OSCARS 2016 WINNERS LIST

11 komentar
Akhirnya Academy Awards ke-88 mengumumkan jajaran pemenangnya. Beberapa sesuai perkiraan, tapi cukup banyak juga kejutan menyenangkan seperti kemenangan Ex-Machina. Mad Max: Fury Road menjadi penguasa dengan membawa pulang enam piala (mayoritas di kategori teknis), namun pada akhirnya Spotlight memenangkan kategori paling bergengsi. Selamat juga bagi Leo dan penggemarnya karena penantian panjang sang aktor telah berakhir. Mungkin tidak ada keriuhan penampil macam tahun lalu saat Everything is Awesome ditampilkan, namun menyenangkan melihat Chris Rock berani men-tackle isu rasisme secara cerdas, kritis pula menggelitik. Akhirnya, di bawah ini adalah daftar lengkap pemenang Oscar 2016.

Best Visual Effects - Ex-Machina
Best Film Editing - Mad Max: Fury Road
Best Costume Design - Mad Max: Fury Road
Best Makeup and Hairstyling - Mad Max: Fury Road
Best Cinematography - Emmanuel Lubezki (The Revenant)
Best Production Design - Mad Max: Fury Road
Best Sound Mixing - Mad Max: Fury Road
Best Sound Editing - Mad Max: Fury Road
Best Original Song - Writing's on the Wall (Spectre)
Best Original Score - Ennio Morricone (The Hateful Eight)
Best Animated Short Film - Bear Story
Best Live Action Short Film - Stutterer
Best Documentary Short Subject - A Girl in the River
Best Documentary Feature - Amy
Best Foreign Language Film - Son of Saul (Hungary)
Best Animated Feature Film - Inside Out
Best Adapted Screenplay - The Big Short
Best Original Screenplay - Spotlight
Best Supporting Actress - Alicia Vikander (The Danish Girl)
Best Supporting Actor - Mark Rylance (Bridge of Spies)
Best Actress - Brie Larson (Room)
Best Actor - Leonardo DiCaprio (The Revenant)
Best Director - Alejandro G. Inarritu (The Revenant)
Best Picture - Spotlight


Note: Beberapa waktu lalu saya sempat menuliskan prediksi (baca di sini), dan saya menebak benar di 16 kategori dari total 21 (not a really good prediction).

11 komentar :

Comment Page:

KNIGHT OF CUPS (2015)

12 komentar
Terrence Malick merupakan salah satu (kalau bukan satu-satunya) sutradara yang mampu menyulap tiap aspek film terasa puitis sampai ke detail terkecil. Gerakan aktor mengambil gelas pun dapat ia kemas bak kontemplasi mendalam tentang hidup. Memang begitulah Malick, seorang auteur bermodalkan filosofi kehidupan saat bertutur. Selalu terdapat pemikiran kuat pada tiap filmnya, tak peduli penonton suka (baca: paham) atau tidak. Bahkan jika kita telaah satu per satu, tiap karya jadi gambaran perjalanan sekaligus "evolusi" hidup sang sutradara. Saya pun memahami kenapa Malick yang dulu jarang membuat film kini telah merilis tiga film selama lima tahun terakhir. Mungkin inilah titik perenungan terdalamnya akan tiap sendi kehidupan, menghadirkan tanya yang bisa saja takkan terjawab.

Maka jangan heran tatkala Knight of Cups masih memiliki DNA serupa dengan The Tree of Life juga To the Wonder baik dari style ataupun kolaborasi tema cinta dan hidup secara lebih luas. Knight of Cups sendiri berkisah tentang Rick (Christian Bale), seorang penulis naskah dengan karir sukses di Hollywood, tapi menyadari ada kehampaan dalam hidup, mempertanyakan eksistensinya. Kemudian alur dipecah menjadi delapan chapter, di mana masing-masing (kecuali final chapter) diberi judul berdasarkan nama-nama kartu tarot, sama seperti judul film ini. Setiap babak menyoroti hubungan Rick dengan beberapa orang, mulai dari adiknya, Barry (Wes Bentley), sang ayah, Joseph (Brian Dennehy), juga banyak wanita yang selama ini menjadi pelarian Rick dari rasa sakit sekaligus kesunyian.
Dibuka oleh voice over mengenai The Pilgrim's Progress lalu narasi kisah Hymn of the Pearl membuktikan bahwa film ini lebih gamblang menuturkan pesan daripada tampak luarnya. Malick mengangkat kisah mengenai anak manusia yang sejatinya hidup membawa tujuan namun melupakan itu tatkala gemerlap duniawi membutakan matanya. Jadilah ia melakukan perjalanan, mencari tujuan yang selama ini terlupakan. Judul "Knight of Cups" sendiri -berdasarkan pengertian kartu tarotnya- berperan sebagai representasi tokoh Rick: womanizer, mudah bosan, penuh kreatifitas artistik namun mudah terombang-ambing, khususnya perihal kebenaran. Kegamblangan ide besar sedari awal film memang membantu penonton memahami alur, tapi di saat bersamaan mengurangi daya tarik, karena penonton tinggal disuguhi repetisi atas ide utama tadi.

Namun bukan berarti film ini tidak menawarkan keping cerita lain. Anggaplah tema besar tadi sebuah pohon, maka Malick menghabiskan durasi untuk menelusuri batang, akar, hingga daun walau tidak sampai pada detail terkecil. Kurang menyeluruhnya eksplorasi memunculkan masalah serupa seperti To the Wonder dulu saat karakter nampak dangkal karena datang dan pergi begitu saja. Tapi jika To the Wonder pada dasarnya memang pemaparan tentang "rasa" -which is abstract- Knight of Cups cenderung menitikberatkan pada karakter, sehingga kurangnya penggalian berujung progresi flat alur. Cara Malick membangun tone turut memberi masalah. Alih-alih mencipta konsistensi, justru kesan monoton mendominasi. Perjalanan Rick bagai terhenti di satu titik, sulit membedakan masihkah ia "terkurung" atau telah "bebas".
Akan jadi lain cerita apabila anda seorang die hard fans Malick, karena segala signature sang sutradara masih teramat kental. Belum hilang sentuhan Malick dalam mempuisikan tiap bentuk adegan, termasuk kesan sureal lewat tingkah absurd tokohnya. Di tangan sutradara lain, adegan Rick merangkak masuk ke jeruji kurungan seorang stripper mungkin bakal konyol (sengaja maupun tidak), tapi presentasi Malick menjadikannya melankoli seorang pria limbung yang berpasrah diri memenjarakan hatinya untuk seorang wanita. Tapi jangan harapkan akting memukau para cast, karena Malick terkenal "lebih mengagumi" pemandangan daripada aktor. Bale sendiri lebih banyak menghabiskan waktu diam dan meratap sebagai presentasi kegamangan hati karakternya. Sedangkan Cate Blanchett dan Natalie Portman tidak mendapat porsi memadahi untuk unjuk gigi.

Menyebut Knight of Cups (dan kebanyakan karya Malick) sebagai poetic bagi saya kurang tepat. This is the poetry itself. Tiap keping presentasi visual bagai translasi bait demi bait puisi secara literal. Sebagai contoh adegan saat Rick menenggelamkan dirinya di kolam. Sepintas aneh dan tidak memiliki koherensi dengan alur, tapi bagaimana jika itu wujud visualisasi teruntuk kalimat: "...and I drown myself in the ocean of life" misalnya? Walau berwujud paparan sinematik, akan "lebih mudah" memandang cara bernarasi Terrence Malick sebagai puisi itu sendiri. Hal ini tak bisa dipungkiri bakal memusingkan penonton yang belum familiar akan gayanya. 

