SUPER DIDI (2016)

4 komentar
Tugas suami mencari nafkah sedangkan istri mengurus anak, begitu peran gender yang sering dicekokkan pada kita semenjak dulu. Meski bukan sepenuhnya kekeliruan, acapkali timbul rasa meremehkan atau bahkan ketidakpedulian akibat pembagian peran di atas. Salah satu masalah yang paling sering timbul adalah kurangnya pemahaman seorang ayah tentang anaknya. Membenamkan diri seutuhnya pada pekerjaan, bisa saja dia melewatkan tumbuh kembang sang buah hati, tak memahami mereka, juga menganggap remeh tugas istrinya merawat anak. Super Didi garapan duet sutradara wanita (Hadrah Daeng Ratu dan Adis Kayl Yurahma) serta ditulis pula naskahnya oleh seorang wanita (Budhita Arini) bak curhatan atas problematika tersebut.

"Didi" pada judul film merupakan panggilan Anjani (Anjanique Renney) dan Velia (Aviela Reyna) untuk ayah mereka, Arka (Vino G. Bastian). Berprofesi sebagai arsitek tentu menyita banyak watu Arka, sehingga meski amat dekat dan menyayangi kedua puterinya, dia melimpahkan tugas merawat mereka pada sang istri, Wina (Karina Nadila). Suatu hari, Wina harus pergi ke Hong Kong setidaknya selama seminggu, sedangkan di waktu bersamaan Arka tengah memimpin proyek penting bernilai triliunan rupiah. Arka pun dibuat kerepotan membagi waktu antara bekerja dengan mengurus kedua anaknya, mulai dari antar-jemput sekolah dan les hingga hal kecil seperti belajar mengepang rambut. 
Mudah menebak arah pergerakan alur bahkan bentuk presentasi klimaks hingga konklusinya tatkala kita mengetahui bahwa Anjani dan Velia akan terlibat dalam sebuah pementasan drama "Timun Emas" tepat dua minggu pasca kepergian Wina ke Hong Kong. Naskahnya memang tidak berusaha terlepas dari kesan formulaic, yang mana bukan merupakan permasalahan besar. Bahkan naskah karya Budhita Arini patut diapresiasi lewat keputusannya tidak menyuntikkan banyak konflik besar. Konflik lebih sering diisi kesulitan Arka menangani hal-hal kecil sehari-hari sehingga Super Didi mampu dijaga tetap membumi. Kekurangannya, gagal tercipta jalinan alur kuat karena cerita yang berjalan acak dari satu situasi ke situasi lain sehingga sulit mengikat fokus penonton. Hal ini berpotensi menciptakan kebosanan pada pertengahan durasi.

Jajaran cast turut menghadirkan performa memikat sesuai porsi masing-masing. Vino G. Bastian tentunya paling menonjol tatkala (lagi-lagi) sang aktor sukses menyeimbangkan akting komedik plus dramatik. Vino punya kemampuan memancing tawa tanpa perlu kehilangan charm-nya. Cukup puat pula curahan emosinya (khususnya) menjelang akhir film. Berkat akting Vino, Arka jadi protagonis yang likeable. Dua aktris cilik Anjanique Renney dan Velia Aviela Reyna memberi penampilan memadahi, menjauh dari kekurangan banyak pemeran cilik yang seringkali terasa annoying. Mereka sukses merebut hati saya. Meski porsinya minimalis, menarik pula menyaksikan Mathias Muchus memerankan tokoh "ringan" setelah biasanya identik dengan pria keras.
Kekuatan terbesar Super Didi terletak pada komedi yang selalu berhasil memunculkan tawa. Leluconnya terhindar dari kesan murahan di mana Arka tak sampai dikemas menjadi karakter dengan kebodohan berlebih. Poin ini membuktikan jika Super Didi bukan dibuat guna mengolok-olok seorang ayah melainkan sekedar candaan atas ketidakmampuan ayah menangani anaknya seorang diri sembari tetap menunjukkan respect. Unsur komedi nyaris sempurna jika tidak ada adegan Arka datang ke arisan ibu-ibu sambil berdandan konyol. Momen tersebut seolah dipaksakan hadir demi menambah kelucuan semata, apalagi secara konteks tak memiliki kaitan dengan kegiatan menjaga anak. Setelah dijejali konflik mengenai anak, selipan adegan menggantikan sang istri arisan terasa out of place.

Kualitas drama terbilang memadahi, di mana Hadrah Daeng Ratu dan Adis Kayl Yurahma tak mendramatisir adegan secara berlebihan. Kisahnya mampu membuat saya sebagai laki-laki sekaligus calon ayah di masa depan tersentil namun tak sedikitpun merasa "diserang". Sayangnya muncul penghalang hingga kemungkinan tidak semua penonton terikat oleh ceritanya. Halangan tersebut berasal dari penggambaran keluarga Arka. Mereka adalah orang kaya, hidup berkecukupan, memiliki paras rupawan dan dikelilingi kegiatan mewah macam perawatan atau arisan sosialita. Ujungnya, beberapa situasi berpotensi hanya berakhir sebagai guyonan belaka tanpa memberi kedekatan dengan penonton. Tapi di saat bersamaan, artinya para pembuat film ini tak memaksa memaparkan suatu hal yang kurang dipahami dan mengangkat wajah kehidupan di sekitarnya, alias jujur. Super Didi adalah sajian jujur, ringan, dan terpenting dapat dinikmati semua umur. Pesan "jadi ayah itu seru" berhasil mulus tersampaikan.

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

rating nya lumayan dri pada surat cinta untuk kartini...entar senin mau nonton

Rasyidharry mengatakan...

Pasang aja ekspektasi dra-medi keluarga ringan, pasti puas :)

Unknown mengatakan...

iya kadang kalau ekspektasi terlalu tinggi bakal kecewa ya gak ?

Unknown mengatakan...

bro review film Emma Watson yg colonia.pengen tahu pendapat movreak akan film ini..saya baru selesai nonton film nya..:)