COMIC 8: CASINO KINGS - PART 1 (2015)

1 komentar
Pada sebuah interview, Hannah Al Rashid yang menjadi salah satu cast film ini menuturkan bahwa Comic 8: Casino Kings punya penggarapan sekelas film Hollywood. Saya setuju. Sekuel dari film terlaris tahun 2014 (1,6 juta penonton) ini memang dibuat dengan semangat khas sekuel blockbuster milik Hollywood. Maksudnya adalah lebih mahal, skala cerita lebih besar, lebih banyak degan aksi penuh ledakan, lebih banyak CGI, lebih banyak nama besar. Bahkan layaknya tren belakangan, film ini dipecah menjadi dua bagian (part 2 dirilis Februari 2016). Intinya ambisi untuk menjadi "lebih" dalam aspek apapun menjadi faktor penting, kecuali dari segi kualitas. Saya sendiri termasuk yang cukup kecewa dengan film pertamanya. Meski production value-nya memikat, pemanfaatan potensi komedi para komika papan atasnya mengecewakan. Kali ini saya tidak terlalu tinggi memasang ekspektasi, karena sudah tahu sekuel macam apa yang ingin dibuat oleh Anggy Umbara. 
Sedari opening, Casino Kings - Part 1 sudah menampakkan jati dirinya. Menaati "aturan dasar" blockbuster, film ini dibuka dengan adegan intens saat secara misterius, karakter utamanya terbangun di tengah hutan yang juga menjadi sarang buaya. Gaya visual Anggy Umbara yang dipenuhi lens flare, filter warna cerah dan berbagai gimmick animasi langsung mendominasi bagian ini. Setelah kemunculan buaya raksasa mirip Sarcosuchus, kisahnya bergerak mundur untuk menelusuri apa yang terjadi sebelum opening tersebut. Sampai akhir, filmnya bergerak dengan alur non-linear yang melompat maju mundur yang bagi saya tidak punya substansi apapun kecuali untuk "gaya". Penggunaan alur macam ini punya dua faktor penting: struktur kuat dan berfungsi untuk membangun misteri. Hal pertama jelas tidak dimiliki film ini. Naskah tulisan Anggy dan Fajar Umbara lemah. Kekurangan itu bisa diperbaiki oleh penyutradaraan, tapi masalahnya Anggy Umbaran seperti hanya berfokus menghadirkan visual sekeren mungkin daripada bercerita dengan rapih.
Lanjut ke faktor kedua yakni misteri yang jelas menjadi alasan lain dalam penggunaan non-linear. Tapi lagi-lagi hal itu tidak terasa substansial karena dasar cerita film ini memang tidak membutuhkan itu. Alurnya amat sederhana, dimana para komika diharuskan membongkar keberadaan master kriminal yang dijuluki The King. Kesederhanaan bertutur bisa menciptakan hiburan menyenangkan, dan yang dilakukan film ini justru merusak kesenangan tersebut. Mempersulit apa yang seharusnya mudah, begitulah struktur film ini. Dengan alur berantakan, saya yang seharusnya bisa duduk santai menikmati kekonyolan para komika justru harus dibuat pusing menyusun kepingan puzzle yang hingga akhir tidak pernah seutuhnya menjadi satu kesatuan utuh. Hal itu turut memberikan kesan film ini menganggap dirinya terlalu serius. Tentu saja kesan tersebut tidak cocok diterapkan pada sebuah film yang mempunyai adegan buaya melakukan autotomi seperti cicak. Semua itu masih ditambah rumit dengan kemunculan karakter atau sub-plot yang begitu dipaksakan tanpa memberi dampak substansial pada alur utama.

Jujur, saya berusaha mati-matian untuk menyukai film ini. Sangat keras usaha saya memaafkan segala kekurangan pada pengemasan alur dan gaya visual Anggy Umbara yang semakin kesini semakin terasa seperti parodi terhadap dirinya sendiri. Saya ingin melupakan semua itu dengan dalih bahwa ini adalah film komedi. Sudah ada niat memberikan penilaian positif jika filmnya berhasil membuat saya tertawa terbahak-bahak, tidak peduli sehancur apa ceritanya. Tapi bahkan komedinya tidak bekerja dengan baik untuk saya. Beberapa adegan sanggup memancing tawa, khususnya yang melibatkan Prisia Nasution dan Donny Alamsyah. Tapi dibandingkan dengan keseluruhan kadar lelucon yang dilontarkan, jumlah kesuksesan membuat saya tertawa amatlah sedikit. Tidak pernah film ini memperhatikan timing untuk melucu. Lelucon demi lelucon dilemparkan membabi buta, seolah berharap dari sekian banyak akan ada yang efektif. Seringkali pula timing-nya tidak selaras dengan konten adegan, dan merusak apa yang sebenarnya ingin diperlihatkan pada adegan tersebut.
Bakat para komika pun tersia-siakan. Semakin sedikit waktu yang diberikan pada mereka untuk melucu sesuai dengan ciri khas masing-masing. Arie dengan selipan budaya Papua, Ernest yang "mengolok-olok" dirinya sebagai Tionghoa, atau aksi absurd Babe Cabita masih kita temui, tapi mayoritas kemunculan mereka dibatasi oleh lelucon dari naskah yang lebih sering tidak lucu. Mereka semua adalah komika berbakat dengan ciri yang begitu kuat. Tapi biar bagaimanapun, bakat terbesar mereka terletak pada rentetan kalimat hasil buah pikir sendiri. Saat harus dihadapkan pada komedi konyol berorientasi fisik atau yang sumbernya dari naskah, potensi itu pun terbuang percuma. Tidak hanya para komika, nama-nama besar lain banyak yang hanya numpang lewat karena kemunculan mereka disimpan untuk Part 2. Padahal saya sudah dibuat menunggu-nunggu kemunculan para pemburu senior macam Willy Dozan, Barry Prima dan Lydia Kandaou, atau sosok misterius Yayan Ruhian. Tapi sebelum mereka unjuk gigi filmnya sudah berakhir, sama seperti ceritanya yang sudah dipotong sebelum sampai pada klimaks. Terlalu banyak nama besar disia-siakan oleh film ini.

Aspek yang paling saya sukai disini adalah tata artistiknya. Bagaimana setting dan properti mewah menjurus aneh berhasil terhampar indah sepanjang film, menyajikan hiburan mata menyegarkan yang jarang kita temui dalam film-film lokal kebanyakan. Desain untuk beberapa karakternya pun menarik, seperti rambut Prisia Nasution, topeng (beserta isinya) Donny Alamsyah, cat di wajah Yayan Ruhian, dan masih banyak lagi. Visualnya memukau, jika saja Anggy Umbara tidak terlalu berlebihan memolesnya dengan warna atau lens flare mencolok. Penggunaan efek CGI pun cukup memuaskan. Tentu saja masih jauh dari kata bagus, tapi tidak pula terkesan memalukan khususnya pada kemunculan buaya-buaya di awal film.

Verdict: Comic 8: Casino Kings - Part 1 adalah segala bentuk penularan kultur Hollywood blockbuster secara total pada perfilman Indonesia, meski sayangnya bukan hal positif yang ditularkan. Lebih mahal, lebih besar, lebih megah, tapi tidak lebih bagus dari film pertamanya.

1 komentar :

Comment Page:

MENCARI HILAL (2015)

5 komentar
Masalah terbesar dalam film Indonesia bertemakan religi adalah kesan menggurui yang mati-matian dimasukkan oleh pembuatnya lewat pesan-pesan moral. Bisa saja film tersebut berakhir bagus, tapi tidak akan menjadi penting. Bagi saya, sebuah film layak disebut "penting" saat mampu mengangkat suatu kisah yang relevan dengan isu sosial pada suatu tempat. Bicara soal agama, isu terbesar yang hingga saat ini masih marak memunculkan polemik adalah perbedaan dan toleransi. Dalam kondisi semacam itu, sajian yang menggurui akan percuma, apalagi disaat kisahnya terlalu memihak (bahkan mengagungkan tanpa cela) pada suatu paham atau suatu tokoh. Ditambah lagi banyak filmmaker mengatasnamakan karya sejenis sebagai tontonan "pembangun moral bangsa". Perfilman religi negeri ini perlu film yang tidak memihak dan sanggup menyajikan pesannya secara halus sehingga penonton dengan ikhlas bersedia mencerna apa yang ingin disampaikan. 

Tapi siapa sangka film yang saya nantikan itu akan lahir dari tangan seorang Ismail Basbeth. Kenapa tidak saya sangka? Mari tengok karyanya sebelum ini seperti film pendek Shelter sampai debut film panjangnya, Another Trip to the Moon (review). Kata-kata seperti "eksperimental", "meditatif", atau "arthouse" akan bermunculan, tapi pastinya tidak akan mengira sineas ini membuat film religi. Mencari Hilal yang naskahnya ditulis bertiga oleh Ismail Basbeth, Salman Aristo dan Bagus Bramanti punya sosok sentral bernama Mahmud (Deddy Sutomo), seorang pria 60 tahun yang memegang teguh prinsip Islam dalam menjalani hidupnya. Mahmud selalu menegakkan prinsipnya itu pada kondisi apapun termasuk dalam berdagang meski ia harus menerima cercaan dari pedagang-pedagang lain. Tidak segan pula Mahmud menegur umat muslim yang dianggapnya tidak menjalankan kaidah Islam walau lagi-lagi respon negatif lebih sering diterima. 
Tapi dengan keteguhan hati dan pemahaman agama yang kuat, Mahmud tetap bukanlah sosok sempurna. Hubungannya dengan sang putera, Heli (Oka Antara) sudah lama renggang, apalagi sejak Heli yang seorang aktivis tidak pernah lagi pulang ke rumah. Ditambah lagi, Heli bukanlah orang yang taat agama. Dia tidak menjalankan solat, tidak pula berpuasa. Heli sendiri memendam kemarahan pada sang ayah yang baginya telah menelantarkan keluarga demi ibadah dan syiar agama. Mencari Hilal memulai pencariannya, bergerak sebagai road movie disaat Mahmud merasa terganggu oleh berita bahwa pemerintah mengeluarkan dana 9 miliar untuk sidang Isbat. Dari situ ia teringat kebiasaan lamanya saat masih di pesantren dulu: melakukan perjalanan untuk melihat hilal. Dengan kondisi kesehatan yang makin memburuk, Mahmud akhirnya ditemani oleh Heli yang terpaksa ikut demi mendapatkan paspor dari kakaknya, Halida (Erythrina Baskoro). 

Pada film religi yang (jika boleh disebut) mainstream, karakterisasi Mahmud dan Heli bisa menjadi sekedar hitam dan putih. Mahmud bisa menjadi sosok kiai penuh kebaikan tanpa cela, lalu perjalanan ini bakal perlahan merubah Heli menjadi pemuda yang taat beribadah. Tapi di tangan Ismail Basbeth, keduanya sama-sama memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing. Mereka menyimpan pertanyaan masing-masing, terdapat kegundahan yang menjadi ganjalan untuk menerima satu sama lain. Destinasi awal perjalanan memang adalah mencari lokasi untuk melihat hilal, namun pada akhirnya mereka menemukan lebih dari itu. Esensi dari road movie semacam ini adalah pengalaman-pengalaman yang ditemui oleh karakternya. Pengalaman itu akan memberikan pelajaran bahkan atas sesuatu yang pada awalnya tidak berusaha mereka cari, sama seperti Mahmud dan Heli yang seringkali tersesat, tidak tahu arah dalam pencarian mereka.
Beberapa konflik berkaitan dengan isu sensitif disatukan benang merah bernama "perbedaan" yang ditemui karakternya dimanfaatkan oleh Ismail Basbeth untuk menyuarakan pesan film ini. Tapi pesan itu disampaikan tidak seperti seorang pemuka agama yang sedang berkhotbah. Sebagai penonton saya diposisikan secara netral. Fakta bahwa kedua tokoh utamanya mewakili sisi yang bertolak belakang semakin memperkuat kenetralan itu. Baik Mahmud dan Heli tidak ada yang lebih dominan. Mereka punya porsi sama dalam menanggapi tiap permasalahan, memberikan dua perspektif berbeda kepada penonton. Kesan netral itu penting, karena dengan begitu saya tidak pernah merasa dipaksa untuk memihak. Basbeth memaparkan konflik, menyampaikan isi pikirannya tapi tetap membiarkan penonton memunculkan aspirasinya sendiri. Saya tidak merasa terhakimi karena cara berututur tersebut, dan justru karena itulah pesannya dapat tersampaikan secara mulus. 

Tidak pernah juga saya mendapati film ini berlebihan mendramatisir cerita. Walau begitu dinamika emosinya kuat. Sama seperti caranya menyampaikan pesan, cara Mencari Hilal menyulut emosi juga dilakukan secara alamiah. Tidak ada paksaan supaya penonton merasa sedih, terharu atau marah. Momen-momen emosional hadir karena memang sudah sepantasnya itu terjadi sebagai sebuah respon natural karakter atas sebuah situasi, bukan manipulasi mendadak untuk "mempercantik" alur. Justru kesederhanaan itu menjadi kecantikan yang mengikat saya pada filmnya. Bicara soal "cantik", Mencari Hilal punya sinematografi memikat yang lagi-lagi berpijak pada kesederhanaan. Tidak perlu pemilihan warna unik atau golden hour berlebih. Keindahan gambarnya mengutamakan rasa, mendukung atmosfer dimana tiap frame merupakan perpaduan sempurna antara aktor dengan semesta sebagai panggung perjalanan mereka.

Kekuatan akting turut menjadi pondasi dengan chemistry kuat antara Deddy Sutomo dengan Oka Antara. Secara individu jelas Deddy Sutomo lebih menonjol. Kita bisa merasakan tiap keresahan dan bagaimana ia menderita saat mendapati konflik religiusitas. Tapi terlebih lagi adalah bagaimana tatapan matanya terhadap sang anak yang penuh kasih sayang tak terungkapkan. Oka Antara mulai mampu mencuri perhatian saat karakternya mulai memunculkan secercah rasa iba pada sang ayah. Jika anda pernah mengalami pertentangan dengan seorang ayah maka rasa tersebut bakal tersalurkan begitu kuat. Pada akhirnya semua terasa mengharukan disaat pencarian keduanya terhadap Hilal justru berujung pada penemuan yang lebih personal. Mereka menemukan satu sama lain. Senyuman berhiaskan air mata pun hadir melihat Oka Antara dan Erythrina Baskoro saling bersandingan di akhir.

Verdict: Mencari Hilal bertutur layaknya bagaimana seharusnya suatu agama/kepercayaan merasuk dalam diri manusia: sederhana tapi kuat, dan yang paling penting sama sekali tidak memaksa kita untuk menerimanya. Indah sekaligus tulus.

5 komentar :

Comment Page:

ANT-MAN (2015)

1 komentar
Guardians of the Galaxy adalah resiko besar yang diambil Marvel, tapi Ant-Man dengan ukuran tubuh sekecil semut punya resiko jauh lebih besar. Proyek yang pada awalnya menjanjikan karena keterlibatan Edgar Wright berubah jadi meragukan setelah sang sutradara pergi dengan alasan perbedaan visi dengan pihak Marvel. Mudah untuk ditebak bahwa perbedaan itu berasal dari keinginan Marvel untuk mengaitkan tiap-tiap film mereka, dan bagi sutradara independen seperti Wright, sebuah stand alone movie tentunya lebih mendukung kebebasannya bereksplorasi. Sebagai pengganti Wright, direkrutlah Peyton Reed (Yes Man). Sedangkan Adam McKay yang menulis naskah dua film Anchorman dan Paul Rudd menulis ulang naskah yang sebelumnya disusun oleh Wright bersama Joe Cornish. Apa yang dipikirkan Marvel saat menunjuk nama-nama tersebut? Edgar Wright memang sutradara komedi, tapi Reed dan McKay punya gaya komedi yang jauh berbeda, kalau tidak boleh dibilang lebih "tasteless".

Sama seperti namanya, Ant-Man adalah superhero dengan kemampuan mengecilkan tubuh seukuran semut dan bisa berkomunikasi dengan serangga tersebut. Sebuah nama dan kemampuan yang terdengar konyol, bahkan tanpa harus membandingkannya dengan baju besi Tony Stark atau Mjolnir milik Thor. Tanpa kejeniusan Edgar Wright dalam membangun "lelucon sadar diri", film ini bisa berakhir konyol pula (in a bad way). Tapi begitu dimulai, Ant-Man tidak pernah berhenti mengejutkan saya dari awal hingga akhir, dalam segala aspek yang dimilikinya. 

Siapa sangka film ini dimulai dengan lambat, mengajak penonton berkenalan pada tiap-tiap karakternya secara perlahan? Dibuka dengan perpecahan antara Hank Pym (Michael Douglas) dengan S.H.I.E.L.D yang berusaha mencuri formula penemuannya pada 1989, Ant-Man kemudian melompat ke masa kini. Scott Lang (Paul Rudd) baru saja usai menjalani hukuman penjara yang harus ia jalani setelah melakukan pencurian di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Aksi Scott membobol sistem keamanan yang nampaknya mustahil ditembus itu menarik perhatian Hank Pym. Sang ilmuwan lalu meminta bantuan Scott dengan kemampuannya tersebut guna mencuri baju Yellowjacket dari mantan muridnya, Darren Cross (Corey Stoll) sebelum baju tersebut digunakan untuk kejahatan. Untuk melakukan pekerjaan tersebut, Scott harus mengenakan kostum yang memberikannya kekuatan sebagai Ant-Man. 
Awal yang lambat tanpa adegan aksi eksplosif layaknya film-film Marvel lain memberikan waktu bagi penonton untuk bisa menyukai Scott Lang selaku karakter utama. Pembawaan likeable Paul Rudd mampu membuat saya meyakini bahwa dirinya adalah seorang pria baik dalam situasi menghimpit memberikan kekuatan bagi drama "hubungan ayah-anak"-nya. Film ini melakukan pendekatan serupa layaknya Iron Man pertama pada Tony Stark dimana butuh waktu beberapa lama sebelum Scott mengenakan kostum Ant-Man. Pilihan yang beresiko, apalagi mengingat minimnya adegan aksi pada paruh pertama film. Untuk melakukan itu butuh karakter menarik atau cerita kuat. Eksplorasi Ant-Man akan kedua hal tersebut tidaklah terlalu kuat, namun masih cukup memberikan tenaga berbuah hiburan menyenangkan sehingga saya tidak sedikitpun bosan sebelum petualangan utamanya hadir. Karakter Hope (Evangeline Lily) mungkin tidak digali mendalam, tapi sosoknya menghadirkan satu lagi karakter wanita tangguh dalam film Marvel yang mungkin bakal lebih terasa efeknya pada film-film mendatang.


Kemudian filmnya sampai pada sajian utamanya saat Scott Lang mulai menyusut, membentuk pasukan semut dalam jumlah besar, terbang kesana kemari bersama semut yang ia beri nama Ant-Thony, lalu melawan sosok-sosok dengan ukuran jauh lebih besar termasuk salah seorang anggota Avengers yang muncul sebagai kejutan (meski sebuah klip televisi sudah memberikan spoiler akan kemunculannya). Akhirnya daripada terasa "cupu", Ant-Man yang mungil justru terkesan badass saat beraksi menghajar lawan-lawannya. Disinilah ungkapan "size doesn't matter" benar-benar dibuktikan. Ukuran sang superhero boleh saja kecil. Begitu pula skala film yang hanya bermain-main di ranah heist movie tentang usaha menyusup ke suatu gedung untuk melakukan pencurian, tapi daripada terasa anti-klimaks, film ini memberikan perspektif baru dalam penyajian film aksi superhero. Efek CGI bukan lagi untuk mengeksploitasi ledakan, tapi demi mengemas viualisasi "dunia mini" sebaik mungkin. Bukan pesawat raksasa atau angkasa luas yang menjadi arena, melainkan sela-sela karpet, rumput, sampai lintasan mainan kereta.
Dengan semua pemandangan itu, mudah bagi Ant-Man untuk menjadi sajian paling aneh dari Marvel. Tanpa mengecilkan keberhasilan seorang Peyton Reed, bagi penonton yang sudah familiar pasti akan merasakan bahwa pengaruh Edgar Wright masih amat kuat khususnya dalam sisi komedik. Lihat saja klimaksnya saat berbagai benda sampai hewan mendadak berubah ukuran. Namun paling terasa adalah saat pada beberapa momen kita melihat jump cut ala-Wright yang secara rutin menghiasi "Cornetto Trilogy" miliknya. Peyton Reed mampu mengemas semua itu dengan cukup baik, dimana hal itu layaknya sebuah "penghormatan" bagi Edgar Wright. Tapi Ant-Man yang dipenuhi nama-nama besar komedi baik di depan maupun balik layar harusnya mampu tampil lebih menggelitik. Ironisnya, kekurangan ini pun diakibatkan oleh pengaruh Wright. Seperti yang saya tuliskan di atas, biar bagaimanapun gaya melucu Wright dan Reed amat berbeda. Meski naskahnya sudah ditulis ulang oleh McKay dan Rudd, tidak semuanya bisa disesuaikan dengan gaya Reed. Sang sutradara nampak masih kurang familiar dengan beberapa gaya komedi filmnya sendiri.

Satu lagi keberhasilan Ant-Man datang dari sebuah faktor yang seringkali mengurangi kualitas sebuah film Marvel secara keseluruhan (ex: Iron Man 2 & Avengers: Age of Ultron), yakni membuat stand alone sambil secara bersamaan mengembangkan Marvel Cinematic Universe. Ant-Man merupakan salah satu film Marvel yang paling sukses melakukan hal tersebut. Pertama, ceritanya mampu terasa terkait dengan film Marvel lain tanpa merusak pondasi utama. Beberapa easter eggs tidak hanya berhasil memberikan hiburan bagi para fans (termasuk tease tentang keberadaan Spider-Man), tapi juga menciptakan bentangan cerita lebih luas bagi MCU. Kedua, seperti Guardians of the Galaxy yang membawa dunia Marvel ke ranah cosmic, film ini pun berhasil mengajak kita melihat "dunia lain". Tidak perlu jauh-jauh ke luar angkasa, karena dunia tersebut masih berada di Bumi, hanya saja seringkali luput dari perhatian kita. 

Verdict: Satu lagi perjudian yang berhasil dari Marvel Studios. Ant-Man adalah sajian mereka yang paling aneh dan beresiko tapi berakhir menyenangkan sekaligus menyegarkan. Berhasil untuk berdiri sendiri maupun sebagai jembatan penghubung dengan film-film lain. 

1 komentar :

Comment Page:

TIMBUKTU (2014)

6 komentar
Film yang merupakan perwakilan Mauritania di ajang Oscar 2015 ini tidak ada sangkut pautnya dengan Donal Bebek (if you know what I mean), melainkan sebuah observasi terhadap rezim Ansar Dine yang sempat menduduki Timbuktu pada medio 2012 saat terjadi "Pemberontakan Tuareg". Pada awalnya tujuan pendudukan tersebut adalah sebagai perlawanan terhadap pemerintah Mali, namun bukannya menjadi pelindung seperti seharusnya, Ansar Dine justru menghadirkan rasa takut serta ancaman bagi masyarakat setempat. Penerapan Syariat Islam secara paksa adalah sumber utama ketakutan tersebut. Para wanita dipaksa memakai jilbab dan sarung tangan, muncul larangan memutar atau bermain musik, bahkan bermain sepak bola pun jadi salah satu kegiatan yang diharamkan oleh mereka. Sutradara merangkap penulis naskah Abderrahmane Sissako memaparkan semua itu sebagai bentuk perlawanannya.

Perlawanan terhadap siapa? Bukan saja kepada Ansar Dine, melainkan kepada siapa saja pihak yang mengatasnamakan agama sebagai pembenaran untuk praktek kekuasaan otoriter. Agama tidak saja isu yang sensitif tapi juga rawan untuk terasa menggurui atau jatuh ke ranah propaganda (terlepas dari positif atau negatifnya kata "propaganda"). Timbuktu berhasil dikemas oleh Sissako tanpa pernah sekalipun memaksa saya menerima pesan-pesan perlawanan yang disampaikan. Judulnya menggunakan nama lokasi yang menjadi setting, seolah menjadi penggambaran cara bertutur sang sutradara. Bukannya memilih satu konflik secara khusus, film ini adalah pemaparan mengenai kondisi Timbuktu secara menyeluruh. Bagaimana rezim Ansar Dine berjalan, apa saja aturan yang mereka terapkan, bagaimana reaksi masyarakat terhadap hal tersebut, hingga dampak sebesar apa yang timbul. 
Hanya dari situ Timbuktu adalah tontonan yang nyaris sempurna. Pemaparan konfliknya terasa jujur dan menggaet emosi saya tanpa harus melakukan provokasi berlebihan yang dipaksakan. Adegan demi adegan adalah rangkaian observasi terhadap kepingan konflik yang meski terpisah dan melibatkan orang-orang berbeda namun terasa saling melengkapi. Meski terasa familiar khususnya bagi penonton yang berasal dari negara dengan penduduk mayoritas Islam seperti Indonesa, tapi isu yang diangkat masih berhasil mengaduk-aduk emosi. Pemaksaan yang diterima warga Timbuktu masih menghadirkan rasa simpati pada mereka sekaligus amarah pada kelompok Ansar Dine. Abderrahmane Sissako pun tidak hanya mempertontonkan ketidakadilan, tapi juga membawa penonton menelusuri "bagian dalam" Ansar Dine. Mereka melarang warga merokok dan bermain sepak bola. Bahkan dalam suatu adegan yang cukup menggetarkan, beberapa pemuda menendang bola, berselebrasi layaknya pemain yang baru mencetak gol, meski semua itu dilakukan tanpa memakai bola.

Ansar Dine tidak memberikan sedikitpun toleransi terhadap aturan yang diterapkan. Bagi mereka yang bermain musik, 40 kali cambukan sudah menunggu. Sedangkan bagi pelaku zina, kematian dengan cara dirajam sudah pasti diterima. Tapi apakah para "penegak hukum" itu juga taat pada apa yang mereka tetapkan? Sama seperti yang sering terjadi pula di Indonesia, banyak dari para "penggila moral" itu bersembunyi di balik image sebagai pemuka agama karena mereka sendiri memendam hasrat besar untuk melanggar aturan tersebut. Beberapa tentara diperlihatkan sedang membandingkan Zinedine Zidane dan Lionel Messi, sementara itu salah seorang petinggi Ansar Dine sering diam-diam merokok di tengah gurun pasir. Apakah beberapa tindakan tersebut diketahui anggota lainnya? Tentu saja. Tapi apakah mereka mendapat hukuman seperti layaknya masyarakat sipil? Nyatanya tidak. Sissako memakai semua itu sebagai bentuk protesnya. Sebuah perlawanan yang elegan karena saya tidak merasakan amarah berlebih disini, hanya sebuah penuturan kenyataan yang dibalik kesunyiannya berteriak lantang.
Sampai disini Timbuktu merupakan presentasi memukau. Sayang, fokus lebih kepada karakter Kidane (Ibrahim Ahmed dit Pinto) dan keluarganya sedikit mengurangi kehalusan filmnya bertutur. Seperti yang saya tulis di atas, pemakaian "Timbuktu" sebagai judul menunjukkan tujuan Sissako untuk mengeksplorasi sebuah tempat dengan segala pernak perniknya. Fokusnya adalah kota Timbuktu, jadi sah-sah saja jika ia tidak memiliki satu karakter dengan eksplorasi konflik paling menonjol sebagai protagonis. Kehadiran Kidane sekeluarga pada awalnya selaras dengan hal itu. Mereka terlihat sebagai pembanding, outisder yang hidup terpisah namun penuh kedamaian yang berasal dari kebebasan. 

Saat Kidane mulai berada dalam frame yang sama dengan konflik utama, fokus film menjadi goyah. Protagonis berfungsi sebagai penyambung antara penonton dengan narasi, dan butuh sosok yang menggaet simpati untuk bisa melakukan itu. Karakter Kidane tidak sampai sekuat itu membawa beban sebagai fokus utama. Akhirnya durasi yang bisa dimanfaatkan untuk hal lain tersiakan oleh eksporasi karakter yang kurang maksimal. Seharusnya Abdurrahmane Sissako membiarkan saja penonton merasa ikut berada di Timbuktu secara natural.

6 komentar :

Comment Page:

KUMIKO, THE TREASURE HUNTER (2014)

2 komentar

"THIS IS A TRUE STORY. The events depicted in this film took place in Minnesota in 1987. At the request of the survivors, the names have been changed. Out of respect for the dead, the rest has been told exactly as it occurred"

Kalimat tersebut menjadi pembuka dari Fargo (1996) karya Coen Brothers, mengarahkan penonton untuk percaya bahwa film tersebut memang didasari oleh kisah nyata. Tapi benarkah rentetan hal absud dalam Fargo memang nyata? Keanehan dalam suatu film khususnya hasil buah karya Coen memang menyempitkan lingkup penonton. Banyak yang merasa berat hati untuk menerima semua itu. Maka seperti yang dikatakan Joel Coen, penambahan kalimat pembuka itu bertujuan "mempermudah" penerimaan penonton akan segala bentuk hal yang sifatnya diluar nalar, mengarahkan mereka untuk percaya bahwa semua itu adalah stranger than fiction. Dampaknya besar, termasuk dalam terciptanya urban legend tentang kematian Takako Konishi pada tahun 2001.

Gadis asal Tokyo itu ditemukan tewas pada 15 November 2001 di Minnesota. Banyak pihak termasuk media berspekulasi bahwa Takako tewas dalam usahanya mencari uang yang dikubur oleh karakter Steve Buscemi dalam Fargo. Takako dikabarkan percaya bahwa film tersebut memang sepenuhnya berdasarkan kisah nyata. Sebuah kisah yang ternyata sama palsunya dengan Fargo itu sendiri. Takako sesungguhnya tewas bunuh diri karena merasa tertekan oleh pekerjaannya. Urban Legend itulah yang mendasari ide penciptaan naskah film ini oleh David dan Nathan Zellner. Sosok Takako digantikan oleh Kumiko (Rinko Kikuchi), perempuan 29 tahun yang hidup dalam kesendirian. Dia memilih tinggal sendirian meski sang ibu terus memaksanya untuk pulang. Tidak hanya itu, Kumiko juga terus dipaksa oleh ibunya untuk segera mencari calon suami. 
Kehidupannya di tempat kerja pun tidak lebih berwarna. Di tengah wanita-wanita muda yang ceria dan selalu membicarakan mode penampilan terbaru, Kumiko selalu diam menyendiri sebagai outsider. Dia pun membenci sang bos yang selalu memberikan tugas-tugas yang tidak Kumiko sukai seperti membawa baju ke laundry atau memberikan kado ulang tahun pernikahan. David Zellner selaku sutradara coba mempertunjukkan betapa terkucilnya kehidupan Kumiko. Kita tidak pernah sekalipun mendapati Kumiko terlibat dalam interaksi sosial yang ia nikmati dengan manusia lain. Satu-satunya hubungan menyenangkan dalam keseharian Kumiko adalah dengan Bunzo, kelinci peliharaannya. Dalam kondisi terasing seperti itu, seseorang tidak akan bisa mempertahankan "kewarasannya", apalagi jika telah terjadi dalam waktu lama seperti yang dialami Kumiko. Anda bisa melihat berbagai eksperimen yang bermain-main dengan "kondisi isolasi" dan mendapati tidak butuh waktu lama bagi subyek untuk mulai merasakan kecemasan bahkan halusinasi.

Satu-satunya yang bisa menjaga seseorang dari kehilangan kewarasan dalam kondisi terkucil adalah jika ia disibukkan oleh suatu rangkaian aktivitas yang disukai. Dengan begitu fokusnya tetap terjaga dan pikirannya tersibukkan. Kumiko sejatinya memiliki pengalih itu, yakni obsesinya terhadap harta karun dalam film Fargo. Kumiko percaya bahwa film itu adalah kenyataan, dan uang yang dikuburkan memang benar ada disana. Zellner menggunakan hal itu untuk menyajikan ironi, disaat satu-satunya tujuan hidup sang karakter utama justru sebuah hal yang akan membawa kehidupannya semakin jauh menuju kesendirian, keputusasaan dan kehampaan. Salah satu kelebihan terbesar Kumiko, the Treasure Hunter adalah percampuran suasana hopeful dengan helpless disaat yang bersamaan. Dua hal bertolak belakang itu mampu disatukan oleh Zellner, hingga tercipta kepedihan dalam hati penonton saat mengikuti pencarian Kumiko akan harta karun yang tidak pernah ada. 
Dari situ terciptalah simpati. Kumiko begitu percaya akan keberadaan harta tersebut, bahkan mencurahkan segala daya upaya, mengabdikan hidupnya untuk menemukan itu. Dalam satu lagi penampilan yang mengeluarkan sisi terdalam seorang manusia, Rinko Kikuchi sebagai Kumiko mampu membuat saya meyakini hal tersebut. Meyakini bahwa dalam tatapan matanya tersimpan harapan serta kepercayaan yang teramat besar akan sejumlah harta yang tengah ia cari. Penonton akan peduli, karena kita tahu bahwa harapan yang begitu tinggi dari perempuan polos ini hanya akan menuntunnya menuju akhir yang tragis. 

Berbekal eksplorasi tema mendalam dan sinematografi garapan Sean Porter, film ini juga berhasil menyajikan suasana yang sempurna mewakili kehidupan Kumiko. Sunyi, dingin dan begitu terasing. Tidak hanya dalam lingkungan sosial tempat ia tinggal, Kumiko semakin terkucil saat pencariannya sampai ke Amerika. Dia sendirian di negeri yang asing tersebut, mendapati bahwa dirinya tidak siap menghadapi benturan budaya yang terbentang mulai dari perbedaan bahasa sampai cuaca yang ekstrim. Cultural barrier cukup banyak digali oleh Zellner, termasuk saat seorang polisi (diperankan sendiri oleh David Zellner) berusaha mencari penerjemah bahasa Jepang bagi Kumiko di sebuah restoran Cina. Eksplorasi akan tema tersebut membuat penonton lebih mudah merasakan rasa "tersesat" yang dialami karakternya. Begitu pula gambarnya yang terasa "dingin", bahkan sebelum filmnya bergerak ke Minnesota yang bersalju. Gambaran Kumiko dengan kerudung merahnya di hamparan salju putih mengesankan keindahan di tengah kepedihan, sama seperti ironi saat harapan dipenturkan dengan keputusasaan yang dieksplorasi film ini.

Verdict: Kemana fantasi dan impian indah akan membawa seseorang? David Zellner membawa dua sisi bertolak belakang secara berdampingan disini. Kumiko, the Treasure Hunter adalah kisah tragis yang bersembunyi dalam keindahan harapan yang sesungguhnya semu seperti opening dan ending-nya.

2 komentar :

Comment Page:

SLOW WEST (2015)

2 komentar
Membicarakan western tak ubahnya berbicara tentang padang gersang, koboi penuh kejantanan menunggangi kuda sambil bersiap menarik pelatuk, hingga kematian dimana-mana. Panas, kotor dan waktu memang terasa berjalan lambat. Slow West tidak mengesampingkan fakta-fakta tersebut, tapi disaat bersamaan memberikan perspektif baru dalam penyajian western movie. Bagaimana jika ada seseorang yang punya kepribadian amat bertolak belakang dengan hal-hal di atas harus melintasi tempat berbahaya tersebut? Jay (Kodi Smit-McPhee) adalah remaja 16 tahun dengan badan kurus, wajah putih bersih dan pakaian bagus yang tampak mahal. Dia berbaring di bawah langit malam sambil menunjuk-nunjuk rasi bintang. Melihat sosoknya, mudah bagi kita berasumsi bahwa tidak butuh waktu lama bagi alam liar Barat untuk menghabisi Jay. Apa yang dilakukan bocah kaya sepertinya disitu? Jawabannya adalah mencari wanita yang ia cintai.

Apakah sutradara sekaligus penulis naskah debutan John Maclean tengah berusaha mentransformasikan keliaran western menjadi petualangan romansa lembek? Untungnya tidak. Kerasnya western masih ada disana. Slow West menjadi eksplorasi disaat seseorang ditempatkan dalam kondisi yang bertolak belakang dengan sosoknya. Dapatkah Jay bertahan hidup? Dapatkah segala ideologi penuh harap yang ia anut diterapkan disana? Tidak secara menyeluruh, karena film ini juga bukan usaha Maclean memberikan pesan moral yang muluk dan naif. Untuk itu dihadirkan karakter Silas (Michael Fassbender), seorang bounty hunter yang menemukan jejak Jay, dan memutuskan menjadi pelindungnya sepanjang perjalanan. Sudah pasti kepribadian Silas amat berbeda. Disaat Jay penuh pemikiran positif tentang cinta dan harapan, Silas lebih keras, dingin, dan terkesan cynical akan berbagai situasi. Semua orang, semua tempat, dan semua situasi seolah menyimpan bahaya jika bersama Silas, dan ia pun selalu siap menembakkan senjata kapanpun.
Terjadi eksplorasi karakter sekaligus hubungan yang menarik diantara mereka. Perlahan, keduanya mulai belajar cara masing-masing memandang hidup dan menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah kekeliruan. Jay mulai belajar bertahan hidup, sedangkan dari voice over-nya, penonton sudah tahu bahwa Silas nantinya akan banyak belajar dari Jay yang "lebih positif". Dari karakter Jay, Maclean berusaha menunjukkan bahwa di setiap kelembutan tetap diperlukan sisi keras. Sedangkan dari Silas, kita melihat bahwa dari seseorang/tempat paling keras sekalipun masih ada perasaan disana. Masih ada sisi kemanusiaan. Bicara soal kemanusiaan, disitu pula kisah cintanya mulai menyelinap perlahan. Sebuah kisah cinta yang cukup manis, emosional, sekaligus tragis. Walaupun romansanya ber-setting di western masa lampau, tapi kisahnya terasa relatable bagi kita penonton modern. Jay mencintai Rose (Caren Pistorius) dengan sepenuh hatinya. Tapi dari beberapa flashback, Rose tampak tidak menyimpan perasaan yang sama. Bagi Rose, Jay hanya adik laki-laki yang tak pernah ia miliki.

Romansanya dibawa ke bingkai modern, tapi bukan itu saja, karena secara menyeluruh film ini merupakan usaha membawa genre western ke ranah yang lebih modern tanpa sekalipun "melenceng" terlalu jauh dari dasarnya. Alurnya masih berjalan lambat, lokasinya masih familiar dan tentu saja masih diisi oleh baku tembak yang menegangkan. Tapi diluar semua itu atmosfernya lebih kekinian. Sinematografi garapan Robbie Ryan masih memukau, tapi tidak ada landscape super lebar untuk hamparan padang tandus. Gambar landscape masih ada, namun lebih "sempit", juga terasa lebih berwarna dengan padang rumput hijau, bunga bermekaran serta hal-hal penuh warna lainnya. Penggunaan 1.66:1 daripada 2.35:1 (ratio mayoritas western), membuat layar lebih sempit, tapi tidak sampai klaustrofobik melainkan mendekatkan penonton pada karakter-karakternya. 
Tapi sekali lagi membawa kearah baru bukan berarti sepenuhnya lari dari ciri western itu sendiri. Klimaks baku tembak seperti yang seharusnya masih ada disini. Maclean berhasil menggarapan showdown ala-western yang tidak bombastis ataupun bising, namun begitu intens mencengkeram penonton dan pastinya brutal. It's not so grandious, but really sharp and well-made. Intensitas terjaga rapih dengan banyaknya peluru yang beterbangan juga darah yang tumpah. Keunikan turut tersaji disaat Maclean begitu rapih merubah tone film dari serius dan brutal menuju komedi hitam yang aneh. Tidak terasa tumpang tindih, bahkan terasa menguatkan. Hal itu menjadi bukti kehebatan Maclean baik sebagai sutradara maupun penulis naskah. Keanehan bumbu black comedy-nya membuat film ini seolah berada dalam dunia yang sama dengan film-film Coen Brothers. Tidak lupa Maclean menyelipkan hati berkat sebuah twist yang lagi-lagi membuat sebuah kematian tidak hanya tragis namun romantis. Romansanya terasa menyayat berkat kejutan tersebut.

Aktornya bermain baik. Michael Fassbender punya segala pesona yang dibutuhkan untuk menjadi Silas: misterius, cool, dan seorang outlaw hebat yang bahkan tidak bergerak sedikitpun meski ada pistol yang ditodongkan kearahnya. Kodi Smit-McPhee juga mendapatkan pencapaian serupa dengan sosoknya yang nampak halus, lemah dan quirky. Kesan bahwa ia berada di tempat yang salah dan seorang pria yang tidak tahu apa-apa tentang situasi di sekitarnya terpampang jelas. Jay mungkin tidak bisa diandalkan, namun tidak pernah terasa menyebalkan. Ekpsresi dan emosi yang ia tunjukkan sedikit demi sedikit begitu sempurna memaparkan kebaikan hati dan kejujuran karakternya. Terakhir ada Ben Mendelsohn yang untuk kesekian kalinya menjadi sosok psikopat. Terasa tipikal bagi sang aktor tapi tak pernah membosankan melihat penampilannya, apalagi saat penonton dibuat merasakan aura mengerikan hanya dari tatapan mata. 

Verdict: Singkat, padat, amat memikat. Slow West memberi modifikasi dalam sajian western tanpa pernah sekalipun merupakan hakikat dasarnya. Kini tidak perlu lagi kita menunggu Coen Brothers untuk sebuah sajian yang keras, brutal, aneh, sekaligus lucu. 

2 komentar :

Comment Page: