NGENEST (2015)

3 komentar
Semakin hari, isu SARA termasuk rasial terasa lebih sensitif dari sebelumnya. Bukan karena makin banyak orang intoleran (still a lot, though) tapi justru disebabkan bertambah mudahnya para "korban" tersinggung oleh hal tersebut. Memanggil seseorang sebagai "Cina" dapat membuat anda dituding rasis, sehingga masyarakat dihimbau menggunakan kata "Tionghoa". Bukan maksud membenarkan tindakan rasisme, tapi harus diakui orang-orang jadi semakin gampang tersinggung menyikapi itu, seolah tiap sisi kehidupan harus dipandang teramat serius. Lalu muncul Ernest Prakasa dengan segala materi komedi self-mocking membuat film adaptasi buku trilogi "Ngenest" garapannya yang mengusung tagline "Kadang hidup perlu ditertawakan". Menarik, cerdas, berani. Bahkan andai hasilnya mengecewakan sekalipun, "Ngenest" adalah tipikal film yang wajib diapresiasi berkat keberaniannya.

"Ngenest" adalah sajian semi-biografi tentang hidup Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) yang sejak kecil kerap menjadi korban bullying akibat statusnya sebagai keturunan etnis Cina. Beruntung ia mempunyai sahabat sesama Cina bernama Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey) yang setia menemani dan memberikan bantuan. Ernest tidak tinggal diam. Berbagai cara ia tempuh untuk keluar dari penindasan itu, termasuk mencoba menjalin pertemanan dengan mereka yang mem-bully dirinya. Semua usaha itu gagal, hingga timbul kekhawatiran jika anaknya kelak akan mendapat perlakuan serupa. Berawal dari rasa khawatir itu, Ernest memutuskan untuk mencari istri orang pribumi demi "memperbaiki" keturunan. Hingga sewaktu berkuliah, Ernest berkenalan dengan Meira (Lala Karmela) yang sempurna memenuhi kriterianya; wanita pribumi, cantik, berkulit sawo matang. Tapi rasa takut Ernest tentang nasib sang anak nyatanya tak semudah itu sirna.
Film ini menjadi debut penyutradaraan sekaligus penulisan naskah bagi Ernest, sehingga wajar timbul keraguan. Bisakah ia menciptakan koherensi alur ketika di atas panggung stand-up comedy poin demi poin dituturkan secara melompat-lompat dan tak jarang berisi lelucon absurd? Tapi yang paling penting bisakah Ernest tetap menyuarakan kritik mendalam tanpa harus terdistraksi komedi? Secara mengejutkan, ia mampu melakukan semua itu. Alur cerita nyaman diikuti karena menciptakan satu kesatuan utuh, bukan kumpulan sketsa yang dipaksakan menjadi satu (penyakit banyak komedi). Tiap fase mulai dari Ernest kecil, remaja hingga dewasa punya permasalahan sendiri. Ketika masih SD hingga SMP permasalahan berupa sering diejek dan dipalak, ketika remaja mencari pacar, dan begitu dewasa seputaran anak. Penuturannya rapih dan bertahap. Jokes yang dilontarkan pun berhasil menyesuaikan dengan kondisi pada tiap fase. 

Beberapa lelucon membawa situasi absurd penuh kekonyolan semau sendiri. Tapi karena bersinkronisasi baik dengan cerita dan memperhatikan timing, saya bisa menerima semua itu untuk tertawa lepas tanpa harus garuk-garuk kepala akibat absurditas bertebaran. Tentu saja Ernest mengajak teman-temannya para komika untuk turut ambil bagian dalam porsi peranan bervariasi. Ada yang muncul beberapa kali seperti Ge Pamungkas, tapi ada pula yang hanya sambil lalu macam Arie Keriting. Hebatnya mereka semua mampu mencuri perhatian, selalu berhasil menimbulkan gelak tawa dalam tiap kemunculan. Kuncinya adalah pemahaman. Sebagai sesama komika, Ernest tahu cara memaksimalkan potensi kawan-kawannya. Dia juga tidak memaksakan kuasa selaku sutradara sekaligus penulis naskah untuk terlalu banyak memaksakan menullis lelucon yang tak sesuai dengan ciri mereka. Di akhir film ada behind the scene yang terlihat menyenangkan. Semua cast bersenang-senang tanpa ada beban, berujung pada aliran komedi alamiah. Sudah banyak film menampilkan para komika, tapi sejauh ini "Ngenest" yang paling berhasil memanfaatkan potensi mereka.
Jajaran cast non-komika juga berhasil memukau. Morgan Oey membuktikan keputusannya menaruh fokus pada akting sebagai langkah tepat. Ketika "Assalamualaikum Beijing" menjadi bukti kapasitas drama, maka "Ngenest" menjadi tempat Morgan mengeksplorasi sisi komediknya tanpa kehilangan kesan charming. Mampukah anda membayangkan ia bicara tentang tokai saat menjadi personil SMASH? Tentu tidak. Pelontaran jokes-nya halus, tidak memaksakan diri menjadi lucu tapi karena itulah sosoknya mampu menghadirkan kelucuan. Berkat penulisan cermat Ernest pula karakter Patrick bukan sekedar sidekick tanpa peran. Kehadirannya esensial dalam cerita, memberi sumbangsih besar menciptakan hubungan pertemanan hangat antar-karakter. Sedangkan Lala Karmela memberi kejutan besar ketika mampu menangani momen dramatik dan komedik sama baiknya. Liht bagaimana ia memainkan ekspresi dalam adegan yang melibatkan "bajaj" dan kegelisahan Meira akan sikap Ernest yang ragu untuk mempunyai anak sebagai contoh. 

Ernest memperlihatkan kepekaannya terhadap hal-hal sederhana dalam keseharian, lalu mereka ulangnya menjadi adegan yang menggelitik. Hubungan Ernest dan Meira pun terasa romantis berkat kepekaan ini. Filmnya tidak harus berpuitis ria untuk itu. Penonton yang pernah berpacaran pasti tahu kebahagiaan saat akhirnya bisa mereferensikan diri sebagai pacar seseorang untuk pertama kali. Itu hal sederhana, tapi amat berkesan. "Ngenest" mampu membangun banyak momentum berkesan hasil peristiwa sederhana macam itu. Sebagaimana komika cerdas harusnya bertutur, Ernest piawai menyulap hal remeh temeh jadi menggelitik sembari membangun kritik. Mulai dari adat pernikahan Cina yang seolah mengharuskan semua aspek bernuansa Cina sampai kebiasaan mengomentari karangan bunga ucapan selamat tak luput dari sasaran tembak. "Ngenest" bukan usaha memberi pesan moral (sok) suci. Sederhana saja, lewat film ini Ernest mengajak semua orang (mayoritas dan minoritas) untuk lebih santai bersikap, tak segan mentertawakan hidup sambil menyelipkan curhatan personal. Karena lewat tawa hidup lebih menyenangkan. Sebuah komedi romantis lucu pula manis berisi kecerdasan menyuarakan kritik sosial.

3 komentar :

Comment Page:

LISTEN TO ME MARLON (2015)

1 komentar
Marlon Brando is one of the greatest actor of all time, that's for sure. Total dia mendapat delapan nominasi Oscar dengan dua diantaranya ("On the Waterfront" & "The Godfather") berhasil dimenangkan. Brando juga dianggap membawa revolusi bagi karakteristik akting dunia perfilman, dari pembawaan bigger than life era 30 hingga 40-an kearah pendekatan yang lebih realistis, lebih mendalam. Tapi tak bisa disangkal reputasinya acapkali tercoreng oleh perangai eksentrik dan terkenal sulit diajak bekerja sama dalam proses produksi film. Brando enggan menghafal naskah dan sering memakai cue card berisi dialog yang ditempel di beberapa posisi (termasuk tubuh aktor lain). Ketika memenangkan Oscar tahun 1973, ia tidak hadir dan diwakilkan oleh seorang gadis Indian sebagai bentuk protes sang aktor terhadap ketidakadilan Hollywood memperlakukan penduduk asli Amerika tersebut. Dan masih banyak erratic behavior lain yang ia pertunjukkan.

Kita sudah tahu semua kisah-kisah di atas, tapi tidak dengan alasan sesungguhnya di balik sikap sang aktor. Semasa hidupnya (meninggal tahun 2004), Marlon Brando begitu menutup diri hingga kehidupan pribadinya pun bagai misteri di mata publik. Lewat "Listen to Me Marlon", sutradara Stevan Riley coba menguak berbagai misteri tersebut. Tapi bukan sekedar hasil riset dan wawancara dengan orang terdekat, dokumenter ini dinarasikan sendiri oleh Brando. Riley menghidupkan kembali Marlon Brando, atau setidaknya itu yang saya rasakan selama kurang lebih 95 menit menyaksikan filmnya. Berisikan rekaman suara yang direkam sendiri oleh Brando di rumahnya, penelusuran kebenaran terasa lebih personal. Voice over Brando menuntun kita melihat jauh ke belakang, mempelajari masa kecilnya, era awal kesuksesan karir, hingga saat kesuksesan menghampiri dan privasi serta kebebasan yang disukai Brando mendadak hilang tak berbekas.
Penonton dibawa mempelajari berbagai pandangan sang aktor akan berbagai hal, termasuk akting dan kemanusiaan. Ingin tahu bagaimana aktingnya bisa begitu hebat dan proses macam apa yang ia jalani? Brando menjawabnya disini. Jika anda mendefinisikan diri sebagai moviegoers atau menyimpan kekaguman besar pada bidang akting, mendengar Brando mengutarakan tiap detail pendekatan aktingnya akan terasa menyenangkan. Terdengar jelas bagaimana ia menyimpan kecintaan begitu besar, passion menggebu serta sudut pandang kuat akan keaktoran. Anda akan tersenyum mendengar semua itu. Bahkan bukan tidak mungkin timbul kekaguman lebih jika sampai saat ini anda "hanya" menganggap Brando seorang aktor hebat. 

Sebagai salah satu "raja kontroversi", tentunya Brando terlibat dalam segudang permasalahan. "Listen to Me Marlon" memberi kesempatan pada sang aktor melakukan "klarifikasi" kepada semua itu. Salah satunya mengenai masalah dalam proses syuting "Apocalypse Now" karya Francis Ford Coppola. Selama ini rumor berkembang bahwa Brando datang ke lokasi dengan kondisi overweight dan menyebabkannya malu untuk nampak jelas di kamera. Sehingga ia meminta tiap kemunculannya diberi pencahayaan minim. Disini kita akan mendengar alasan sesungguhnya dari sudut pandang sang aktor. Sedikit one-sided, tapi bukan menjadi masalah, karena Brando tak pernah memberi klarifikasi mengenai berbagai kontroversi demi menjaga jarak dengan media. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, penuturan Brando dalam film ini akhirnya melengkapi kepingan puzzle mengenai figurnya di mata publik. Kini terserah penonton ingin mempercayai sudut pandang mana.
Bukan hanya dibuat tahu, kita akan pula memahami berbagai penyebab terbentuknya sosok seorang Marlon Brando. Darimana asal kemampuan aktingnya, kenapa ia "berseumbunyi", kenapa keluarganya berantakan dan berujung tragis, segalanya ada. Fakta dibeberkan baik tersurat maupun tersirat, saling berkaitan memunculkan benang merah antara satu dengan lainnya. Tapi bukan hanya penonton, karena Brando sendiri seolah tengah melakukan kontemplasi, rekoleksi terhadap kepingan memori. Itulah mengapa film ini terasa begitu intim dan emosional. Pada beberapa bagian, terdengar Brando tengah melakukan self-hypnosis demi mencari ketenangan. Terasa jelas dari suaranya bahwa ia tinggal dalam kecemasan. Pada akhirnya ketika tragedi terbesarnya muncul di layar, saya pun ikut tertegun, merasakan sakit yang sama saat menyadari bagaimana roda takdir berputar membentuk lingkaran setan tanpa kita sadari. Brando menyadari itu ketika telah terlambat. Semua telah terjadi, dan mungkin itulah penyesalan terbesar dalam hidupnya.

Stevan Riley yang tak hanya menjadi sutradara namun juga editor dan komposer musik berhasil memberikan persembahan terbaik dalam tiap posisi tersebut. Dia mampu mengkombinasikan kumpulan footage baik dari interview, foto, maupun cuplikan film Brando menjadi satu kesatuan utuh yang menggambarkan subjeknya. Musiknya terdengar tipis, tidak menggedor gendang telinga dengan orkestra menyayat, tidak pula mencapai klimaks beberapa menit sekali. Namun "diam-diam" ikut membangun emosi saya ketika tiba dalam momen-momen penting. Mudah menemukan kecintaan besar Riley pada Brando, membuat dokumenter ini penuh perasaan, bukan sekedar penelusuran berbasis fakta yang dingin. "Listen to Me Marlon" adalah bentuk sesungguhnya dari surat cinta kepada salah satu figur paling berpengaruh dalam dunia perfilman dunia. This movie is free-floating, explicit and brave, like Brando itself. Kini ketika publik telah lebih banyak memahami tentang sisi terdalam anda, you may rest in peace, sir.

1 komentar :

Comment Page:

IP MAN 3 (2015)

3 komentar
Filosofi dari seni bela diri Wing Chun adalah kebaikan, kesabaran dan kerendahan hati. Menguasai Wing Chun diharapkan membuat seseorang dipenuhi cinta kasih, bukan doyan pamer atau mudah terpancing amarah. Dalam dua film "Ip Man" garapan Wilson Yip yang menampilkan Donnie Yen, sikap itu menonjol dalam laku sang titular character. Setelah dua installment mengesankan berisi action sequence memikat dan drama kemanusiaan hangat, hendak dibawa kemana lagi franchise ini? Donnie Yen sebelumnya menyatakan bahwa film kedua adalah yang terakhir karena telah menutup kisah dengan sempurna. Apalagi seiring mencuatnya popularitas Ip Man beserta Wing Chun semenjak perilisan film pertama pada 2008, setidaknya ada tiga film lain yang mengangkat kehidupan sang master. Untungnya "Ip Man 3" melangkah ke jalur yang tepat dalam pengembangan cerita.

Kali ini perang dan penjajahan telah usai. Ber-setting tahun 1959, Ip Man (Donnie Yen) menjalani hidup sederhana bersama keluarganya sambil tetap mengajarkan Wing Chun. Meski namanya telah melegenda, Ip Man masih menjaga kerendahan hatinya. Namun bukan berarti tidak ada rintangan menghadang. Terdapat dua konflik dalam film ini. Pertama tentang rasa iri kepada popularitas Ip Man dalam diri Cheung Tin-chi (Zhang Jin) yang juga menguasai Wing Chun. Kedua, munculnya sebuah geng milik Frank (Mike Tyson) yang berusaha mengambil alih gedung sekolah demi membuat lahan bisnis. Ip Man beserta murid-muridnya bersedia melakukan penjagaan hingga larut malam di sekolah ketika pihak kepolisian tak banyak memberi bantuan. Tapi keputusan itu justru memercikkan konflik dalam rumah tangga Ip Man, ketika istrinya, Cheung Wing-sing (Lynn Hung) merasa tak pernah mendapat perhatian dari sang suami.

Sesungguhnya bukan suatu kemustahilan untuk menyatukan ketiga konflik di atas. Tiga poin tidaklah terlalu banyak, apalagi dua diantaranya saling bersinggungan. Tapi naskah Edmund Wong teramat kacau dalam merajutnya menjadi satu. Tengok saja ketika memasuki sepertiga akhir terjadi perubahan drastis dalam fokus yang sama sekali tidak mulus. Wong seperti kehilangan arah saat harus menautkan dua konflik yang melibatkan Frank dan Cheung Tin-chi. Pada akhirnya daripada kesatuan yang berkesinambungan, "Ip Man 3" terasa bagai dua film yang dipaksa melebur jadi satu. Sutradara Wilson Yip pun gagal mengangkat kualitas narasi dengan cara bertuturnya. Seringkali tercipta lompatan demi lompatan yang meninggalkan lubang menganga. Seolah ada banyak adegan mengalami pemotongan, menciptakan missing link dalam alur. Secara penceritaan, film ini amatlah berantakan.
Tapi seperti yang telah saya ungkapkan, secara pengembangan kisah, "Ip Man 3" sudah bergerak ke arah yang tepat. Arah yang dimaksud berupa selipan hubungan antara Ip Man dengan sang istri. Meski peduli pada sesama, dari dua film pertama jelas terlihat bahwa Ip Man bukan sosok pria yang ahli menyuarakan romantisme pada wanita. Dia bukan pria penuh kepekaan cinta. Dalam suatu adegan, Wing-sing menyiapkan makan malam bagi sang suami yang pulang larut. Biasanya penonton akan ditunjukkan follow-up manis berupa respon sang suami. Tapi disini tidak. Seusai makan, Ip Man justru meninggalkan catatan di bawah mangkok berisi permintaan supaya Wing-sing menjahit kancing bajunya yang terlepas. Satu adegan menggelitik nan sederhana, tapi cukup sebagai penggambaran bagaimana interaksi pasangan ini, atau lebih tepatnya "kesulitan" yang dialami Wing-sing dalam membina rumah tangga bersama sang master.

Namun pada akhirnya kita dipertunjukkan bahwa seperti Wing Chun itu sendiri, Ip Man adalah pria penuh kasih sayang meski terkadang tak tahu cara pengungkapan yang tepat. Wing-sing pun sama. Dia memang sering dikecewakan, tapi rasa cinta pada suaminya begitu besar. Pasangan ini tidak memenuhi kriteria romantis seperti pada umumnya, tapi jelas saling mencintai dengan cara mereka sendiri. Adegan perkelahian di lift antara Ip Man dengan anak buah Frank menunjukkan itu. Saat Ip Man bertarung, Wing-sing terpaku di dalam lift dengan wajah penuh rasa khawatir. Ketika akhirnya pintu lift terbuka dan ekspresi Wing-sing saat melihat suaminya baik-baik saja menimbulkan rasa haru. Itulah esensi bela diri milik Ip Man yang semenjak film pertama coba ditunjukkan. Meski dipenuhi koreografi memikat, momen perkelahian terbaik selalu datang saat Ip Man bertarung demi sosok tercinta, bukan saat diharuskan melawan puluhan orang sekaligus. Tiap pukulan berintensi melindungi yang terkasih, bukan melukai lawan, sehingga bukan glorifikasi kekerasan yang akhirnya muncul. 
Film ini beruntung memiliki Lynn Hung, karena fokus pada tiap ekspresinya lah kunci keberhasilan momen dramatik. Entah mata penuh kekhawatiran di dalam lift atau tatapan perenungan berisi kompleksitas rasa kala menemani sang suami berlatih, semuanya sanggup menyuntikkan kekuatan emosi. Hal ini penting, karena Lynn Hung dipasangkan dengan Donnie Yen yang kita tahu berkali-kali lipat lebih baik ketika melakoni adegan aksi daripada drama. Disini pun Yen masih sama. Senyuman awkward dan ekspresi datar masih setia menghiasi wajahnya. Maka tidak heran ketika ia mampu (akhirnya) berekspresi mengeluarkan air mata, Wilson Yip memilih berlama-lama meletakkan fokus kamera pada wajah Yen. Seolah ingin membuktikan sang aktor bisa berakting.....meski hanya di satu adegan.

Kemudian ada Mike Tyson, yang pertemuannya dengan Donnie Yen jadi bahan promosi utama film ini. Dalam peran penuh pertamanya (di "The Hangover" ia hanya cameo sebagai diri sendiri), Tyson jelas memenuhi ekspektasi. Bukan lewat akting memukau, tapi sebagai lawan sepadan bagi Ip Man. Dengan pukulan super kuat dan tubuh beton yang mampu menahan tiap jurus Wing Chun, seharusnya konfrontasi Ip Man-Frank menjadi klimaks di akhir. Karena mau selama dan sebaik apapun koreografi Ip Man melawan Tin-chi, intensitasnya kalah jauh dibandingkan momen "Wing Chun versus boxing" yang juga lebih unik, sebab kita sudah melihat koreografi kung-fu lebih memikat dalam film-film sebelumnya. Klimaks pun berujung anti-klimaks. Selain itu, konklusi kisah Frank pun terasa out-of-character. Memang ia digambarkan menyayangi keluarganya, tapi memberi penutup berupa penggambaran Frank sebagai petarung sejati? Apa petarung sejati mengirim anak buahnya demi membunuh Ip Man? Apa petarung sejati yang sayang anak rela menghancurkan sekolah? Butuh eksplorasi karakter lebih dalam untuk membuat saya mempercayai semua itu, meski rasanya kualitas akting Tyson tak akan mampu menjangkau kedalaman tersebut.

Bila harus dibandingkan, maka "Ip Man 3" berada di bawah dua film pendahulunya. Tapi sebagai penutup, film ini memberikan akhir sempurna berisi kehangatan drama seorang master kung-fu yang mengabdikan hidupnya untuk kedamaian dengan bermodalkan cinta kasih. Bagi para penggemar Donnie Yen atau yang menyukai dua film pertama, maka  "Ip Man 3" tetap merupakan tontonan wajib yang cukup memuaskan. 

3 komentar :

Comment Page:

THE REVENANT (2015)

13 komentar
Alam dapat menjadi kawan terbaik manusia. Kita bisa memperoleh berbagai sumber kehidupan atau sekedar menikmati keindahannya. Namun terkadang alam juga dapat menjadi lawan mematikan. Tidak harus disebabkan oleh suatu bencana, karena alam yang tenang pun mampu memberikan cobaan teramat berat. Dua sisi kontradiktif itu tergambar jelas dalam "The Revenant", film terbaru karya Alejandro G. Inarritu yang awal tahun ini baru memenangkan Oscar untuk "Best Director" melalui filmnya, "Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance)". Dalam film ini, Inarritu dibantu sinematografer Emmanue Lubezki beberapa kali meramu sequence dimana indahnya sinar matahari yang terpancar diantara sela pepohonan hadir bergantian dengan horor berisikan hewan buas atau badai salju ganas. Lebih jauh lagi, hampir semua aspek yang ada mampu menyelamatkan sekaligus merenggut nyawa seseorang.

Ber-setting pada tahun 1823 di tengah alam liar Louisiana, para pemburu di bawah pimpinan Kapten Andrew Henry (Domhnall Gleeson) sedang mengumpulkan kulit-kulit hewan. Perburuan yang tenang itu berubah menjadi pembantaian ketika sekelompok Indian menyerbu mereka demi merebut kulit yang telah terkumpul. Penyerbuan tersebut menewaskan 33 orang, atau lebih dari separuh anggota pemburu. Tapi rintangan belum selesai sampai disitu, ketika Hugh Glass (Leonardo DiCaprio), pemburu berpengalaman sekaligus satu-satunya orang yang mengetahui jalan pulang diserang oleh beruang grizzly. Glass yang tak lagi mampu berjalan pun terpaksa ditinggalkan di bawah penjagaan tiga orang; Hawk (Forrest Goodluck), putera Glass yang memiliki darah Indian, Bridger (Will Poulter) dan John Fitzgerald (Tom Hardy). Ketika Fitzgerald akhirnya meninggalkan Glass untuk mati di tengah hutan, dimulailah usaha Glass bertahan hidup dengan kondisi sekarat, tanpa senjata, tanpa makanan dan dikelilingi cuaca tak bersahabat.
Kita bisa melihat semua kontradiksi dalam ceritanya. Selain dari sisi visual, alam tampak berbahaya ketika ia membuat Glass membeku di tengah badai. Tapi juga bersahabat tatkala arus deras sungai membantunya kabur dari kejaran para Indian. Begitu pula hewan-hewan liar. Beruang nyaris membuat Glass tewas, tapi berkat hewan pula ia mendapat alat transportasi dan makanan demi bertahan hidup. Sumber penghasilan para pemburu pun berasal dari hewan. Para Indian memang langsung melakukan pembantaian di awal film dan sejak itu terus memburu mereka tanpa henti, namun pada satu titik Glass memperoleh bantuan salah seorang dari mereka, lalu menjalin pertemanan singkat. Seiring berjalannya film kita pun mengetahui alasan penyerangan Suku Indian, hingga tak semudah itu mengutuk perbuatan mereka. Sama kompleksnya dengan "penilaian" kepada Fitzgerald. Dia kejam, egois, berdarah dingin (tak ragu meninggalkan Glass juga menarik picu senapan kearah Bridger), tapi itu berasal dari rasa takut manusia sekaligus usaha bertahan hidup yang pastinya manusiawi.

"The Revenant" yang diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Punke ini adalah sajian kontemplatif dengan penuturan lambat minim dialog -DiCaprio lebih banyak mengerang, menggeram atau berteriak daripada bicara- yang lebih banyak bermain di ranah atmosfer dalam kesubtilan cerita. Ini merupakan tipikal film yang di permukaan hanya sebatas tontonan survival didominasi adegan DiCaprio berjalan, berlari, kedinginan, kesakitan, makan, atau tidur, tapi secara lebih dalam punya banyak perenungan berupa pertanyaan mengenai perbuatan seseorang. Setumpuk kontemplasi dihadirkan, tapi sayangnya minim gejolak emosi mampu dimunculkan. Saya tidak merasa emosional melihat Glass yang dihantui masa lalunya, tersakiti dan ingin balas dendam, bahkan momen-momen kala sang protagonis mampu mengalahkan berbagai rintangan pun tak membuat hati saya tergerak. Memang ini dikarenakan tone kontemplatif yang diusung. Filmnya dingin, begitu pula emosinya. 
Tapi "The Revenant" punya kekuatan lain sehingga kekurangan aspek emosi itu mampu tertutup rapat. Sebagai drama emosional, filmnya flat, tapi sebagai sajian survival, tak bisa dipungkiri ini tontonan mencekat. Glass harus melalui berbagai rintangan berat, dan kesan itu tersaji sempurna. Serangan brutal dari beruang tampak menyakitkan, begitu pula melihat luka cabikan di sekujur tubuh Glass. Serupa dengan keharusan memakan hati bison mentah atau menembus badai salju. It looks hard, because it looks real. Keengganan Inarritu mengeksploitasi CGI ditambah kegamblangan visualisasi adegan minim "off-screen moment" jadi faktor keberhasilan. Perjuangan proses produksi sembilan bulan di bawah cuaca tak bersahabat terbayar tuntas. Akan lain hasilnya bila Inarritu memilih latar green screen sebagai sumber penciptaan adegan. Tapi tentu saja alasan terkuat kenapa setiap momentum tampak nyata adalah akting Leonardo DiCaprio.

Totalitas adalah kuncinya. Total dalam ekspresi, gestur serta rasa. Terdapat banyak contoh sebagai bukti, tapi saya ambil satu adegan ketika ia sekuat tenaga merangkak keluar dari "liang kuburnya". Lihat bagaimana dia tampak susah payah hanya untuk menggerakkan tangan guna meraih pegangan. Lihat getaran tubuhnya yang menggambarkan perjuangan mati-matian di tengah rasa sakit. Atau ekspresi sekaligus tatapan matanya yang penuh penderitaan. Bahkan ketika dalam banyak adegan DiCaprio hanya terbaring tak berdaya, tiap hal yang ia rasakan, emosi yang dikemukakan, semuanya muncul nyata ke permukaan. He was going through hell, and I could feel his desperation, his anger, his pain, everything. Pada proses pengambilan gambar pun ia menjalani banyak penderitaan. Dan ketika scene terakhir DiCaprio menatap lurus kearah kamera, disitulah ia berhasil mengunci kemenangannnya di Oscar tahun depan yang telah lama kita semua nantikan.

Departemen artistik juga memiliki kualitas luar biasa. Scoring garapan Ryuichi Sakamoto, Alva Noto dan Bryce Dessner menguatkan atmosfer. Musik banyak berisi perkusi bertempo cepat yang terdengar layaknya genderang perang. Tiap perkusi mulai terdengar, ketegangan serta merta mencengkeram. Tapi kita tahu jika sinematografi karya Emmanuel Lubezki menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Chivo (panggilan Lubezki) dan Inarritu bersikeras mengambil gambar hanya dengan cahaya natural, yang menambah perjuangan proses produksi. Sepadan? Hell, yes! Hampir tiap scene adalah keindahan yang mendukung "alam" sebagai pemegang peran penting narasi. Pergerakan kamera yang "terbang" kesana kemari dan banyaknya gambar diambil dari bawah demi menonjolkan kemegahan setting memunculkan pesona keindahan layaknya film-film Terrence Malick. Tidak mengherankan, karena Chivo pernah menjadi sinematografer "The New World" sedangkan Jack Fisk selaku production designer adalah langganan Malick. Overall it's cold and emotionally flat, but "The Revenant" is a gripping beauty yet also a horrific terror at the same time.

13 komentar :

Comment Page:

CREED (2015)

7 komentar
2015 menjadi tahun dimana Hollywood banyak menghidupkan kembali franchise lama, membawanya kearah baru sambil berusaha menyuntikkan penghormatan pada film pendahulunya. There's an amazing result ("Star Wars: The Force Awakens"), the good ("Jurassic World" & "Mad Max: Fury Road") and the terrible ("Terminator Genisys"). Mungkin alasan utama pihak studio membangkitkan lagi judul-judul lawas hanya demi meraup keuntungan, tapi untuk hasil memuaskan dibutuhkan cinta dari sutradara kepada materi dasar. Dari beberapa contoh judul di atas anda bisa tahu mana sutradara yang clueless, mana yang paham, dan mana yang memiliki passion besar. Dengan cinta, tak peduli walau filmnya banyak memberi tribute hingga seperti carbon copy dan mengikuti pattern standar yang mudah ditebak. Curahan rasa tersebut akan terhubung pada emosi penonton, entah berkat momen nostalgia atau murni hasil kekuatan bertutur.

Sebagai spin-off sekaligus sekuel bagi film-film "Rocky", "Creed" karya Ryan Coogler tidak berusaha menjauhkan diri dari formula "David versus Goliath" yang diusung franchise-nya. Adonis Johnson (Michael B. Jordan) merupakan putera dari Apollo Creed yang baru lahir setelah sang ayah meninggal. Meski tak pernah saling kenal, Adonis terlihat mengikuti jejak ayahnya. Sejak kecil ia sudah sering berkelahi, dan begitu tumbuh dewasa di bawah asuhan Mary Anne (Phylicia Rashad) -istri Apollo- Adonis memilih berhenti dari pekerjaan mapan di kantor untuk serius menjadi petinju. Demi mencapai impian tersebut, Adonis pindah ke Philadelphia, berharap mendapat pelatihan dari Rocky Balboa (Sylvester Stallone), rival sekaligus sahabat sang ayah. Meski awalnya menolak, akhirnya Rocky setuju melatih Adonis. Membimbingnya tak hanya untuk pertarungan di atas ring, tapi juga pergulatan personal guna lepas dari bayang-bayang jejak ayahnya.

Naskah Ryan Coogler dan Aaron Covington tidak berusaha keluar dari pakem. "Creed" masih dibumbui rangkaian kisah familiar tentang perjuangan underdog untuk akhirnya berhadapan dengan sang juara. From zero to hero atau David versus Goliath, terserah sebutan mana yang anda sematkan untuk film ini. Intinya, arah film mudah ditebak. Tentu akan ada bumbu romansa ketika Adonis bertemu Bianca (Tessa Thompson), seorang singer-songwriter sekaligus tetangganya. Bahkan kita disuguhi sub-plot tentang karakter penderita kanker mematikan. Tapi itu bukan berarti filmnya buruk. Mainstream filmmaking (if there's any) justru berpotensi menjadi crowd pleaser yang sulit ditolak, which Ryan Coogler successfully did in this movie. Untuk "Creed", formulaik bukan bentuk kemalasan bercerita, namun kesetiaan terhadap esensi dari "Rocky". Selipan "penyakit" pun tidak dieksploitasi demi menguras emosi penonton, melainkan aspek penting dalam pengembangan karakter yang sesuai dengan tema filmnya; "you have to fight in your life".
Seperti dalam "Fruitvale Station" selaku debutnya, Coogler tidak berusaha terlalu keras mendramatisir momen meski kisahnya mengakomodir untuk melakukan itu. Coogler lebih tertarik mengeksplorasi karakter, mengenalkan mereka pada penonton secara perlahan tapi pasti supaya nantinya kita rela mendukung perjuangan mereka. Menyaksikan perjalanan Adonis membuat saya teringat kepada sosok Rocky dulu; anak muda liar jago berkelahi tapi tidak terlatih, diremehkan, namun berkat usaha keras serta bantuan mentor akhirnya mampu mengimbangi seorang juara. Mudah bersimpati pada Adonis, karena ia bukan tipikal pemuda broken home yang membenci sang ayah sehingga ingin lepas dari bayang-bayangnya. Bukan pula anak "bodoh" yang hanya bermodalkan fisik (dia mengenyam pendidikan cukup). Meski mudah naik darah, pula menyimpan hasrat besar untuk segera bertarung, Adonis tetaplah pekerja keras yang tak kenal menyerah dan menaruh hormat bagi orang lain.

Konflik batin milik Adonis terasa manusiawi namun kompleks, dimana Adonis tetap menghormati, bahkan sesungguhnya mengagumi sang ayah. Dia hanya takut akan terbebani nama besar Apollo Creed, sehingga saat bertinju tak pernah memakai "Creed" sebagai nama belakangnya. Konklusi yang diambil Coogler terhadap chapter pertama kisah Adonis pun bagai mirroring kepada nasib Rocky di awal karirnya. Bedanya, Adonis punya beban lebih berat untuk berhasil dalam bentuk legacy sang ayah. Sentuhan kecil itu cukup sebagai arah baru supaya "Creed" tidak menjadi carbon copy semata. Template yang dipakai serupa, tapi detail di dalamnya tak sama. 

Kemudian ada Rocky dengan peran sebagai mentor. Tapi sosoknya bukan sekedar pria tua (dipaksakan) bijak seperti yang banyak kita jumpai dalam film kebanyakan. Rocky disini adalah pria tua kesepian setelah semua orang tercinta telah tiada. Dia juga tidak lagi memiliki fisik prima untuk bertinju. Orang tercinta dan kekuatan fisik adalah dua hal yang sejak dulu menjadi aspek penting kehidupan sang legenda. Dalam "Creed" kita menjumpai Rocky Balboa yang sudah kehilangan dua hal tersebut. Maka disaat Adonis hadir, saya bisa memahami alasan Rocky bersedia menjadi pelatih, dan bagaimana semangat juang kembali membara dalam dirinya. Poin ini adalah hal sederhana tapi penting guna membangun ikatan emosi penonton dengan sang tokoh. Tanpa kebugaran fisik, Rocky masih memiliki otak berisikan segudang pengalaman. Lewat enam film, sudah banyak hal yang dia tempuh. Jatuh bangun karir, kehadiran dan kehilangan orang tercinta, sakit parah, semua pernah dilalui. Maka mudah untuk menerima kebijakan bertutur serta kalimat motivasional yang ia ungkapkan. "Creed" menjadi titik kulminasi pada transformasi Rocky Balboa, dari pemuda liar dan sering overconfidence menjadi respectable wise old man.
Coogler mampu membawa penonton paham betul akan kedua protagonis. Jika akhirnya emosi kita memuncak, itu bukan karena paksaan adegan overly dramatic, tapi karena kita telah diajak memahami karakternya. Kekuatan akting para aktor turut menjadi kunci. Jordan tidak hanya memiliki kemiripan fisik dengan Carl Weathers (pemeran Apollo) yang membuatnya cocok memerankan anaknya, tapi juga memunculkan dengan jelas hasrat besar untuk menang, baik di dalam maupun di luar ring. But (surprisingly) the real heart of this movie is Sylvester Stallone. Untuk pertama kali cara bicara Stallone membuatnya terasa sebagai pria yang wajib dan tidak sulit untuk saya hormati. Masih terpancar kekuatan, tapi dalam berbagai monolog, Stallone memberi kerapuhan nyata, baik dari mata, perubahan ekspresi, atau pengucapan kalimat. Tiap kemunculannya, (meski hanya berdiri diam) Stallone mampu mencengkeram atensi. Sampai pada tingkat membuat saya sedikit khawatir, "bisakah (bila ada) sekuel "Creed" tetap kuat andai kelak tanpa kehadirannya?" 

"Creed" konsisten memberi daya tarik apapun konteks adegannya. Berbagai interaksi berbentuk obrolan antar-karakter menjadi hidup berkat adanya bumbu komedi menggelitik yang tak segan dimasukkan Coogler kedalam naskahnya. Training montage sebagai salah satu ciri khas franchise ini tetap menyenangkan disimak, khsususnya berkat iringan scoring dari Ludwig Goransson. Scoring-nya bukan saja memanjakan telinga, tapi juga menghentak,membangkitkan adrenaline. Goransson bahkan cukup cerdik dengan menyertakan beberapa efek suara seperti bel yang membaurkan musiknya dengan film bertemakan tinju ini. 

Sebagai film tinju, tentu "Creed" memiliki adegan pertandingan sebagai highlight. Penyutradaraan Coogler, aspek teknis, dan sisi emosional, semua mencapai puncak dalam momen di atas ring. Memang hanya terjadi dua kali, tapi keduanya luar biasa. Pertandingan pertama terdiri dari dua ronde yang dikemas menggunakan teknik continuous shot dengan pergeraan kamera dinamis, membuat saya serasa mengamati langsung dari atas ring. Sedangkan bagian kedua sekaligus klimaks 12 ronde dibuat layaknya siaran langsung tinju dari televisi. Rasanya seperti tengah menyaksikan suatu big event nyata dunia olahraga. Euforia begitu kuat disana. Ketika pukulan mendarat di wajah mereka, atau saat salah satu harus jatuh terbaring, saya dibuat terperanjat atau bersorak. Begitu pertandingan usai, saya tak bisa menahan diri untuk berteriak dan bertepuk tangan sembari tanpa sadar air mata telah mengalir. Apapun hasil pertandingan atau siapa pemenangnya menjadi tak penting. "Creed" beserta karakter di dalamnya sudah berhasil memenangkan hati saya. 

7 komentar :

Comment Page:

THE HATEFUL EIGHT (2015)

4 komentar
"Just a bunch of nefarious guys in a room, all telling backstories that may or may not be true. Trap those guys together in a room with a blizzard outside, give them guns, and see what happens." Begitu Quentin Tarantino mendeskripsikan premis film kedelapan buatannya. Artinya, film ini akan bertempat dalam satu setting, dengan cerita berpusat pada pembicaraan diantara mereka. It sounds like a perfect "Tarantino movie" right? Beberapa karya terakhirnya seperti "Inglourious Basterds" hingga "Django Unchained" memang punya karakteristik khas sang sutradara, tapi "The Hateful Eight" terdengar bagai kompilasi "the greatest hits" Tarantino dengan mengumpulkan segala aspek yang penonton harapkan terdapat dalam filmnya. Tidak hanya itu, beberapa aktor selaku frequent collaborator-nya sebut saja Samuel L. Jackson, Tim Roth, sampai Michael Madsen turut ambil bagian. 

Kisahnya memiliki enam chapter diamana tiap-tiap chapter bertugas merangkum satu poin penting pada keseluruhan cerita. Satu per satu kita diperkenalkan pada kedelapan tokoh yang nantinya akan berbagi panggung pertunjukkan. Marquis Warren (Samuel L. Jackson), seorang bounty hunter sekaligus mantan anggota black Union soldier dimunculkan pertama sekaligus tokoh yang paling dekat dengan sebutan "pemeran utama". Tapi Warren bukanlah pria baik-baik. Faktanya, tak ada satupun dari delapan karakter yang berperan selaku "sosok putih", bahkan segala penuturan mereka pun sulit dipegang kebenarannya. Badai salju ganas memaksa delapan orang itu berkumpul dalam sebuah haberdashery. Mulai terjadi perkenalan satu sama lain, lengkap dengan cerita mengenai jati diri masing-masing. Hingga perlahan muncul kecurigaan bahwa satu orang (atau lebih) telah menuturkan kebohongan mengenai dirinya. 

Kecurigaan tersebut menuntun kehadiran misteri ala-detective flick dimana beberapa karakter berkumpul, terjadi suatu kasus, dan berujung pada usaha mengungkap identitas sang pelaku. Why the western? Karena dengan membawa setting ke dunia tersebut, Tarantino dapat menciptakan kondisi dimana satu atau bahkan semua orang merupakan outlaw. Ini adalah dunia berbahaya dengan tokoh membawa pistol dan bisa kapanpun memecahkan kepala seseorang dengan itu. Garis batas hitam dan putih lebih mungkin dikaburkan berkatnya. But this isn't just the western version of "Reservoir Dogs". Bukan hanya berisikan misteri pengundang tanya, "The Hateful Eight" menjadi eksplorasi situasi mengerikan penuh amarah yang dipicu dendam. Tarantino bermain-main dengan atmosfer. Setting-nya bukan cuma hiasan, melainkan faktor penting dalam pembangun suasana. Kita akan selalu mendengar tiupan angin kencang di luar ruangan, menguatkan kesan terisolir yang akan semakin mencekam kala mendapati semua yang berada di dalam adalah sosok berbahaya. Opening sequence dengan patung Yesus tertimbun salju diiringi scoring mencekam Ennio Morricone pun telah menjadi gerbang pembuka sempurna.  
Berdurasi 167 menit, alurnya berjalan lambat tapi tidak dragging. Pastinya dialog tulisan Tarantino menjadi pemicu utama keberhasilan tersebut. "The Hateful Eight" adalah tipikal film berisi konsistensi ketegangan mengikat yang bersumber dari pertukaran kalimat tokohnya. Meski baris kalimatnya less-memorable dibanding tulisan-tulisan terbaik Tarantino, namun sudah cukup sebagai penggaet atensi. Tentu Tarantino tahu cara mengemas suatu obrolan menarik, ketika ia mengungkap fakta sedikit demi sedikit dengan tiap kalimat berisikan punchline supaya penonton bersedia menanti hal apalagi yang berikutnya muncul. Intensitasnya tinggi meski dituturkan secara lambat, bukan tik-tok cepat layaknya "Pulp Fiction". Memang dalam tiga chapter pamungkas terdapat bloodshed berisikan banyak kepala pecah sampai "pameran" muntah darah, menjadikan "The Hateful Eight" sebagai film Tarantino paling gory. Tapi kegilaan itu tak lebih sebagai "upah" kesabaran penonton setelah hampir tiga jam "hanya" mendengar obrolan. Senjata utama tetap berasal dari dialog, bahkan ketegangan klimaks juga berasal dari situ.

Sebagai film berisi ensemble cast, sudah menjadi kewajaran ketika para pemain tampil memuaskan. Tidak ada penampil buruk, bahkan Zoe Bell dengan screentime hanya beberapa menit pun mencuri perhatian saat menanggalkan image "gaharnya" untuk berperan sebagai Six-Horse Judy yang girly dan ceria. Tim Roth, Michael Madsen, pula Kurt Russell punya momen masing-masing untuk bersinar. Tapi saya memilih trio Samuel L. Jakson, Jennifer Jason Leigh dan Bruce Dern sebagai favorit. Porsi Bruce Dern paling sedikit diantara ketiganya, namun alangkah memikat tatapan mata penuh horor dan amarah menjelang akhir kemunculan karakternya. Sedangkan Jennifer Jason Leigh sebagai Daisy "The Prisoner" Domergue kuat memberi pernyataan bahwa she doesn't give a fuck dalam tiap perbuatannya. Sosoknya memberi tanda tanya. Terkadang ia tampak lemah, tidak jarang lucu, tapi mengapa dalam perjalanan menuju tempat eksekusi ia justru teramat santai? Ketika "wajah aslinya" terbuka, Jason Leigh menunjukkan definisi sempurna dari "evil bitch".
Samuel L. Jackson punya porsi terbanyak dibanding aktor lain. Kemunculannya penuh monolog yang kesemuanya berhasil dimanfaatkan tanpa cela oleh sang aktor. There's a gravita in every word that he said, and of course he's still our favorite bad-ass motherfucker. Penuh kharisma, ia menjadikan Warren di awal layaknya sosok antihero dalam suatu film western pada umumnya. Tenang, tapi tanpa menyiratkan keraguan menghabisi siapapun yang mengalangi jalannya. Hingga akhirnya kita semakin jauh mempelajari sosok Warren, semakin ambigu pula karakter ini. He's not an ordinary antihero, he's an asshole like everybody else. Berkat ambiguitas itulah interaksi diantara mereka selalu menarik disimak. 

Meski begitu film ini bukannya tidak memiliki cela, terlebih saat Tarantino "mengkhianati" keputusannya membuat film hanya berisikan delapan karakter saling berinteraksi. It's much bigger than that. Semakin jauh alur berjalan, semakin bertambah karakter bermunculan, sehingga saya beberapa kali merasa judul "The Hateful Eight" tidak lagi relevan dengan perkembangan alurnya. Sebuah twist pada chapter keempat menunjukkan kekurangan tersebut. Memang memberi efek kejut, tapi juga bagai memperlihatkan kebingungan Tarantino untuk memberi jalan keluar demi konklusi konflik yang susah payah dibangun. Ketika cerita "keluar" dari lingkup delapan karakter sentral, jalinan intensitas pun terputus. Masih berisi adegan-adegan menarik, tapi memberi jarak pada flow yang harusnya terus berjalan tanpa putus hingga akhir.

Terdapat kontroversi menimpa Quentin Tarantino sebelum filmnya rilis terkait keterlibatannya dalam demonstrasi terhadap kebrutalan polisi. Entah kebetulan atau tidak, filmnya cukup sering mengkritisi hal yang bersinggungan. Untuk pertama kalinya Tarantino mengkritisi sebuah isu secara lantang. Dia banyak bicara tentang isu rasial, keadilan sosial masyarakat, hingga peran pihak berwajib dalam usaha menegakkan hukum yang berlaku. Mudah menghakimi film-film Tarantino sebagai sajian kekerasan pointless yang hanya fokus pada gaya tanpa menuturkan hal esensial. Lewat "The Hateful Eight" Tarantino akhirnya meneriakkan kritik secara gamblang dengan relevansi nyata kepada gambaran masyarakat dunia dewasa ini. Meski bukan sajian terbaik dari Quentin Tarantino, "The Hateful Eight" masih kuat berdiri di jajaran atas film terbaik tahun ini. Bukti kehebatan sang sutradara. Berkaca pada film ini, dengan sisa dua film (Tarantino berencana membuat total 10 film) mari berharap salah satunya adalah courtroom thriller. 

4 komentar :

Comment Page:

NEGERI VAN ORANJE (2015)

9 komentar
Penyakit akut bagi film Indonesia yang menjalani proses syuting di luar negeri adalah lebih berfokus pada eksploitasi pemandangan tiap sudut lokasi. Tidak jarang filmnya melupakan tugas bernarasi dan seperti dokumentasi jalan-jalan belaka. Mungkin para pembuatnya beranggapan penonton Indonesia kampungan, mudah dibuat terperangah oleh suatu negeri asing. Saya berpikir sebaliknya. Para pembuatnya yang kampungan karena terlalu kagum, sampai merasa sayang untuk tidak sebanyak mungkin menyelipkan footage tersebut. Materi promosi menuju perilisan "Negeri Van Oranje" karya sutradara Endri Pelita tidak nampak seperti itu. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi dan Rizki Pandu Perdana ini terlihat memfokuskan kisah pada lingkup persahabatan serta cinta di dalam pertemanan. Ada harapan besar di benak saya. Harapan itu sayangnya tak seutuhnya terpenuhi.

Adegan pertama memperlihatkan persiapan pernikahan Lintang (Tatjana Saphira), dimana kita diberi tease bahwa ia hendak menikahi salah satu dari empat sahabatnya. Saya pun mulai menyadari "Negeri Van Oranje" bakal berjalan layaknya tebak-tebakan mengenai siapa yang akhirnya mampu mendapatkan hati Lintang. Pembukaan yang menjanjikan, karena artinya naskah tulisan Titien Wattimena tahu hendak melangkah menuju ranah eksporasi karakter. Fokus (seharusnya) ditempatkan pada interaksi Lintang dengan masing-masing "calon suami", dan bila dilakukan dengan benar, akan tercipta proses eksplorasi karakter mendalam serta interaksi bernyawa. Tak lama, penonton dilempar menuju setting luar negerinya; Belanda dan kota Praha. Disaat Belanda merupakan tempat kelimanya mulai menjalin pertemanan, Praha menjadi titik puncak perpecahan kala Lintang merasa tersakiti karena menjadi bahan rebutan dan taruhan oleh sahabatnya.

Alurnya tidak linier, dimana selepas pengenalan konflik di Praha, cerita terus melompat. Mulai saat kelimanya pertama bertemu, hingga pemaparan satu per satu hubungan antara tokoh pria dengan Lintang. Disinilah misteri dimulai. Penonton "diminta" menebak siapa yang akan dipilih Lintang. Sesekali terdengar voice over-nya, menjabarkan opini mengenai masing-masing pria. Seolah seperti petunjuk, tapi baris kalimat yang terucap sesungguhnya pengecoh demi membuat penonton terus berpikir. Tidak sulit untuk menebak "siapa", dan semestinya film ini tak berfokus pada hasil akhir, melainkan proses. Sayang, naskahnya justru lebih tertarik menggiring penonton untuk menebak daripada mengeksplorasi proses persahabatan serta detail karakter. Akibatnya perjalanan yang ditempuh berujung hampa. Kehangatan persahabatan pun tak terasa. Saya bagai outsider yang hanya melihat rekaman karakternya jalan-jalan tanpa dipersilahkan masuk lebih jauh untuk mengenal. 
Penulisan dialog jauh dari kesan menarik. Minim eksplorasi serta kreatifitas, karena mayoritas kalimat tidak jauh dari obrolan dangkal santai atau penjelasan untuk suatu monumen bersejarah. Ya, "Negeri Van Oranje" nyatanya masih terserang penyakit "pamer pemandangan". Kita sering melihat kelima karakternya bersama, tapi kebanyakan berupa montage mereka berjalan bersama menikmati pemandangan kota. Memang sinematografi dari Yoyok Budi Santoso cukup well-made, tapi rasanya kosong, tak ubahnya video traveling yang banyak beredar di YouTube (dengan kualitas gambar lebih baik tentunya). Bicara sinematografi, gambar yang ditangkap sebenarnya memanjakan mata, tapi terganggu oleh pemakaian lens flare atau fake rainbow berlebih. Kenapa tiap matahari harus bersinar begitu "galak"? Kenapa tiap kaca bahkan lampu mobil harus memantulkan cahaya menyilaukan? Pemakaian efek visual semacam ini tidak keliru, hanya saja disini semuanya nampak palsu. Gambar indah tidak selalu bersinonim dengan cahaya magic hour ala Terrence Malick bukan?

Andai saja "Negeri Van Oranje" tidak dianugerahi jajaran cast berbakat, hancurlah film ini. Tatjana Saphira memang sering datar berekspresi, tapi ia cocok sebagai Lintang. Gadis ini harus membuat penonton percaya ia layak diperebutkan empat pria tampan. Melihat paras Tatjana, perebutan itu jadi believable. Sedangkan Banjar (Arifin Putra), Wicak (Abimana Aryasatya), Daus (Ge Pamungkas) dan Geri (Chicco Jerikho) punya karakterisasi berbeda dan keempat aktornya mampu menguatkan perbedaan itu, bukan semata-mata hanya di atas kertas. Banjar si "pria bar-bar" dan Daus yang cerdas tapi konyol adalah sumber komedi. Keduanya tak pernah gagal membuat saya tertawa, dan dari situ hiburan terbesar film ini. Menyenangkan melihat Arifin Putra lepas dari tokoh cool yang akhir-akhir ini identik dengan dirinya. Chicco adalah Chicco, yang dengan mudah membuat Geri menjadi "the coolest guy on Earth".
Tapi film ini punya sosok bernama Abimana Aryasatya, yang tetap menonjol tak peduli harus bersanding dengan siapa atau memainkan naskah sedangkal apapun. Jika anda telah melihat trailer film ini, tentu akan tahu sebaris dialog yang diucapkan Abimana. Dialog itu berbunyi "cukup satu kejadian, cukup satu". Hanya itu, and I'm sold! Aktor satu ini punya sihir untuk memberi bobot pada seluruh dialog, bahkan yang paling cheesy sekalipun (tengok "99 Cahaya Di Langit Eropa" sebagai contoh). Sihir itu dimunculkan lagi disini. Karakter Wicak yang ia perankan adalah sosok pendiam, tapi begitu bicara bahkan Lintang pun dibuat kagum. Saya merasakan hal serupa. Ketiga aktor lain tampil baik, tapi puluhan baris kalimat mereka bakal runtuh bila dibandingkan satu-dua baris dialog Abimana. Pembawaannya santai, tapi tidak lifeless. Matanya sayu namun memberi kedalaman, penuh ketegasan bertutur. Geri boleh jadi representasi "the coolest guy on Earth", tapi Abimana adalah "the coolest Indonesian actor today". 

Saya memahami pilihan filmnya untuk berfokus hanya pada persahabatan dan cinta, meminggirkan aspek esensial lain seperti perjuangan beradaptasi di negeri asing dalam kondisi sederhana. Tapi sekali lagi, itu percuma disaat jalinan persahabatan tak menghadirkan impact emosional kuat. Tapi diluar keburukan itu, izinkan saya memberi pembelaan terhadap premis-nya. Banyak orang beranggapan kisah Lintang ditaksir empat sahabatnya sebagai hal tidak logis. Coba pikir lagi. Anda tinggal di tempat asing, jauh dari rumah, lalu bertemu orang-orang satu tanah air. Otomatis tercipta intimasi. Hal itu terjadi pada kelima karakternya. Sedangkan bagi empat tokoh pria, mereka dihadapkan pada Lintang; gadis cantik, berasal dari tempat sama, hampir rutin mereka jumpai. Mereka kesepian, dan masuk akal jika semua menyukai Lintang di waktu bersamaan. Presentase terjadi pada empat orang memang kecil, tapi tidak semustahil kelihatannya.

"Negeri Van Oranje" menjadi contoh nyata pentingnya kualitas akting dalam suatu film. Disaat naskahnya lemah, fokus melebar kearah "unjuk gigi visual", saya masih bisa menikmati film ini. Saya tertawa pula tersentuh oleh beberapa momen. Bukan karena eksekusi sutradara atau kedalaman kisah, tapi berkat penghantaran memikat pemain. Bayangkan jika para aktor diberi naskah lebih kuat untuk mewujudkan premis film ini. Saya yakin, jika kekuatan itu dipenuhi, "Negeri Van Oranje" akan bertengger mantap di puncak daftar saya untuk film Indonesia terbaik 2015. Sayang, kegagalan memanfaatkan potensi justru membuatnya jadi salah satu kekecewaan terbesar tahun ini. This movie could've been better. This movie could've been amazing.

9 komentar :

Comment Page:

DILWALE (2015)

3 komentar
Bukan, film ini bukanlah sekuel dari "Dilwale Dulhania Le Jayenge" meski berjudul serupa dan sama-sama dibintangi "pasangan emas" perfilman Bollywood, Shah Rukh Khan dan Kajol. "Dilwale" yang disutradarai Rohit Shetty ini menandapi kolaborasi kedelapan pasangan tersebut, setelah terakhir kali bersama lima tahun lalu dalam "My Name Is Khan". Meski kolaborasi terbaru ini tidak akan menjadi klasik layaknya "Dilwale Dulhania Le Jayenge" maupun "Kuch Kuch Hota Hai" chemistry keduanya tetap menjadi salah satu kelebihan terbesar yang akan memuaskan seluruh penggemar. Bermodalkan nama besar pemain, adegan musikal meriah nan indah berisikan nomor-nomor catchy, romansa dramatis, ditambah over the top action sequence membuat film ini mengandung segala unsur yang penonton harapkan dimiliki oleh sajian Bollywood blockbuster

Alurnya bertempat pada dua setting waktu dan lokasi. Pertama adalah setting masa kini di India, bertutur tentang Raj (Shah Rukh Khan), seorang pemiliki bengkel mobil yang ia kelola bersama adiknya, Veer (Varun Dhawan). Berbeda dengan sang kakak yang dikenal santun pula baik hati, Veer kerap bertindak sesukanya dan tak jarang menimbulkan masalah. Pada awalnya, porsi penceritaan untuk alur masa kini lebih banyak diberikan pada Veer, termasuk hubungan cintanya bersama Ishita (Kriti Sanon) dan perselisihan dengan kelompok gangster milik King (Boman Irani). Namun kedua konflik ini akhirnya mulai mengungkap rahasia milik Raj. Sebuah rahasia yang membawa kita mundur ke masa 15 tahun lalu di Bulgaria. Kala itu Raj dikenal dengan nama Kaali, putera seorang Don kenamaan yang jatuh cinta dengan Meera (Kajol) setelah terjadinya suatu kecelakaan. 
Pertama langsung saya saya tekankan jika anda mencari tontonan dengan cerita cerdas penuh kompleksitas, "Dilwale" bukanlah film untuk anda. Ketika durasi 154 menit masih terasa overstuffed, bisa dipastikan kualitas penulisan naskahnya kacau. Terlampau banyak subplot dimasukkan oleh Yunus Sajawal kedalam naskah karyanya. Ada dua kisah cinta, perselisihan antar-keluarga gangster pula konflik dengan King, hingga sisipan cerita karakter Sidhu (Varun Sharma) yang sama sekali tidak penting. Beberapa adegan tanpa esensi berarti pun turut dimasukkan hanya sekedar untuk menyuplai sebanyak mungkin momen komedik. Bahkan seorang tokoh super annoying bernama Money (Johnny Lever) diperkenalkan demi menambah karakter komikal, yang mana tak perlu mengingat karakter bertipe itu sudah banyak dimiliki film ini. Kekacauan naskah semakin nyata menjelang akhir, ketika Yunus Sajawal berusaha mengakhiri banyaknya konflik secepat mungkin, menjadikannya bertumpuk asal masuk.

Tapi perlu diingat bahwa "Dilwale" dibuat murni sebagai hiburan, and for that purpose only, this movie still damn entertaining. Meski tak jarang terasa luar biasa bodoh, beberapa unsur mampu menghadirkan kesenangan tingkat tinggi. Bicara kebodohan menyenangkan, sentuhan komedinya sanggup menjadi itu. Setiap momentum (kecuali yang berpusat pada Money) membuat saya tertawa lepas, bahkan adegan tidak penting kala Veer dan Sidhu dibohongi oleh Shakti (Mukesh Tiwari) dan Anwar (Pankaj Tripathi) mengenai masa lalu Raj. Timing-nya sempurna, begitu pula cara para aktor menghantarkan itu. Memang ketika melontarkan joke, siapapun tokohnya akan mendadak berubah jadi orang tolol, yang mana tidak masuk akal. Tapi pedulikah saya? Tentu tidak. Selama saya terhibur (tujuan utama film ini) kebodohan seperti apapun layak ditoleransi.
Kemudian hadirlah chemistry antara Shah Rukh Khan dan Kajol yang tak bisa dipungkiri merupakan aspek terbaik. Romansa mereka klise dan sappy, tapi bahkan sedari pertama keduanya saling (properly) bertegur sapa, saya sudah ikut dimabuk kepayang. Ketika Kaali dan Meera saling memandang atau bertukar kata sembari tersipu-sipu, yang hadir adalah rasa asmara nyata, bukan dibuat-buat, dan itu cukup membuat siapapun jatuh cinta kepada hubungan yang terjalin. Begitu baiknya mereka, sampai dialog cheesy atau adegan yang "seharusnya" cringe-worthy seperti kala Meera ketakutan melihat anjing untuk kemudian "dilindungi" oleh Kaali pun tetap menjadi tontonan enjoyable, bahkan manis. Pada akhirnya sewaktu muncul twist, hati saya pun seolah ikut hancur meratapi nasib percintaan tersebut. Untuk Khan sendiri, memuaskan saat melihat karakter Kaali bagaikan sosok mythical yang bakal membuat semua orang ketakutan begitu mendengar namanya. Sang aktor legendaris layak mendapat peran seperti ini, dan mudah baginya untuk menghidupkan tokoh tersebut.

Tidak lengkap rasanya saat film bertemakan cinta berisikan "pasangan emas" Bollywood tanpa nomor musikal memikat. Disaat Veer dan Ishita diberikan lagu dance modern macam "Manma Emotion Jaage" yang dikemas lewat adegan "meriah", maka Shah Rukh Khan dan Kajol saling bermesraan ketika "Gerua" dan "Janam Janam" berkumandang. Sebuah nomor cinta "tradisional" namun teramat addictiveBukan kemeriahan yang terasa, melainkan momen intim jalinan asmara. Rohit Shetty pun tidak setengah-setengah mengemas reuni pasangan tersebut. Sinematografi garapan Dudley yang dipenuhi breathtaking landscape seolah membuat Kaali dan Meera tengah menyanyi, menari, memadu kasih di suatu tempat indah "outta this world". Yes, when they're in love, they're in heaven. Such a heavenly love indeed. Cobalah kesampingkan segala kekonyolan naskahnya, maka "Dilwale" akan berujung pada hiburan teramat menyenangkan sekaigus romantika manis nan hangat berkat chemistry "abadi" Shah Rukh Khan dan Kajol.


Ticket Powered by: ID Film Critics

3 komentar :

Comment Page:

LOVE (2015)

2 komentar
Saya menyukai film bertemakan seks atau penuh konten seksual eksplisit. Ada beberapa alasan. Pertama jelas, karena kita semua orang suka menyaksikan "pertunjukkan" seksualitas. Kedua, terdapat tendensi dalam diri saya untuk lebih mengapresiasi karya yang berani mendobrak batasan normatif. Alasan ketiga sekaligus paling utama karena seks merupakan (salah satu) kebutuhan dasar manusia. Dari situ manusia dapat "ditelanjangi" perasaan, hasrat, kepribadian, hingga masa lalunya. Maka alangkah antusiasnya saya mendengar kabar mengenai film terbaru Gaspar Noe ini. Tengok saja dua promotional poster-nya (di atas itu salah satunya) yang begitu menggoda. Noe terkenal lewat karya-karya kontroversial namun efektif dalam mengaduk-aduk emosi (juga isi perut) penonton seperti "Irreversible" dan "Enter the Void". Jadi jika ada yang mampu menghadirkan tontonan seksual modern dengan "kegilaan" lebih dari Lars Von Trier, pastilah itu Gaspar Noe.

Adegan pembuka langsung memberi "gebrakan" saat kita diperlihatkan hand job antara Murphy (Karl Glusman) dan Electra (Aomi Muyock) selama hampir tiga menit tanpa putus. Kemudian kita mendapati Murphy terbangun di tempat tidur bersama wanita berbeda yang tidak lain adalah Omi (Klara Kristin), istrinya. Murphy lalu dikejutkan saat mendapat pesan suara dari ibu Electra (Isabelle Nicouf) yang mengungkapkan kekhawatiran atas menghilangnya sang puteri selama beberapa bulan terakhir. Terungkap bahwa Murphy dan Electra sempat berpacaran selama dua tahun, sebelum putus akibat perselingkuhan Murphy dengan Omi yang berujung kehamilan. "Love" pun membawa penonton menyimak bagaimana Murphy mengingat kembali masa lalunya dengan Electra. Sebuah ingatan yang berisikan seks, seks dan seks. Mungkin jika dirata-rata tidak sampai tiap 10 menit muncul adegan seks eksplisit yang tak ragu memperlihatkan alat kelamin, sperma dan penetrasi. 
"Love" memenuhi ekspektasi bila ditinjau dari kuantitas serta keberaniannya dalam mengemas sex scene. Tapi selain itu, filmnya teramat kosong, tanpa jalinan cerita menarik atau sentuhan emosional kuat. Gaspar Noe meniati film ini sebagai sajian sentimentil pula kontemplatif dengan fokus terhadap suatu hubungan percintaan. Tidak hanya itu, "Love" juga karyanya yang paling personal. Tergambar dari penamaan dua karakternya. Dia ingin menuturkan tentang masa lalunya, juga tentang bagaimana ia memandang rasa cinta akan kaitannya dengan hasrat seksual, tanggung jawab, sekaligus hidup secara lebih luas. Sayang, seks sebagai fokus utama justru memberi distraksi pada keterikatan emosi antara penonton dengan film. 

Saya tidak diberi kesempatan untuk lebih mengenal apalagi menyukai tokoh-tokohnya disaat beberapa menit sekali muncul adegan seks. Meski kerap bertengkar hebat, Murphy dan Electra sangat mencintai satu sama lain, setidaknya Gaspar Noe ingin penonton mempercayai itu. Tapi selayaknya ungkapan romantis gombal penuh omong kosong, filmnya tak pernah mengungkap alasan sebagai bukti. Murphy tenggelam dalam depresi akibat keharusan menjalani hidup tanpa Electra. Sebaliknya, si wanita pun sempat menyiratkan lebih baik mati bila hubungan mereka harus berakhir. Tapi kenapa? Cinta memang bentuk rasa penuh misteri yang tak jarang sukar untuk dijabarkan, tapi bagaimana mungkin saya terikat secara emosional jika Murphy selaku jembatan antara penonton dengan film hanya pria depresi penuh self-loathing, sempat berselingkuh, dan tanpa satu pun aspek likable dalam dirinya? 
Di luar seks, interaksi antara Murphy dan juga Electra sangat minim. Terdapat beberapa obrolan, tapi hanya sekilas tanpa cukup membangun ikatan dengan saya sebagai penonton. Dialog dari naskah karya Gaspar Noe pun diisi rangkaian kalimat lemah, tanpa kemampuan mengeksplorasi karakter atau mengemukakan suatu pemikiran menarik dari sang sutradara. Dialog lemah tersebut sama sekali tidak terselamatkan oleh akting datar para pemain. Dalam sebuah kesempatan, Murphy berkata bahwa ia seperti penis yang hanya punya satu tujuan yakni "to fuck". And that's the only thing that he's good at. Deretan cast-nya sama. Ketika melakoni adegan bercinta, baik Glusman maupun Muyock penuh totalitas, nampak menggairahkan dan membuat penonton (baca: saya) merasakan hal serupa. Namun di luar ranjang, mereka -khususnya Glusman- gagal memberi suntikan emosi sedikitpun. 

Tanpa menghitung niat yang terkandung dalam cerita (niat saja tak cukup), satu-satunya sekat pemisah antara "Love" dengan film porno adalah sinematografi garapan Benoit Debie. Keindahan gambar berkat permainan warna dan pencahayaan membuat karakter yang tengah melakoni hubungan seks tampak seperti objek dalam lukisan. Pada akhirnya tiap gerakan di atas ranjang adalah komposisi keindahan estetis, bukan semata-mata gambar untuk memancing nafsu penonton. Itu saja pembeda antara film ini dengan porno. Sesungguhnya scoring dari Lawrence Schulz dan John Carpenter pun enak didengar, tapi film porno dengan musik bagus pun cukup banyak beredar. Memang saya suka film dengan seksualitas kental, tapi tidak disaat hanya berisikan seks tanpa kekuatan emosi dan alur seperti ini. "Love" is cold, emotionally flat, overlong, and repetitive. Boring.

2 komentar :

Comment Page: