DETROIT (2017)

11 komentar
Pasca The Hurt Locker dan Zero Dark Thirty, sutradara Kathryn Bigelow dan Mark Boal kembali berkolaborasi, kali ini melukiskan tindak rasisme kejam kepolisian terhadap kaum kulit hitam serta ketidakadilan yang mereka terima dalam penegakan hukum. Bigelow dan Boal memilih meniadakan kompleksitas isu rasial, sepenuhnya berusaha mengguncang perasaan penonton melalui gambaran kekerasan yang menyalahi kemanusiaan, berujung mengarahkan filmnya menuju sajian thriller di mayoritas waktu. Detroit eksis (semata-mata) untuk memancing amarah penonton, bukan jalan pintar, tapi efektif menyulut kebencian atas rasisme.

Mengangkat insiden Motel Algiers yang terjadi bersamaan dengan kerusuhan lima hari di Detroit tahun 1967 yang menewaskan 43 jiwa, 1.189 terluka, 7.200 orang ditahan, dan lebih dari 2.000 bangunan hancur, Detroit dibagi menjadi tiga titik alur: pre, during, aftermath. Memasuki first act, serupa yang Nolan lakukan lewat Dunkirk, naskah Boal langsung membawa penonton ke tengah huru-hara akibat penggerebekan polisi pada bar tak berlisensi. Walau sempat menyelipkan beberapa menit animasi sebagai penjelas latar, begitu konflik inti menerjang, kita seketika diseret ke pusat peristiwa berupa penjarahan oleh warga berujung pertikaian dengan aparat.
Ketiadaan protagonis di babak awal jadi upaya mendukung gaya docudrama Bigelow demi menciptakan kekacauan nyata. Tapi ketika sekedar keacakan tanpa fokus, meski beberapa situasi mencengkeram sebutlah saat peluru nyasar merenggut nyawa seorang bocah, perlu waktu agar terikat oleh penceritaannya. Fokus pada detail atau tokoh tertentu dibutuhkan selaku pegangan juga pengarah tujuan. Memasuki pertengahan, begitu Phillip Krauss (Will Poulter dengan totalitas yang memudahkan karakternya dibenci), polisi rasis yang tidak segan menembak kulit hitam dan Larry Reed (Algee Smith bersenjatakan suara emas penyentuh hati) si penyanyi dengan mimpi mendapat kontrak rekaman diperkenalkan, baru filmnya menghentak, menuju babak kedua berisi rangkaian kekerasan menjijikkan.


Paruh tengah Detroit tatkala Phillip beserta rekan-rekannya membariskan kulit hitam penghuni Motel Algiers plus dua wanita kulit putih sungguh mencekam. Bigelow dan Boal menanggalkan subtilitas, menggeber tensi pun emosi melalui kekerasan gamblang yang walau mengarah ke eksploitasi, sukses merangkum beragam racun kemanusiaan dari white supremacy, toxic masculinity, sampai percampuran keduanya. Sekali lagi tidak menempuh jalan pintar, namun efektif. Tiap ancaman, paksaan, kekerasan yang aparat lakukan berguna menumpuk kejengahan atas tindakan-tindakan tersebut. Pukulan akhir dilayangkan di third act sewaktu setting berpindah ke persidangan, yang menyegel nasib para minoritas di titik nadir. 
Memang Detroit dibuat berdasarkan kisah nyata, namun sebagaimana tertulis di penghujung, kurangnya catatan sejarah resmi memaksa Boal menambahkan banyak porsi fiksi yang seringkali berfungsi untuk dramatisasi. Alhasil timbul pertanyaan mengenai seberapa faktual Detroit. Meski tidak seluruh momen sungguh terjadi dalam insiden aslinya, toh bukan masalah besar mengingat di tempat serta waktu lain, bahkan dengan konteks ras berbeda, (termasuk di Indonesia) isu serupa juga terjadi. Akhirnya jikalau tidak valid mereka ulang peristiwa yang diangkat, Detroit masih gambaran relevan terkait konflik rasial secara luas. 

Kelemahan besar filmnya adalah simplifikasi yang memperlihatkan kebingungan Bigelow dan Boal mengambil sikap. Keduanya tegas menyatakan aksi main hakim seenaknya aparat keamanan merupakan dosa besar. Di sisi lain, nampak jika kerusuhan diawali tindak anarki warga Detroit yang menjarah toko-toko, menghancurkan kota sendiri selaku luapan amarah. Begitu pula perbuatan tidak perlu Carl Cooper (Jason Mitchell) menembakkan peluru kosong kepada polisi yang memicu tragedi. Kita diajak melihat dua belah pihak sama-sama berperan mendorong pertikaian, tapi bak ingin menghindari kontroversi, Detroit enggan menggali kompleksitas tersebut, memilih bermain di jalur aman. Jalur aman yang setidaknya ampuh menggugah kekesalan atas rasisme.

11 komentar :

Comment Page:
Zulfikar Knight mengatakan...

Awalnya ku pikir ini biopicnya Eminem. I was wrong.

Icha Hairunnisa mengatakan...

Wkakakkaa. Aku juga sempat mikir gitu :D

Raid Mahdi mengatakan...

Wah ane hype krn sutradaranya, tpi kykny film trlemahny ya?

Rasyidharry mengatakan...

Haha malah nggak kepikiran sampai situ

Rasyidharry mengatakan...

Kalau di antara duet Bigelow-Boal, emang terlemah, tapi karena 2 film lainnya bagus banget

Anonim mengatakan...

hai rasyid, sukses selalu blognya:)

Rasyidharry mengatakan...

Amin! Thanks :)

Unknown mengatakan...

Ga sabar nunggu film kingsman+reviewnya dari bang rasyid �� hihi

Rasyidharry mengatakan...

Sama, nggak sabar nonton. Setiap trailer-nya diputer di bioskop, denger 'I Did It My Way' selalu merinding :)

Kasamago mengatakan...

Inget Detroit jd inget Alex Murphy..

Rasyidharry mengatakan...

Wah Detroit yang itu lebih sinting lagi