FRANTZ (2016)

14 komentar
Frantz punya setting tahun 1919 alias setahun pasca Perang Dunia I berakhir, merupakan adaptasi bebas dari naskah teater L'homme que j'ai tué karya Maurice Rostand pula versi Bahasa Inggrisnya yang masing-masing dipentaskan pada 1930 dan 1931, pula sebuah remake "tidak sengaja" untuk film rilisan 1932, Broken Lullaby   François Ozon tak menyadari eksistensi film karya Ernst Lubitsch itu kala membuat Frantz   yang dibuat berdasarkan dua pertunjukan tersebut. Singkatnya, film ini adalah kisah dari masa lampau. Biar demikian, jarak puluhan tahun rupanya bukan jurang pemisah. Frantz justru mewakili kondisi mencemaskan kala xenophobia menguasai masyarakat dunia sekarang. 

Quedinburg, Jerman, 1919. Anna (Paula Beer) kehilangan tunangannya, Frantz (Anton von Lucke) di medan perang. Kini ia tinggal di rumah kedua orang tua Frantz, bersama-sama coba beranjak dari duka. Sampai datang Adrien (Pierre Niney), mantan prajurit Prancis yang mengaku sebagai sahabat Frantz dari Paris. Adrien rutin meninggalkan bunga di makam Frantz lalu mengunjungi rumah keluarganya. Walau ayah Frantz, Doktor Hoffmeister (Ernst Stötzner) membenci dirinya   sebagaimana banyak orang tua di Jerman yang merasa orang Prancis membunuh putera mereka di peperangan   tidak demikian dengan sang ibu, Magda (Marie Gruber) dan Anna yang menyambut Adrien ramah, mengundangnya ke rumah.
Sikap awal Hoffmeister, kemudian tindak protes rekan-rekannya di bar kala mendapati sang Doktor mulai melunak pada Adrien, meski berkonteks Perang Dunia I, nyatanya begitu dekat di kondisi sosial masyarakat kini. Kedekatan berbuah ikatan rasa menyaksikan ragam peristiwa itu muncul, sebab seperti kita tahu, kebencian atas "antek asing" tengah menyerang seluruh dunia (berlandaskan agama di Indonesia, white supremacy di Amerika, dan lain-lain). Melalui naskahnya, Ozon dan Philippe Piazzo mengangkat sisi kemanusiaan berlandaskan kenangan serta hubungan para tokoh dengan Frantz. 

Membicarakan humanisme terkait peperangan otomatis mencuatkan rasa anti-war yang dalam film ini diposisikan lembut melatari sikap karakter. Ozon tak lantang apalagi agresif menentang perang, tapi diajaknya penonton memahami, merenungkan perspektif lain. Contoh terbaik terletak pada monolog Doktor Hoffmeister mengenai ironi selebrasi kemenangan perang di antara setumpuk kematian. Bagi Ozon, tidak peduli meski terjadi saat perang, kematian tetap kematian, menghadirkan kehilangan dan duka bagi yang ditinggalkan, bukan elu-elu heroisme didasari semangat nasionalisme. Mewakili gagasan ini adalah kerapnya lukisan Le Suicidé karya Edouard Manet diperbincangkan. Oleh Manet, lukisan tersebut jadi luapan ekspresi bahwa kematian di karya seni tak melulu tentang pengorbanan atau heroisme. Kematian adalah kematian.
Itu pula tujuan dua momen saat Adrien mendengar warga Jerman menyanyikan Deutschlandlied, sementara Anna di Prancis terjebak di tengah semangat rakyat sekitar mengumandangkan La Marseillaise. Lagu kebangsaan ketika/pasca perang biasanya menghadirkan gemuruh rasa perjuangan kental nasionalisme. Namun di sini justru kecanggungan bercampur kepedihan yang terasa. Bayangkan anda menjadi Adriane, terluka akibat perang, mendengar bait "Germany above all, Above all in the world", atau sebagai Anna, mendapati "The roar of those ferocious soldiers. They're coming right into your arms. To cut the throats of your sons, your women" dinyanyikan setelah kekasih tercintanya meregang nyawa akibat desing peluru. Dan keduanya mengalami itu di tempat di mana mereka dipandang penuh kebencian akibat status kewarganegaraan. 

Turut bicara soal white lie membawa Frantz pada serangkaian kejutan mengenai rahasia para tokoh, khususnya yang ditutupi oleh kebohongan mereka. Takkan jadi rahasia mengejutkan apabila anda jeli memperhatikan gerak-gerik karakter. Namun toh sajian twisty bukan tujuan utama François Ozon, melainkan drama seputar jiwa-jiwa yang mencari kedamaian, berusaha melangkah pergi dari kekangan duka masa lalu. Frantz tersaji melankolis, bergaya visual hitam-putih yang sesekali jadi berwarna tatkala flashback, atau tepatnya saat kebahagiaan hasil memori indah tentang sosok tercinta merasuki karakternya. Pula kisah saling menguatkan antar manusia guna menghilangkan pilu hingga tendensi bunuh diri yang dirangkai lembut nan elegan, sebagaimana sinematografer Pascal Marti perlahan menggerakkan kameranya. 

14 komentar :

Comment Page:
Raid Mahdi mengatakan...

nonton dmana bang>?

Rasyidharry mengatakan...

Sudah tersedia di lapak :D

Ulik mengatakan...

Kk nnton serial american gods ngak

Rasyidharry mengatakan...

Tertarik sebenernya, cuma susah cari kesempatan nonton

Unknown mengatakan...

Mau donlot tapi gak tersedia sub indonesia nya dan bahasa inggris saya payah sekali.. :(

Rasyidharry mengatakan...

Ada kok, ini nonton pakai sub Inggris lho

Zulfikar Knight mengatakan...

Mas Rasyid gak tertarik review Safe nya Todd Haynes? Asli itu film premisnya cukup keren tapi gak bener bener paham sama isi filmnya. Terlebih saya juga pake sub English.

Unknown mengatakan...

Mksd saya saya payah di bahasa inggria jadi susah kalo gak ada bahasa indo nya

Rasyidharry mengatakan...

Wahaha maap lagi bego dan nggak perhatiin

Rasyidharry mengatakan...

Film-film lama sekarang cuma ditonton aja, nggak review. Pegel kebanyakan :D

Budi mengatakan...

Menurut agan, endingnya gmn?? kesanya yg sakit hati cuma si Anna doang.

Rasyidharry mengatakan...

Semua sakit hati sebenarnya, tapi cuma Anna yang harus nanggung beban perasaan banyak orang dengan kebohongan

Kasamago mengatakan...

Latar kisahnya itu yg bikin syahdu..

Yulitaaaa mengatakan...

Endingnya adrien dan vanny anna sendiiri kan?