PETE'S DRAGON (2016)

Tidak ada komentar
Disney tengah getol melakukan adaptasi/remake live action terhadap karya klasik mereka. Berawal dari kesuksesan "Maleficent pada 2014 lalu, "The Jungle Book" yang rilis tahun ini bak puncak, meraup pendapatan $964 juta dan direspon positif oleh kritikus (95% di Rotten Tomatoes). Namun berbeda dibanding serangkaian proyek lain, "Pete's Dragon" kurang bergaung, mungkin disebabkan fakta bahwa film aslinya  hybrid live action dan animasi, rilisan 1977  kurang sukses baik secara komersial maupun kualitas. Mudah menganggap film ini sebagai satu lagi usaha putus asa tanpa kreatifitas Hollywood guna mengeruk pundi-pundi dollar, tapi secara mengejutkan "Pete's Dragon" sangat mendekati sebutan "film yang dibuat dengan hati".

Sang protagonis adalah bocah berusia 11 tahun bernama Pete (Oaks Fegley) sudah selama enam tahun tinggal di hutan pasca kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Ditempatkan sebagai opening, kecelakaan itu langsung memperlihatkan sensibilitas sang sutradara, David Lowery. Lowery yang identik dengan sajian indie macam "Ain't Them Bodies Saints" bertutur penuh cinta, sehingga peristiwa tragis berupa kematian di pembuka (berbalut slow-motion sunyi serta ekspresi takjub Levi Alexander sang pemeran Pete kecil) pun meski menyiratkan duka, kuat menonjolkan harap dan keindahan, enggan mengeksploitasi kesedihan. Daripada menguatkan unsur perpisahan, Lowery justru memposisikan momen awalnya laksana awal suatu petualangan.
Kesan di atas konsisten bertahan, termasuk tatkala kita pertama bertemu dengan Ellliot, sang naga hijau berbulu (disuarakan John Kassir). Elliot muncul perlahan dari balik kegelapan hutan, di mana kamera Bojan Bazelli cermat memanfaatkan siraman tipis cahaya matahari untuk memunculkan nuansa magis. Sedangkan di adegan-adegan berikutnya, penggunaan sinar matahari secara lembut pada sinematografinya turut menopang kehangatan atmosfer penceritaan. Begitu pula scoring garapan Daniel Hart. Bukan sekedar usaha duplikasi kemegahan orkestrasi milik John Willams dalam film-film Spielberg, karena Hart juga mengkomposisi beberapa nomor folk, termasuk saat "Nobody Knows" yang dibawakan The Lumineers sempurna mengiringi adegan Pete berlari di tengah kota, melompat dari satu kendaraan ke kendaraan lain. 
Pete adalah bocah likeable, tapi Elliot jadi penebar charm terbesar. Naga yang mirip anjing ini (chases his own tail, cute puppy eyes) bakal mudah mencuri hati penonton berkat tingkah clumsy nan menggemaskan miliknya. Terlebih Elliot memiliki perasaan serupa manusia, di mana saya yakin mayoritas penonton bakal tersentuh melihat adegan saat ia nampak pilu kala mendapati Pete tersenyum bahagia bersama Grace (Bryce Dallas Howard) dan keluarganya. Karakter pendukung seperti Mr. Meacham (Robert Redford) dan Grace punya porsi minim namun sesuai kebutuhan masing-masing. Patut disayangkan karakterisasi Gavin (Karl Urban) urung dimaksimalkan. Motivasi beberapa tindakan sang tokoh patut dipertanyakan, padahal ada potensi kompleksitas mengenai sosoknya yang bukan sepenuhnya jahat. 

Lowery kentara mengambil banyak inspirasi dari Spielberg, dan ironisnya ia berhasil melakukannya secara lebih baik dibanding beberapa effort terakhir sang sutradara. Including the lackluster "The BFG". Kisahnya mengembalikan ingatan pada pertemanan E.T. dan Ellliott, sewaktu dua makhluk beda spesies menjalin persahabatan yang pemaparannya menekankan pada momen kebersamaan intim saling memiliki  duduk bersama melihat bintang dengan senyum menghiasi wajah mereka. Lowery also perfectly crafted the magical feeling as when characters stare wide-eyed at the off-screen dragon. Penonton pun dibawa merasakan perasaan kagum serupa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: