NYAI AHMAD DAHLAN (2017)

39 komentar
Entah sudah berapa kali saya menuliskan perihal terlampau sibuknya film religi negeri ini berceramah sampai lupa akan esensinya sebagai film itu sendiri yang perlu memperhatikan tata penceritaan, naskah, akting, pun aspek sinematik lain. Walau banyak suguhan religi yang jauh lebih menggurui dalam tuturan pesannya, Nyai Ahmad Dahlan termasuk produk langka, di mana keseluruhan alur bagai kompilasi pesan agama yang disatukan. Naskah Dyah Kalsitorini (Surga Menanti) secara literal menjadikan tiap momen sebagai ceramah agama, seolah lupa sedang mengisahkan hidup seseorang. Sosok penting bernama besar, namun tetap manusia biasa dengan ragam persoalan. 

Sejak momen pertama, Nyai Ahmad Dahlan langsung melempar gagasan mengenai hak semua orang, tak terkecuali wanita dan anak-anak memperoleh pendidikan umum serta Islam. Digambarkan pula, kesadaran atas problematika itu telah tumbuh dalam diri Walidah (Tika Bravani) sejak kecil. Menuruti permintaan kedua orang tuanya, dia menikahi KH Ahmad Dahlan (David Khalik) yang saat itu sudah terpandang sebagai pemuka agama. Nyai Walidah pun mulai dipanggil Nyai Ahmad Dahlan, wanita yang getol memperjuangkan hak wanita belajar mengaji, hingga mendirikan 'Aisyiyah selaku organisasi wanita pendamping Muhammadiyah.
Jangan dulu bicara tentang penceritaan, karena sedari awal ada poin yang tidak kalah mencuri perhatian, yakni tata suara. Musik garapan Tya Subiakto berwujud orkestra megah yang gemar menggelegar lalu mencapai klimaks beberapa menit sekali. Sedikit saja emosi karakter bergejolak atau tensi adegan meningkat, musik seketika memuncak. Tapi masalah utama bukan pada musik. Toh bila didengar terpisah, karya Tya enak didengar. Persoalannya di sound mixing. Tanpa sensitivitas, volume musik membesar bersamaan dengan meningkatnya tensi pembicaraan. Anda pernah kesulitan mendengar suara lawan bicara di tengah berlangsungnya konser musik dengan penonton yang riuh bernyanyi bersama? Begitulah kualitas suaranya.

Kembali ke jalannya cerita. Ketimbang memanusiakan Nyai Ahmad Dahlan beserta segala kelebihan dan kekurangan, naskahnya memposisikan sang titular character layaknya jukebox. Bedanya, bukan musik yang keluar melainkan kutipan ayat Al Qur'an, metafora pesan moral, atau pembacaan kisah Rasul. Sesekali tugas berpindah, giliran KH Ahmad Dahlan yang berceramah. Tetapi intinya sama: pesan tanpa jeda. Tentu ada konflik khususnya menyinggung hak wanita, namun lagi-lagi sekedar jalan menyalurkan kata mutiara. Berujung dikorbankan justru sederet tuturan penting yang lalai dijabarkan, sebutlah ancaman kolonialisme hingga detail perselisihan akibat ajaran Ahmad Dahlan dipandang menyimpang. 
Daripada menggali lebih dalam, Nyai Ahmad Dahlan memilih menetap di rapat demi rapat, pengajian demi pengajian, sambil sesekali memberi eksposisi ala kadarnya seputar ragam gesekan tadi maupun peristiwa penting melalui sebaris teks pendek atau ucapan verbal sambil lalu. Nyaris nihil momentum menarik ditampilkan. Malah mendekati penghujung, demi menunjukkan Nyai Ahmad Dahlan tetap ingat peran sebagai istri meski disibukkan tetek bengek organisasi, fokus berubah menyoroti kesehariannya merawat sang suami sampai ajal tiba. Bisa saja tercipta drama emosional andai mengalir rapi, bukan potongan-potongan adegan yang ditempel paksa lewat penyuntingan lompat-lompat nan kasar. Paling mendekati keberhasilan menggetarkan rasa justru saat seorang wanita nembang (bernyanyi). Pun karena kehebatan si aktris, bukan didorong pengadeganan solid.

Muncul pertolongan di beberapa aspek. Sinematografi Zeta Alpha Maphilindo bersama pewarnaan yang diemban tim Super 8mm Studio (Ziarah, Another Trip to the Moon) menghasilkan perpaduan warna serta pencahayaan yang enak dipandang. Begitu pula akting dua pemeran utama. Tika Bravani menghidupkan keteguhan di balik tutur lembut Nyai Ahmad Dahlan walau performanya terganjal kala tokohnya memasuki usia lanjut akibat riasan buruk ditambah gerak, gaya bicara, juga ekspresi dibuat-buat demi menyiratkan penuaan. David Chalik cukup meyakinkan bermain emosi meski bakal agak sulit membedakan Ahmad Dahlan versinya dengan karakter kiai di kebanyakan film lokal berlatar masa lalu. Film ini sedikit terselamatkan. Dari biografi kacau tanpa peduli asas storytelling, jadi biografi amat membosankan yang setidaknya digarap sungguh-sungguh. 

39 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Film bertema religi itu sakral,
Ga boleh dikritik
Nanti mas dipertanyakan keIslamannya

Akbar Pradhana mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Akbar Pradhana mengatakan...

Dan ane nonton karena tuntutan Muhammadiyah. Setuju sama yang dikatakan bang Rasyid. Musik pengiringnya over, ceritanya gak dalem, bosen nontonnya. Kayaknya 2 masih berlebihan. 1 ato 0,5 bintang sudah cocok ato bintang 0 (Trash) lebih cocok

Ilham Ramadhan mengatakan...

kalau berani jgn anonim gan. semua film boleh2 aja dikritik dan diulas. gak usah rasis coy

yosep mengatakan...

bukannya rata-rata film indonesia bosenin gitu ya ahahahah!


nih yang ga bosenin! promo dari shopee!

Gratis ongkir s/d 40ribu

https://shopee.co.id/pc_event/?smtt=201.3549&url=https%3A%2F%2Fshopee.co.id%2Fevents3%2Fcode%2F2593533579%2F%3Fsmtt%3D201.3549

Erwww mengatakan...

Sabar mas Ilham..
itu komentar mas Anonim satire buat mereka yang menganggap film religi itu sakral.. :-)

Erwww mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

Wkwkwkwkwk....
Sampe hrs diterangkan dulu...

cintah mengatakan...

ya bagaimanapun hasilnya, si apresiasi ya bang itu mah udah jelas. cuman ada beberapa yang disayangkan.

bt salam kenal bang :)

Rasyidharry mengatakan...

Hahaha sudah pernah kok, dipertanyakan keimanan sampai suruh tobat juga.

Rasyidharry mengatakan...

Kasih 2 karena berusaha fair lihat effort di visual & akting. And I've seen worse. Soalnya, kalau di bawah 2, mau dikasih berapa religi yang lebih menggurui & teknisnya lebih ngaco haha

Rasyidharry mengatakan...

Yap, masih apresiasi beberapa poin positifnya juga :)

dim mukti mengatakan...

bait bait.. hahaha

Sims4Imagination mengatakan...

Hei.. ini yg dinilai dan dikritik bukan isi ceramahny.. tp seni daLem filmnya. Kalau seni nya aja ga bagus bagaimana menikmati isi dan konteks ceramahny. Film bioskop kita bayar.. kalau ga sesuai ekspetasi ya akhirny buang2 duit. Kalau mau isi ceramah, di tv, masjid n pengajian jg banyak.. gratis malah.. ini kembalu ke ranah seni...

bais mustaqim mengatakan...

film religi yg dinilai movfreak 4.5 sepertinya hny Mencari Hilal. Film religi yg bgs menurut bang rasyid seperti apa

Rasyidharry mengatakan...

Mencari Hilal misal, jelas banyak pesan agama, tapi bersifat mengajari & memperlihatkan daripada menggurui. Penonton jadi "tersadar" sendiri, ikhlas terima apa yang diceritakan. Buat saya, film religi yang bagus mestinya bisa merangkul penonton yang kurang religius, toh tujuan film religi (like religion itself) menyiarkan ajaran seluas mungkin, bukan membuat yang sama makin jumawa dan menyalahkan yang beda :)

Anonim mengatakan...

Utk sebagian orang, film religi isinya ya harus dakwah dalam arti sebenarnya. Alih-alih dibuat dalam kemasan yg menarik dan cerdik bertutur agar penonton tidak bosan (dan lalu mengabaikan pesannya), film reliji ya isinya harus to the point: Dakwah. Titik. Tida perlu menarik, krn ini film reliji.

Kalau penonton bosan dan lalu tidak dapat mengapresiasi film tsb, yg salah ya penontonnya. Berarti kurang beriman. Gitu kali ya?

Sama spt di kelas, kalo murid tidak mengerti yg diajarkan ya itu salah muridnya, bukan salah guru yg cara mengajarnya membosankan. Guru sudah berdiri di depan kelas dan mengajarkan? Kalau muridnya bosan dan enggan memperhatikan, murid itu yg salah. Harus dihukum.

Ulik mengatakan...

Dari penulis surga menanti itu aja sudah cukup utk tau isi filmnya

Ulik mengatakan...

Dari penulis surga menanti itu aja sudah cukup utk tau isi filmnya

Ilham Ramadhan mengatakan...

hhe aman gan. mungkin efek kebanyakan yg kayak gini.
buat mas rasyid, semangat :D

Rasyidharry mengatakan...

Dakwah juga bisa menarik kok. Sama seperti guru yang mengajar di kelas, bisa menarik. Itu cara lama, guru mesti lebih inovatif, mesti melibatkan murid kalau di konteks belajar mengajar. Apalagi diterapkan ke film, di mana nggak ada istilah penonton salah karena nggak suka filmnya. Sayang sekali kalau film religi dengan potensi yang begitu besar untuk menyebarkan kebaikan malah hanya sampai tatanan "oh, kalian tidak suka? Berarti kalian yang salah. Kalian tidak beriman".

Rasyidharry mengatakan...

Tapi ini jauh lebih baik dari Surga Menanti :D

Irsyad Al-farisy mengatakan...

Film religi merupakan film yang harus dihargai, tidak memedulikan aspek-aspek lainnya selagi pesan yang ingin disampaikan itu benar dan dapat diambil oleh penonton oleh penonton.
Film-film jenis ini sudah semakin jarang ditemui di perfilman indonesia, yang ada hanyalah tipikal komedi cinta-cintaan sma. Jika tidak bukan kita melestarikannya, lalu siapa? awalnya dakwah memang akan menuai banyak penolakan, tapi pada akhirnya anda akan sadar sendiri.

Rasyidharry mengatakan...

Dihargai itu betul. Karya apa pun harus dihargai. Tapi tidak mempedulikan aspek lain itu salah. Mengusung pesan benar bukan berarti kasih pemakluman soal kualitas. Kalau mau nggak peduli kualitas ya jangan pakai media film :)

Jarang? Nggak juga. Mungkin saudara yang jarang nonton film Indonesia :)

Anonim mengatakan...

Betul kan? Baru aja dibilang...
Wkwkwkw. Kalo tu film diabaikan penonton ya penonton yg salah karena tidak bisa menghargai.

Aspek filmis??
Ga penting.
Ini kan film reliji!

Wkwkwkwkwkwkwkwwk....

Rasyidharry mengatakan...

Luar biasa memang :D

Anonim mengatakan...

sabar bang..

terus berkarya!

Anonim mengatakan...

Iya, akan sadar sendiri.
Sadar bahwa percuma menghamburkan uang utk membuat film bertema reliji (baca: dakwah) kalo kemudian hanya segelintir yg menonton.

Biaya udah keluar banyak,sementara tujuan dakwah (isinya kebenaran, pasti) tak tersampaikan luas. Bagaikan bicara lantang di tepi pantai yg sepi.

Lenyap begitu saja, ditelan angin...


Anonim mengatakan...

Kenapa ya kalau membuat artikel bertema "reliji" ada saja komentar negatifnya haha

Rasyidharry mengatakan...

Indahnya negeri ini :D

Anonim mengatakan...

Kenapa ya setiap membuat artikel bertema 'reliji' langsung berharap otomatis isinya puja puji?

Sims4Imagination mengatakan...

mungkin selera mereka ya bigini kawan.

Panca mengatakan...

Kemarin2 banyak film religi yang kurang dari segi cerita tapi tidak sampai seramai ini yg komen.
Oiya apa mas rasyid menunggu film Mas Gagah 2??

Rasyidharry mengatakan...

Oh jelas nunggu, tapi entah kapan itu tayang :D

Anonim mengatakan...

Harusnya film Mas Gagah itu sukses besar (biar dibuat asal2an kan bungkusnya reliji yg notabene sakral).

Tapi karena ulah kalian para reviewer tak beriman-buta agama- antek Amerika-calon penghuni kerak neraka jahanam....film itu tidak laku!

Huh.

Akbar Pradhana mengatakan...

Komentar ente bikin ngakak. Film religi banyak yang skeptis karena hanya memperhatikan tuntunan tanpa cerita yang menarik. Ambil contoh yang ceritanya bagus ama tuntunanya juga ngena: Mencari Hilal, Bid'ah Cinta, Hijrah Cinta ama Sang Pencerah sementara ini. Biar seterusnya diungkap bang rasyid.

Rasyidharry mengatakan...

Iya, dasar reviewer antek Yahudi, antek komunis, antek kapitalis!




(selow, selow, komen anonim itu sarcasm kok)

Unknown mengatakan...

Disuruh tobat waktu ngereview KMGP ya Bang Rasyid?

Rasyidharry mengatakan...

Disuruh belajar agama lagi katanya, ya sudah, saya suruh dia belajar bikin film lagi haha