SADAKO VS. KAYAKO (2016)

3 komentar
If the idea of having Sadako and Kayako fighting against each other sounds like an April Fools' joke, that's because it was one before confirmed on December 10, 2015 to be a real production. Kedua franchise tersebut sejatinya tengah berada di titik nadir. Buruknya beberapa installment terakhir serta pengaruh popular culture yang menjadikan mereka  khususnya Sadako  sebagai bahan lelucon berperan melucuti rasa takut publik. "Sadako vs. Kayako" dibuat dan dipromosikan dengan menyadari kondisi itu. Tengok strategi marketing (pertandingan baseball, akun Instagram Kayako-Toshio) yang cenderung hadirkan hiburan daripada teror. Crossover ini sadar diri, dan itulah kunci kesuksesan terbesarnya. 

Dua mahasiswi, Yuri Kurahashi (Mizuki Yamamoto) dan Natsumi Ueno (Aimi Satsukawa) membeli sebuah pemutar video di mana dalam player itu tersimpan tape berisi video kutukan Sadako. Pasca Natsumi menonton video tersebut dan terkena kutukan  jangka waktu dua hari, bukan seminggu  paranormal Keizo (Masanobu Ando) dan rekannya, Tamao (Mai Kikuchi) berniat memusnkahkan Sadako dengan cara mengadunya melawan Kayako. Sementara itu, siswi SMA bernama Suzuka Takagi (Tina Tamashiro) baru pindah ke sebelah rumah terkutuk keluarga Saeki dan kerap mendapat penglihatan yang memaksanya memasuki rumah itu. 
"Sadako vs. Kayako" punya banyak homage bagi installment pendahulu kedua franchise yang mampu menghadirkan senyum untuk penggemar hasil rasa nostalgia. Keterlibatan Takashi Shimizu dan Koji Suzuki selaku duet penulis naskah memastikan film ini setia pada akarnya, termasuk mengembalikan kutukan Sadako dalam bentuk VCR setelah modernisasi konyol "Sadako 3D", walau harus diakui footage-nya minim suasana disturbing milik versi original-nya. Melegakan pula mendapati ketiadaan usaha memanusiakan Sadako dan Kayako. Di sini, mereka murni setan jahat dengan satu tujuan: menebar kutukan pembawa maut. 

Sebagaimana saya sebut di atas, crossover ini sadar diri, menolak berpura-pura pintar ketika dari premis saja tercium aroma kebodohan menyengat. Kebodohan itu justru dieksploitasi melalui sentuhan humor (mayoritas) hasil celetukan-celetukan menggelikan karakter. "Sadako vs. Kayako" total menanggalkan keseriusan tutur pula eksekusi atmosferik ketika tak hanya sentuhan komedi, namun pengemasan over-the-top Koji Shiraishi turut mendominasi. Berpengalaman membuat "Grotesque", Shiraishi mengusung kegilaan serupa lewat deretan kematian komikal  leher memanjang, kepala gepeng  yang mengingatkan pada karya-karya Yoshihiro Nishimura. Sungguh bodoh, tapi kesenangannya sulit ditolak, menghadirkan senyum lebar bahkan tawa sepanjang durasi.
Durasi singkat (98 menit) mendukung penuturan cepat Shiraishi. Tidak perlu basa-basi, film dipacu kencang, bergerak dari satu sequence menuju sequence berikutnya. Sang sutradara piawai menyuguhkan tempo cepat tanpa menjerumuskan film ke dalam kekacauan tutur. Sayangnya, hal ini menciptakan ketidakseimbangan porsi bagi Sadako dan Kayako. Tatkala Sadako mendapat banyak eksposisi  plot utama digerakkan oleh usaha menghilangkan kutukan Sadako  Kayako memiliki peran ala kadarnya. Toshio lebih kerap mengisi teror dalam rumah Saeki, dan saat sang ibu tampil, film telah mendekati klimaks. Keseluruhan film lebih menyerupai "Ring" ketimbang "Ju-On" yang dikemas non-linear. 

Kekhawatiran untuk film yang membenturkan dua tokoh ikonik adalah jika pertarungan mereka disajikan terlampau singkat (I'm looking at you BvS). Sadako dan Kayako memang hanya bertarung beberapa menit  plus ditutup mengecawakan  namun berkat semangat bersenang-senang, klimaks tersebut tampil menghibur. Jika diibaratkan, saya seperti menyaksikan dua ibu-ibu berkelahi, saling jambak demi memperebutkan batang wortel terakhir di tukang sayur. Konyol? Jelas. Menarik serta menyenangkan disimak? Sudah pasti. Tidak perlu memikirkan alasan tak masuk akal keduanya berseteru, ketidakjelasan apa sesungguhnya rencana Keizo, atau konklusi absurdnya. "Sadako vs. Kayako" is that kind of so dumb, it's entertaining movie. I had a very great time watching this.

3 komentar :

Comment Page:
Surya AS mengatakan...

Kakk review dong film my name is Doris, genrenya unik tuh 😄

Rasyidharry mengatakan...

Segera :)

Dana Saidana mengatakan...

Satu hal lagi yang terlalu menyepelekan dari film ini Mas.

Ketika orang-orang atau temannya sekalipun sudah menjadi mayat, sepertinya tidak ada tindakan apapun dari tokoh utamanya untuk mengurus mayat-mayat tersebut.
Entah itu lapor polisi, memberitahukan kepada keluarganya, dsb.

Kalo kita mengikuti setiap adegan filmnya, sepertinya mayat-mayat itu (di apartemen dan kuil/biara) dibiarkan begitu aja oleh tokoh utamanya.

Kalau asumsi saya bener begitu kan Mas?