MISS PEREGRINE'S HOME FOR PECULIAR CHILDREN (2016)

5 komentar
Menyebut Tim Burton telah sepenuhnya kehilangan sentuhannya saya rasa agak berlebihan. Tengok saja dua film terakhirnya. "Frankenweenie" adalah stop-motion bernuansa gothic memikat, sedangkan "Big Eyes" jadi biopic dengan cukup hati dalam presentasinya. Tapi harus diakui, Burton tak lagi visioner tatkala bagai membuat parodi untuk visual trade mark-nya dalam "Alice in Wonderland" dan "Dark Shadows". Burton bak terkekang oleh paksaan industri yang menganggap visinya kurang universal (bukan konsumsi semua umur). Alhasil ia lupa cara menuangkan visi tersebut, selain hanya berupa style over substance tanpa daya untuk menyokong penceritaan. 

"Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Ransom Riggs berkisah mengenai anak-anak dengan kemampuan aneh yang tinggal di bawah asuhan Miss Peregrine (Eva Green). Terdengar seperti materi sempurna bagi sang sutradara bukan? Saya pun menanti-nanti bakal seperti apa Burton menghidupkan dunia berisikan anak-anak "aneh" tersebut. Kesabaran saya diuji tatkala filmnya menghabiskan durasi cukup lama di "dunia normal", memperkenalkan penonton pada Jake (Asa Butterfield), remaja 16 tahun dengan kehidupan biasa cenderung membosankan yang karakterisasinya nihil perbedaan dibanding banyak protagonis dari kisah young adult bertemakan from zero to hero.

Jake menjalin kedekatan dengan sang kakek, Abe (Terence Stamp) yang saat Jake kecil kerap menceritakan kisah pertemuannya dengan monster dan anak-anak asuh Miss Peregrine. Suatu malam, Jake menemukan kakeknya terbaring sekarat di hutan belakang rumah dengan kondisi tanpa mata. Sebelum meninggal, Abe mengucapkan beberapa pesan yang akhirnya menggiring Jake mendatangi sebuah pulau di dekat Wales yang ditengarai merupakan letak rumah Miss Peregrine. Sampai titik ini daya tarik film belum nampak, terlebih setting dunia normal membatasi eksplorasi Burton. Namun antisipasi akan kemunculan para peculiar children masih menjaga antusiasme saya.
Sewaktu akhirnya kita sampai di rumah Miss Peregrine, penyegaran pun seketika terasa, sebagaimana Jake dibuat terperangah oleh Emma (Ella Purnell) yang begitu ringan hingga mampu melayang, Olive (Lauren McCrostie) dengan kemampuan pyrokinetic, Enoch (Finlay MacMillan) yang sanggup menghidupkan orang atau benda mati, serta masih banyak lagi kemampuan aneh, termasuk Miss Peregrine sendiri yang bisa bertransofrmasi menjadi seekor burung. Ketiadaan nuansa gothic maupun surealisme visual selaku dekorasi nyatanya bukan permasalahan ketika sense of wonder tetap hadir melalui keunikan anak-anak. They're unique, likeable, and fun to watch even though their interaction lack of bonding.

Lemahnya ikatan diakibatkan lemahnya pula naskah garapan Jane Goldman. Saat tidak ada kekuatan atau visual unik dipamerkan, film kehilangan magnet. Naskahnya turut kelabakan menangani aspek time looping selaku satu lagi kelebihan Miss Peregrine. Demi menghindari terjangan bom pesawat Jerman, tiap harinya Miss Peregrine memutar ulang waktu, sehingga ia dan anak-anak selalu hidup di hari yang sama tanpa pernah bertambah tua. Ada banyak aturan mengenai siapa, kapan, bagaimana atau di mana loop itu terjadi. Goldman berusaha keras memaparkannya, namun susunannya tidak rapi merangkai hal-hal yang (terlalu) banyak terjadi. 

Sejatinya "Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" menyimpan esensi tentang discovery, baik berupa tempat baru, hal baru, pula self-discovery. Sayang, naskahnya gagal menangkap semua itu dan berujung sebagai petualangan generik belaka. Kekurangan ini sifatnya fatal, sebab kegagalan menangkap lalu mempresentasikan esensi sebuah cerita adalah bentuk kegagalan naskah. 
Kita belum mendapat totalitas idealisme Burton, tapi paling tidak absurditas sempat muncul semisal dalam memanfaatkan stop-motion untuk memunculkan benda-benda yang dihidupkan oleh Enoch. Puncaknya adalah pertempuran antara pasukan tengkorak melawan monster hollow  makhluk abadi pemburu peculiars yang memakan mata mereka supaya kembali berwujud manusia  di taman bermain yang sedikit mengingatkan pada salah satu adegan "Jason and the Argonauts" (1963). Burton kentara bersenang-senang menciptakan pertempuran tersebut, dan saya pun tersenyum bahkan tertawa puas menikmatinya. 

Soal performa cast, Eva Green  masih dengan mata tajamnya  paling menarik perhatian, mengedepankan weird mannerism kesukaan Burton dalam takaran pas, eksentrik tapi tidak annoying (I'm looking at you, Depp). Tiap tatapan maupun baris kalimat pendek selalu kuat menarik fokus. Sayang, ia lebih banyak absen di third act. Samuel L. Jackson sebagai Mr. Barron sang villain tampil over the top, dan di situ daya pikatnya. Sukses menghidupkan scene bahkan mengundang tawa. Sebaliknya, justru Asa Butterfield sang main protagonist gagal memancing kepedulian saya saat mayoritas kemunculan diisi kekosongan emosi tanpa pesona. Apalagi tak sekalipun Jake melakukan tindakan heroik atau useful demi memancing simpati (satu ini kesalahan naskah).

"Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" mengandung banyak unsur kelam mulai kematian, keterasingan, hingga kekerasan. Cukup mengejutkan sekaligus menghibur tatkala filmnya bersedia mendorong batas kekerasan untuk PG-13, tapi itu saja belum cukup sewaktu tata cerita enggan melakukan keputusan serupa. Bayangkan apabila film ini digarap oleh Tim Burton era sebelum 90-an yang bebas menyalurkan kegilaan visi tanpa peduli walau hasilnya kurang memihak pasar. That version of  "Miss Peregrine's Home for Peculiar Children" could be one of the best movie of the year

5 komentar :

Comment Page:

ATHIRAH (2016): KEKUATAN DI BALIK KELEMBUTAN

13 komentar
Film biografi terbaik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir  kalau bukan sepanjang masa  telah hadir. Digarap oleh Riri Riza (AADC 2, Laskar Pelangi) dengan naskah juga ditulis oleh Riri bersama Salman Aristo (Mencari Hilal, Sang Penari), "Athirah" membuktikan bahwa biopic bisa bercerita tidak secara episodik dan mengkultuskan tokohnya, dua penyakit yang kerap menjangkiti biopic tanah air. Kita semua mengenal Jusuf Kalla, tapi bagaimana dengan sang ibunda? Jika belum, adakah urgensi untuk mengangkat kisah hidupnya ke layar lebar? Menengok kondisi sosial masyarakat tatkala isu seputar agama serta wanita tengah banyak mewarnai, kehadiran "Athirah" menjadi relevan.

Cerita dimulai pada awal 1950-an ketika Athirah (Cut Mini) beserta sang suami, Puang Ajji (Arman Dewarti) pindah dari Bone ke Makassar untuk membuka usaha di sana. Semua berjalan lancar: usaha dagang Puang Ajji sukses besar, Athirah hamil, dan mereka sekeluarga hidup bahagia, selalu menghabiskan makan malam bersama. Kemudian Riri Riza mulai menyibak tabir konflik mengenai ketertarikan Puang Ajji akan wanita lain. Tidak secara gamblang, melainkan amat subtil, sekedar cuplikan momen-momen pendek seperti saat Puang Ajji berada di sebuah pesta, tersenyum ke arah wanita yang bahkan tak pernah nampak wajahnya. 
"Athirah" dikemas bak film arthouse berhiaskan tempo alur lambat, steady shot guna meng-capture alam atau barang milik karakternya, juga pengungkapan poin-poin cerita sebatas melalui visual tanpa penuturan verbal nan gamblang. "Athira" enggan menyuapi penonton, memaksa kita sepenuhnya fokus memperhatikan detail pengadeganan. Namun itu bukan hal sulit, sebab Riri merangkai tiap momen dengan perasaan, mengalunkan secara perlahan keindahan lembut seperti kasih sayang Athirah terhadap keluarganya. Apalagi scoring garapan Juang Manyala yang memadukan petikan gitar post rock dengan musik tradisional Sulawesi jadi pengiring syahdu penopang suasana. Beberapa kali editing-nya kasar saat harus menyelipkan sepotong adegan pendek, namun tidak sampai mengacaukan flow penceritaan.

Riri Riza dan Salman Aristo jeli mengambil titik esensial dalam hidup Athirah, merangkumnya ke dalam naskah sebagai satu kesatuan utuh ketimbang penyatuan segmen demi segmen. Menonton "Athirah" pun jauh dari kesan membaca visualisasi buku pelajaran sejarah. Tentu sosok Jusuf Kalla atau yang sering dipanggil Ucu (diperankan Christoffer Nelwan saat remaja, Nino Prabowo saat dewasa) terlalu "besar" untuk dikesampingkan, tapi bukan berarti fokus film terenggut olehnya. "Athirah" membagi porsi penceritaan ibu dan anak itu secukupnya, menunjukkan dengan efektif bahwa Ucu adalah anak yang kuat. Tidak pula filmnya berlebihan memberi foreshadowing mengenai masa depannya, sekedar satu momen singkat (muncul di trailer) sewaktu Athirah memasangkan kopiah di kepala puteranya.
Serupa tokoh Athirah, filmnya berjalan lembut dan pelan, namun pasti, juga tegas dalam berpesan. Terlihat dari caranya mengkritisi Puan Ajji selaku pemuka agama terhormat dan selalu memimpin solat berjamaah namun justru berselingkuh, mengkhianati sang istri yang tengah hamil. "Athirah" tidak serta merta menyudutkan Puan Ajji (atau agamawan lain dengan tingkah serupa), tapi membiarkan penonton mengobservasi lalu terhanyut dengan sendirinya. Kritikan itu terasa lembut tapi menusuk tajam, seperti Athirah sendiri. Tidak pula film ini berurai air mata, mengeksploitasi kegetiran perjuangan wanita menghadapi poligami. Bukti bahwa Riri Riza dan Salman Aristo sungguh memahami, juga menghormati tokoh yang mereka angkat. 

Tapi bukan berarti Athirah digambarkan sebagai sosok sempurna. Dia pernah merasa putus asa akibat sikap sang suami, kemudian mendatangi dukun untuk meminta pelet (lagi-lagi situasi ini hanya dituturkan lewat visual, non-verbal) walau berujung kegagalan. Athirah tetap ditampilkan selaku manusia biasa, karena mengagumi berbeda dengan pemujaan buta dan mengkultuskan. 

Athirah adalah wanita lembut namun kuat sekaligus pintar, yang terlihat dari keberhasilannya menyokong finansial keluarga  menjual sarung lalu keuntungannya dipakai membeli emas  walau kondisi perekonomian masyarakat tengah carut marut termasuk sang suami. Cut Mini memberi performa solid yang bersinergi dengan kesubtilan tutur filmnya. Sang aktris tak banyak "meneriakkan" emosi, melainkan bermain lewat bermacam tatapan yang masing-masing menyiratkan perbedaan rasa. Tanpa sadar saya turut merasakan cinta dan respect pada Athirah. Begitu senyumnya menutup cerita, ada kepuasaan telah mengarungi 80 menit, mengamati perjuangan berskala kecil namun bermakna besar seorang wanita tegar.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

13 komentar :

Comment Page:

DEEPWATER HORIZON (2016)

3 komentar
Blockbuster dan ledakan bombastis tidak bisa dipisahkan. Bermodalkan bujet ratusan juta dollar plus kemewahan CGI, Hollywood telah meledakkan berbagai hal termasuk yang berskala besar seperti sebuah planet. Semua dihadirkan demi atraksi, hiburan selaku escapism bagi penonton membuang penat pasca kesibukan sehari-hari. Namun sulit dipungkiri bahwa mayoritas pertunjukan itu terasa kosong. Walau melihat dunia porak poranda bahkan mungkin banyak nyawa melayang, penonton takkan merasa ikut terancam. Karena senyata apapun visualisasinya, invasi alien atau bencana alam hiperbolis terasa asing, berjarak dengan kita.

Peter Berg pun meski pernah membuat spectacle serupa lewat "Battleship". Tapi ia juga sukses merangkai "Lone Survivor" yang meski didominasi desing peluru tetap memiliki bobot emosional serta ketegangan hasil penekanan pada gritty realism. Dalam karya terbarunya yang diangkat dari kisah nyata meledaknya pengeboran lepas pantai Deepwater Horizon pada tahun 2010 ini, Berg mengulangi pencapaiannya tersebut, menghadirkan teror berupa visualisasi hadirnya neraka di muka Bumi. 
Sebagaimana disaster movie kebanyakan, "Deepwater Horizon" tidak langsung menghantamkan gemuruh bencana melainkan dibuka oleh perkenalan karakter. Mike Williams (Mark Wahlberg) adalah teknisi Deepwater Horizon yang hendak pergi bertugas, meninggalkan keluarganya selama 21 hari. Setibanya di lokasi, Mike dan sang atasan, Jimmy (Kurt Russell) mendapati pihak BP (British Petroleum) yang diwakili Donald Vidrine (John Malkovich) membatalkan pengecekan rutin demi mempercepat pengeboran yang sudah terlambat 43 hari. Intro ini bukan hanya berfokus pada karakter, melainkan berisi rangkaian foreshadowing  contohnya adegan semburan coke  sebagai hint atas teror yang telah menanti.

Naskah karya Matthew Michael Carnahan dan Matthew Sand sejatinya kurang memiliki kekuatan guna mengikat penonton dengan karakter. Porsi foreshadowing-nya sendiri terlampau banyak sekaligus kurang kreatif (terlalu gamblang). Kita dipertontonkan rutinitas penuh istilah-istilah serta kegiatan pengeboran yang terasa asing bagi orang awam. Untungnya kejenuhan urung hadir berkat performa para aktor. Bersama Kate Hudson dan Stella Allen (sebaga istri dan puteri Mike), Mark Wahlberg mampu memberi chemistry solid, menciptakan interaksi keluarga kecil yang likeable. Menghibur pula menyaksikan Kurt Russell melontarkan cemoohan kepada para korporat BP. Alhasil walau bertempo lambat dan sulit dicerna di beberapa bagian, filmnya mampu menjaga minat penonton sebelum pertunjukkan utama.
"Sulit dicerna" menjadi kelemahan besar "Deepwater Horizon", tak hanya di paparan dialog melainkan visual. Enrique Chediak selaku sinematografer kerap melakukan zoom in terhadap berbagai environment seperti saluran pembuangan lumpur, alat bor di dasar laut dan lain sebagainya. Jangankan mengerti situasinya, penonton awam bakal kesulitan memahami benda apa yang tengah mereka lihat. Padahal visualisasi tersebut berguna membangun antisipasi penonton sebelum karakternya menyadari bahaya tengah mengintip. Editing cepat cenderung kasar dari Colby Parker Jr. dan Gabriel Fleming semakin menyulitkan terciptanya pemahaman itu.

"Deepwater Horizon" is not a good movie by any means, until all hell breaks loose. Peter Berg bukan hanya berfokus memunculkan aksi bombastis, tapi merangkumnya serealistis mungkin termasuk membangun rig berskala 85% ukuran asli sebagai setting. Tanpa memberi banyak ruang bernafas bagi penonton, ledakan demi ledakan dimunculkan, mencuatkan ketegangan sekaligus pemandangan mengerikan, seolah tengah menyaksikan tragedi horror tepat di depan mata. Mengerikan, karena yang kita saksikan bukan alien, bencana global, maupun dunia antah berantah, simply suatu tempat biasa yang terlalap api ganas akibat kealpaan manusia. Definitely hell on earth. Ditambah lagi tata suara garapan Wylie Stateman sukses menggetarkan seisi bioskop, membuat saya diam terpaku.

3 komentar :

Comment Page:

SING STREET (2016)

4 komentar
"Can a song save your life?" bukan hanya merupakan judul awal dari "Begin Again", namun sekaligus pertanyaan yang mendasari film-film garapan sutradara/penulis naskah/komposer John Carney, dan jawabannya adalah "yes". Carney memang punya optimisme tinggi mengenai kekuatan musik, tidak terkecuali dalam "Sing Street" yang mengambil setting di Dublin, Irlandia tahun 1985 tatkala krisis ekonomi tengah mendera. Dibanding dua film Carney sebelumnya, "Sing Street" memang menyiratkan situasi lebih kelam  krisis ekonomi, perceraian, abusive relationship, bullying, drug using  namun pada pemaparannya justru lebih menggelitik bahkan ditutup secara positif  Carney's two previous movies have a bittersweet ending.

Memburuknya perekonomian keluarga  diperparah pertengkaran rutin kedua orang tua  membuat Conor (Ferdia Wash-Peelo) harus pindah ke Synge Street, sebuah sekolah Kristen yang diisi anak-anak nakal. Di sana Conor mendapati banyak kesulitan termasuk menjadi korban bully Barry (Ian Kenny) dan kerap ditegur sang kepala sekolah, Brother Baxter (Don Wycherley) akibat memakai sepatu warna cokelat. Tapi Conor segera menemukan tujuan baru kala terpikat pada gadis misterius, seorang model bernama Raphina (Lucy Boynton). Demi menarik perhatian Raphina, Conor nekat membentuk sebuah band walau minim pengalaman soal musik kecuali dari acara Top of the Pops yang rutin ia tonton di televisi bersama kakaknya, Brendan (diperankan Jack Reynor lewat kombinasi apik semangat rock n roll, juga kehangatan dan kerapuhan tersirat).
Pada aspek storytelling, film ini memang tak seberapa kuat. Naskah hasil tulisan John Carney walau mampu menciptakan setting yang kaya selaku latar, sejatinya memiliki cerita klise pula tipis khususnya di presentasi drama. Coba lucuti momen musikalnya, "Sing Street" minim faktor pengikat minat penonton. Selain itu, beberapa resolusi terasa menggampangkan, di mana permasalahan seringkali usai begitu saja. Untung tersisa satu subplot kuat mengenai hubungan Conor dan Brendan. Interaksi keduanya tersusun oleh obrolan seputar musik, di mana Brendan membagi banyak pengetahuannya guna membantu sang adik menulis lagu. Sederhana tapi "hidup", apalagi saat Brendan kerap melontarkan ejekan yang sempurna membangun kesan love/hate relationship kakak beradik ini. Alhasil tercipta jalinan persaudaraan hangat yang menyimpan heartbreaking moment kala konflik keluarga memuncak plus emotional payoff di akhir.

"Sing Street" pun menjadi karya John Carney paling playful sejauh ini. Beberapa kali kesan menggelitik hadir entah melalui serangkaian situasi kocak yang mengiringi perjalanan Conor dan band miliknya termasuk perubahan gaya rambut serta pakaian (ditata oleh Tiziana Corvisieri) tiap kali ia mendapat referensi musisi baru, atau dialog quotable dengan ejekan Brendan terhadap Phil Collins (dan Genesis) jadi contoh terbaik. 
Di luar kelemahan cerita, "Sing Street" adalah bukti sensitivitas Carney bertutur lewat musik. Tentu deretan lagunya (co-wrote by Carney, Gary Clark, Ken and Carl Papenfus) memanjakan telinga sekaligus sempurna mewakili kebutuhan  ballad-nya mengharukan, nomor upbeat-nya mengundang hentakan kaki penonton  namun kekuatan sesungguhnya terletak pada kemampuan Carney mengawinkan musik (suara) dengan visual melalui hal sederhana sekalipun. Terdapat satu momen saat Raphina tengah menghapus makeup di dalam kamar sambil diiringi lagu "Up". Sejenak Raphina menampakkan ekspresi haru seiring memuncaknya lagu. Adegan ini tepat mencerminkan perasaan kita semua saat hati ini tengah tersentuh oleh sebuah lagu yang terasa personal. That moment was so brief and simple yet very emotional. Aktivitas Raphina pun ibarat menggambarkan kondisi dan perasaan jujur apa adanya seseorang tanpa ditutupi balutan "topeng".

Musik ibarat sihir dalam "Sing Street", mampu menyelesaikan segunung persoalan mulai sekedar cinta remaja, hingga yang sifatnya kompleks macam bullying, harapan untuk orang-orang di "tanah tanpa harapan", juga disfungsi keluarga. Musik bukan sekedar escapism atau pelarian sementara, melainkan obat mujarab. Mungkin terdengar sulit diterima, sama mustahilnya dengan lagu-lagu band Sing Street yang terlalu rapih dan jernih walau direkam oleh para amatir memakai cassette recorder, tapi optimisme penuh harap sesekali memang diperlukan, dan semangat positif milik "Sing Street" yang merupakan selebrasi terhadap keagungan musik jelas patut dirayakan. 

4 komentar :

Comment Page:

SANG SEKRETARIS (2016)

17 komentar
Setelah sepanjang karirnya menjalin keakraban dengan produser Shankar RS, rupanya Nayato Fio Nuala punya sahabat baru. Beliau adalah Sys NS. Tahun ini keduanya telah berkolaborasi sebanyak tiga kali. Pada "Triangle: The Dark Side", Sys NS menjadi produser, sedangkan Nayato menjabat produser eksekutif. Ketika Sys NS menyutradarai "Pacarku Anak Koruptor", Nayato adalah produsernya. Lewat "Sang Sekretaris", gantian Nayato menyutradarai dan Sys NS memproduseri. Isn't that sweet? Sudah barang tentu saya takkan melewatkan film garapan kombinasi emas baru perfillman Indonesia ini. Apalagi terdapat nama Nikita Mirzani sebagai aktris utama.

Anda pikir film ini sampah kelas berat? Jangan berprasangka buruk terlebih dulu. Karena setidaknya selama setengah jalan, "Sang Sekretaris" masih tidak seberapa memusingkan diikuti. Nikita Mirzani berperan sebagai Tiara, sekretaris baru di kantor Reno (Rico Verald). Semenjak pertemuan pertama di lift langsung terasa benih-benih asmara (atau nafsu?) di antara mereka. Tapi sayang seribu sayang, Reno sudah menikah dengan Clara (Angel Karamoy) dan memutuskan berhenti menjadi playboy. Namun manusia identik dengan khilaf, apalagi dalam kondisi mabuk. Di tengah pesta ulang tahun temannya, Reno tanpa sengaja bertemu Tiara, berjoget bersama sebelum akhirnya berhubungan seks.

Semestinya saya berhenti menuliskan sinopsis sampai di sini, tapi berhubung telah banyak plot point diungkap trailer-nya, saya putuskan untuk lanjut. Ternyata Tiara diam-diam merekam tindak mesumnya dengan si bos. Secara mengejutkan Tiara bukan orang yang materialistis. Daripada memanfaatkannya untuk memeras Reno demi mendapat milyaran rupiah, ia mengancam bakal mengirim video tersebut pada Clara jika Reno enggan menceraikan sang istri dalam waktu sebulan. Seperti nampak di trailer, konflik berujung pada perkelahian maut Reno melawan Tiara (bersenjatakan pisau!!!). 
Seperti saya sebutkan di atas, separuh perjalanan "Sang Sekretaris" tidaklah merusak otak. Berlangsung datar nan predictable tanpa ketegangan maupun plus diisi paparan drama super dangkal, namun naskah garapan Aviv Elham tidak mencoba "aneh-aneh". Kualitasnya memang buruk. Ketimbang memacu ketegangan atau eksplorasi drama psikologis, penonton lebih banyak disuguhi pembicaraan berisi dialog dangkal antar karakter. Minimnya kreatifitas menjalin situasi pula terlihat ketika momen berikut diulang berkali-kali: 

Reno berjalan mendatangi Tiara.
Reno: Apa sih yang kamu mau?! Uang???
Tiara: (menggoda Reno dengan gestur sensual) Aku nggak butuh uang kamu
Reno: (semakin marah, lalu berteriak) Lalu mau kamu apa?!!!
Tiara: Aku mau kamu menceraikan istri kamu.

Tingkat repetisinya nyaris menandingi adegan Cynthiara Alona diantar pulang oleh bosnya di "Diperkosa Setan". Disebut erotic thriller pun, filmnya kurang trashy sekaligus terlalu malu mengumbar sensualitas hanya bermodal satu adegan foreplay dan baju-baju terbuka Nikita Mirzani yang tidak mungkin dikenakan sekretaris di dunia nyata. Tapi sekali lagi, ketiadaan usaha sok pintar membuat saya bisa bertahan menyaksikan paruh pertama "Sang Sekretaris". Sampai tiba paruh kedua.
Di sinilah kegilaan memuncak. Twist bodoh dipaksakan hadir guna menjabarkan motivasi tindakan Tiara. Keputusan menjadikan Tiara sebagai karakter dengan kelainan psikologis justru menggandakan dosis kebodohan akibat ketidakjelasan sebab-akibat serta disorder miliknya. Kita sekedar diperlihatkan sebuah obat dengan label bertuliskan "Obat Depresi"  mana ada label obat seperti itu? Karakterisasi dua tokoh lain sama buruknya. Reno adalah pria menyebalkan yang "play victim", enggan mengakui kesalahan, kerap berbohong pada sang istri dan gemar mabuk. Sedangkan Clara begitu bodoh alih-alih tampak sebagai seorang wanita baik sekaligus istri penyabar. How about the acting? Rico Verald melontarkan tiap kalimat begitu datar, Angel Karamoy terlihat bodoh ketimbang polos, dan Nikita Mirzany...well, there's a difference between a sensual performance and slutty. Kita tahu persis ia bakal memberi penampilan yang mana. But at least she's more entertaining than the other performers.

Masih banyak kebodohan lain termasuk setumpuk plot hole seperti saat salah satu tokoh mencoba bunuh diri, sudah berdarah-darah tapi tidak dibawa ke rumah sakit. Perjalanan menuju puncak juga terburu-buru, di mana Aviv Elham bak kehabisan ide cerita lalu memutuskan segera mengakhirinya. Klimaks yang semestinya menegangkan dan brutal tersaji tumpul, menggelikan dan terlalu cepat usai. Tapi jangan khawatir, bagi para fans Nayato, sederet trade mark Baginda semisal adegan diskotik, sudut kamera aneh, poster film klasik yang terpasang tanpa alasan jelas kecuali membuktikan bagusnya selera film Nayato  poster "Straw Dogs" di living room Reno dan Clara? Really?  masih muncul, just in case penonton lupa tengah menonton film karya siapa. Selamat bagi Nayato dan Sys NS! Kolaborasi kalian masih konsisten menghasilkan film buruk.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

17 komentar :

Comment Page:

DAERAH TERLARANG (2016)

10 komentar
Saya tahu, pasti kalian semua akan berujar "Ngapain mas mau nonton film ginian?" atau "Dari trailer-nya udah kelihatan bakal jelek". Yes, I know that. Tapi mau bagaimana lagi, sudah jadi tugas saya supaya anda tidak khilaf membuang puluhan ribu rupiah dan 80 menit waktu berharga yang dapat berujung pada ledakan amarah tak terkendali bahkan kegilaan sesaat. Tapi sekali lagi, dengan mengusung slogan "kami tonton supaya kalian tidak menonton", saya  dan sedikit reviewer masokis dari Indonesian Film Critics  bakal selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk menonton sajian semacam "Daerah Terlarang" ini. Sajian yang merendahkan nilai-nilai filmmaking.

Bertempat di lokasi syuting film horror, "Daerah Terlarang" bertutur tentang teror pocong di tempat tersebut. Sang pocong bernama Mimin (Mitha Hardiyanti)  jika anda pernah menonton sinetron "Jadi Pocong" yang tayang pada akhir 90-an pasti tahu asal nama Mimin. Pocong Mimin rupanya adalah hantu inkonsisten. Awalnya ia meneror proses pengambilan gambar, muncul di hadapan para pemain seperti duo Hansip, Fico si budek (Fico Fachriza) dan Bedu si tonggos (Bedu), bahkan sempat tertangkap kamera. Namun entah bagaimana Mimin juga menampakkan diri di depan aktor lain yang belum tiba di lokasi. 
Naskahnya ditulis oleh TB Ule Sulaeman ("Bangkit dari Kubur", "Ada Apa dengan Pocong?" yang sejauh ini telah berpengalaman menulis delapan naskah horror termasuk film ini. Tapi nyatanya berbekal pengalaman tersebut, sang penulis masih menghasilkan karya bodoh pula nonsensical. (SPOILER) Modus operandi Mimin adalah muncul, lalu meminta tolong pada korbannya untuk dicarikan cincin miliknya. Lalu di akhir film, Mimin merasuki salah seorang pemain, menunjukkan jalan menuju letak cincin tersebut jatuh. Jadi untuk apa ia meminta tolong kalau tempat hilangnya cincin saja sudah diketahui??? (END OF SPOILER) Bisa jadi saya salah tangkap. Bisa jadi yang merasuki bukan Mimin. Bisa jadi, tapi saya tak peduli. 

TB Ule Sulaeman seperti terlalu malas mengembangkan cerita bagi film berdurasi 80 menit (terasa seperti 180 menit). Bayangkan, film tersusun oleh repetisi sebagai berikut: pocong Mimin menakuti karakter manusia, mereka ketakutan, berteriak lalu pura-pura pingsan, dengan variasi terletak pada tingkah karakter sebelum pingsan. Bisa lari, bisa menambah volume teriakan, bisa langsung pingsan. Begitu seterusnya. Kalau dihitung mungkin sampai 15 kali adegan pingsan baik dengan konteks "pura-pura" maupun sungguhan  walau di tiap situasi para aktor tetap tak sanggup menghadirkan pingsan yang meyakinkan. 
George Hutabarat bertindak selaku sutradara, dan beliau ini pula yang berjasa atas kehadiran satu lagi horror busuk rilisan 2016 berjudul "Video Maut" (read the review here). George memang hebat. Hanya dia sutradara yang mampu dua kali dalam setahun menggerakkan hati saya memberi nilai setengah. Kali ini, sang sutradara mesti menangani horror berbalut komedi, yang mana keduanya gagal berakhir decent. Tanpa memperhatikan timing, hasilnya justru terbalik. Penampakan pocong menghasilkan tawa khususnya akibat desain pocong yang kualitasnya seperti bubur basi, mengingatkan pada "Genderuwo" (2007) milik KKD. Sedangkan gelontoran komedi terdengar mengerikan, membuat saya ingin menutup mata, telinga sampai hidung. Kedua aspek baik penampakan maupun humor hambar hadir bergantian tiap menit tanpa memberi waktu bagi saya untuk menghela nafas.

Menyaksikan akting jajaran pemainnya bak tengah menonton sinetron di layar lebar. Natalie Sarah masih mengandalkan suara pengiris gendang telinga, sedangkan Mohammad Safari paling sempurna membawa gaya sinetron ke film saat diharuskan bicara sendiri mengungkapkan kekesalan hati. Umpatan-umpatan Safari pun kuat memancarkan aura keagungan sinetron. Departemen akting makin kacau nan mengesalkan akibat pembawaan annoying Ryan Febrian terhadap tokoh pria feminin. Paling disayangkan adalah Fico. Komika satu ini nampak berusaha keras mencairkan suasana melalui lawakan-lawakan improvisasi yang sesungguhnya cukup efektif sesekali memancing senyum (the only good thing here). Tapi sebaik apapun Fico, "Daerah Terlarang" memang sudah tak tertolong lagi.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

10 komentar :

Comment Page:

THE MAGNIFICENT SEVEN (2016)

5 komentar
"The Magnificent Seven" versi 1960  remake "Seven Samurai" milik Akira Kurosawa  garapan sutradara John Struges mengedepankan A-list actors pada masanya, sebutlah Yul Brynner, Charles Bronson, Steve McQueen hingga James Coburn. Sehingga, di samping kualitas yang memang mumpuni, melihat nama-nama besar di atas dalam satu frame jadi hiburan tersendiri. Lompat menuju 2016, remake dari remake yang disutradarai Antoine Fuqua ("Training Day", "Olympus Has Fallen", "The Equalizer") ini masih memakai pendekatan serupa. Denzel Washington, Chris Pratt, Ethan Hawke, Lee Byung-hun, Vincent D'Onofrio sampai Peter Sarsgaard mengisi jajaran cast kelas beratnya. Bukan saja kelas wahid, nama-nama tersebut turut berasal dari bermacam etnis.

Ethnic diversity kentara jadi fokus besar film ini. Tengok saja para anggota The Magnificent Seven: Sam Chisolm (Denzel Washington) si bounty hunter berkulit hitam, Josh Farraday (Chris Pratt) si penjudi kulit putih, Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke) sang penembak jitu yang ditemani asisten asal Asia bernama Billy Rocks (Lee Byung-hun), Jack Horne (Vincent D'Onofrio) si pria brutal, buronan asal Meksiko bernama Vasquez (Manuel Garcia-Rulfo) dan seorang native american, Red Harvest (Martin Sensmeier). Tujuannya jelas: pihak studio ingin mengesankan dukungan mereka terhadap persamaan hak, menolak rasisme atau whitewashing

Coba mengikuti zaman, begitulah pendekatan yang dilakukan film ini termasuk dalam naskah karya Nic Pizzolatto dan Richard Wenk. Selain tokoh multiras, cerita pun disesuaikan, bukan lagi pertempuran melawan bandit Meksiko seperti original-nya, atau pencarian "tanah baru" sebagaimana mayoritas western movie masa lampau, melainkan perlawanan terhadap pria kulit putih kapitalis bernama Bartholomew Bogue (Peter Saarsgard). Bartholomew merebut Rose Creek, sebuah kota fiktif demi membangun tambang emas. Tidak hanya itu, ia membantai para warga pula membakar Gereja. Putus asa, Emma Cullen (Haley Bennett) yang turut kehilangan sang suami meminta Sam membantu warga Rose Creek mempertahankan rumah mereka. 
Berbagai treatment di atas menjanjikan kedalaman kisah, namun Pizzolatto dan Wenk sekedar berusaha melemparkan konsep tapi menggalinya lebih jauh. Hal tersebut terjadi pada karakter utama. Ketujuh tokoh punya potensi keunikan masing-masing baik kemampuan maupun kepribadian, termasuk yang dibawa oleh perbedaan etnis. Polanya terjadi berulang: satu tokoh diperkenalkan dengan menarik untuk kemudian dilupakan, berakhir sebagai pengisi jumlah belaka. Mereka hanya maskot, wajah tanpa hati bagi upaya studio membangun image mengenai persamaan hak. Semakin parah karena penonton tak diberi kesempatan mengenal mereka dengan baik.

Sesungguhnya jika menengok setting waktu, cukup menarik menantikan kisah-kisah personal dari mulut para tokoh multiras tersebut. Sayang, hanya sekali itu terjadi, tatkala Goodnigt dan Sam mengenang masa kala keduanya tergabung dalam Uni dan Konfederasi dalam perang sipil. Sisanya sekedar interaksi filler ala kadarnya saat naskah memaksa para tokoh terlibat dalam pembicaraan hampa tanpa sentuhan personal demi merekatkan jarak dengan penonton. Kita tidak pernah sepenuhnya mengenal apalagi peduli pada nasib mereka. Bahkan alasan mengapa beberapa tokoh direkrut dalam tim pun kurang jelas  just look at Farraday and Red Harvest. 
Akting para aktor lebih dari cukup untuk menghalangi kebosanan. Chris Pratt (unsurprisingly) adalah penampil paling mencuri perhatian. He's lively and funny as always, and deserves to be the gang leader instead of Denzel Washington. Kondisi serupa menimpa aktor lain khususnya Hawke, D'Onofrio dan Saarsgard. Goodnight bisa jadi sosok kompleks penuh problema, Horne berpotensi mencuat sebagai tokoh brutal nan aneh, dan Bogue takkan berakhir sebagai villain dua dimensi yang bagai rutin mengkonsumsi narkoba andai ketiganya diberi porsi memadahi untuk eksplorasi karakter. 

Adegan aksi sejatinya well-made, tapi Fuqua bak kekeringan imajinasi, hanya asal melontarkan ledakan dinamit atau desing peluru di sana sini. Tengok saja klimaks yang diniati sebagai penebus pasca buildup selama kurang lebih 90 menit. Ketegangan sudah barang tentu urung hadir akibat nihilnya kepedulian penonton akan para tokoh, dan makin tak tertolong ketika Fuqua terlampau malas mengkreasi deretan sequence supaya tampak menarik, tak tahu cara memaksimalkan daya pikat tiap aktor kala tengah beraksi  Pratt with extreme coolness cocking his guns or Byung-hun expertly swinging his kinives. Final showdown yang semestinya merupakan puncak segalanya berakhir datar. Jangankan menyamai film klasiknya, untuk menghibur saja "The Magnificent Seven" gagal. Memang tidak semua hal butuh modernisasi. 

5 komentar :

Comment Page:

SON OF SAUL (2015)

6 komentar
Melalui film pemenang Best Foreign Language Film (perwakilan Hungaria) di ajang Oscar 2016 ini, definisi "character-driven movie" dibawa ke tingkatan lebih jauh oleh sutradara Lazlo Nemes  juga menulis naskah bersama Clara Royer. Karakter utamanya bernama Saul Auslander (Geza Rohrig), pria Yahudi asal Hungaria yang tergabung sebagai anggota Sonderkommando dalam kamp konsentrasi di Auschwitz. Para Sonderkommando bertugas menyingkirkan mayat para korban hollocaust dan mendapat beberapa "keistimewaan" seperti barak tersendiri, makanan, hingga rokok karena pihak Nazi membutuhkan mereka untuk selalu bugar. Karena itu pula tentara Nazi tidak asal membunuh anggota Sonderkommando sebagaimana tahanan lainnya.

Di kemunculan pertamanya, kita melihat Saul berjalan perlahan menuju fokus kamera, dan semenjak itu, selama 107 menit durasi film amat jarang dia menghilang dari frame. Camerawork Matyas Erdely didominasi dua jenis shot, yakni close-up sisi depan seolah penonton tengah bertatap muka dengan Saul, atau di belakang bahu, membuntuti ke mana ia melangkah. Matyas Erdely mengeliminasi kehadiran Saul dari layar hanya ketika suatu peristiwa sangat perlu ditekankan. Bukan itu saja, penggunaan aspect ratio 1.37 : 1 (kotak) plus shallow focus (fokus di satu titik, sisanya blur) menyempitkan bidang pandang.
Dampak teknik pengambilan gambar tersebut adalah atensi nyaris sepenuhnya tertuju pada Saul. Penonton diposisikan sebagai observer, bukan sekedar di tataran tingkah laku, namun langsung ke dalam batin sang karakter. Kita melihat tatapan matanya, pula ekspresi mikro yang subtil tapi kuat menyiratkan bagaimana sang tokoh begitu terguncang atas rangkaian pemandangan horor di kesehariannya mengurusi mayat-mayat. Dia tidak ekspresif, lebih sering menatap kosong yang justru menegaskan betapa kengerian tersebut telah mengganggu isi pikirannya. Geza Rohrig menampilkan akting solid, menekankan di ketersiratan rasa ketimbang pengekspresian emosi gamblang. 
Senantiasa di dekat Saul, kita pun tak lebih banyak tahu daripada sang protagonis, sebatas memahami bahwa Saul terenggut perhatiannya oleh mayat seorang bocah yang hendak diautopsi. Merasa sang bocah harus diberikan pemakaman layak sesuai ajaran Yahudi, Saul mempertaruhkan nyawanya, berpindah dari satu unit ke unit lain guna mencari seorang Rabbi. Hanya itu yang ia pikirkan, tanpa mempedulikan carut marut di sekelilingnya termasuk rencana pemberontakan Sonderkommando. Lalu apakah sang bocah benar anak Saul atau sekedar bentuk usahanya menebus rasa bersalah setelah sekian lama membuang mayat rekan-rekan sejawat? Mungkin senyuman simpul di akhir film bisa menjadi jawaban.

Saul tidak memperhatikan (atau peduli) terhadap segala hal di atas, begitu pula penonton, di mana seringkali saya dibuat bingung oleh kekacauan yang mendadak hadir. Kebingungan itu memang sengaja diciptakan Nemes supaya mengerucutkan fokus pada Saul seorang sekaligus meletakkan penonton pada kondisi yang sama dengannya. Tujuan itu tercapai, namun di sisi lain kenyamanan mengikuti alur penceritaan jadi terganggu. It's too chaotic and confusing. Tapi paling tidak "Son of Saul" telah berhasil menyuguhkan temvariasi sudut pandang serta cara penceritaan bagi tema hollocaust.

6 komentar :

Comment Page:

D.P.O - DETACHEMENT POLICE OPERATION (2016)

3 komentar
Pada 2013 lalu, "Azrax Melawan Sindikat Perdagangan Wanita" sukses menjadi fenomena. Kualitasnya yang teramat buruk justru memberi hiburan tersendiri, masuk ranah "so bad it's good movie" lalu memunculkan cult following bernama "Xahabat Azrax". Apakah sekuelnya akan dibuat? Kapan DVD-nya rilis? Kegaharan apalagi yang bakal ditawarkan AA Gatot setelah mencabut lampu taman? Pertanyaan-pertanyaan tersebut rutin bergulir, bahkan sampai tiga tahun berselang saat "D.P.O (Detachement Police Operation)" rilis. Kesampingkan fakta bahwa film ini bukan sekuel "Azrax", keterlibatan AA Gatot selaku jagoan aksi sudah cukup memupuk antisipasi. Terlebih kala di dunia nyata sang GURU SPIRITUAL ini ternyata masuk D.P.O alias Daftar Pencarian Orang (ups!). 

Sebagaimana matahari terbit di ufuk Timur lalu tenggelam di Barat alias takdir alam yang sudah tak bisa ditawar-tawar, AA Gatot memerankan seorang jagoan, ahli beladiri, Kapten kepolisian yang sangat dihormati bawahannya. Sang Kapten bernama Sadikin. Ya, bukan Azrax, bukan Drax, bukan Berax. Sederhana saja: Sadikin! Konon, Kapten Sadikin menyimpan dendam kepada Satam (Torro Margens), seorang bandar narkoba yang memilih tinggal di perkampungan kumuh bernama Rawa Keling guna menghindari kecurigaan polisi. Demi membalas kematian orang tercintanya, Kapten Sadikin membentuk satuan khusus, sebuah tim elit berisikan orang-orang kepercayaan yang juga begitu percaya pada Sadikin. Saking percayanya, mereka mau bergabung walau belum mendengar misi secara detail.
Terkumpul lima orang anggota termasuk Sadikin dengan keahlian berbeda-beda: Tatang (Deswyn Pesik) si pria jago beladiri, Julie (Nabila Putri) si wanita jago beladiri, Ganta (Afdhal Yusman) si playboy jago beladiri, dan Andi (Thomas Joseft) si ahli pisau yang juga jago beladiri. Mungkin hanya Sadikin saja yang kurang jago beladiri, karena sepanjang film ia lebih sering memegang pistol, berjalan sendiri meninggalkan tim meski dia selalu menekankan kebersamaan di antara mereka. Tapi bukan masalah, mengingat Kapten satu ini punya senjata lain yang jauh lebih ampuh: KHARISMA! Kharisma ini bahkan mampu menggerakkan hati seorang anak kecil untuk mengorbankan nyawa demi melindungi Sadikin dari tikaman pisau. 

Jurang pembeda antara "D.P.O" dengan "Azrax" adalah ambisi besarnya menjadi film serius. Konsepnya mengingatkan pada "The Raid", yaitu tentang serbuan maut (pun intendeed) sekelompok satuan khusus ke jantung pertahanan musuh yang dipimpin seorang penjahat sinting. Konsep tersebut potensial apabila filmnya mampu menghidupkan perasaan terperangkap yang dialami para protagonis. Usaha membangun intensitas serta keseruan aksi sejatinya nampak, tatkala fighting scene hasil koreografi Deswyn Pesik tersaji solid. Karakter Tatang yang Pesik perankan pun sukses mencuri perhatian. Tatang adalah tokoh badass, mampu menghajar puluhan musuh seorang diri hanya bermodalkan skill beladiri tangan kosong. He's the best and the only good thing in this movie.
Ironisnya, keseriusan itu justru membuat "D.P.O" gagal menandingi "Azrax" dalam kapasitasnya menghibur penonton. Hasilnya tanggung. Dipandang sebagai kekonyolan disengaja jelas sulit mengingat tiap perkelahian dikemas serius. Tapi sebagai action-thriller, film ini jatuh akibat tebaran plot hole, serta dialog menggelikan. Bagaimana bisa saya menganggap serius "D.P.O" saat di sela-sela perkelahian muncul pertanyaan semisal "kalau stasiun televisi saja bisa meliput serbuan kenapa bala bantuan sulit datang?". Atau dialog menggelikan kala Sadikin mendengar dari telepon bahwa salah satu anggota tim telah tewas kemudian merespon "dua orang kita telah mati". Setidaknya kebodohan-kebodohan tersebut masih menyajikan tawa.

Bagaimana dengan akting AA Gatot Brajamusti? Jangan khawatir, anda masih akan menemukan pelafalan dialog yang tidak sinkron antara cara pengucapan  intonasi dan emosi  dengan konten, Bahasa Inggris belepotan, kemampuan beladiri seadanya, juga senyuman mesum nan creepy khas AA. Sayang, porsi sang mega bintang terlampau minim, harus berbagi screentime dengan keempat anak buahnya. Alhasil, canda tawa mengamati penampilan AA Gatot di film ini tak sebanyak "Azrax". Hampir semua formula yang menjadikan "Azrax" cult movie dimiliki "D.P.O", mulai alur di luar nalar, baris dialog menggelikan, hingga performa kelas wahid AA Gatot. Sayang, niatan tampil serius pada pengadeganan aksi bahkan sentuhan atmosfer kelam (kematian salah satu karakter cukup mengejutkan) menjauhkannya dari status "so bad it's good". This one's simply a bad movie


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

3 komentar :

Comment Page:

COMIC KONG X KONG (2016)

15 komentar
"Comic Kong X Kong" adalah film Indonesia dengan nilai 0 (nol) keempat tahun ini. Tentu butuh lebih dari sekedar kualitas buruk supaya hati saya tergerak memberi angka tersebut, mengingat seburuk apapun suatu karya pasti ada satu sisi layak mendapat apresiasi. Film terbaru karya Yan Senjaya  pembuat masterpiece berjudul "Cin...Tetangga Gue Kuntilanak"  ini tak hanya hancur di setiap sisi, namun menyembunyikan segala kebusukan di balik sambul "film anti-korupsi". Karena yang lebih rendah dari film jelek adalah film jelek yang mengatasnamakan diri sebagai pembawa pesan moral. Ibaratnya ada seseorang kentut sembarangan di tengah keramaian dengan alasan supaya gas tidak mengendap menjadi racun dalam tubuh.

Biasanya butuh beberapa menit sampai tercium aroma sampah milik suatu film, tapi "Comic Kong X Kong" seolah ingin to the point, menolak mengulur waktu, langsung membuktikan kebusukannya. Sedari adegan pembuka saat kedua protagonis, Muslim (Tretan Muslim) dan Gitong (Denny Gitong) tiba di Jakarta guna mencari kerja, telinga saya sudah dibuat sakit akibat Okky Priharmoko sang penata suara malas menghilangkan noise. Hampir sepanjang film, dialog tenggelam di balik kebisingan, seperti berusaha mendengar seseorang bicara di landasan pesawat. Semakin ramai ketika scoring dipaksakan masuk, menambah gemuruh kekacauan perusak indera pendengaran penonton. 
Saya tidak naif mengharapkan "Comic Kong X Kong" memperhatikan logika penceritaan. Komedi berkualitas semisal "Anchorman: The Legend of Ron Burgundy" pun disusun oleh narasi tak masuk akal mengenai sosok-sosok bodoh sebagai pembaca berita. Lalu kenapa ketika Muslim dan Gitong, dua pengangguran tanpa skill mumpuni diminta Detektif Yenny (Nabila Putri) menjadi informan rahasia guna meringkus koruptor bernama Bos Belut (Mo Sidik), saya kesulitan menerima? Tidak lain akibat kegagalan film menciptakan karakter likeable dan lelucon lucu yang dipicu tingkah laku mereka. Sepanjang 87 menit durasi, keduanya selalu mengacaukan situasi, bertingkah bodoh, memasang ekspresi mesum.
This movie filled with some extreme absurdities (in a negative way). Absurditas muncul sejak Muslim dan Gitong kencing sembarangan lalu menyebabkan meledaknya sebuah patung berbalut CGI sekelas sinetron Indosiar  terjadi berulang kali, even worse  sampai film diakhiri oleh carut marut klimaks yang (entah bagaimana) diharapkan memancing tawa penonton. Saya sama sekali tidak tertawa sepanjang durasi, namun bukan soal perbedaan selera humor belaka, melainkan dipicu keengganan film menghargai penontonnya. "Comic Kong X Kong" dibuat dengan production value begitu rendah, komedi bodoh asal masuk, plus tambal sulam alur seenaknya. Jangan berharap filmnya memberi penjelasan memuaskan tentang perubahan drastis alur dari kisah dua pemuda mencari kerja menuju kekacauan investigasi korupsi melibatkan ketok magic bagi manusia hingga boneka teluh. 

Ditambah lagi, film ini masih berusaha menghantarkan pesan anti-korupsi di tengah berbagai kebusukan tadi. Padahal jujur saja, bagaimana cara pembuat "Comic Kong X Kong" mempresentasikan filmnya tidak jauh lebih baik dibanding aksi koruptor. Menyajikan karya asal-asalan dengan kualitas serendah ini tepat sewaktu industri perfilman tanah air tengah merangkak naik berpotensi menciptakan stigma negatif di kalangan masyarakat, menghalangi perbaikan kondisi film Indonesia. Atau mungkin Yan Sanjaya dan rekan sengaja menciptakan kebusukan selaku penyeimbang di antara rangkaian komedi mengesankan seperti "My Stupid Boss" atau "Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1" supaya kita tidak cepat puas. Sungguh niatan mulia. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

15 komentar :

Comment Page:

PETE'S DRAGON (2016)

Tidak ada komentar
Disney tengah getol melakukan adaptasi/remake live action terhadap karya klasik mereka. Berawal dari kesuksesan "Maleficent pada 2014 lalu, "The Jungle Book" yang rilis tahun ini bak puncak, meraup pendapatan $964 juta dan direspon positif oleh kritikus (95% di Rotten Tomatoes). Namun berbeda dibanding serangkaian proyek lain, "Pete's Dragon" kurang bergaung, mungkin disebabkan fakta bahwa film aslinya  hybrid live action dan animasi, rilisan 1977  kurang sukses baik secara komersial maupun kualitas. Mudah menganggap film ini sebagai satu lagi usaha putus asa tanpa kreatifitas Hollywood guna mengeruk pundi-pundi dollar, tapi secara mengejutkan "Pete's Dragon" sangat mendekati sebutan "film yang dibuat dengan hati".

Sang protagonis adalah bocah berusia 11 tahun bernama Pete (Oaks Fegley) sudah selama enam tahun tinggal di hutan pasca kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Ditempatkan sebagai opening, kecelakaan itu langsung memperlihatkan sensibilitas sang sutradara, David Lowery. Lowery yang identik dengan sajian indie macam "Ain't Them Bodies Saints" bertutur penuh cinta, sehingga peristiwa tragis berupa kematian di pembuka (berbalut slow-motion sunyi serta ekspresi takjub Levi Alexander sang pemeran Pete kecil) pun meski menyiratkan duka, kuat menonjolkan harap dan keindahan, enggan mengeksploitasi kesedihan. Daripada menguatkan unsur perpisahan, Lowery justru memposisikan momen awalnya laksana awal suatu petualangan.
Kesan di atas konsisten bertahan, termasuk tatkala kita pertama bertemu dengan Ellliot, sang naga hijau berbulu (disuarakan John Kassir). Elliot muncul perlahan dari balik kegelapan hutan, di mana kamera Bojan Bazelli cermat memanfaatkan siraman tipis cahaya matahari untuk memunculkan nuansa magis. Sedangkan di adegan-adegan berikutnya, penggunaan sinar matahari secara lembut pada sinematografinya turut menopang kehangatan atmosfer penceritaan. Begitu pula scoring garapan Daniel Hart. Bukan sekedar usaha duplikasi kemegahan orkestrasi milik John Willams dalam film-film Spielberg, karena Hart juga mengkomposisi beberapa nomor folk, termasuk saat "Nobody Knows" yang dibawakan The Lumineers sempurna mengiringi adegan Pete berlari di tengah kota, melompat dari satu kendaraan ke kendaraan lain. 
Pete adalah bocah likeable, tapi Elliot jadi penebar charm terbesar. Naga yang mirip anjing ini (chases his own tail, cute puppy eyes) bakal mudah mencuri hati penonton berkat tingkah clumsy nan menggemaskan miliknya. Terlebih Elliot memiliki perasaan serupa manusia, di mana saya yakin mayoritas penonton bakal tersentuh melihat adegan saat ia nampak pilu kala mendapati Pete tersenyum bahagia bersama Grace (Bryce Dallas Howard) dan keluarganya. Karakter pendukung seperti Mr. Meacham (Robert Redford) dan Grace punya porsi minim namun sesuai kebutuhan masing-masing. Patut disayangkan karakterisasi Gavin (Karl Urban) urung dimaksimalkan. Motivasi beberapa tindakan sang tokoh patut dipertanyakan, padahal ada potensi kompleksitas mengenai sosoknya yang bukan sepenuhnya jahat. 

Lowery kentara mengambil banyak inspirasi dari Spielberg, dan ironisnya ia berhasil melakukannya secara lebih baik dibanding beberapa effort terakhir sang sutradara. Including the lackluster "The BFG". Kisahnya mengembalikan ingatan pada pertemanan E.T. dan Ellliott, sewaktu dua makhluk beda spesies menjalin persahabatan yang pemaparannya menekankan pada momen kebersamaan intim saling memiliki  duduk bersama melihat bintang dengan senyum menghiasi wajah mereka. Lowery also perfectly crafted the magical feeling as when characters stare wide-eyed at the off-screen dragon. Penonton pun dibawa merasakan perasaan kagum serupa. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: