MENGEJAR EMBUN KE EROPA (2016)

2 komentar
Apabila anda familiar akan karya Terrence Malick ("The Tree of Life", "To the Wonder", "Knight of Cups") tentu anda pun tahu kegemarannya akan hal-hal seperti voice over, narasi yang bergerak bebas bak sekumpulan video musik, sampai fokus akan alam termasuk ilalang dalam sinematografi. Mungkinkah melalui debut penyutradaraannya ini Haryo Sentanu Murti tengah berusaha meniru gaya sang auteur? "Mengejar Embun ke Eropa" mendadak muncul mengisi kekosongan slot setelah "Surga yang Tak Dirindukan 2" diundur ke Februari 2017, dan mendadak pula daftar film Indonesia pesakitan tahun ini bertambah panjang. 

Film ini dimulai dengan cukup menjanjikan, menampilkan keseharian pagi hari anak-anak Pulau Muna yang mendatangi kebun singkong untuk mandi embun sebelum berangkat sekolah. Kemudian kisah melompat beberapa tahun, ketika Puro (Rizki Hanggono) dan Ani (Putri Ayudya) telah beranjak dewasa, saling mencintai, lalu menikah. Berkat dukungan total sang istri, Puro tidak ragu mewujudkan upayanya meningkatkan kualitas pendidikan di Universitas Delapan Penjuru Angin (UDPA), tempatnya bekerja sebagai Kepala Jurusan. Puro berani menegur bahkan memberi sanksi pada para dosen yang indisipliner dan korup walau tindakan itu membuatnya banyak dibenci kemudian dipecat.
Mencapai titik ini sejatinya "Mengejar Embun ke Eropa" masih nyaman diikuti. Benar tiada kesubtilan dalam berpesan, namun sungguh suatu pesan yang begitu penting untuk disampaikan. Ketimbang semata-mata ajakan menggurui bagi pemuda supaya rajin belajar (tetap ada), filmnya kerap menyoroti kinerja tenaga pengajar. Ketegasan di balik keresahan mencuat, termasuk pada penggambaran karakter Ir. Alidin (Rendra Bagus Pamungkas), dosen dengan tampilan yang cenderung kita sebut "Islami" (jidat hitam, janggut, celana cingkrang) namun berperilaku buruk. Sayang, setelah melewati poin penceritaan ini, "Mengejar Embun ke Eropa" terjun bebas di berbagai sisi.

Pasca pemecatan, perputaran nasib menimpa Puro tatkala ia berkesempatan menimba ilmu di Eropa. Tapi kesan mendadak tanpa proses dan penjelasan mengapa dan bagaimana Puro pergi ke Eropa berujung ketiadaan ikatan emosional dengan penonton. Dari sini pula naskah yang ditulis Haryo Sentanu Murti bersama seniman besar Nano Riantiarno (pendiri Teater Koma) melompat sedemikian kasar. Daripada narasi solid berisi konflik dan emosi, kehidupan Puro di Eropa dikemas bagai jurnal perjalanan, seperti diambil dari acara televisi seputar penelusuran jejak-jejak sejarah. Kesan ini diperkuat oleh voice over Rizky Hanggono tentang deskripsi masing-masing lokasi yang rutin terdengar. Pada fase ini muncul karakter baru, Roberta (Roberta Salzano), seorang gadis Belanda yang tak jelas dimaksudkan sebagai ujian kesetiaan cinta Puro pada Diah atau sekedar numpang lewat tanpa tujuan.
Film ini bergerak acak, tersusun atas sekumpulan scene pendek tanpa substansi selain filler yang disatukan lewat editing kasar meski disunting oleh tiga orang (Haryo Sentanu Murti, Bimo Indharto, dan Nurhadi Putranto), sinematografi Bimo Indharto yang sering mengganggu ketika adegan outdoor entah akibat pencahayaan terlampau terang maupun gambar luar biasa pecah, hingga tata musik Rahayu Supanggah dan Agus Wahyudi yang selain repetitif juga kerap kurang sesuai menemani adegan (ujian diiringi musik mencekam layaknya thriller). Menengok berbagai fakta tersebut, "Mengejar Embun ke Eropa" bagai kegagalan replikasi poetic-free-flowing-narrative Terrence Malick (mungkin ini alasan perekrutan Nano Riantiarno sebagai penulis naskah) akibat kedangkalan cerita ditambah buruknya teknis.

Mencapai paruh akhir berupa perjuangan Puro sebagai rektor UDPA melawan tindak premanisme di area kampus, "Mengejar Embun ke Eropa" berubah dari jurnal perjalanan menjadi rangkuman flash news bercampur iklan layanan masyarakat soal pendidikan. Kehadiran beberapa bloopers (salah satu teman Puro membaca koran terbalik) sekaligus momen cringe-worthy semisal saat puteri Puro menyatakan keinginannya berkuliah di UDPA (diambil dari iklan mana adegan ini?) memperparah kondisi, meninggalkan Putri Ayudya yang tersiakan talentanya selaku aspek terbaik dalam "Mengejar Embun ke Eropa". 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow Indonesia 

2 komentar :

Comment Page:
Zulfikar Knight mengatakan...

Emang blooper di kebanyakan film apa gunanya coba? Ane malah cringe lihatnya.

Atiqoh Nur Wiqoyah mengatakan...

Nungguin review nya hangout