JOGJA-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL - SIHUNG (2016)

2 komentar
Apapun usungan temanya, meski sensitif sekalipun, saya selalu beranggapan sudah semestinya dokumenter berlaku jujur, terbuka, apa adanya merangkum kenyataan. Namun sebuah karya merupakan curahan rasa pula pikir yang menjadi alat bagi penciptanya menyuarakan sesuatu baik keresahan maupun opini. Dokumenter pun memiliki permasalahan, dan mengingat dalam tiap permasalahan selalu ada setidaknya dua sisi, seorang sineas mesti jelas menyampaikan ada di sisi mana dirinya berpijak (bisa juga menciptakan sisi dan perspektif baru). Bukan bermaksud memihak, tapi karya seni dalam perannya sebagai ekspresi personal sang pengkarya bakal kehilangan bobot, kosong tanpa hal tersebut. Sayangnya begitulah "Sihung" karya Esa Hari Akbar.

Dewasa ini kesadaran masyarakat seputar perlindungan terhadap hewan semakin meningkat, sehingga "Sihung" yang mengetengahkan kebiasaan "ngadu bagong" warga pinggiran Kota Bandung sejatinya merupakan karya penting. "Ngadu bagong" adalah kegiatan di mana beberapa anjing diharuskan melawan seekor babi hutan. Adegan pembukanya sudah cukup gamblang menjelaskan betapa mengerikannya adu tersebut. Taring anjing mencengkeram leher babi dan sebaliknya, tubuh anjing juga ditembus tanduk sang babi. Keduanya sama-sama menjerit, jatuh bersimbah darah. Tentu para penonton memasang taruhan untuk pertarungan itu. Mudah mengutuk tindakan brutal manusia tersebut, namun menjadi dilematis tatkala alasan kultural telah dikemukakan pelaku.
Bagaimana "Sihung" mengambil sikap? Jawabannya kurang jelas. Konklusinya saat keluarga tokoh utama terdiam meratapi nasib bagai Esa pakai sebagai pernyataan bahwa mereka menerima hukuman atas perilakunya. Masalahnya, butuh dilakukan pengolahan fakta demi mendukung suatu simpulan, yang mana tak dimiliki "Sihung" tatkala paruh tengahnya (babak kedua biasanya berfungsi memperdalam cerita) terasa kosong, minim momen signifikan. Esa seperti kehabisan ide yang nampak pula dari pendeknya durasi (65 menit) walau terdapat setumpuk poin lain yang menarik untuk dipaparkan (Esa berniat membuat dua sekuel). Sesekali kita melihat perburuan babi atau proses melatih anjing, tapi mayoritas waktu dihabiskan mengamati proses tawar menawar atau tokoh utama mengajak anjing jalan-jalan. 
Jangan salah, sorotan menuju kegiatan sehari-hari juga dapat membangun dinamika khususnya kedekatan penonton dan tokoh. Namun sebagaimana Esa yang menyatakan kesulitannya menjalin hubungan dengan subjek, kamera hanya sebatas mengikuti ke mana mereka pergi tanpa sekalipun masuk lebih dalam, menelusuri sisi personal. Akhirnya, tertinggal dinding psikologis tebal, memisahkan jauh penonton dan subjek. Saya pun kurang mendapati sensitivitas Eka sewaktu dia hampir tidak pernah membiarkan para anjing "berbicara". Kamera beberapa kali ditempatkan di samping dan belakang, tapi tak sekalipun di depan mata anjing (mereka tak bisa bicara jadi mata merupakan jendela perasaan yang bisa dimasuki), lalai membiarkan penonton terhubung dengan mereka. 

Momen-momen terkuat "Sihung" bertempat kala menyoroti luka-luka anjing maupun jeritan babi saat ditangkap, tertangkap oleh perangkap warga. Begitu pula ending berdarah pengiris perasaan. Esa Hari Akbar punya insting kuat soal gambar-gambar impactful, tapi berujung percuma sebab ia gagal memberi pernyataan lantang. Pada sesi Q&A, Esa menuturkan bahwa demi menjalin kedekatan dengan warga, ia ikut membeli anjing, melatihnya untuk "ngadu bagong". Apakah sesunggunya ia tidak bermasalah atau bahkan mendukung praktik ini? Bila benar begitu, maka berbagai bentuk kebrutalan milik "Sihung" tak lebih dari sekedar shock value, eksploitasi kekerasan ketimbang curahan kecemasan suatu isu sosial. Setidaknya persepsi saya tergiring ke arah sana.

2 komentar :

Comment Page:
Agung Aritanto mengatakan...

Kemaren juga nonton ini bang di xxi empire, saya duduk persis di depan mba mba yg ptotes soal close up darah pas sesi Q n A

Rasyidharry mengatakan...

Oh setuju sama opini beliau, karena untuk festival luar, kekerasan ekstrim ke hewan memang sulit diterima. Sayang banyak penonton & filmmaker-nya sendiri kurang nangkap maksud itu