AKU INGIN IBU PULANG (2016)

7 komentar
Dalam hasil penyutradaraan ketiganya tahun ini Monty Tiwa kembali menyajikan sebuah melodrama. Namun serupa "Sabtu Bersama Bapak", Monty menolak hanya mengeksploitasi kisah sedih tanpa memperhatikan karakter, atau paling tidak begitu tujuan awalnya. "Aku Ingin Ibu Pulang" memiliki protagonis seorang bocah SD bernama Jempol Budiman (Jefan Nathanio) yang pada adegan pembuka diceritakan tengah menjadi bintang tamu acara Kick Andy pasca pencariannya terhadap sang ibu, Sartri (Nirina Zubir) menarik atensi masyarakat. Lalu alurnya bergerak mundur, menelusuri kehidupan keluarga Jempol sebelum kepergian Sartri.

Karena berstatus tearjerker, tentu kita akan mendapati nasib sial atau tragedi menimpa karakternya. Di sini, tragedi terjadi tatkala ayah Jempol, seorang kuli bernama Bagus, (Teuku Rifnu Wikana) mengalami kecelakaan saat bekerja. Kondisi ini menyulitkan Sartri, saat mengurus sang suami  merawat luka, memandikan menyuapi  membuatnya kerepotan membagi waktu dengan pekerjaan. Kekurangan ekonomi pun makin menyulitkan keluarga ini. Sedangkan Jempol yang menghabiskan tiap pagi berlari kencang untuk berangkat sekolah kesulitan menerima fakta jika harus menghabiskan liburan sekolah untuk merawat sang ayah  di satu adegan, Jempol menolak membersihkan kotoran ayahnya setelah buang air besar di kamar.
Bocah miskin yang sukses jadi juara kelas. Kalau mau karakter Jempol bisa dibuat suci, anak kecil dengan sikap dewasa, atau bentuk karakterisasi lain yang berfungsi menarik simpati penonton. Tapi sebagaimana telah disinggung di paragraf awal, lewat naskah hasil tulisannya bersama Titien Wattimena dan Alim Sudio, Monty Tiwa menaruh perhatian terhadap karakter. Jempol berperilaku sesuai umur. Sewaktu sang ayah hanya terbaring lemah, ia tak serta merta jadi anak yang rela berkorban. Jempol kerap merengek, menagih janji ayahnya berjalan-jalan keliling Jakarta. Namun bocah ini tidak berujung menyebalkan, karena di sela-sela rengekan, Jempol kerap berbuat kepolosan-kepolosan kecil nan bermakna demi membantu kesulitan orang tuanya. 

Aspek terbaik milik "Aku Ingin Ibu Pulang" adalah mayoritas karakter tak dapat sepenuhnya disalahkan. Keengganan Bagus berobat memang mempersulit keadaan, tapi pola pikir demikian (tanpa intensi merendahkan) bisa dipahami hadir dari masyarakat berstatus ekonomi rendah macam dirinya. "Jika tidak ingin kehabisan uang, jangan mengeluarkan uang", sesederhana itu. Sedangkan sikap Sartr didorong perasaan terdesak dan tidak tega melihat kondisi suaminya. Verdy Solaiman sebagai pemilik toko obat tempat Sartri bekerja pun bukan antagonis, sebab dia bukan malaikat berhati emas yang bersedia begitu saja memaafkan sederet kesalahan fatal Sartri.
Sampai pertengahan durasi, "Aku Ingin Ibu Pulang" tampil mengesankan berkat perhatian pada logika mengenai sikap tokohnya, apalagi Monty juga enggan mendramatisir secara berlebihan termasuk penggunaan secukupnya untuk musik karya Ganden Bramanto. Sayang, seiring perubahan sikap Jempol, penyakit dramatisasi plus logika turut menjangkiti. Paling menggelikan adalah konklisi lomba lari yang menyalahi akal sehat demi memantik emosi penonton. Memasuki paruh kedua, tujuan film jadi layak dipertanyakan, sebab progresi menuju cheesy tearjerker mendangkalkan eksplorasi mengenai cara individu menyikapi kondisi mencekik yang sejak awal dibangun. Tapi filmnya pun bukan sepenuhnya penguras air mata. Walau menyakitkan berulang kali melihat luka bernanah di kaki Bagus, Monty tak berusaha menyedot emosi penonton, menghalangi aliran air mata.

Akting jajaran cast-nya mumpuni. Teuku Rifnu Wikana membuat sakit serta lemahnya kondisi Bagus tampak meyakinkan, meski inkonsistensi logat sesekali terdengar. Walau saya bisa membayangkan kemampuan Acha Septriasa mencuri hati sebagai Sartri, Nirina Zubir nyatanya solid bermain letupan emosi termasuk menghantarkan kekalutan hati lewat ekspresi. Lalu ada aktor cilik Jefan Nathanio dengan kemampuannya melontarkan baris-baris kalimat dengan natural. Bersenjatakan nama-nama tersebut, "Aku Ingin Ibu Pulang" semestinya dapat berakhir kuat andai lebih yakin menentukan tujuannya. Keraguan yang terpancar dari pemilihan konklusi  ending-nya bittersweet, tapi mid-credit scene menjadikannya total berakhir bahagia.

7 komentar :

Comment Page:
Irma Sulistyaningrum mengatakan...

review me before you dong mas

Ulik mengatakan...

Selama 2016 baru film ini yg bikin aq mau nangis kalau bareng temen pasti aku tangisin karena sendiri nnton jdi malu, takaran dramanya pas banget ngak terlalu dilebai lebaiin kecuali di akhir tapi bisa memancing haru ,benar di bagian akhir film apalagi pas lomba lari gak banget deh adeganya. Kurang setuju pendapat kk kalau Acha yg meraninin saya rasa gak akan sebagus Nirina soalnya Acha belum pengalaman jadi emak2 . mid credit scenenya apa saya cuma sampai Nirina natap Monas aja

Rasyidharry mengatakan...

Acha cukup potensial, soalnya Sartri sendiri termasuk ibu muda, but Nirina is amazing. Nah adegan itu maksudnya, kan di tengah credit :)

Ulik mengatakan...

Maybelah...... Kalau Rifnu Wikana udah muka susah banget,cocok... Alasan utama pingin nnton adalah jefan soalnya rindu setelah nnton di tampan tailor tapi aq justru kepincut oleh pemeran Tiwi mungkin ingat teman saya semasa kecil hehehe

Rasyidharry mengatakan...

Hahaha anjir "muka susah"

Ulik mengatakan...

Hahaha iya spesialis pemeran orang susah aja dia .kk ngak nnton film surat untukmu ?

Unknown mengatakan...

Film yg sangat mengispirasi