SATRIA HEROES: REVENGE OF DARKNESS (2017)

8 komentar
Selain memuaskan penggemar, film layar lebar yang diangkat dari media lain (komik, novel, serial, game) juga berfungsi memancing ketertarikan penonton awam. Diharapkan pasca menonton film tersebut mereka ingin mengunjungi sumber adaptasinya. Bukan sebaliknya di mana untuk memahami cerita atau mendapat kepuasan menonton maksimal, penonton harus mengulik sumbernya terlebih dahulu. Saya tidak pernah menyaksikan serial BIMA Satria Garuda (2013) maupun sekuelnya, Satria Garuda BIMA-X (2014-2015). Bisa dibilang saya sama sekali buta, tak kenal identitas tokoh, tempat atau peristiwa di dalamnya. 

Melanjutkan kisah serialnya, Satria Heroes: Revenge of Darkness berisiko mengalienasi golongan non-penggemar di beberapa poin, semisal mengenai dunia paralel tempat Ray alias Bima (Christian Loho) dan Rena (Stella Cornelia) tengah berada atau seputar antagonis bernama Topeng Besi yang mengambil peran sentral khususnya di babak kedua. Untungnya jalinan cerita dari naskah hasil tulisan Daisuke Kihara bersama Ishimori Production tergolong sederhana, takkan menyesatkan penonton awam yang cukup memandangnya sebagai kisah pertarungan pahlawan super melawan monster jahat dengan pernak-pernik berupa portal antar-dimensi atau mitologi lain. 
Filmnya dibagi jadi tiga babak. Babak pertama (Kembalinya Bima) mengisahkan munculnya ancaman baru bagi Bumi yang sejak kepergian Ray dan menghilangnya Reza/Azazel (Aditya Alkatiri) dijaga oleh Dimas (Fernando Surya) sang Satria Harimau Torga. Dimas mengingatkan pada para protagonis tokusatsu Jepang yang kerap bertingkah bodoh dan baru berwibawa kala bertarung. Fernando Surya berakting dengan antusiasme serupa. Berlebihan namun menyuntikkan energi, membuatnya lebih menarik disimak ketimbang Ray yang akibat penampilan datar Christian Loho tak ubahnya karakter sinetron Anak Jalanan. Tiap kalimat dramatis terdengar cringey, yang juga disebabkan penulisan dialog dangkal.

Babak kedua (Arsya) menekankan drama soal Master Torga (Yayan Ruhian), Wira (Faris Fadjar Munggaran) sang murid, dan gadis cilik yang mereka selamatkan, Arsya (Safira Ratu Sofya). Fase ini sejatinya penting, memaparkan motivasi antagonis, memberi alasan personal, membuatnya bukan semata-mata penjahat megalomania. Tapi sekali lagi presentasi naskah lemah. Jangankan memancing simpati atau emosi, menjaga tensi saja tak mampu ketika keklisean "heartbroken-pupil-turns-evil" disampaikan ala kadarnya, menjadikan Arsya titik terlemah film ini. Yayan Ruhian pun gagal dimaksimalkan potensinya, lebih gemar berpetuah alih-alih pamer jurus silat. Di sini pula filmnya sering menyoroti mitologi dengan penjelasan sepotong-sepotong sehingga hanya dapat dimengerti penggemarnya saja.
Babak ketiga (Revenge of Darkness) adalah kenapa berbagai kekurangan sebelumnya layak dimaafkan sekaligus alasan Satria Heroes patut ditonton. Bersama Arnandha Wyanto, sutradara Kenzo Maihara yang berpengalaman menangani serial Kamen Rider paham betul bagaimana memaksimalkan cool factor para Satria melalui beragam wujud serta jurus masing-masing. Kegembiraan masa kecil saya kala menanti perubahan baru si jagoan berhasil Maihara hadirkan lagi, dan itu cukup menutupi fakta bahwa resolusi pertarungan yang dipilih terlampau menggampangkan, kental unsur deus ex machina

Dalam menghantarkan adegan pertarungan, Maihara tidak ragu menumpahkan bola api, kehancuran masif Jakarta, sampai jurus penuh warna cerah dalam kemasan visual imajinatif. Kualitas CGI kurang di sana-sini, tapi pemilihan jalur campy membuat keterbatasan efek bukan masalah. Tersaji festive spectacle, walau kemeriahan menyenangkan itu menanggalkan kesan mengancam pada klimaks. It's all frills with no thrills. Ditambah koreografi memikat berupa teknik bela diri tanah air, Satria Heroes: Revenge of Darkness niscaya memuaskan penonton anak, sementara orang dewasa yang saat kecil ditemani tontonan Kamen Rider bakal teringat masa tatkala gemar bergaya, membayangkan seolah menjadi sang pahlawan di layar kaca.

Note: Ada 1 mid-credits dan 1 post-credits scene di film ini.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

8 komentar :

Comment Page:
Panca mengatakan...

Saya mengikuti serialnya cukup sering ditiap minggu, saya pikir untuk movienya penggarapannya bakal lebih bombastis tapi ternyata CGInya masih nanggung disana sini. Tapi overall karena target utamanya anak U-15 film ini menghibur, dan saya sudah dewasa juga nostalgia :) .

Semalam pun penontonnya sekitar 50an orang yang berisi orang tua dan anaknya, mereka puas menontonnya. Berharap film tokusatsu asal indonesia semakin banyak dan bertambah kualitas.

Btw mas rasyid review membabi buta jgn lupa ya :)

hilpans mengatakan...

Mantap..dapet bintang 3 nih

Rasyidharry mengatakan...

Betul, untuk awalan, Satria Heroes ini sama sekali nggak buruk.

Emmm, yang itu nggak janji hehe
Tapi di IDFC sudah ada beberapa review kok
http://idfilmcritics.com/indonesian-movie/membabi-buta-2017-review/

Panca mengatakan...

Haha membabi buta ga menarik kah buat mas??

Rasyidharry mengatakan...

PH-nya nggak meyakinkan, orang-orang di belakangnya, dan review beberapa critics juga makin bikin males hehe

Unknown mengatakan...

Agan, review film ziarah dong, kalo ga salah tanggal 7 kemarin diputar di bioskop, pas ngeliat trailer di youtube kaya nya bagus, terima kasih

Rasyidharry mengatakan...

Baru tayang di bioskop 18 Mei besok kok

qinkqonk mengatakan...

Hiks! Jelek banget. Aku meninggalkan gedung pada saat awal babak ketiga..

Background padang rumput terlalu datar, dan mengurangi intensitas perkelahian. Macam lihat sinetron silat tv.

Ledakan penuh cgi. Aneh bgt setelah kedakan tidak ada rumput yang terbakar.

Joke sakit pinggang pada saat praktek silat. Damn, ide cerita dan editingnya buang-buang film.

Di babak kedua, arsya, cinematografi, backsound, efek lebih bagus. Tapi kenapa narasinya kaya gitu? Kenapa tidak dibuat adegan gimana ortu arsya dibunuh, dan perjalanan cinta arsya tumbuh.

Aku bayangin kaya karate kidnya jadden smith dengan teman wanitanya di sela2 latihan.

Lalu saat arsya kejatuhan longsor bebatuan. Ngga bisa gitu, beli pasir setruk buat nambah efek visual supaya lebih nyata? Kenapa hanya mengandalkan cgi yang pas-pasan?

Terakhir, saat kue tart melayang. Arghhhh itu joke dan teknologi tahun 90, jamannya tuyul dan mbak yul. Malah mengurangi kualitas film.

Akhirnya aku cabut deh... banyak hal yang lebih sederhana namun bisa menguatkan cerita. Kenapa harus dipaksakan sehingga hasilnya pas-pasan?

Kalau mau dibandingin sama film megaloman sih mungkin yaa...