Perbandingan dengan dua film sebelumnya jelas tak terelakkan, dan Knight of Cups adalah karya terlemah Malick. Meski masih berhiaskan sinematografi indah Emmanuel Lubezki pula pergerakan kamera dinamis layaknya terbang lincah berakorbatik mengikuti pergerakan aktor, visualnya tidak breathtaking alias Standar seorang Malick. Konsistensi gaya memang nilai lebih, tapi film ini bagai repetisi akibat mentoknya daya cipta. Mungkin Malick memang masih belum menemukan jawaban atas segala kontemplasi masa tuanya. Sayang, kali ini saya tidak terikat oleh kontemplasi itu karena temanya lebih segmentedJika The Tree of Life membahas perihal hidup berhiaskan keluarga dan To the Wonder adalah rasa cinta, maka Knight of Cups menyajikan kehampaan hedonisme yang sulit menyentuh rasa terdalam mayoritas penonton karena tidak semua dari kita mengalami apalagi memahami itu. Ada unsur cinta sebagai jalan Rick menemukan makan hidup, tapi dangkalnya eksplorasi menggagalkan intensinya merasuk ke hati. Trailer-nya jauh lebih indah dan menggetarkan.

12 komentar :

Comment Page:

JINGGA (2016)

1 komentar
Seorang filmmaker berkarya sembari mengusung tujuan edukasi adalah hal baik, apalagi bila masyarakat (baca: penonton) masih minim pengetahuannya akan hal yang diangkat. Karya terbaru Lola Amaria dengan naskah hasil tulisannya bersama Gunawan Raharja ini menyimpan asa serupa: mengajak penonton memasuki seluk beluk kehidupan tuna netra, memberikan pemahaman tentang mereka baik dari sisi medis maupun personal. Satu hal yang patut diwaspadai ketika menciptakan film seperti ini adalah jangan sampai filmnya jatuh sebagai "iklan layanan masyarakat" lalu melupakan tugasnya menuturkan sebuah cerita. Ada ekspektasi tinggi karena saya meyakini kapasitas Lola Amaria baik selaku penulis naskah maupun sutradara.

Judul Jingga diambil dari nama protagonisnya, Surya Jingga (Hifzane Bob) yang sedari kecil menderita low vision. Kondisi tersebut sering membuatnya kerepotan menjalani aktifitas sehari-hari walau sang ayah (Ray Sahetapy) kerap memberikan didikan keras supaya ia bisa mandiri dan suatu saat sembuh dari penyakit itu. Tapi nasib malang justru menimpa tatkala Jingga mengalami kecelakaan di sekolah, membuatnya kehilangan kemampuan melihat secara total. Sempat putus asa, akhirnya Jingga bersedia melanjutkan sekolah di suatu SLB (Sekolah Luar Biasa) di mana ia bertemu dengan Marun (Qausar HY), Magenta (Aufa Assegaf) dan Nila (Hany Valery) yang sesama tuna netra. Bermodalkan kemampuannya bermain drum, Jingga bergabung bersama ketiga temannya dalam sebuah band, membuktikan bahwa kehilangan penghilatan bukan berarti kehilangan kehidupan.
Berkaca pada nama-nama karakternya termasuk di luar empat tokoh utama (Fusia, Kirmizi, Ireng) bisa ditebak salah satu hal yang ingin disampaikan Lola Amaria. Semua diambil dari nama warna. Lola memang berusaha menegaskan bahwa meskipun kehilangan penglihatan, dunia tuna netra tetaplah cerah berwarna-warni. Tidak terlalu subtil namun cukup memberi sentuhan detail manis. Hal lain yang coba Lola tegaskan adalah cara orang "normal" memperlakukan tuna netra. Seringkali didasari rasa kasihan, kita memanjakan mereka, memperlakukan secara istimewa, padahal mereka sendiri tidak ingin dianggap berbeda. Berangkat dari situ, Jingga tidak dikemas sebagai alat penyedot belas kasih pada tuna netra. Konflik persahabatan, impian, cinta hingga keluarga dipaparkan seperti drama "biasa" demi menonjolkan hal itu. 

Niatan bagus ini sayangnya menjadi bumerang ketika Jingga jadi penuh hal-hal klise nan predictable. Film ini punya karakter sekaligus dunia menarik, tapi Lola justru memilih untuk tidak mengeksplorasi keunikan tersebut. Ya, saya memahami intensinya, tapi kalau begitu apa perbedaan film ini dibanding film remaja pada umumnya? Beberapa aspek memang sempat disinggung semisal kepekaan pendengaran Marun hingga kunjungan Jingga dan Nila ke bioskop berisikan para "pembisik", namun semuanya tak lebih dari sekedar "sekilas info" di antara main plot berisi persahabatan. Saya pun teringat pada What They Don't Talk About When They Talk About Love milik Mouly Surya yang dikemas unik, membawa penonton menuju dunia "baru", lalu membuat saya begitu mengagumi mereka yang berkekurangan.
Intensi di atas bisa berhasil andaikan paparan drama berjalan kuat. Tapi sayangnya tidak. Selain alur klise, beberapa dialog cringeworthy turut menghalangi saya menjalin ikatan emosional dengan kisah dan tokohnya. Keempat aktor utama sesungguhnya bermain baik. Hany Valery dan Aufa Assegaf misalnya, begitu meyakinkan sebagai seorang tuna netra tanpa ada kesan dibuat-buat. Tapi apa daya, mereka tetaplah bukan penampil berpengalaman hingga sanggup menyulap rangkaian kalimat buruk menjadi enak didengar. Untung dialognya masih punya nilai positif pada kecermatannya menyelipkan info-info medis berkat ketepatan timing serta kuantitas secukupnya sehingga tidak terasa dipaksakan masuk layaknya penyuluhan mendadak. 

Memang mengecewakan ketika filmnya gagal menjadi drama engaging apalagi inspiring, tapi Jingga bukanlah sajian buruk. Penonton yang benar-benar awam akan mendapat beberapa pemahaman baru mengenai banyak sisi seorang tuna netra. Namun apabila anda mengharapkan drama memikat macam karya-karya Lola Amaria sebelumnya atau film dengan pemaparan "berbeda" mungkin akan pulang membawa kekecewaan. Opening sequence yang menitikberatkan pada tata suara sempat membuat saya mengira ekspektasi awal itu akan terpenuhi, sebelum akhirnya Jingga berjalan biasa saja (tanpa inovasi dan pergolakan emosi) hingga akhir. Still worth watching, though.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

1 komentar :

Comment Page:

STAY WITH ME (2016)

5 komentar
Salah satu miskonsepsi yang paling jamak muncul dalam film romansa adalah eksploitasi keindahan sinematografi untuk memunculkan suasana romantis. Visual memikat tidak haram hukumnya, tapi hanya mengandalkan itu lalu mengesampingkan kekuatan penceritaan justru membuat filmnya hambar. Patut diingat, film bisa disamakan dengan music video atau pre-wedding video, di mana dalam kedua media tersebut, gambar indah memang (harus) jadi kekuatan utama. Stay with Me garapan Rudi Soedjarwo ini mengambil pendekatan serupa. Teruntuk pangsa pasar remaja, cara tersebut mungkin efektif, tapi masalahnya Stay with Me mengusung konflik percintaan jauh lebih dewasa, bukan sekedar cinta monyet masa muda.

Film ini mengisahkan sepasang kekasih, Boy (Boy William) dan Deyna (Ully Triani) yang telah bersumpah akan saling mencintai dan bersama untuk selamanya. Namun sebuah tragedi memaksa Deyna pindah ke Eropa meninggalkan Boy. Enam tahun berselang, Boy telah menjadi seorang sutradara sekaligus memiliki istri dan seorang anak. Sampai tiba saat di mana hubungan Boy dan istrinya memburuk, takdir mempertemukannya kembali dengan Deyna yang kini pun telah memiliki suami dan anak. Tidak butuh waktu lama bagi kenangan romansa masa lalu di antara keduanya kembali hadir, membawa Boy dan Deyna menjalin hubunngan sekali lagi.

Sungguh, Stay with Me punya potensi luar biasa untuk menjadi suguhan percintaan mature tanpa melupakan sisi romantisme. Kedua protagonisnya dihadapkan pada problema rumit, bukan percikan konflik sederhana ala cinta monyet. Filmnya bisa saja mengambil sudut pandang menarik tentang perselingkuhan. Pertanyaan "bagaimana jika penyatuan cinta sejati terbentur status pernikahan?" bisa amat menarik untuk digali. Ada pula gesekan antara cinta dan materi, berpotensi membuat filmnya lebih berpijak pada isu kehidupa nyata daripada sekedar bermanis-manis dalam kisah cinta happily ever after bak di negeri dongeng. Sayang, naskah karya Rudi Soedjarwo dan Anggi Septianto hanya menjadikannya selingan belaka.
Dari segi teknis, Stay with Me memang jempolan. Sinematografi dari Arfian konsisten mengumbar keindahan visual berisikan warna-warna lembut nan manis. Scoring karya Andi Rianto meski tak jarang kelewat megah di beberapa adegan dengan intensitas emosi kelas menengah, mampu hadir selaras bersama visualnya. Kulit luar film ini memang manis, tapi tidak dengan ceritanya. Naskah hanya berorientasi menunjukkan hasil, bukan proses mencapai kesana. Tiba-tiba kita melihat Boy dan Deyna berpisah, hubungan Boy dan istrinya memburuk, proyek film Boy gagal, dan sebagainya. Rudi dan Anggi lalai mengajak penonton menyelami seluruh aspek cerita, khususnya hubungan Boy dan Deyna.

Belum sempat saya jatuh cinta pada keduanya, film sudah mencapai akhir suatu konflik, lalu berpindah ke poin berikutnya. Tidak ada pemikat hati dalam kakunya percintaan karakter utama. Interaksi mereka didominasi adegan tertawa, seolah ingin menunjukkan betapa bahagianya hubungan tersebut. Tapi seperti sebuah inside joke di mana hanya "orang dalam" yang tertawa, saya ibarat outsider, tidak tahu kenapa mereka bahagia dan saling mencintai. Maka wajar ketika saya mendengar seseorang berujar "ngapain mereka ketawa sih? garing gitu", karena penonton dibiarkan di luar tanpa diajak terlibat lebih jauh apalagi ikut merasakan cinta keduanya.
Lemahnya naskah sama sekali tidak membantu Boy William atau Ully Triani menghantarkan performa maksimal. Dibandingkan beberapa penampilan sebelumnya, Boy William memang mengalami peningkatan. Aktingnya tidak lagi berlebihan dan aksen "barat" miliknya lebih tepat guna. Tapi tatkala karakternya berkontemplasi alias hanya diam memandang kosong, ekspresi Boy pun sama kosongnya. Tidak ada kesedihan, hanya kekosongan. Ditambah lagi Rudi Soedjarwo gemar mengambil adegan sunyi dengan take panjang berisikan Boy dalam kediamannya. Akibatnya, film ini seringkali terasa melelahkan karena tidak terjadi apapun di layar termasuk parade emosi sang aktor. Ully Triani sebagai debutan justru lebih sukses menyuntikkan nyawa pada karakternya berkat curahan emosi believable tak berlebihan, meski lagi-lagi kelemahan di naskah menghalangi terciptanya chemistry kuat di antara mereka.

Beberapa menit terakhir selaku klimaks sedikit menyelamatkan Stay with Me dari kedataran emosi sepanjang durasi. Konflik puncak antara Boy dan Deyna jujur saja cukup menyesakkan. Namun perasaan itu hadir karena sebagai pria, saya tahu bagaimana kacaunya perasaan Boy menghadapi permasalahan tersebut, hingga mampu bersimpati padanya, bukan karena naskah atau pengadeganan kuat. Momen itu sedikit memberi nilai positif, namun tidak menutupi fakta bahwa secara keseluruhan, Stay with Me hanya satu lagi sajian romansa tanpa kekuatan emosi yang hanya menggantungkan diri pada kekuatan visual. Film ini sekedar mengungkapkan hasil tanpa eksplorasi proses guna menjalin ikatan antara penonton dengan kisah maupun karakter. Potensi menjadi romansa yang lebih dewasa pun turut memudar bersama dangkalnya penceritaan.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

5 komentar :

Comment Page:

A WAR (2015)

2 komentar
Membahas peperangan apalagi memakai sudut pandang kemanusiaan memang tak pernah ada habisnya hingga tiba masa di mana hal tersebut tidak terulang lagi. Film ber-setting medan perang baik yang mengusung pesan anti-war atau sekedar glorifikasi terhadap desingan peluru jumlahnya pun sudah tak terhitung, sehingga filmmaker mesti berusaha lebih keras supaya karyanya meninggalkan kesan di hati penonton. A War karya Tobias Lindholm sekaligus perwakilan Denmark di ajang Oscar 2016 (berhasil menembus nominasi final) ini sekilas tanpa inovasi. Tengok saja judulnya yang mengundang pertanyaan, apakah (A) Klise dan malas, atau (B) straight to the point, menggambarkan keseluruhan kisah di dalamnya.

Penonton langsung dibawa menuju Provinsi Helmand, Afganistan, tempat pasukan militer Denmark yang dipimpin Claus Michael Pedersen (Pilou Asbæk) tengah bertugas. Misi utama mereka adalah berpatroli demi melindungi warga sipil dari pasukan Taliban. Suatu ketika saat tengah menjalankan misi, terjadi kecelakaan yang menewaskan salah seorang pasukan. Merasa bertanggung jawab, Claus memilih ikut terjun ke lapangan, memimpin pasukannya secara langsung. Sementara itu, secara bersamaan alurnya kerap berpindah menyoroti kehidupan keluarga Claus di rumah, termasuk bagaimana repotnya sang istri, Maria (Tuva Novotny) merawat ketiga anak mereka sendirian. 
Patut ditekankan bahwa A War bukanlah film perang dengan dominasi adegan baku tembak. Fakta tersebut sudah bisa diterka bila menengok bujet yang hanya berjumlah $1.2 juta. Selain ledakan ranjau di adegan awal, sepanjang durasi 115 menit hanya ada satu momen berisikan hujan peluru, itupun tidak tersaji dalam skala besar dan jauh dari kesan bombastis. Membagi kisah menjadi dua babak, fokusnya lebih menitikberatkan pada problema moralitas baik di dalam maupun luar medan perang. Paruh pertamanya berupa frontline drama, mengetengahkan pada keharusan Claus mengambil keputusan-keputusan dilematis sebagai hasil gesekan antara nurani dengan prosedural. Sampai semuanya berpuncak pada baku tembak antara militer Denmark melawan Taliban, di mana keputusan Claus berujung konsekuensi yang harus ia dan keluarganya tanggung.
Paruh keduanya berupa courtroom drama, membawa konflik dari garis depan peperangan menuju ruang persidangan. Jika babak pertama berfungsi memaparkan, maka babak keduanya mengajak penonton merenungi perihal moralitas selaku tema film. Dalam naskah garapan Tobias Lindholm, terdapat pembeda antara A War dengan formula milik Hollywood, yakni tatkala Claus tidak diposisikan seutuhnya sebagai "sosok putih". Penonton sama sekali tidak digiring untuk mendukung atau mengutuknya, karena kita sendiri tidak bisa (semudah itu) menentukan kebenaran, di mana selalu ada reasonable doubt dalam tiap sisi. Keputusan Lindholm untuk tidak menyederhanakan kompleksitas tema memberikan bobot tersendiri di tengah perjalanan alur yang sesungguhnya predictable.

