MURDER ON THE ORIENT EXPRESS (2017)

22 komentar
Versi baru Murder on the Orient Express terbentur fakta bahwa banyak pecinta film telah paham seluk beluk misteri adaptasi novel berjudul sama karya Agatha Christie tersebut. Motif, trik, sampai twist mengenai identitas pelaku sudah diketahui. Mengubah berarti mengambil resiko merusak esensi. Penyesuaian yang dilakukan pun bertujuan menggapai pangsa pasar penonton kasual berusia muda, khususnya yang awam akan sumber materinya. Pemakaian huruf bergaya nyala neon plus lagu Believer milik Imagine Dragons pada trailer membuktikannya. Di hasil akhir, peningkatan kuantitas dan kualitas efek visual serta selipan aksi mengusung tujuan serupa. Apakah modernisasi di atas ikut menguatkan poin substansif?

Hercule Poirot (Kenneth Branagh) pun dimodifikasi. Sesekali masih bertingkah jenaka dan punya kepercayaan diri selangit, Poirot bukan lagi jenius tanpa cela. Selain memiliki OCD yang menjelaskan kepekaan analisisnya, ia menunjukkan kerapuhan pria yang kehilangan cinta, gampang terprovokasi, kerap keliru melempar hipotesis, pula terjebak dilema moralitas. Atas nama perbedaan, naskah Michael Green (Logan, Blade Runner 2049) berambisi tak hanya memaparkan kasus pembunuhan, juga drama mengenai sisi problematik tokoh utama. Bahkan tersimpan sikap anti-rasisme tatkala novel maupun cerita pendek Agatha Christie sering mengandung nada rasisme. 
Dasar ceritanya sama, menyoroti pembunuhan terhadap pebisnis bernama Samuel Ratchett (Johnny Depp) yang terjadi kala kereta Orient Express tengah melaju. Seiring salju longsor yang memaksa kereta berhenti, Poirot harus menemukan pelaku di antara para tersangka dari beragam latar belakang. Kunci bangunan intensitas terletak pada proses interogasi yang (seharusnya) jadi sarana penonton terlibat dalam investigasi, ikut menebak makna di balik pertanyaan Poirot, mengaitkannya dengan jawaban penumpang serta berbagai sebaran petunjuk. Sayangnya, di sini naskah Green, juga penyutradaraan Branagh tampak kerepotan. 

Interogasi tampil sambil lalu hingga penggalian informasi terasa dangkal. Dialog tulisan Green sekedar adaptasi hambar, sementara Branagh kurang cakap menyulut ketegangan berbasis barter kalimat. Nampak ketika dua adegan bernuansa aksi dibubuhkan selaku amunisi tambahan kalau penonton bosan mendengar 114 menit penuh pembicaraan. Bahkan momen pengungkapan fakta mengejutkan di akhir bakal seutuhnya gagal menghentak andai tak dibantu iringan Never Foget, musik melankolis nan indah gubahan Patrick Doyle. Namun tidak tertutup kemungkinan, bagi penonton yang sama sekali awam, investigasi Murder on the Orient Express mampu mencengkeram meski sedikit melelahkan.
Seperti sempat disinggung, Murder on the Orient Express memberi porsi lebih untuk eksplorasi karakter Poirot. Keputusan ini menyuntikkan dinamika baru di mana si "detektif terhebat di dunia" tak hanya memecahkan kasus, juga mengalami proses belajar dari pemegang prinsip bahwa hanya ada benar-salah jadi memahami ranah ambigu abu-abu di antaranya. Alhasil, para tersangka yang harusnya memiliki dinamika hasil penokohan berwarna tersisih, sebatas pelengkap dengan kepribadian ala kadarnya sekaligus minim peluang bersinar. Uniknya, berbeda dibanding versi Lumet, Ratchett diberi porsi ekstra khususnya di paruh awal, kemungkinan demi memanfaatkan nama besar Depp.

Sulit dipungkiri, melihat jajaran aktor kelas wahid berbagi layar, saling bertukar argumen tetap menyenangkan disimak. Depp penuh kharisma, untungnya tanpa gaya eksentrik yang kini membosankan, Michelle Pfeiffer dengan tatapan serta tutur kata menusuk namun berkelas, energi Daisy Ridley, wibawa Judi Dench, hingga Penelope Cruz yang mengatur kata-kata atas nama religiusitas. Biar begitu, kegagalan menciptakan karakter utuh membatasi pesona mereka, menyisakan Poirot sebagai satu-satunya tokoh berdimensi. Branagh dan kumis antiknya bak mengandung magnet, sanggup menyandingkan aspek quirky jenaka Poirot bersama sisi bermasalah dirinya. 

22 komentar :

Comment Page:
Ezra mengatakan...

nonton dimana bang

Lucass mengatakan...

Twist reveal diakhirnya berkelas ga bang? pengen nonton ini krena emg suka film thriller mystery gitu sama fans berat Deep yg mngkin dsini cuma tmpil dikit ya

Rasyidharry mengatakan...

@Ezra Semalem ada midnite, reguler Rabu besok

@Lucass Nggak sebagus versi 1974, tapi karena musiknya jadi lebih ngangkat di emosi. Depp banyak kok, at least dibanding Richard Widmark di film yang lama

Anna B mengatakan...

Kalo versi 1974 ratingnya menurut mas berapa?

Rasyidharry mengatakan...

Sekitar 4. Interogasinya menarik, semua tersangkanya menarik dan dikasih spotlight masing-masing

Anonim mengatakan...

Kalo sequelnya? Death on the Nile nonton engga?

Rasyidharry mengatakan...

Nah itu sayangnya belum

Badminton Battlezone mengatakan...

Saya yang ga pernah baca novelnya sama skali. Merasa puas sih sama endingnya,karena mencoba coba menebak siapa pembunuhnya.

Betul apa yang dibilang mas Rasyid. Interograsi terbilang agak flat. Saya ga bisa bayangin kl film ini ditangani oleh Quentin Tarantino. Percakapan akan menarik

Anonim mengatakan...

Saya juga lebih suka sama versi 1974 sama versi episode Agatha Christie Poirot tahun 2010, soalnya versi tahun 2010 lebih kelam.

Rasyidharry mengatakan...

@Badminton Makanya kasih 3, karena yang sama sekali belum baca novel/nonton versi 1974 kemungkinan bisa lebih puas. Bakal asyik itu kalau Tarantino, tapi entah tone-nya cocok sama Agatha Christie atau nggak.

@Anonim Versi 2010-nya juga usaha modernisasi, makanya lebih kelam. Padahal Agatha Christie & Poirot aslinya identik sama rasa quirky

Anna B mengatakan...

Menurut saya untuk sequelnya Death on the Nile masih ada kesempatan buat bagus deh, soalnya baru di adaptasi 2 kali tahun 1978 sama 2004. Keduanya juga gk terlalu sama kyk novelnya. Yang tahun 1978 lebih simpel dan banyak karakter dari buku yang dihapus, mungkin karena takut kali ya film gk bakal focus ke misteri pembunuhannya. Kalo yang thn 2004 lumayan rumit dan melebar ke kasus pencurian, tapi tetep ada karakter yang dihapus. Saya sebagai pecinta novelnya berharap adaptasi yg baru bakal lebih faithful ke novelnya

Anonim mengatakan...

Mas nonton versi 2010nya?

Rasyidharry mengatakan...

@Anna Selama Branagh belajar dari kekurangannya bungkus interogasi & investigasi, optimis sekuelnya bagus. He was good as Poirot too

@Anonim Udah beberapa tahun lalu tapi :)

Anonim mengatakan...

Nonton Crooked House mas Rasyid, adaptasi novel Agatha Christie juga

Anonim mengatakan...

Versi 2010 bagus ga si? Ratingnya berapa?

Jackman mengatakan...

Kalau saya malah lebih suka Death On Nile (1978) ketimbang Murder of orient express (1974).
Lebih menarik dan settingnya juga oke

Unknown mengatakan...

makin sadar ga sih makin kesini makin susah nyari film bagus ??

Rasyidharry mengatakan...

@hanung Not really, baik film luar atau lokal malah makin beragam & bagus. Kecuali kalau penggemar genre tertentu yang udah jarang dibuat. Itu pun ada kalau cari lebih dalam

Rahman Yusuf mengatakan...

Ceritanya sama persis kyk di novel gak mas ?? Sy udh baca novelnya soalnya

Rasyidharry mengatakan...

Garis besarnya sama

Lucass mengatakan...

Barusan nonton tadi, saya sebagai penonton yang gatau dengan karya agatha christie ini (sama sekali buta) sangat terhibur ketika menontonnya. And when it comes to the twist, fakk as hell. Berhasil mengecoh karena ngira cuma 1 pelaku doang dan yg lain ga berkaitan, but shit ending nya dikemas dengan baik dan tata yang indah (semua deret di meja). Merasa beruntung karena belum baca novelnya dan nonton film versi lamanya, karena feel nya sangat beda, makanya saya bilg bagus

Unknown mengatakan...

Kalo tarantino yg megang yg jadi dokter sudah pasti mr mothafaka :D