BARAKATI (2016)

4 komentar
Asal muasal serta akhir hayat Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit memang masih menjadi misteri. Salah satu  dari sekian banyak  teori meyakini ia lahir kemudian meninggal di pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Teori itu menjadi dasar pembuatan "Barakati", film karya Monty Tiwa yang trailer-nya telah beredar sejak dua tahun lalu tapi entah mengapa baru dirilis sekarang. Naskah hasil tulisan Monty bersama Eric Tiwa ("Laskar Pemimpi" & "Wakil Rakyat") coba mengetengahkan penyelidikan atas misteri kehidupan Gajah Mada tersebut, menyusun catatan sejarah menjadi petualangan treasure hunting bak "The Da Vinci Code" atau "National Treasure". Konsep segar di perfilman Indonesia, namun sayang eksekusinya jauh di bawah harapan.

Seorang arkeolog asal Yogyakarta, Abdul Manan (Fedi Nuril) dimintai tolong oleh wartawan Inggris bernama Gerry (Jono Armstrong), guna menyelidiki sebuah lontar dari abad 14 yang ditengarai dapat menjawab misteri keberadaan Gajah Mada (Tio Pakusadewo). Penyelidikan itu menuntun Abdul Manan mendatangi Buton, tanah kelahiran kedua orang tuanya. Di sana dia turut mengemban amanah dari sang ibu (Niniek L. Karim) yang ingin pulang ke kampung halamannya setelah dulu diusir akibat menikahi pria non-bangsawan. Dibantu Wa Ambe (Acha Septriasa), seorang warga lokal, Abdul Manan memulai penelitian tanpa tahu ada pihak lain ikut mengincar lontar itu.

Sesungguhnya hanya satu masalah "Barakati", tapi masalah tersebut terlampau fatal dan mendasar, yakni arah yang tidak menentu. Filmnya bingung akan identitasnya, bingung menentukan apa saja yang hendak dituturkan, bingung hendak bergerak ke mana. Prolognya amat menarik, menampilkan setting Majapahit dengan pertunjukan utama berupa pertarungan pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada melawan para pemberontak. Berbalut gambar glossy garapan Rollie Markiano  sinematografer langganan Monty  sang sutradara membalut pertempuran dengan slow-motion, darah serta kostum keren  walau topeng Bhayangkara kurang signifikan  layaknya "300" milik Zack Snyder. Adegan ini adalah bagian terbaik "Barakati" yang tak pernah lagi muncul hingga film berakhir.
Setelahnya, "Barakati" total memindahkan latar penceritaan ke masa kini, namun daripada memanfaatkan waktu menggelar petualangan seru kental teka-teki, naskahnya justru berlama-lama mengitari gesekan keluarga protagonis dengan adat Buton. Niatnya baik, demi memperdalam latar belakang Abdul Manan sembari menjalin benang merah antara kisah masa lampau dan sekarang. Masalahnya, penggalian karakter semestinya "hanya" berfungsi menguatkan motivasi tokoh, bukan mencuri fokus (kecuali pada film character-driven), hingga kisah utama ditelantarkan. Terlebih paparan dua era  tentang "kepulangan"  gagal saling mengikat kuat, masih terasa terpisah.

Seolah terlambat menyadari sudah kehabisan waktu, alurnya baru berkonsentrasi pada penelusuran misteri menjelang akhir second act, dikemas lewat montage yang terburu-buru, mengeliminasi dinamika menarik dalam usaha karakter memecahkan teka-teki. Turut terkena dampak adalah subplot mengenai organisasi rahasia kuno yang ikut menginginkan lontar Gajah Mada. Keberadaan mereka diselipkan sekenanya demi memperbesar skala ancaman yang tak pernah sekalipun penonton rasakan akibat minimnya waktu dihabiskan di pendalaman misteri. 
Kondisi "Barakati" memburuk akibat pilihan konklusi yang tidak memberi pembalasan setimpal akan kesabaran penonton mengikuti perburuan rahasia Gajah Mada. Tidak ada pula pesan yang dapat dimaknai dari konklusi itu. Bayangkan anda tengah mengikuti lomba berhadiah besar, lalu setelah bersusah payah, hadiah tersebut urung diberikan tanpa alasan jelas dari pihak panitia. Semua pembangunan plot film ini pun hancur sia-sia. Menyaksikan credit scene-nya, semakin bingung saya akan tujuan "Barakati". Sebuah petualangan mencari artefak? Drama keluarga? Drama kemanusiaan berbalut adat? Atau fantasi? Disebut kombinasi pun, semua poin di atas tak saling bersinergi.

Fedi Nuril berusaha maksimal sebagai arkeolog handal walau naskahnya tak memberi sang aktor cukup bahan supaya tampak meyakinkan. Monty berusaha menggunakan gaya akting Dwi Sasono untuk menciptakan villain berdarah dingin. Terkadang menarik, tapi lebih sering jatuh ke ranah komikal. Untungnya Acha Septriasa meyakinkan, baik soal aksen atau emosi (air matanya di akhir film cukup menggetarkan rasa). Sayang, sang aktris tak cukup kuat mengangkat lemahnya naskah menjalin dinamika trio protagonis, entah sebagai teman maupun romansa tersirat Abdul Manan dan Wa Ambe. 

"Barakati" menyimpan potensi menghadirkan variasi genre perfilman tanah air, tapi justru lebih banyak mengundang pertanyaan tak perlu. Kenapa tato Tio Pakusadewo masih terlihat tatkala era Majapahit mestinya tidak memungkinkan Gajah Mada memilikinya? Bagaimana Dwi Sasono bisa seketika berpindah tempat tanpa ilmu sihir? Kenapa sang tetua adat bisa mendadak berubah sikap, dari seorang penjunjung adat yang enggan menemui Abdul Manan berbalik mendukungnya  bahkan diselipi canda  menyibak rahasia Gajah Mada yang mana dapat mengubah sejarah? Bagaimana Abdul Manan sang pemuda baik-baik bisa sesantai itu pasca membunuh orang? Apa sesungguhnya visi Monty Tiwa dalam mengemas "Barakati"? Entahlah.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Baru kelar nonton Ibu Maafkan Aku, mau lanjut Barakati. Buka movfreak dan akhirnya langsung pada pulang.

Ulik mengatakan...

Terasa nnton the davinci code dari Kata petunjuknya,karakter antagonisnya ,ada organisasinya , menulusuri tempat2,bedanya ini yg ditelusuri keindahan alam bukan bangunan2 bersejarah,tapi sayang tidak sama secara kualitas ,endingnya yg paling bikin kesal 2 tahun menanti kecewa dihati

Rasyidharry mengatakan...

Pilihan tepat mendahulukan Ibu Maafkan Aku :)

Rasyidharry mengatakan...

Ya, berharap dapat petualangan yang asyik malah fokusnya melebar. Sayang memang setelah penantian cukup lama