Selain momen titik balik di pertengahan film, A War sesungguhnya terasa amat familiar, mulai dari tema, cerita, bahkan perpindahan fokus menuju ruang persidangan juga bukanlah suatu hal baru meski harus diakui Lindholm cukup kokoh menghantarkan tiap aspeknya. Penggunaan shaky cam dalam taraf sewajarnya untuk adegan battlefield menguatkan suasana chaotic realistis, menjauhkan filmnya dari kesan glorifikasi peperangan berbalut kemewahan visual. Courtroom drama-nya pun mampu menggugat perspektif saya akan moralitas. Namun lagi-lagi semuanya terlalu familiar, menyebabkan A War tidak memberi impact atau provokasi lebih kuat.

2 komentar :

Comment Page:

OSCARS 2016 WINNER PREDICTIONS

17 komentar
Sungguh award season yang aneh. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tidak ada frontrunner bahkan hingga seminggu menjelang perhelatan Oscar. Beberapa bulan lalu Spotlight masih jadi unggulan, hingga The Big Short memenangkan Producers Guild Awards yang selama satu dekade terakhir tidak pernah keliru "memprediksi" pemenang Oscar. Spotlight kembali mendapat momentum tatkala berjaya di Screen Actors Guild Awards (mayoritas Oscar voters adalah aktor). Kompetisi kembali ketat sewaktu The Revenant berjaya di Golden Globe, BAFTA dan Directors Guild Awards. Jangan lupakan pula Mad Max: Fury Road yang banyak dicintai serta diharapkan membongkar "tabu" bagi kemenangan film blockbuster. Jadi, inilah prediksi (kurang meyakinkan) dari saya:

BEST VISUAL EFFECTS
Will Win: Mad Max: Fury Road
Should Win: Star Wars: The Force Awakens
Mad Max: Fury Road begitu dicintai dan akan berjaya setidaknya di kategori teknis. Namun sebagai penggemar The Force Awakens dengan kombinasi memikat CGI dan efek praktikalnya, tentu saya berharap filmnya meraih kemenangan, dan kategori ini jadi satu-satunya peluang.

BEST FILM EDITING
Will Win: The Big Short
Should Win: The Big Short
Tengok cara Hank Corwin menyatukan berbagai random footage sebagai satu kesatuan penyokong narasi.

BEST COSTUME DESIGN
Will Win: Mad Max: Fury Road
Should Win: Mad Max: Fury Road
Oscar menyukai period drama, dan kegagalan Carol menjadi nominee film terbaik bisa jadi mendapat penebusan. But hey, desain Jenny Beavan sungguh gila dalam merealisasikan kostum post-apocalyptic di Fury Road.

BEST MAKEUP & HAIRSTYLING
Will Win: Mad Max: Fury Road
Should Win: Mad Max: Fury Road
Walau The Revenant berpeluang mengejutkan, tapi Fury Road jauh lebih "mencolok".

BEST CINEMATOGRAPHY
Will Win: The Revenant
Should Win: The Revenant
Apakah Oscar akhirnya akan berpihak pada Roger Deakins? Sayangnya tidak. Emmanuel Lubezki akan membawa pulang Oscar ketiga secara berturut-turut. 

BEST PRODUCTION DESIGN
Will Win: Mad Max: Fury Road
Should Win: Mad Max: Fury Road
Seperti yang telah saya sebutkan, meski berat untuk memenangkan Best Picture, Fury Road akan berjaya di aspek teknis/tata artistik.

BEST SOUND MIXING
Will Win: The Revenant
Should Win: The Revenant
Bagaimana detail permainan kesunyian menghanyutkan jadi modal utama The Revenant untuk menang di sini. 

BEST SOUND EDITING
Will Win: Mad Max: Fury Road
Should Win: Mad Max: Fury Road
Siapa tidak terpikat oleh ledakan serta gemuruh di Fury Road? Pastinya bukan Oscar.

BEST ORIGINAL SONG
Will Win: Till it Happens to You 
Should Win: Simple Song #3 
Ketiadaan See You Again tentu mengejutkan, karena lagu ini adalah unggulan untuk jadi pemenang sebelum pengumuman nominasi. Oscar tidak akan memilih lagu kurang mainstream, tapi keindahan Simple Song #3 begitu memikat saya.

BEST ORIGINAL SCORE
Will Win: The Hateful Eight
Should Win: The Hateful Eight
Satu-satunya piala bagi film kedelapan Quentin Tarantino. Musik gubahan Ennio Morricone tak akan mendapat saingan berarti karena Thomas Newman terlalu generic dan John Williams tak menciptakan inovasi baru.

BEST DOCUMENTARY - FEATURE
Will Win: Amy
Should Win: Cartel Land
Kemenangan Amy akan sekaligus menjadi tribute bagi Amy Winehouse. Oscar tidak akan melewatkan kesempatan ini bukan?

BEST FOREIGN LANGUAGE FILM
Will Win: Son of Saul
Should Win: -
Saya tidak memberi pilihan karena baru Theeb yang sudah saya tonton. Tapi kemenagan Son of Saul telah tercium dari jauh-jauh hari.

BEST ANIMATED FEATURE FILM
Will Win: Inside Out
Should Win: Inside Out
Tidak ada persaingan.

BEST ADAPTED SCREENPLAY
Will Win: The Big Short
Should Win: The Big Short
Di antara kelima nominee, The Big Short adalah satu-satunya unggulan di Best Picture, dan kemenangannya di Writers Guild Awards telah mengunci hasilnya.

BEST ORIGINAL SCREENPLAY
Will Win: Spotlight
Should Win: Inside Out
Kasusnya sama seperti di kategori naskah adaptasi. Tapi di luar orisinalitas yang sesungguhnya tidak 100%, saya tetap lebih terpukau oleh Inside Out. 

BEST SUPPORTING ACTRESS
Will Win: Alicia Vikander
Should Win: Kate Winslet
Vikander berjaya di Screen Actor Guild Awards, tapi Kate Winslet punya peluang menggagalkan kemenangan Vikander. Winslet mampu menyokong Steve Jobs bahkan mengimbangi Fassbender.

BEST SUPPORTING ACTOR
Will Win: Sylvester Stallone
Should Win: Sylvester Stallone
Ketiadaan Idris Elba selaku pemenang SAG membuat peluang kemenangan terbuka lebar untuk siapapun. Tapi bukankah ini waktu yang tepat memberi "pengakuan" bagi Rocky Balboa?

BEST ACTRESS
Will Win: Brie Larson
Should Win: Brie Larson
Kemenangan Brie sudah dipastikan.

BEST ACTOR
Will Win: Leonardo DiCaprio
Should Win: Leonardo DiCaprio
Akhirnya penantian Leo (dan para fans) akan berakhir. Selamat!

BEST DIRECTOR
Will Win: Alejandro G. Inarritu
Should Win: Adam McKay
Berhasil menang di DGA, sepertinya akan membuat Inarritu menyaingi John Ford dan Joseph L. Mankiewicz sebagai sutradara yang dua kali berturut-turut memenangkan Oscar. Namun saya lebih mengagumi visi McKay dalam mengemas kisah memusingkan jadi tontonan menghibur pula dinamis.

BEST PICTURE
Will Win: The Revenant
Should Win: Room
Momentum jelas condong ke arah The Revenant, terlebih film itu kemungkinan besar bakal meraih piala jauh lebih banyak dibanding para pesaing. Tapi sekali lagi ini tahun yang aneh. The Big Short pun masih memiliki peluang berkat kemenangan di PGA serta tema yang dekat dengan para voters. Begitu pula Spotlight sebagai film yang "sangat Oscar". But still, "Room" is the best of them all

17 komentar :

Comment Page:

DIA PASTI DATANG (2016)

26 komentar
Dia Pasti Datang sungguh telah menampar, menyadarkan bahwa selama ini persepsi saya akan standar film di bioskop sudah salah kaprah. Karena sebelum membicarakan tetek bengek kualitas, ada hal yang wajib diperhatikan. Hal ini amat mendasar, sehingga para filmmaker secara otomatis pasti melakukannya tidak peduli ia membuat sajian komersil, arthouse, religi dan lain-lain. Hal mendasar yang saya maksud adalah MENYELESAIKAN FILMNYA! Karena bukankah tidak mungkin sebuah film yang belum tuntas bakal dirilis di bioskop? Tidak mungkin kan? Iya kan? Ternyata Dia Pasti Datang mengajarkan saya satu lagi hal esensial dalam kehidupan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, termasuk merilis film yang belum selesai. 

Mari membahas soal plot dahulu, karena bicara tentang hal dasar, aspek satu ini termasuk basic utama pembuatan film. Masterpiece dari sutradara Steady Rimba ini berkisah tentang wanita baik hati bernama Larasati (Amel Alvie). Begitu baik wanita satu ini. Dia suka rela menghidupi, pula menjadi guru bagi anak-anak suatu panti asuhan. Larasati rutin menekankan kerajinan dan kemandirian, tapi nampaknya lupa bicara kesopanan. Saat mengajar, ia tak hanya memakai make-up super tebal, tapi juga baju ketat dengan kadangkala belahan dada terlihat. Dalam satu kesempatan ia mengajak anak-anak itu menonton pertunjukkan tari dimana ia ikut serta. Pertunjukkan itu menampilkan tiga wanita berpakaian terbuka, menarikan gerakan seksi yang disambut tepuk tangan meriah serta canda tawa anak-anak. Mungkin Larasati tengah mengajarkan pubertas? Saya hanya bisa mengira-ira.
Iya, ini lumayan ngeri
Singkatnya, Larasati dibunuh secara tidak sengaja oleh dua anak buah Daeng Karim (Guntur Triyoga), seorang camat muda sekaligus calon suaminya. Sungguh malang nasib wanita baik hati ini, setelah tewas, ia masih sempat diperkosa oleh dua orang tamu kehormatan Daeng Karim. Larasati tewas, menjadi hantu gentayangan yang berhasrat menuntut balas. Tapi hantu Larasati ternyata kurang cakap melakukan aksinya. Sebagai contoh, seorang pria sudah ia serang menggunakan sebuah bambu, tapi tidak mati. Beberapa saat kemudian serangan kembali terjadi. Pria itu terjatuh, muntah darah, lalu diseret di sepanjang lantai, tapi tidak mati. Hingga akhirnya pria itu merasa bersalah dan memilih bunuh diri padahal sepanjang film ia terus berujar ingin segera kabur karena takut mati. 

Jelas naskahnya buruk. Dialognya bagai ditulis oleh dua orang yang tidak pernah sekalipun bertemu selama penulisan. Alhasil perbincangan antar-karakter sering tidak sinkron. Jika ada yang bertanya "kamu udah makan?" saya yakin lawan bicaranya bakal menjawab "kebun binatang". Karakternya seperti berkepribadian ganda. Satu waktu mereka berkata "ayo ikuti dia! Cuma dia yang bisa kita percaya" tapi beberapa detik kemudian berujar "ngapain sih ngikutin orang ini?" Mungkin Steady Rimba yang merangkap penulis naskah ingin mengeksplorasi bagaimana rasa takut berpengaruh pada sisi psikis seseorang. Memang benar. Saat ketakutan mendominasi, otak kita menjadi kacau, tidak bisa berpikir jernih, plin plan, bodoh, idiot, bisa juga lebay. Mirip dengan tokoh-tokoh di sini.
Lalu menyoal filmnya yang belum selesai, suara dalam Dia Pasti Datang sering mendadak hilang. Sungguh. Tanpa musik, tanpa ambience, total bisu. Sebelum tiba-tiba dialog masuk secara paksa. Jadi semisal ada kalimat "siapa orang itu?" maka yang terdengar adalah "pa orang itu?" Bukan sekali dua kali, hal ini terjadi puluhan kali. Lebih ajaib lagi, dubbing-nya sering tidak pas dengan gerak bibir pemain. Bahkan satu kalimat sempat terdengar dua kali, padahal bibir pemain sudah tampak mengucapkan hal berbeda. Saya pun terbayang pembicaraan yang terjadi di ruang editing film ini:

Sutradara: Gimana? Kelar semua?
Editor: Kelar. Lagi render nih
(rendering selesai, film diputar)
Sutradara: Lho, kok ini musiknya belom masuk?
Editor: Lupa bos. File sound-nya keselip.
Sutradara: Terus ini kenapa dialognya keulang?
Editor: Ribet bos, ngegeser-gesernya lagi.
Sutradara: Gimana ya...
Editor: Kalo diulang ribet, render-nya lama. Laptop juga boleh minjem
Sutradara: Yaudahlah, kagak perlu. Pilem kan gambar, suara belom kelar mah bodo amat
Editor: Nah, bener bos!
(keduanya tertawa ngakak, menyadari bahwa toh penonton masih akan tetap menghamburkan uang menonton unfinished movie mereka ini.)

Akhirnya Dia Pasti Datang dirilis paksa, karena para pembuatnya tidak mempermasalahkan tata suara yang belum selesai, karena toh gambarnya sudah. Mereka tidak menyadari bahwa di beberapa bagian, kawat untuk menarik pintu supaya tampak tertutup dengan sendirinya masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Bahkan ada adegan ibu hamil meminta diantar ke rumah sakit, padahal jelas dari pantulan kaca mobil, ia sedang berdiri di depan IGD.  

Masih banyak aspek lain yang belum saya bahas, tapi karena filmnya saja seperti belum selesai, review ini pun tidak saya tuntaskan. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

26 komentar :

Comment Page:

I AM HOPE (2016)

1 komentar
Seperti namanya, "disease porn" memang bak penyakit yang menggerogoti perfilman Indonesia. Bukan berarti semua tearjerker berisi dying character itu buruk, namun banyak sineas kita menyalahgunakan unsur tersebut sebagai jalan pintas membenamkan penonton dalam tangis. Tidak peduli cerita, karakterisasi maupun akting pemain seburuk apa, yang penting air mata bisa mengalir deras. Dilihat sekilas, wajar bila I Am Hope menimbulkan skeptisme di kalangan penonton yang menyimpan antipati terhadap disease porn -termasuk saya. Tapi walau masih dipenuhi usaha menyedot air mata, film garapan Adilla Dimitri ini punya tujuan berbeda. Sesuai judulnya, I Am Hope berniat memunculkan secercah harapan, mengajak supaya berjuang alih-alih menyerah tak berdaya.

Mia (Tatjana Saphira a.k.a "the prettiest Indonesian actress today") telah sejak kecil mengagumi sang ibu (Febby Febiola), seorang sutradara teater, dan kekaguman itu membuatnya bercita-cita menggelar pertunjukkan sendiri. Namun tatkala divonis menderita kanker yang juga menjadi penyebab meninggalnya sang ibu, harapan tersebut seolah sirna. Apalagi ayahnya (Tio Pakusadewo) masih memendam trauma dan melarang Mia berkecimpung di dunia teater. Tapi ia pantang menyerah. Dibantu oleh Maia (Alessandra Usman), seorang gadis penuh pemikiran positif yang hanya mampu dilihat olehnya dan small time stage actor bernama David (Fachri Albar), Mia kukuh berusaha merealisasikan mimpinya tersebut meski harus bergulat dengan rasa sakit hasil kemoterapi.
Opening sequence-nya menjanjikan, karena walau berisikan kematian tokoh ibu dan runtuhnya perekonomian keluarga, sutradara Adilla Dimitri tidak berusaha keras mengemasnya overly melancholic. Daripada sayatan orkestra, scoring diisi petikan gitar akustik khas musik folk yang meskipun sendu tetap beratmosfer positif, memposisikan film bukan sebagai penguras air mata belaka. Setelah itu perjalanan alur sedikit goyah akibat penggunaan flashback berlebihan, tapi kembali menemukan pijakannya sewaktu fokus berpindah pada interaksi karakter. Hubungan Mia dengan Ayah, David dan Maia merupakan kekuatan terbesar I Am Hope, bahkan di saat naskahnya tidak begitu spesial sekalipun. Semua berkat akting memikat jajaran cast utama.

Tatjana Saphira di sini tidak sekedar bersenjatakan paras cantik seperti penampilannya dalam Negeri Van Oranje. Berkat range emosi lebih luas, Mia tidak berakhir sebagai karakter dua dimensi. Fachri Albar bermodalkan pembawaan kikuknya menjauhkan David dari sosok pria tampan nan charming sebagai love interest protagonisnya. Tapi biar bagaimanapun, Tio Pakusadewo adalah penampil terkuat. Momen klise seperti kesedihan kala mendapati puterinya menderita kanker terasa begitu mengiris hati berkat luapan emosional sang aktor. Setiap gestur hingga mimik muka terkecil Tio Pakusadewo mampu mencengkeram hati saya. Tio membawa tokoh ayah menjadi simpatik, sehingga saat terjadi perselisihan dengan Mia, saya bisa memahami alasan yang ia bawa, menghindarkan karakternya dari kesan antagonis.
Sayangnya, satu aspek esensial justru gagal dicapai, yaitu memunculkan harapan. Untuk menanamkan rasa tersebut, penonton butuh dibuat terpikat, tergugah oleh perjuangan Mia. Tapi I Am Hope hanya sebatas memberi tahu bahwa di tengah penyakitnya, Mia bersikeras menyelesaikan pementasan, tanpa diajak terjun lebih jauh menelusuri prosesnya. Saya pernah berada di posisi seperti Mia: menyutradarai pementasan teater berskala cukup besar. Terdapat beragam permasalahan kompleks hingga gesekan penyulut pening kepala. Naskahnya sama sekali tidak mengeksplorasi aspek tersebut, meninggalkan penonton pada ketidaktahuan mengenai sekeras apa usaha Mia. Jika hanya bermodalkan penyakit, maka film ini melakukan simplifikasi yang serupa dengan disease porn lain. Bedanya, bukan air mata yang coba dimunculkan, melainkan harapan.

Saya tahu niatan mulia filmnya guna menyulut semangat bagi cancer survivor, tapi alangkah lebih menghargai mereka andai kisahnya tidak terlalu "fantasi". Gambaran perjuangan karakternya terlampau dangkal, seolah hanya bermodal semangat, maka voila! Impianmu tercapai. Kesan ini diperkuat ketika Adilla Dimitri kedodoran mengemas paruh akhir narasi. Penyajiannya terburu-buru, alhasil klimaks segala perjuangan Mia terasa emotionally flat. Kehidupan nyata tidaklah sesederhana itu. Semakin nampak dangkal dan "fantasi" pula filmnya akibat kehadiran Maia. Siapa dia? Apakah manifestasi kesedihan, kesendirian atau tekanan batin Mia? Tidak pernah dijelaskan, karena pada dasarnya tujuan diselipkannya Maia tak lebih dari representasi harapan juga pemikiran positif karakter Mia. 

Ironis mendapati film ini berpotensi lebih efektif jika dikemas layaknya tearjerker standar karena cukup kuatnya beberapa momen emosional berkat akting para pemain -khususnya Tio Pakusadewo- serta konflik yang lebih dewasa. Amat disayangkan I Am Hope gagal menyulut harapan seperti tujuan awalnya, namun penggarapan well-made khususnya bermodalkan sinematografi dipadu tata artistik menawan -walau shot berisi dreamcatcher atau poster film-film musikal terkesan repetitif, bak ingin "menyuapi" penonton akan makna simboliknya- ikut menjadi penyokong kekuatan sinematik, bukti bahwa filmnya tak sekedar menjual pesan moral. It could be worse


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

1 komentar :

Comment Page:

ZOOTOPIA (2016)

5 komentar
Mendengar premis Zootopia, saya dipenuhi keraguan. Konsep film animasi berisikan hewan yang bisa bicara dan hidup layaknya manusia memang sudah (terlampau) banyak dimunculkan. Bukan berarti orisinalitas jadi harga mati, tapi menimbulkan pertanyaan "bagaimana cara film ini menarik hati?" Apakah Zootopia tak lebih dari usaha Disney menambah keuntungan sebanyak mungkin -tanpa menomorsatukan kualitas- sembari memposisikan Moana sebagai sajian unggulan sesungguhnya tahun ini? Lalu kemudian hadir teaser trailer kedua, memperlihatkan betapa "cepatnya" seekor kungkang melacak plat nomer suatu mobil. Teaser itu telah berhasil memancing tawa, merubah pesimisme jadi antusiasme.

Mengambil setting di sebuah dunia di mana populasinya berisikan hewan, Zootopia membawa penonton bertemu Juddy Hopps, seekor kelinci dengan cita-cita menjadi anggota kepolisian. Meski mendapat tentangan dari kedua orang tuanya yang berharap ia meneruskan "tradisi" kelinci sebagai petani wortel ditambah fakta bahwa belum pernah ada kelinci berprofesi sebagai polisi, Judy tidak patah arang. Diikutinya pelatihan keras selama akademi hingga berhasil menjadi lulusan terbaik. Sayangnya, pengakuan tak kunjung diterima Judy tatkala Chief Bogo menempatkannya mengawasi parkir. Dari situlah dia bertemu Nick, musang penipu yang kelak akan membantunya berusaha memecahkan kasus hilangnya 14 penduduk kota.
Jujur saja, teaser memukau milik film ini memunculkan kekhawatiran baru. Akankah materi di dalamnya adalah scene terbaik film? Masihkah ada amunisi lain selaku daya pikat? Jawabannya "ya", adegan saat Judy dan Nick meminta bantuan Flash si kungkang guna melacak plat nomer adalah lelucon paling lucu di Zootopia. Adegan lengkapnya lebih panjang beberapa detik namun tidak memberi sensasi baru. Bila membahas tataran humor, masih ada beberapa momen produsen tawa lain, khususnya parodi The Godfather yang walau telah sering dipakai banyak film nyatanya tetap lucu. Celakanya, adegan tersebut juga telah diselipkan dalam official theatrical trailer. Saran saya, apabila di bioskop anda mendapati trailer Zootopia diputar, alihkan perhatian anda demi kepuasan menonton lebih maksimal.

Kekuatan komedi memang sedikit dilukai oleh materi promosi yang harus diakui efektif mendatangkan penonton, tapi untungnya Zootopia masih memiliki beberapa senjata, khususnya teruntuk jalan cerita dan karakter. Terdapat sentuhan neo-noir berupa kentalnya misteri pada alur. Sejatinya dalang di balik kasus amat mudah ditebak karena memakai pattern standar bagi kisah kriminal semacam ini. Namun keberadaan sub-plot menarik berupa perjuangan personal Judy dan Nick serta beberapa "pengalihan" akan kasusnya cukup berhasil menutupi kebenaran tersebut. Daripada langsung mempertanyakan "siapa penjahatnya?", Zootopia terlebih dahulu menggiring penonton supaya bertanya "sebenarnya apa wujud asli kasus ini?" Pilihan efektif guna (sejenak) mengalihkan perhatian penonton dari fakta sesungguhnya.
Juga dikemas selaku buddy comedy, maka wajib hukumnya bagi interaksi Judy dan Nick menjadi tontonan menarik penuh dinamika. Zootopia berhasil mewujudkan itu. Sebagai unlikely partner, terciptalah barter kalimat mengesankan, didominasi saling sindir, saling serang, tapi tak jarang pula saling dukung. Bentuk interaksi tersebut didukung oleh pengembangan hubungan secara bertahap dari naskahnya. Seiring berjalannya waktu, mereka semakin mengenal satu sama lain, penonton pun makin memahami keduanya. Rangkaian kata seperti panggilan "Carrot" dari Nick untuk Judy awalnya sekedar ejekan belaka, sebelum perlahan terdengar manis, bukti bertambah kuatnya ikatan antar-karakter.

Bermodalkan kelincahan, semangat pantang menyerah dan mata besar, Judy Hopps is one of the cutest, most lovable Disney character in years. Mudah menyukai lalu bersimpati pada kelinci satu ini. Tentunya voice acting dari Ginnifer Goodwin memberi sumbangsih besar atas keberhasilan menghidupkan sosok Judy. Suntikan background story untuknya sederhana, tapi mudah mengambil hati penonton karena amat dekat dengan kehidupan kita. Bagaimana stereotyping -termasuk isu rasial- membuat banyak orang (baca: hewan) dipandang sebelah mata sudah jadi "menu santapan" kita sehari-hari. Tidak hanya Judy, baik Nick hingga hewan-hewan lain di Zootopia pun erat kaitannya dengan tema tersebut. Sama seperti Judy, kisah masa lalu Nick yang di-bully karena merupakan seekor musang turut andil membuat karakternya likeable, sehingga saya mendukungnya tatkala ia mulai menunjukkan sisi kebaikan di balik segala kelicikan. 

Keberhasilan memikat penonton terhadap karakternya ditambah kedekatan tema dengan keseharian akhirnya berujung terciptanya pondasi kuat bagi sisi emosional cerita. Entah berasal dari unsur persahabatan maupun perjuangan, Zootopia mampu mengaduk-aduk perasaan, meninggalkan kehangatan, lalu menyempurnakan kesenangan hasil serunya petualangan di berbagai sudut kota penuh ragam lokasi serta hewan berdesain unik berbalutkan visual memikat. Sedikit kedodoran dalam hal memancing tawa, tapi takkan jadi masalah bila anda sebisa mungkin menghindari berbagai materi promosinya. Ketika Pixar makin mengidentifikasikan diri sebagai animasi dewasa, Zootopia muncul memberi varian tontonan semua umur yang tak hanya menghibur namun dilengkapi suntikkan perasaan serta selipan isu sosial yang bukan sekedar sambil lalu.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

5 komentar :

Comment Page:

TAXI (2015)

6 komentar
Taxi menjadi film ketiga yang dibuat secara ilegal oleh sutradara asal Iran, Jafar Panahi setelah This Is Not a Film dan Closed Curtain. Ilegal karena oleh pemerintah Iran, Pahani mendapat larangan membuat film selama 20 tahun, terhitung sejak 20 Desember 2010 akibat dituduh mengkreasi propaganda dan mengancam keamanan negara lewat karyanya. Namun seperti penuturan Hamid Dabashi, "Panahi does not do as he is told, in fact he has made a successful career in not doing as he is told." dan melalui Taxi, sekali lagi Panahi telah menelanjangi realita Teheran, sembari menyerukan kritik termasuk kisah hidup pribadinya. Jadilah satu lagi docufiction khas Jafar Panahi dengan teknik eksekusi mengingatkan pada Ten karya Abbas Kiarostami.

Baik Taxi ataupun Ten sama-sama mengambil setting hanya di sebuah mobil, menempatkan kamera di tiap sudut guna menangkap pembicaraan antara supir dan penumpang. Panahi berperan sebagai dirinya sendiri, seorang sutradara dalam penyamarannya menjadi supir taksi. Dia berkeliling kota, membawa berbagai macam penumpang sembari merekam pembicaraan diantara mereka. Mulai dari seorang guru, penjual DVD bajakan, aktivis kemanusiaan, sampai korban kecelakaan sempat singgah, menceritakan kisah masing-masing. Ada yang menyadari jati diri Panahi, tapi mayoritas tidak mengetahui situasi sesungguhnya. 
Pemakaian format docufiction bertujuan membuat filmnya senyata mungkin, dan selaras dengan itu, Taxi memang jadi usaha Panahi memvisualisasikan wajah asli dari berbagai isu sosial masyarakat di Teheran. Sentuhan neorealisme-nya menjadikan tiap momentum jauh lebih mencengkeram karena saya bagai diajak menyaksikan suatu kejadian nyata yang semestinya bukan merupakan konsumsi publik, seperti tatkala Panahi membawa seorang korban kecelakaan berlumuran darah beserta sang istri yang histeris. Tapi Panahi sadar, penontonnya tidak "sebodoh itu" mengira segalanya adalah nyata. Karena itu ia tidak menggiring penonton mempertanyakan kenyataan di real life, melainkan kenyataan di universe film ini.

Apakah karakter Panahi di film ini memang merekayasa tiap kejadian di dalam taksi? Ataukah semuanya terjadi secara natural? Atau mungkin kombinasi keduanya? Hal ini sempat dipertanyakan oleh seorang penjual DVD bajakan, di mana ia kebetulan mengenali wajah Panahi. Pembauran fiksi dan realita bersinergi dengan salah satu kritisi milk filmnya, yakni aturan membuat film di Iran. Sempat terjadi perbincangan antara Panahi dan keponakannya tentang tugas membuat film dari sang guru. Tugas itu memintanya membuat film yang harus meng-capture realita, tapi jika buruk atau (dianggap) tak pantas, realita tersebut tidak boleh ditampilkan. Sang keponakan pun bingung mana yang bisa dan tidak untuk dimunculkan. Mana nyata, mana tidak.
Selain pemaparan realis pemerkuat intensitas, kekuatan terbesar Taxi terletak pada kecerdasan Panahi menentukan kapan dan bagaimana sebuah kritisi masuk pada sebuah adegan. Suatu pesan tidak pernah hadir dipaksakan, mengalir alamiah sebagaimana pembicaraan sehari-hari terjadi. Kuncinya terletak di penokohan tiap karakter beserta situasi yang tengah mereka alami. Lewat korban kecelakaan, muncul isu tentang hak waris dan bagaimana hukum kerap memberatkan perempuan. Lewat penjual DVD bajakan, hadir curahan teruntuk sulitnya akses menonton film asing di Iran. Lalu masih banyak lagi, mulai dari hukum sewenang-wenang, pemenjaraan kreativitas filmmaking, dan lain-lain. Hanya bermodalkan durasi 82 menit, Jafar Panahi mampu mengusung berbagai poin tersebut, menyuarakannya secara padat, halus tapi amat menusuk.

Di luar konten cerita, Taxi sendiri telah menjadi bentuk perlawanan besar Panahi terhadap larangan berkarya dari pemerintah Iran. Bagaimana tidak? Film ini menjadi karya ketiganya dalam lima tahun masa hukuman, dan berujung keberhasilan memenangkan Golden Bear (film terbaik) pada Berlin International Film Festival tahun 2015. Secara luar maupun dalam, Taxi adalah bentuk perlawanan nyata kalau tidak bisa disebut kemenangan seorang Jafar Panahi terhadap tembok penghalangnya menghasilkan karya. Scene terahir film adalah penutup sempurna, di saat Panahi seolah berujar "saya dilarang membuat film, atau karya saya disita pun, pemerintah tak akan bisa menghentikan saya". Film ini memang palsu, tapi tidak dengan segala kisah di dalamnya.

6 komentar :

Comment Page:

ME, MY (MOVIE) LIFE & JOKO ANWAR

10 komentar
Pada hari Sabtu (13/2/2015) saya baru menyaksikan A Copy of My Mind untuk kedua kalinya (pertama di JAFF 2015) dan perasaan yang tertinggal masih sama: jatuh cinta. I'm in love with that movie dan masih berencana menontonnya sekali lagi minggu depan. Jatuh cinta ini bukan hanya terhadap filmnya, tapi kepada film Indonesia secara keseluruhan. Kredit bergulir, saya duduk terdiam. Sejenak ingatan kembali terlempar menuju kurang lebih lima tahun lalu. Waktu itu, jujur rasa apatis terhadap perfilman tanah air masih sangat besar. Di tengah dominasi horror seks berkualitas buruk kala itu, saya tidak menemukan alasan menonton film lokal di bioskop. Hingga terjadilah "perkenalan" dengan karya-karya Joko Anwar.

Sebelum itu nama Joko Anwar hanya saya kenal lewat foto telanjangnya di Circle-K (dia menyangkal, katanya pakai kaus kaki), tapi belum pernah menonton filmnya. Berawal dari keisengan browsing, muncul ketertarikan setelah membaca sedikit ulasan mengenai film-filmnya yang (katanya) high concept, inovatif, dan jauh berbeda dibandingkan sajian lokal kebanyakan. Segeralah saya melesat ke warnet terdekat, meng-copy bajakan Pintu Terlarang, Kala dan Janji Joni. Ya, bajakan (we'll get into that later). Singkatnya, dalam waktu semalam saja persepsi saya berubah. Memang ketiga film di atas jauh dari sempurna -banyak plot hole dan narasi tertatih karena konsep fantastis- tapi cukup menampar saya, menyadarkan masih ada (bahkan banyak) sineas Indonesia bertalenta.
Kembali ke masalah bajakan, pada masa itu memang malas rasanya menonton film Indonesia di bioskop, di mana hanya tiga judul saja yang sebelumnya saya tonton: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Get Married 2. Ketiga film Joko perlahan membuka mata, dan membulatkan tekad mencoba menonton film Indonesia. Meski belum banyak, saya mulai menemukan berbagai "harta karun", termasuk film keempatnya, Modus Anomali. Sejauh ini, Modus Anomali adalah film terlemah Joko, tapi jauh dari kata jelek (saya masih rela menontonnya dua kali), dan memperkuat rasa suka (belum cinta) akan film tanah air. Lalu saya putuskan mengikuti Joko di akun twitter-nya (@Jokanwar). Dari sinilah rasa suka tadi berkembang menjadi cinta.

Ocehan Joko di akunnya itu bervariasi. Terkadang membahas hal "santai" tentang film, problematika sosial-politik di Indonesia, kisah personalnya, sampai "kultwit" mengenai dunia film. Dua hal terakhir itu akhirnya banyak memberikan pengaruh pada sudut pandang, movie life, bahkan kehidupan secara personal. Joko sering mengkritisi banyak hal, khususnya masalah jumlah layar di sini hingga kualitas film Indonesia (terutama di sisi naskah). Celotehannya sering memberi tamparan, tapi di saat bersamaan memunculkan harapan (pokoknya kalau sudah keluar kata "bayangkan"). Lambat laun muncul kesadaran, dan terhitung pertengahan 2014 memutuskan mulai rutin menonon film lokal -yang berkualitas- di bioskop. Alhasil, semakin banyak saya menemukan tontonan bagus dan bertambah akut kecintaan terhadap karya sineas Indonesia.
Teruntuk kehidupan pribadi, mengikuti kisah awal mula "terbentuknya" Joko Anwar yang sekarang selalu memberi lecutan besar untuk mengejar impian. Sekedar info tambahan, Joko Anwar tidak langsung memulai karirnya sebagai sutradara. Berawal dari Joko kecil yang doyan menonton bioskop diam-diam lewat sebuah lubang, bekerja sebagai wartawan dan tiap pagi harus nongkrong di kantor polisi untuk mengejar berita, menjadi kritikus di The Jakarta Post, pertemuan dengan Nia Dinata yang berujung pada naskah Arisan, hingga akhirnya berkesempatan membuat Janji Joni. Passion dan kecintaannya pada film membawanya sampai ke tingkatan ini, dan hal itu pun nampak jelas pada tiap karyanya.

Poin dari tulisan ini bukanlah ajakan menyukai karya Joko Anwar. Sama sekali bukan. Lebih dari itu, ajakan mencintai film Indonesia. Cobalah mulai sempatkan waktu lebih banyak menonton film lokal di bioskop. Lagipula beberapa jaringan bioskop menyediakan HTM lebih murah untuk film Indonesia, sekitar 20 ribu pada weekdays. Anda bisa mengikuti cara saya dengan menengok filmografi sutradara-sutradara lain yang hingga kini masih aktif seperti Angga Dwimas Sasongko, Ismail Basbeth, Ifa Isfansyah, Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Mouly Surya dan masih banyak lagi. Semoga seperti saya, dari situ kecintaan anda terhadap perfilman tanah air bisa tumbuh.
Foto di atas diambil saat pemutaran A Copy of My Mind di JAFF (Jogja Asian Film Festival) 2015. Bersama dua senior (baca: movie reviewer berusia lebih tua) Rangga Adithia (raditherapy) dan Taufiqur Rizal (Cinetariz) kami sempat sejenak bertegur sapa dengan Joko. Sayangnya saat itu tidak sempat terucap rasa terima kasih. Lewat tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas semua karya-karya berkualitasnya. Terima kasih telah membuka mata untuk mencintai film Indonesia. 

Sedikit tambahan, kurang lebih begini urutan film Joko Anwar favorit saya:
A Copy of My Mind > Kala > Pintu Terlarang = Janji Joni > Modus Anomali

10 komentar :

Comment Page: