sekilas nampak dipaksakan tapi sesungguhnya amat realistis. Susan adalah pengalaman pertama Josh menjalin sebuah hubungan cinta. Apa yang terjadi pada anak di usia remaja awal saat pertama kali berpacaran atau jatuh cinta? Mereka akan bertingkah layaknya orang dewasa sampai meninggalkan segala "kekonyolan" masa kecil walau mungkin semua itu dilakukan hanya untuk sekedar "bergaya". Tapi entah terjadi secara sengaja atau tidak, perubahan itu pasti terjadi. 

Didasari oleh aspek tersebut, unsur romansa dalam Big jadi bukan sekedar tempelan, namun salah satu pondasi kuat untuk drama-nya. Bagi Josh, Susan adalah orang yang membawanya berangkat menuju proses pendewasaan. Sebaliknya, bagi Susan, Josh adalah pria yang bisa membangkitkan kembali kebahagiaan murni dalam suatu hubungan (bahkan hidupnya) yang selama ini sudah terlupakan. Masing-masing menemukan sesuatu, hingga hubungan mereka terasa lebih bermakna dan berujung pada ending mengharukan yang secara tersirat menyatakan "perpisahan bukan akhir segalanya, melainkan salah satu kepingan puzzle yang melengkapi perjalanan hidup seseorang."

Verdict: Big bukan komedi yang membuatmu terbahak-bahak, melainkan tersenyum lebar menikmati kebahagiaan dan kesenangan yang dipertunjukkan. Cukup cerdas serta imajinatif dalam mengeksplorasi inner anak-anak beserta pendewasaan yang dialami.

1 komentar :

Comment Page:

PITCH PERFECT 2 (2015)

4 komentar
Tiga tahun lalu Pitch Perfect membuka jalan bagi Hollywood untuk kembali mendatangkan timbunan uang lewat sajian musikal. Berbekal lagu-lagu radio hits yang dikemas dalam bentuk akapela, film ini menjadi sleeper hit. Pengaruhnya pun begitu kuat pada pop culture dengan begitu banyaknya orang yang meng-cover ulang lagu When I'm Gone dengan bermodalkan gelas plastik sebagai perkusi (even Kira Kazantsev won Miss America 2015 after performing "Happy" with cup as a percussion). Tapi harus disadari bahwa kesuksesan film pertamanya cukup banyak dipengaruhi oleh elemen kejutan yang dirasakan penonton. Saat itu mayoritas dari kita tidak menyangka akapela bisa menjadi sesuatu yang keren dan gelas bisa menjadi perkusi yang menghasilkan ritme menarik. Saat itu juga adalah kali pertama penonton berkenalan dengan anggota Barden Bellas yang memiliki karakterisasi berbeda-beda dengan keunikan masing-masing. Kita dikejutkan oleh semua hal "segar" itu.

Sebagai sekuel, akan percuma bagi Pitch Perfect 2 untuk mengulangi semua itu. Sayangnya hal itulah yang pada mayoritas bagian dilakukan oleh film ini. Tentu ceritanya sudah berbeda, dimana Barden Bellas kini semakin dikenal sebagai grup akapella paling populer di Amerika Serikat khususnya setelah tiga kali beruntun memenangkan lomba nasional. Bahkan mereka mendapat kesempatan tampil di Kennedy Center dalam rangka peringatan ulang tahun Presiden Obama. Namun kesempatan besar itu justru dapat menjadi awal kehancuran mereka setelah kecelakaan memalukan yang menimpa Fat Amy (Rebel Wilson). Akibatnya The Bellas mendapatkan skorsing dan menjadi bahan olok-olok masyarakat. Satu-satunya cara mendapatkan reputasi mereka kembali adalah dengan memenangkan kejuaran dunia akapela yang akan diadakan di Kopenhagen, Denmark. 
Dasar cerita dalam naskah tulisan Kay Cannon sebenarnya sudah bergerak ke arah yang tepat. Kompetisi lebih besar, konflik yang bukan lagi bertemakan "membangun" tapi "mempertahankan", hingga fakta bahwa anggota The Bellas akan segera lulus yang berarti kejuaraan dunia itu mungkin bakal menjadi penampilan terakhir mereka. Ketiganya menjadi formula yang sempurna untuk menggerakkan cerita kearah baru sekaligus modal untuk membangun kisah yang hangat, bahkan bisa jadi emosional. Meminjam istilah Fast & Furious bisa jadi ini merupakan one last ride bagi The Bellas. Tapi sungguh disayangkan kesemua aspek tersebut pada akhirnya tidak ada yang tersaji maksimal. Daripada melakukan eksplorasi kuat, Elizabeth Banks yang kali ini juga berperan sebagai sutradara lebih memilih menjadikan ceritanya sebagai jembatan untuk adegan musikal satu ke yang lain. Konflik tidak pernah benar-benar mencapai titik puncak, dan resolusi hadir begitu cepat lewat cara yang terkesan menggampangkan. Momen graduation dan perpisahan bisa jadi bagian paling emosional, tapi yang kita dapat hanya adegan singkat saat The Bellas berfoto bersama setelah sebelumnya menyanyikan lagu "When I'm Gone" bersama di depan api unggun.

Pitch Perfect 2 seolah melupakan penggalian karakter yang jadi kekuatan penting film pertamanya. Baik mereka yang mendapatkan sub-plot maupun para pemeran pembantu yang tugasnya menyegarkan suasana tidak lagi semenarik dulu. Mereka yang mendapat konflik personal menderita akibat permasalahan yang sama dengan cerita utama film, yakni tidak adanya penghantaran sekaligus resolusi konflik yang mumpuni. Beca (Anna Kendrick) memegang peran penting dalam perpeahan yang terjadi dalam The Bellas saat ia diam-diam magang di sebuah perusahaan rekaman. Tapi perselisihan nyata berkaitan akan hal itu hanya benar-benar terjadi satu kali, dan tidak sampai 10 menit kemudian kita sudah mendapat penyelesaian dengan cara yang amat menggampangkan. Fat Amy yang mendapat porsi romansa disini tidak lebih dari usaha memberikan lebih banyak screen time pada karakter favorit penonton. Sedangkan Emily (Hailee Steinfeld) si anggota baru mendapati tidak adanya ruang lagi bagi pengembangan sub-plot miliknya. Padahal Emily adalah karakter menarik: gadis cantik yang berbakat tapi clumsy dan mendapati impiannya bergabung dengan The Bellas tidak seindah angan-angan. Terlalu banyak yang coba diceritakan film ini hingga tidak ada satupun yang maksimal walau potensi tiap kisah begitu besar termasuk salah satunya "olok-olok" terhadap budaya cover akapela.
Saya juga dikecewakan oleh bagaimana para supporting character dihadirkan. Pada sosok mereka, faktor "kesegaran" yang diawal saya sebutkan benar-benar berpengaruh. Lily (Hana Mae Lee) dengan tingkah absurd yang menjurus creepy adalah karakter favorit saya di film pertama. Kali ini porsi eksploitasi kegilaannya bertambah secara kuantitas tapi menurun secara kualitas. Masih ada beberapa adegan yang mengundang tawa, tapi efek kejut yang telah menurun jelas amat berpengaruh. Ditambah lagi Eliabeth Banks nampak kurang mampu memaksimalkan sosok Lily. Now she's just weird but not hillarious, and I missed her beatbox performance. Stacie (Alexis Knapp) lebih parah lagi. Setelah pembuka yang cukup efektif (that "I'll do whoever" joke) karakternya nyaris menghilang dari peredaran. Hanya Flo (Chrissie Fit) sang imigran dari Guatemala lewat cerita-cerita sedihnya (baca: ekstrim) yang cukup berhasil dimaksimalkan. Permasalahan karakter ini berujung fatal, karena disaat konfliknya membahas tentang kebersamaan, penonton justru tidak lagi terlalu terikat dengan mereka semua, baik secara individu maupun satu kesatuan Barden Bellas.

Tapi biar bagaimanapun Pitch Perfect 2 adalah komedi musikal, dengan aspek musikal sebagai faktor yang lebih dititik beratkan. Meski lagi-lagi tidak sekuat film pertamanya, momen-momen musikal yang dimiliki film ini masih terasa menyenangkan. Saya masih beberapa kali dibuat ingin berdiri, menghentakkan kaki, ikut bernyanyi dan menari menikmati rangkaian lagu yang dibawakan. Puncaknya adalah pada klimaks kejuaraan dunia yang menjadi pertarungan antara The Bellas dengan grup akapela dari Jerman, "Das Sound Machine". Tidak hanya antara keduanya, klimaks itu juga menjadi gambaran sempurna pertarungan antara kesempurnaan teknik dengan kesederhanaan yang menggunakan hati. Sepanjang film, The Bellas disibukkan dengan berbagai koreografi dan gimmick unik yang pada akhirnya justru merugikan mereka. Pada kejuaraan inilah mereka menemukan kembali esensi harmoni The Bellas lewat sebuah nomor musikal yang meski baik secara teknis (opening clap-nya jelas diniati sebagai the next "cups song moment"), tapi performance dari hati yang terasa emosional itu adalah daya pikat utamanya. Setidaknya setelah rangkaian konflik yang kurang maksimal, film ini ditutup dengan klimaks hingga ending memuaskan.

Verdict: The aca-mazing climax and (mostly) crowd-pleasing musical numbers only help a little because of the lack of rich character moments that made the first movie such a joyful ride. Too many promising things mixed into this sequel but none of them were properly developed.


4 komentar :

Comment Page:

EX MACHINA (2015)

6 komentar
Begitu banyak film bertemakan artificial intelligence mulai dari yang berstatus masterpiece hingga sampah sekalipun. Dari begitu banyak kisah, tema yang diangkat biasanya ada di seputaran kemanusiaan serta kritik terhadap umat manusia sendiri. Kritik yang dikemukakan tidak akan jauh dari usaha manusia "bermain Tuhan". Sekilas Ex Machina juga menyinggung isu tersebut. Tapi apa yang membuat debut penyutradaraan Alex Garland ini menjadi spesial hingga mampu berdiri tegak diantara film-film bertemakan A.I. lain terletak pada caranya menempatkan kritikan. Segala hal dalam film ini pun terasa sederhana dan berskala kecil yang berujung pada selalu stabilnya Ex Machina berpijak pada realita. Tidak ada pabrik raksasa untuk membuat robot, karena setting film hanya berada di satu fasilitas riset terpencil milik Nathan Baterman (Oscar Isaac) yang dikemas begitu tertutup akan dunia luar. Nathan sendiri adalah CEO dari "Bluebook" yang merupakan search engine terbesar (their Google)

Kemudian ada Caleb (Domhnall Gleeson), seorang programer "Bluebook" yang beruntung memenangkan undian untuk berkunjung ke fasilitas milik bosnya itu selama satu minggu. Datang dengan antusiasme tinggi, Caleb dibuat kebingungan saat mengetahui tempat tersebut begitu terisolasi. Berada di tengah hutan, tidak memiliki jendela, dikelilingi tembok baja dan kunci elektronik yang tidak bisa dibuka jika listrik mati demi kemanaan, fasilitas itu memang persis seperti apa yang dikatakan Nathan: klaustrofobik. Caleb kebingungan, sedangkan kita para penonton bakal menyadari ada misteri yang tersembunyi disana, atau lebih tepatnya disembunyikan oleh Nathan. Sedari awal Garland sudah membangun rasa penasaran kita dengan cara yang efektif sekaligus elegan. Sebuah tempat misterius dengan pemilik yang juga misterius memang menimbulkan tanya. Tapi cukup dengan itu saja. Tidak ada pengalih perhatian yang sifatnya menipu atau tease demi tease tidak perlu. Semua mengalir pelan tapi pasti, menyibak fakta satu per satu.
Belum lama datang, Caleb sudah diminta menandatangani surat perjanjian untuk menyimpan rahasia mengenai segala hal yang ia temui disitu. Rahasia yang harus ia jaga adalah kebersediaannya untuk berpartisipasi dalam "Turing Test", sebuah tes dimana seorang manusia dihadapkan dengan sebuah mesin/komputer. Apabila manusia itu tidak merasa tengah berinteraksi dengan komputer melainkan makhluk hidup, maka artificial intelligence itu dinyatakan berhasil. Dari sini babak utama Ex Machina dimulai. Sesi pertemuan pertama antara Caleb dengan Ava sang A.I. (Alicia Vikander) menjadi awalnya. Penonton berada di posisi yang mirip dengan Caleb. Kita diajak melakukan observasi pada sosok Ava, menilai apakah ia telah memiliki intelegensi yang setara dengan manusia, punya cara pikir yang serupa, bahkan mengamati apakah di dalam dirinya juga terdapat emosi. Tapi layaknya Caleb yang tidak sadar bahwa Nathan masih menyimpan sebuah rahasia, penonton juga tidak sadar bahwa Alex Garland tengah "mempermainkan" persepsi kita.
Sampai disini saya mengira Ex Machina sedang berusaha mengangkat hal umum yang juga selalu dibawa oleh film bertemakan A.I. dengan mempertanyakan sisi kemanusiaan sang robot, lalu membandingkannya dengan sosok manusia sungguhan. Hal tersebut dituturkan sembari menyajikan hubungan rumit sekaligus menarik antara Caleb dengan Ava. Seiring berjalannya waktu, rasa kagum Caleb perlahan berkembang menjadi ketertarikan yang lebih jauh. Dia mencintai Ava, bahkan dalam satu kesempatan membayangkan sedang berciuman dengan sang robot. Tiap malam pun ia habiskan untuk memandangi Ava lewat CCTV. Hal itu sendiri turut dipicu oleh sikap Ava yang terang-terangan menunjukkan perasaan yang sama terhadap Caleb. Selipan twisted romance dalam hubungan keduanya memang menarik dan menambahkan selipan atmosfer horror yang disturbing. Tapi seperti yang saya sebutkan, Alex Garland tengah mempermainkan kita (in a good way) dan menyiapkan kejutan tidak hanya dari segi plot namun juga esensi cerita.

Mengamati interaksi antara Caleb dengan Ava, penonton bakal dibuat bertanya-tanya, "apakah sungguh Ava mencintai Caleb? Ataukah itu hanya program dari Nathan?" Kita akan mendapat jawaban yang menurut saya adalah jawaban terbaik bagi pertanyaan tersebut. Saya keliru sempat mengira Alex Garland mencoba menghadirkan sisi humanis lewat cara yang manis. Garland menghadirkan jawabannya itu sekaligus untuk memantapkan status filmnya ini sebagai pemaparan realita terhadap sifat umat manusia. Kebanyakan film-film tentang A.I. memberikan konklusi dengan menunjukkan sang robot bisa menjadi lebih manusia dari manusia, atau dengan kata lain lebih baik. Ex Machina mengeksplorasi sisi humanis tersebut dengan cara lain lewat pendalaman sifat selfish dalam diri manusia. Manusia itu egois. Jadi apabila sebuah A.I. bisa menyerupai kita, bukankah sifat tersebut juga akan begitu kental dalam diri mereka? Keegoisan yang ditampilkan juga tidak muluk karena sifatnya begitu mendasar, begitu personal. Sama seperti Nathan yang menciptakan robot-robotnya mungkin tidak lebih hanya sebagai pemuas hasrat belaka.

Verdict: Stylish and atmospheric. Penggunaan efek komputer sederhana tapi efektif turut memperkuat realisme yang diusung secara konsisten oleh ceritanya.


6 komentar :

Comment Page:

DOEA TANDA CINTA (2015)

2 komentar
Saya menjadikan Doea Tanda Cinta sebagai contoh nyata mengenai dampak buruk peran industri yang mengharuskan sebuah film mengeruk keuntungan serta menjaring penonton sebanyak mungkin. Selain film ini entah sudah berapa banyak karya yang punya potensi besar mengeksplorasi banyak hal tapi demi mendapat lebih banyak penonton memilih untuk fokus atau memasukkan tema universal. Apalagi kalau bukan cinta. Sama sekali tidak ada maksud menyatakan diri saya membenci film romansa atau tontonan klise. Karena saya justru lebih mengapresiasi film yang mampu tampil memukau meski bermodalkan cerita klise. Namun film seperti Doea Tanda Cinta itu punya permasalahan berbeda. Ceritanya ber-setting di Akmil (Akademi Militer), dan dari apa yang saya lihat di layar film ini punya akses lebih untuk mengeksplorasi tiap sendi kehidupan para Taruna. Bermodalkan penggarapan yang jauh dari asal-asalan, ada potensi besar menjadikan film ini sebagai bahan eksplorasi mendalam.
Tapi permasalahan ada pada naskahnya yang digarap oleh empat penulis (Jujur Prananto, Hotnida Harahap, Hendra Yus, Satria Pringgodani). Paruh awal sebenarnya memberikan kesempatan untuk memperlihatkan pada penonton bagaimana isi latihan-latihan keras yang diterima oleh para Taruna tersebut. Hal ini penting karena nantinya Doea Tanda Cinta akan bergerak menuju kearah yang lebih emosional lewat percampuran kisah persahabatan dan romansa. Apabila filmnya mampu menampilkan dunia keras yang dijalani oleh karakternya, maka pesan yang coba disampaikan tentang "sekeras apapun tentara mereka tetap manusia biasa yang bisa jatuh cinta" akan lebih terasa membekas. Tapi yang dihadirkan hanya latihan fisik ala kadarnya atau bentakan demi bentakan yang tidak akan memberikan dampak berlebih pada mereka yang menerimanya. Selain itu tidak ada lagi. Para murid terlihat senang-senang saja tanpa ada pergolakan apapun. Tidak bisa disangkal interaksi antara mereka cukup menghibur dan sesekali memancing tawa. Tapi untuk drama yang berniat hadir emosional dan ber-setting di tempat "tidak biasa" film ini harusnya lebih dalam dari itu.
Saya makin menyayangkan kurangnya eksplorasi akan hal di atas karena pada paruh awalnya, film ini jauh lebih banyak berputar di kehidupan Taruna secara kolektif daripada personal. Baru setelah itu kita diajak melihat dimulainya persahabatan antara Mahesa (Rendy Kjaernett) dan Bagus (Fedi Nuril). Mahesa lebih punya banyak konflik di awal saat ia harus bersusah payah beradaptasi dengan kehidupan di Akmil. Latar belakangnya sebagai anak orang kaya sekaligus petinggi militer dari kota membuat Mahesa tersiksa dengan kehidupan disana yang ironisnya tidak nampak terlalu berat. Dari situ nampak bahwa penderitaan Mahesa yang sampai beberapa kali berniat kabur memang didasari karena sifat manja miliknya. Tapi jika benar seperti itu, semakin tidak masuk akal lagi disaat si anak manja ini bisa berubah sikap 180 derajat hanya karena sekali mendapat pertolongan. Setelah semua yang terjadi, ia bisa serta merta langsung berubah hanya karena itu? Sulit untuk saya terima. Belum lagi ditambah fakta perubahan itu juga digunakan sebagai pembuka jalinan persahabatan antara Mahesa dengan Bagus.

Penonton dipaksa bersimpati pada persahabatan mereka berdua yang dimulai dengan begitu terburu-buru. Memang sedari awal kita melihat Bagus sebagai satu-satunya teman yang setia memperhatikan Mahesa, dan pada akhirnya keduanya sama-sama berada di kesatuan angkatan darat. Tapi itu saja belum cukup. Jika bukan karena chemistry cukup kuat antara Rendy Kjaernett dengan Fedi Nuril ditambah dengan pembawaan menyenangkan dari nama yang disebut terakhir, kisah persahabatan film ini bukan hanya berakhir setengah matang tapi benar-benar kosong. Setidaknya berkat kedua aktornya, film ini punya modal cukup untuk melangkah menuju konflik berikutnya yakni cinta segitiga. Lalu hadirlah Laras (Tika Bravani), seorang gadis desa yang mampu membuat Bagus dan Mahesa jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya berharap hal itu bisa memercikkan api konflik diantara dua tokoh utamanya. Hal itu pula yang dijanjikan oleh film ini, setidaknya lewat beberapa materi promosi yang ada.
Tapi kesan dilematis yang diharapkan muncul akhirnya tak pernah ada. Ini memang kisah cinta segitiga tapi tanpa gejolak yang hadir dalam segitiga tersebut. Pada konflik romantika yang ada, Mahesa digambarkan sebagai pria yang terus memaksa Laras untuk menerima lamarannya. Bagai melupakan transformasi (terburu-buru) karakter Mahesa dari bocah manja yang semakin kuat, film ini kembali (dengan buru-buru pula) menjadikannya tentara manja yang terus memaksa diterima cintanya. Bagaimana dengan Bagus? Tentu sebagai sosok "baik-baik" dia memilih diam menjauh. Penonton pun dengan mudah lebih berpihak pada Bagus. Saya sendiri berulang kali mendengar penonton lain mengekspresikan kekecewaannya saat Bagus "kalah langkah". Pengemasan tersebut jelas melucuti konflik dilematis dalam persahabatan mereka. Alih-alih membuat penonton ikut merasakan dilema juga, kita justru diberikan pilihan sangat mudah untuk berpihak pada siapa. 

Doea Tanda Cinta melanjutkan langkahnya dengan sebuah klimaks yang lagi-lagi menjanjikan. Sebuah peperangan di tengah hutan antara TNI melawan gerakan separatis yang menjadikan seorang profesor sebagai sandera. Pada awalnya bagian ini dikemas begitu baik. Mulai dari penerjunan para tentara sampai saat mereka mendarat di tengah hutan yang sunyi terasa menegangkan. Production value serta penggarapan dari sutradara Rick Soerafani pun begitu baik, khususnya saat pertempuran mencapai puncaknya. Secara kualitas mungkin hanya setara dengan film-film aksi militer straight-to-DVD milik Hollywood, tapi level itu saja sudah memberikan rasa baru dalam kemasan film Indonesia saat ini. Gerak kameranya terkadang mengganggu tapi bisa dimaafkan. Sayangnya kegagalan menghadirkan drama kuat berujung pada terasa datarnya momen emosional yang sudah bisa ditebak akan hadir dalam pertempuran ini. Sempat ada momen menjanjikan saat Bagus terjun sendirian layaknya one-man army sebelum kembali berakhir antiklimaks.

Verdict: Well-made (khususnya klimaks) dan menghibur. Tapi apa gunanya semua itu jika gabungan kisah romansa, persahabatan, sampai lika-liku dunia akmil tersaji setengah matang? 

2 komentar :

Comment Page:

TOMORROWLAND (2015)

Tidak ada komentar
Film ini punya ambisi kuat untuk menjadi besar. Tidak saja dilihat dari bujetnya yang mencapai $190 juta ($280 juta jika ditambah biaya marketing), tapi juga materi promosi yang dipenuhi rahasia. Tomorrowland nampak seperti secret project yang siap menjadi salah satu blockbuster paling spektakuler tahun ini. Setelah menonton filmnya saya merasa ambisi tersebut juga kental terdapat dalam ceritanya. Naskah tulisan Damon Lindleof dan Brad Bird memasukkan beragam pokok bahasan seperti harapan, impian hingga berbagai kritik sosial. Berpadu dengan biaya mahal, tujuan film ini jelas: menciptakan sebuah tontonan yang tidak hanya megah serta indah dari segi visual tapi juga emosi. Filmnya dibuka dengan adegan Frank Walker (George Clooney) bicara kearah kamera sambil sesekali disela oleh suara Casey (Britt Robertson). Topik pembicaraan menunjukkan adegan ini sejatinya merupakan konklusi film, yang juga secara tidak langsung memberi tahu bahwa Tomorrowland akan berakhir bahagia.
Sebuah film yang dibuka dengan adegan seperti itu pastilah berfokus pada proses menuju ke ending daripada konklusinya yang sudah bisa ditebak. Tomorrowland juga seperti itu. Daripada mengajak penonton menebak-nebak akhir dari segala konflik, Brad Bird membawa kita menelusuri perjalanan karakter-karakternya menemukan makna harapan serta impian. Casey memang seorang gadis yang selalu memiliki harapan dan berpikir positif. Sifat yang sama juga dimiliki oleh Frank, setidaknya saat ia kecil dan mati-matian membuat sebuah jet-pack yang mengingatkan saya pada film The Rocketeer. Ditambah kejeniusan mereka, hal itulah yang membuat seorang gadis keci misterius bernama Athena (Raffey Cassidy) memberi sebuah pin pada keduanya. Bukan pin biasa, karena disaat memegang benda tersebut mereka bisa tiba-tiba berpindah ke sebuah tempat misterius yang diberi nama "Tomorrowland". 
Jadi seperti apa sesungguhnya "Tomorrowland" yang misterius ini? Tomorrowland baik sebagai judul film maupun nama tempat daam filmnya sama-sama menebar misteri pada penonton. Kita dibuat menanti-nanti keajaiban seperti apa yang akan hadir sebelum akhirnya dibuat kecewa karena baik tempat itu ataupun filmnya sendiri bukan hal yang spesial meski sama-sama dibuat dengan niatan baik. Kesan ironis terasa begitu kuat saat menonton film ini. Ceritanya berulang kali mengusung pesan untuk selalu berpikir positif, karena dengan itu setidaknya harapan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik bisa bertambah meski hanya sepersekian persen. Tapi hasil akhir filmnya sendiri membuktikan bahwa impian besar maupun berpikir positif saja tidak cukup. Jangan dulu membicarakan kualitas yang pasti akan berbeda-beda menurut tiap orang. Secara pendapatan, domestic opening yang hanya $41.7 juta merupakan suatu kegagalan. 

Ambisi untuk menyajikan jalinan kisah uplifting yang akan menggugah penontonnya lewat perjalanan penuh emosi positif pun pada akhirnya terasa datar. Tomorrowland terus menerus mengajak penonton menerima pesan yang terkandung untuk berpikir positif tanpa sekalipun berhasil membawa kita secara langsung merasakan emosi yang coba disampaikan. Film ini ibaratnya seorang guru yang menyampaikan materi pelajaran pada murid (baca: penonton) tapi hanya menjejalkan teori demi teori tanpa pernah melakukan praktek langsung. Para murid pun pada akhirnya hanya sebatas tahu, tapi tidak benar-benar memahami secara mendalam. Jangan salah, Brad Bird sesungguhnya telah berhasil memberikan petualangan yang cukup menyenangkan lewat film ini. Pengemasan dunia yang megah serta trio karakter utama yang mudah disukai khususnya Casey sang gadis jenius tapi sering bertingkah tolol (what?) merupakan "teman" perjalanan menyenangkan bagi penonton. Tapi dengan segala ambisi itu Tomorrowland seharusnya lebih dari sekedar film ringan yang menyenangkan. 
Tidak hanya kegagalan menyajikan emotional ride, film ini juga terbentur oleh ambisi lain berupa konsep-konsep tinggi yang sama sekali tidak berhasil direalisasikan. Penonton bakal berjumpa dengan banyak hal, mulai dari konsep dimensi paralel penuh rahasia-rahasia terselubung hingga mesin berteknologi canggih yang sanggup melakukan hal-hal tak terbayangkan. Tapi apa daya, Brad Bird nampak kewalahan "meladeni" hasrat besar seorang Damon Lindelof dalam naskahnya. Jika anda familiar dengan serial Lost yang juga ditulis Lindelof, pastinya anda juga akan familiar dengan high concept penuh unsur-unsur di dalamnya yang tidak kesemuanya dapat ditampilkan secara maksimal. Berbagai macam ide besar itu masih ditambah dengan keinginan menciptakan narasi penuh perasaan. Sebuah niatan yang bagus sesungguhnya, tapi terlalu berat untuk bisa ditangani oleh Brad Bird. Alhasil penuturan plot seringkali keteteran, terasa acak-acakan. 

Karakter-karakternya memang jadi salah satu penyelamat. Tidak ada akting luar biasa disini, tapi masing-masing pemain sanggup tampil dalam porsi yang cukup untuk membuat karakter mereka mudah disukai penonton. George Clooney cukup bermodalkan kharisma kuat berhasil membuat Frank sebagai pondasi. Tanpa kharisma Clooney, bisa saja filmnya turut melemah. Sedangkan Raffey Cassidy punya ekspresi datar yang sempurna sebagai droid canggih yang menyiratkan adanya emosi layaknya manusia dalam hati. Patut disayangkan kegagalan film ini memunculkan emosi kuat membuat sub-plot hubungan antara Frank dan Athena terlucuti potensinya. Padahal klimaks film diakhiri dengan konklusi yang menyoroti mereka daripada Casey. Britt Robertson sebagai Cassey sendiri sanggup menutupi kekurangannya dalam berekspresi (sering terasa seperti aktris sinetron) dengan penghantaran komedi memikat. Casey pun jadi mudah disukai, karena penonton (khususnya pria) mana yang tidak menyukai karakter gadis cantik tapi sering bertingkah lucu cenderung bodoh?

Verdict: Sebagai sebuah film tentang mimpi dan imajinasi dengan banyak konsep ide, Tomorrowland terlalu flat, terlalu ringan seperti animasi hiburan untuk anak-anak.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SPY (2015)

Tidak ada komentar
Setelah Kingsman: the Secret Service (review) yang menjadi salah satu parodi/tribute film espionage terbaik sepanjang masa, masihkah kita perlu mendapat film serupa tahun ini? Mungkin tidak. Hanya saja sebuah film yang membawa Melissa McCarthy ke hakikatnya sebagai leading actress memukau dalam film komedi tentu sayang untuk dilewatkan. Semenjak perannya dalam Bridesmaids-nya Paul Feig, McCarthy digadang-gadang sebagai the next big thing dalam dunia komedi. Hollywood-pun berusaha mati-matian mewujudkan hal tersebut meski mayoritas berujung kegagalan. Mungkin hanya The Heat (review) (juga disutradarai Feig) yang paling mendekati itu. Spy pun pada awalnya tidak tampak meyakinkan. McCarthy berperan sebagai Susan Cooper, karakter yang tidak lebih dari salah satu cara standar komedi Hollywood mengeksploitasi aktris berbadan gemuk. Susan adalah anggota CIA yang bekerja di belakang meja, dan tentunya dipandang sebelah mata. 

Tugas Susan adalah membantu Bradley Fine (Jude Law), seorang agen lapangan dengan cara memberikan info-info tentang keberadaan musuh atau perangkap di sekitarnya melalui earpiece. Saya sempat menyebut Kingsman diawal tulisan, tapi Spy sesungguhnya tampil berbeda. Film ini lebih merupakan straight comedy, dimana aksi para agen banyak diisi kekonyolan bahkan untuk agen serius macam Bradley Fine sekalipun. Bagi Susan sendiri, pekerjaan di balik meja tidak akan selamanya ia jalani. Kesempatan datang saat Fine terbunuh dalam suatu misi. Didorong oleh rasa cintanya ada Fine dan kebutuhan CIA akan seorang agen yang identitasnya masih belum diketahui oleh pihak musuh, Susan pun dikirim untuk terjun dalam misi lapangan pertamanya. Tugasnya sederhana: melacak keberadaan pemilik nuklir bernama Rayna (Rose Byrne) lalu melaporkannya pada atasan. Tapi seperti yang sudah kita tahu Susan tidak akan diam begitu saja menuruti perintah tersebut.
Sebagai sebuah komedi, Paul Feig nampak tidak ingin naskahnya tampak terlalu bodoh. Karena itu sebelum penonton dibuat terganggu dan mempertanyakan bagaimana Susan yang selama ini hanya "aktor di balik layar" bisa menjadi agen lapangan tangguh, Feig memberikan latar belakang pada karakter ini. Susan diceritakan telah menunjukkan bakatnya dalam perkelahian tangan kosong maupun penggunaan senjata. Hanya saja selama ini fakta itu ia sembunyikan. Masih terdengar bodoh memang, tapi setidaknya disaat Susan sanggup menghajar para penjahat, mengendarai pesawat, atau memacu motor di tengah keramaian kota, penonton bisa menerima dan menyangkal pertanyaan di kepala mereka dengan bergumam "kan dia sebenarnya terlatih." Mengikuti cerita yang ditulis Feig dalam film ini pun rasanya percuma saja. Daripada menjelaskan ceritanya dengan cara bertutur yang baik, Feig memilih menjelaskan alur rumit penuh konspirasi dan tetek bengek espionage-nya lewat rangkaian dialog panjang nan bebelit dari beberapa karakter macam Rayna atau pimpinan CIA, Elaine (Allison Janney) saat sedang menjelaskan misi pada anak buahnya. Semua penjelasan tersebut memang hanya excuse supaya rangkaian komedinya memiliki cerita sebagai benang merah.
Tapi komedi tak ubahnya horor. Seburuk apapun ceritanya, jika esensi dari genre tersebut hadir dengan baik, artinya film itu bagus. Tentu saja esensi komedi adalah menyuguhkan kelucuan, dan Spy berhasil memberikan itu. Disaat banyak komedi hanya mengeksploitasi fisik McCarthy dengan membuatnya melakukan hal sebodoh mungkin atau bertindak semenyebalkan mungkin, Feig memberikan sesuatu yang pantas didapat sang aktris. Rangkaian momen komedi dengan timing sempurna, penuh kegilaan yang datang tiba-tiba seperti ledakan muntahan Susan terbukti sempurna mengakomodir gaya all-out McCarthy. Bakat terbesar Melissa McCarthy adalah kebersediaannya melakoni adegan komedik yang gila dan tidak jarang menjijikkan, (ingat adegan buang air besar di Bridesmaids?) dan untuk memaksimalkan itu tidak cukup dengan hanya melemparkan kebodohan demi kebodohan secara asal. Paul Feig menyadari hal tersebut dan kembali pada formula yang ia pakai pada Bridesmaids. Hal itu juga berarti memberikan McCarthy karakter yang mudah dicintai penonton. Susan Cooper yang sesungguhnya kompeten sebagai agen lapangan dan nekat membahayakan dirinya demi membalaskan kematian pria yang dicintai jelas sudah cukup membuat penonton menyukai sosoknya.

Akhirnya Melissa McCarthy bersinar sebagai leading lady, tapi bukan berarti karakter lain terpinggirkan. Jason Statham dan Rose Byrne juga mendapatkan spotlight mereka sendiri. Seperti McCarthy, Byrne pun terbantu berkat pengetahuan Feig akan gaya komedi yang cocok dengannya. Seperti karakter Rayna disini, kekuatan Byrne adalah menghidupkan sosok wanita cantik yang sekilas nampak anggun dan elegan sebelum kemudian melakukan atau tertimpa hal-hal bodoh. Siapa tidak suka wanita cantik yang tampil gila mengesampingkan image? Tapi penonton lebih menyukai saat seorang aktor tampil dalam peran yang jauh berbeda dengan tipikalnya selama ini. Ditambah lagi jika sang aktor bersedia mengolok-olok typecast tersebut. Jason Statham melakukan itu disini. Rick Ford yang ia perankan adalah agen CIA yang doyan mengumbar kehebatannya melakukan hal mustahil saat menjalankan misi, sama seperti tipikal karakter yang selama ini dimainkan Statham. Tapi pada kenyataannya ia justru lebih sering melakukan kebodohan saat beraksi. Sangat menyenangkan melihat seorang Jason Statham bersedia "mengolok-olok" dirinya sendiri seperti itu. Titik lemah hanya ada di karakter Nancy (Miranda Hart) yang leluconnya lebih sering miss dalam menghadirkan tawa. 

Verdict: Lebih berfokus pada eksplorasi karakter melalui bakat komedi tiap-tiap pemainnya daripada asal tampil bodoh, memberikan Spy begitu banyak kelucuan maksimum. Akhirnya Melissa McCarthy mendapatkan film yang layak, dan Statham menemukan alternatif baru untuk memperpanjang usia karirnya sebagai A-list actor.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

KOMPILASI PEMENANG XXI SHORT FILM FESTIVAL 2015

2 komentar
Berikut ini adalah review singkat saya untuk 10 pemenang "XXI Short Film Festival 2015" yang kompilasinya baru saja diputar tanggal 20 Mei ini di Yogyakarta. Kapan lagi bisa menonton film-film pendek di layar lebar bukan? Apalagi semuanya hasil karya sineas lokal yang diharapkan bisa memberikan masa depan cerah bagi dunia perfilman Indonesia. Tidak semuanya memuaskan memang, tapi dibandingkan berbagai acara lain yang memutar kompilasi film pendek di Yogyakarta akhir-akhir ini, kompilasi dari XXI ini jelas terasa spesial mulai dari kualitas sampai keberagaman genre yang diusung.

A WEEK WITH HERU
Sutradara: Made Dimas Wirawan (Yogyakarta)
Penghargaan: Film Pendek Animasi Pilihan Juri Media
Pembuka yang menaikkan mood. Seperti judulnya, film ini membawa penonton pada satu minggu dalam hidup karakter Heru yang dibagi dalam tujuh segmen, dimana tiap segmen menggambarkan kejadian per-hari. Tapi semua itu tidak lewat cara serius. A Week with Heru ibarat campuran antara Happy Tree Friends versi lebih "lembut" dengan komedi ala Sketsa. Kelucuan hadir lewat twist absurd penuh kebodohan karakternya. Bergerak cepat, mengakhiri setiap segmen tepat pada saat punch line komedi terbukti sukses menghadirkan tawa tanpa henti. Aneh, gila, bodoh, tapi sangat menghibur.


O5:55
Sutradara: Tiara Kristiningtyas (Yogyakarta)
Penghargaan: Film Pendek Fiksi Pilihan Juri Media
Sekitar 10 menit awal durasi film memperlihatkan keseharian warga Bantul. Kesan damai dan tentram hadir lewat kesederhanaan mereka. Sebagai sajian eksperimental 10 menit awal itu amat menarik. Saya suka sajian realis yang layaknya dokumentasi hidup sehari-hari. Tapi sisa 2 menit terakhir yang memperlihatkan wajah serta tujuan asli film ini justru merusak semuanya. Gemuruh serta narasi hadir tepat setelah tangisan seorang bayi. Mungkin tujuannya untuk membuat penonton merasakan ironi dari tragedi, disaat bencana bisa datang tiba-tiba, menghancurkan kedamaian yang ada. Penonton diharapkan bisa terhenyak mendapati fakta tragis setelah menghabiskan 10 menit menikmati ketentraman. Tapi bagi saya konklusinya seperti bentuk kemalasan. Rasanya hampa. Konsep unik dan baru memang tidak selalu berhasil.


HARI YANG LAIN UNTUK BAKKA' SENDANA
Sutradara: N. Priharwanto (Jakarta)
Penghargaan: Film Pendek Dokumenter Pilihan Juri Media
Gambaran kultur sabung ayam yang ada di Toraja ini efektif memberikan tanya, "apakah kultur bisa dibenarkan jika itu menyakiti makhluk hidup?" Memang menyakitkan melihat ayam-ayam saling bertarung, terluka hingga bercucuran darah, bahkan dipotong kakinya. Untuk pemaparan hal itu filmnya berhasil. Tapi dalam hal lain seperti fakta bahwa kemungkinan sabung yang hadir bisa jadi merupakan kali terakhir akibat ancaman penggerebekan polisi, sampai peran sosok Sappe sang pemilik Bakka' Sendana dalam narasi hanya terasa sebagai tempelan yang tidak signifikan. Durasi 7 menit tampak begitu kurang untuk menggali segala aspek yang diniati sang sutradara.


DJAKARTA-00
Sutradara: Galang Ekaputra Larope (Jakarta)
Penghargaan: Film Pendek Animasi Terbaik
Sebuah kritikan eksplisit terhadap kondisi Jakarta yang penuh kemacetan dan rawan banjir. Setting-nya adalah Jakarta pada masa post-apocalyptic (disebut Djakarta-00) dimana kota dibangun diatas reruntuhan kota lama yang tenggelam dalam air. Visualnya memikat, meski penggambaran beberapa aspek terlalu komedik daripada murni satir seperti tumpukan mobil hasil kemacetan yang menggunung. Sebagai satir, dunia yang diwujudkan terlalu eksplisit, kurang elegan. Karakter Gani sang pelukis hipkorit yang menggambar harapan tapi kehilangan harapan dan Antya yang apatis sebenarnya menarik. Sayang voice acting yang lemah membuat dinamika interaksi keduanya gagal menyampaikan emosi kuat.


ONOMASTIKA
Sutradara: Loeloe Hendra (Yogyakarta)
Penghargaan: Special Mention Official Jury Film Pendek Fiksi
Akhirnya hadir juga drama penuh makna yang hadir lewat kesederhanaan bertutur. Seorang anak tanpa nama dan tidak bersekolah tinggal bersama kakeknya yang memiliki banyak nama setelah kedua orang tuanya menghilang. Nama adalah jati diri seseorang, dan siapa diri kita hanya kita yang tahu, kita yang menentukan. Onomastika menyajikan pertanyaan tentang jati diri lewat sudut pandang anak-anak. Perjalanannya terasa kuat berkat akting bagus dari sang aktor cilik. Kita bisa merasakan adanya pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini ia pendam tentang "nama". Sederhana, tidak dramatis tapi thoughtful.



THE DEMITS
Sutradara: Ruben Adriano (Bandung)
Penghargaan: Special Mention Official Jury Film Pendek Animasi
Dari judulnya sudah bisa ditebak animasi ini adalah komedi dengan para hantu (dedemit) sebagai objek lelucon. Karakter utamanya adalah Demi yang mendapati dirinya mati dalam posisi memalukan. Kondisi semakin gawat bagi Demi saat Dinda, wanita yang ia sukai akan datang ke rumahnya. Saat itulah muncul tiga hantu tetangga mendatangi Demi. Murni hiburan, murni komedi menyenangkan yang mengolok-olok dunia hantu yang selama ini identik dengan kesan seram. Sama seperti A Week with heru, film ini adalah kekonyolan ringan yang konsisten menghadirkan tawa dari awal hingga akhir.


IBLIS JALANAN
Sutradara: Salma Farizi (Jakarta)
Penghargaan: Special Mention Official Jury Film Pendek Dokumenter
Sederhana saja dokumenter ini, yaitu menghadirkan wawancara dengan dua pembalap Tong Setan yang mengulik sedikit kehidupan pribadi sampai resiko-resiko yang harus siap dihadapi saat beratraksi di atas motor. Eksplorasinya memang tidak terlalu dalam dimana penonton belum akan sampai tahap memahami dua karakter secara intim apalagi emosional. Namun Iblis Jalanan cukup menjadi sarana "mengintip" kehidupan dibalik layar para pembalap. Sayang, adegan pertunjukkan maut dalam tong setan sendiri tidak dihadirkan dengan menarik, meski iringan lagu berjudul sama milik Bangkutaman jelas jadi pembangun suasana yang sempurna.


PRET
Sutradara: Firman Widyasmara (Yogyakarta)
Penghargaan: Film Pendek Animasi Pilihan Juri IMPAS (Indonesian Motion Pictures Association)
Kata "pret" memang sering kita layangkan saat melihat para calon wakil rakyat berebut kursi pemerintahan. Janji-janji mereka memang layaknya suara "pret" yang dihasilkan oleh kentut dari pantat. Hanya berbunyi nyaring, tapi tidak ada isinya bahkan seringkali berbau busuk. Sindiran keras yang memang hadir "lewat cara bertutur dan teknik visual asal" (dalam artian positif) seperti judulnya sendiri. Disajikan langsung pada sasaran, juga menggelitik karena mengajak penonton bersenang-senang mencela para "pantat" tapi bukan sebuah sindiran yang cerdas pula.


DIGDAYA ING BEBAYA
Sutradara: BW Purba Negara (Yogyakarta)
Penghargaan: Film Pendek Dokumenter Pilihan Juri IMPAS (Indonesian Motion Pictures Association)
Kenapa banyak warga yang tetap nekat tinggal di lereng Merapi meski hidup mereka terancam bahaya setelah beberapa letusan khususnya yang paling dahsyat dan memakan banyak korban jiwa pada 2010 lalu? Apa itu hanya bentuk kebodohan dan keras kepala tanpa dasar? Atau ada alasan lain? Digdaya ing Bebaya adalah dokumenter yang sebenarnya begitu sederhana, memperlihatkan tiga orang wanita tua yang tetap tinggal di lereng Merapi tengah mencari tanaman obat di hutan. Satu per satu dari mereka menuturkan kejadian traumatis tersebut sambil menyampaikan alasan mengapa memilih tetap tinggal. Dipadu dengan suasana sunyi, ini adalah dokumenter yang sanggup mengajakpenonton melakukan merenungi dan memahami secara lebih dalam alasan para warga tersebut. 


LEMANTUN
Sutradara: Wregas Bhanuteja (Jakarta)
Penghargaan: Film Pendek Favorit Penonton, Film Pendek Fiksi Pilihan Juri IMPAS (Indonesian Motion Pictures Association), Film Pendek Fiksi Terbaik
Bercerita tentang seorang ibu yang membagikan warisan berupa lima buah lemari pada kelima anaknya, Lemantun memang yang terbaik dari total 10 film dalam kompilasi ini. Sebuah drama keluarga hangat yang menyoroti hubungan antar anggota keluarga, kasih sayang, dan kenangan masa lalu yang tersimpan dalam memori mereka. Apakah kita akan melupakan kenangan tersebut? Membuangnya? Melupakan kasih sayang dan kebersamaan untuk kepentingan sendiri? Atau justru kita bakal tetap menyimpan semuanya sebagai salah satu kepingan hidup yang akan kita jaga? Semua terserah kita. Tapi Lemantun jelas presentasi indah tentang hangatnya kasih sayang dalam keluarga meski itu hadir lewat hal-hal kecil dan sederhana.

2 komentar :

Comment Page:

A GIRL WALKS HOME ALONE AT NIGHT (2014)

4 komentar
Pada waktu masih kecil, saya sering merasa takut di malam hari saat sedang mencoba tidur. Saya selalu terbayang-bayang ada sosok (hantu) wanita dengan gaun panjang tengah mondar-mandir di jalanan depan rumah. Wanita itu tidak melakukan apapun kecuali berjalan perlahan sambil menanti ada orang lewat untuk ia jadikan mangsa. Belasan tahun berselang bayangan tersebut mulai terlupakan hingga malam ini saat Ana Lily Amirpour membangkitkan kembali mimpi buruk tersebut dalam debut penyutradaraannya. A Girl Walks Home Alone at Night ber-setting di sebuah kota di Iran bernama Bad City. Dengan nama seperti itu pastinya ini bukanlah kota yang indah. Bad City adalah kota yang sunyi, khususnya di malam hari. Jalanan sepi dan gelapnya malam yang hanya disinari lampu-lampu jalan adalah lokasi yang bakal sering dikunjungi penonton. Dilengkapi visual hitam-putih dan ambience sound layaknya film David Lynch, makin kuatlah atmosfer mencekam film ini.

Tapi kota tersebut bukan hanya mengerikan secara suasana, kehidupan yang dijalani warganya pun tidak lebih menyenangkan. Setidaknya itu yang kita lihat dalam diri Arash (Arash Marandi) pemuda bergaya ala-James Dean lengkap dengan jaket kulit, kaus putih dan mobil klasik keren. Dalam kesehariannya, Arash bekerja sebagai tukang kebun, dan lewat kerja kerasnya itulah ia membeli mobil meski hanya mendapat gaji yang tidak seberapa. Tapi beban yang harus ditanggung Arash begitu besar karena sang ayah (Marshall Manesh) adalah seorang pecandu kokain, hobi berjudi dan main wanita. Dia juga punya hutang besar pada seorang germo bernama Saeed (Dominic Rains). Kondisi tersebut semakin membuat Arash merasa tak berdaya dan dihantui kesepian. Sampai pada suatu malam ia bertemu wanita misterius yang mengenakan cadar hitam besar (Sheila Vand). Arash tidak tahu bahwa sang gadis adalah vampir yang selama ini berkeliaran, membuntuti orang-orang di jalan setiap malam dan telah membunuh banyak orang.
 A Girl Walks Home Alone at Night adalah film modern bernafaskan horor yang paling baik dalam memanfaatkan visual hitam-putih. Pewarnaan seperti itu memang efektif memunculkan suasana kelam, tapi Ana Lily Amirpour melakukan lebih dari itu. Judulnya memang menyebut seorang wanita yang berjalan sendirian di malam hari, tapi atmosfer yang dibangun justru membuat penonton serasa menjadi orang yang berada sendirian di jalan pada gelap malam. Perasaan tidak nyaman hingga kesan paranoid kalau-kalau ada sosok yang mengikuti berhasil disalurkan pada penonton. Kita familiar dengan perasaan tidak aman tersebut. Kemunculan sang vampir wanita beserta tampilannya pun tidak berlebihan. Tidak perlu make-up berlebihan atau kemunculan tiba-tiba yang "berisik". Cukup dengan kerudung hitam dan kehadiran yang diam-diam tapi tak terduga sudah cukup membangkitkan kembali rasa takut. 

Poin utama ceritanya ada dua, yaitu kesepian dan penderitaan. Penderitaan dari mereka orang-orang yang tak berdaya, entah itu seperti Arash dan ayahnya yang terhimpit masalah ekonomi serta kecanduan, atau korban dari sang vampir yang hanya bisa pasrah menunggu ajal. Beberapa scene menunjukkan alat-alat industri yang bekerja aktif, tapi kota di sekitarnya justru dipenuhi suasana depresif akibat kehidupan yang jauh dari kata makmur. Ironis memang disaat benda mati bagi industri tersebut terus hidup, para makhluk hidupnya sendiri terasa "mati". Mereka pun diselimuti kesepian yang tidak jauh berbeda dengan kesunyian kota di malam hari. Kita tahu Arash merasakan hal itu, begitu juga Atti (Mozhan Marno), sang pelacur yang tidak bahagian dengan pekerjaannya. Tapi siapa mengira sang vampir merasakan hal yang sama. Pada siang hari ia harus berada di dalam rumah, sendirian sambil menikmati koleksi musik yang kadang ia dapatkan dari para korban. Tapi sekalinya keluar di malam hari, yang ia temui hanya jalanan kota yang senyap.
Film ini mengajak kita untuk memandang sosok vampir wanitanya secara lebih mendalam. Observasi pun dilakukan, menjadikannya tidak hanya sebagai monster haus darah melainkan sosok yang terjebak dalam kesepian. Karena itu saat berkeliaran di malam hari, hanya beberapa kali saja kita meihatnya mencari mangsa. Sisanya ia habiskan untuk mengikuti orang-orang, membuat mereka takut tanpa melukai, sampai menjelajahi kota dengan skateboard yang diambilnya dari seorang anak kecil. Bahkan dalam suatu adegan kita melihatnya merambat perlahan di dinding sambil tetap berada di atas skate. Daripada perbuatan jahat seperti yang ia tuturkan pada Arash, vampir ini lebih sering melakukan hal-hal iseng. Kekosongan yang ia rasakan dan tingkah polah yang seringkali menggelitik membuat saya mudah memberikan simpati pada karakter ini. 

Lalu pada pertengahan, filmnya juga menambahkan sisi romansa. Kisah cinta antara Arash dan sang vampir dibuka dengan pertemuan menarik antara keduanya. Tapi seiring berjalannya waktu daya tarik itu sedikit luntur. Saya dibuat memahami alasan ketertarikan keduanya, tapi tidak seperti pada sang vampir, hubungan tersebut tidak membuat saya sampai peduli. Unik? Pastinya. Tapi kehangatan romansa yang tersaji di tengah atmosfer dingin ini tak pernah sekuat atmosfer creepy-nya. Walau begitu sampai akhir sekalipun penampilan Sheila Vand masih begitu mengikat. Pada beberapa momen, sosoknya lengkap dengan tatapan dingin memunculkan rasa ngeri. Tapi di momen lain, tatapan dingin itu berubah menjadi tatapan seorang gadis yang kesepian, bosan, tak tahu harus berbuat apa saat sedang berjalan sendirian di malam hari.

Verdict: Sepertiga akhir dengan selipan romansa sedikit mengendurkan intensitas mood selaku penggerak utama film ini. Tapi dua pertiga awal adalah perjalanan atmosferik yang memberikan satu lagi perspektif baru terhadap film bertemakan vampir dan membuat saya ingin bertemu lagi dengan sang vampir wanita.

4 komentar :

Comment Page: