NEGERI DONGENG (2017)

Tidak ada komentar
Bukan perkara mudah mendaki tujuh puncak tertinggi di tujuh pulau/kepulauan besar Indonesia (Seven Summits of Indonesia) sembari membawa seperangkat (tepatnya tujuh buah) kamera, hanya dijalankan oleh tujuh orang termasuk Anggi Frisca selaku sutradara, berusaha memperlihatkan bentangan alam yang bagi sebagian masyarakat termasuk saya, detailnya masih asing. Banyak nilai-nilai, jerih payah, dan tentunya ambisi, terlibat di sana. Ambisi yang sayangnya, tak sepenuhnya mulus tersalurkan menjadi suatu karya. Sebagai film, Negeri Dongeng pun berujung lebih mudah dihargai ketimbang dikagumi. 

Dimulai dari Kerinci, berakhir di Cartensz, pengambilan gambar tim Aksa7 berlangsung sekitar 2 tahun (2014-2016) dan pastinya menghadirkan setumpuk rintangan. Bahkan pendakian menuju Puncak Jaya saja rasanya sudah memberi cukup modal untuk sebuah film panjang. Pengumpulan biaya yang konon mencapai 55 juta per orang, persiapan termasuk latihan fisik yang mesti ditempuh, lalu perjalanan berbahaya yang sebagaimana film ini perlihatkan, diisi mendaki permukaan terjal sampai menyeberangi jurang. Ditambah perjalanan menyusuri enam gunung lain, Negeri Dongeng bak upaya menekan paksa materi berjam-jam menjadi 104 menit.
Separuh awal perjalanan berlangsung buru-buru. Beberapa kasus, sebutlah mengenai sampah plastik atau kisah bocah dengan ADHD sekedar numpang lewat. Anggi bagai merasa ada nilai yang layak dituturkan (dan memang benar adanya), namun urung menelusuri lebih lanjut, memunculkan kesan "dibuang sayang". Fokusnya berserakan tanpa arah. Apabila berniat memaparkan nilai kehidupan, seluruh isu hanya sambil lalu. Hendak mengetengahkan sisi survival pun, filmnya lalai mengajak penonton terlibat dalam deretan kesulitan para Aksa7. Tiba-tiba timbul masalah, tiba-tiba pula masalah itu selesai.

Di paruh pertama pun, sebagai dokumenter yang berlokasi di alam, departemen visual belum menyajikan gambar-gambar nikmat, seolah masih kesulitan beradaptasi menangani rintangan sambil membuat film. Hanya tata musik dengan dominasi bunyi atmosferik nan misterius karinding (koreksi kalau saya salah) yang sanggup memikat. Barulah mencapai setengah akhir, baik fokus, dinamika, maupun aspek teknis nampak tertata. Bukan mustahil itu dipengaruhi fakta bahwa perjalanan sempat rehat beberapa bulan, memberi waktu bagi tim melakukan persiapan matang sekaligus evaluasi.
Anggota Aksa7 sendiri punya potensi mengambil hati. Tawa sempat diproduksi nama-nama seperti Teguh Rahmadi dan Rivan Hanggarai lewat tingkah polah keduanya. Bahkan, khusus Teguh, tersimpan bobot lebih ketika ia sempat absen dari pendakian akibat sakit. Namun emosi takkan begitu bergolak karena paruh awal yang semestinya dapat dipakai sebagai perkenalan urung dimanfaatkan. Bahkan saat kita mulai familiar dengan mereka, muncul distraksi baru berupa bintang tamu yang terdiri dari Medina Kamil, Darius Sinathrya, dan Nadine Chandrawinata (juga merupakan associate producer). Kamera lebih betah mengikuti ketiganya daripada para tokoh utama.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, pendakian menuju Cartensz layak dibuat satu film tersendiri. Saat itulah fokus mulai terarah jelas kepada survival thriller berbumbu nilai kehidupan termasuk persahabatan, tensi meninggi, kualitas visual mencapai puncak pencapaian. Ketegangan dipresentasikan tanpa harus mengurangi kejelasan gambar melalui shaky cam, sedangkan keindahan yang sempurna mewakili sebutan "Negeri Dongeng" di bentangan alam Papua ikut menghipnotis. Segmen akhir tersebut telah cukup menjadikan film yang meraih nominasi "Film Dokumenter Panjang Terbaik" pada FFI 2017 ini pantas disaksikan.

Tidak ada komentar :

Comment Page: