VALENTINE (2017)

17 komentar
Alasan industri di luar Hollywood termasuk Indonesia enggan menggarap film superhero adalah keterbatasan teknologi juga biaya. Benar, apabila Avengers atau Justice League yang jadi acuan, kita masih tertinggal puluhan tahun. Garuda Superhero contohnya. Apakah berarti membuat film pahlawan super lebih baik dilupakan? Tentu tidak. Serial Marvel produksi Netflix mengajarkan bahwa vigilante jalanan merupakan solusi mengakali dana minim. Valentine selaku adaptasi komik terbitan Skylar Comics mengambil jalur serupa, tanpa alien, dewa, atau monter, hanya gadis muda jago bela diri yang terpaksa membasmi kejahatan demi menyambung hidup di tengah kota korup marak kriminalitas, Batavia City.

Gadis itu bernama Srimaya (Estelle Linden), yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan cafe sambil mencoba peruntungan sebagai aktris, mendatangi audisi demi audisi. Berbekal ajaran mendiang ayahnya, Sri punya kemampuan bela diri mumpuni yang menarik perhatian Bono (Matthew Settle), seorang sutradara yang kesulitan membujuk para produser supaya memproduksi film superhero miliknya. Dibantu oleh Wawan (Arie Dagienkz) sang penata rias, Bono meminta Sri memerankan Valentine dan sungguh-sungguh merekam aksinya menumpas kriminal. Tujuannya agar masyarakat menyukai Valentine, sehingga menarik perhatian produser. Tapi bukan perkara gampang menjadi pahlawan di Batavia City, apalagi sejak Shadow menebar teror dan kerap mempermainkan polisi. 
Menetap di level jalanan ditambah manusia biasa sebagai lawan tak memaksa film karya sutradara Agus Pestol ini banyak memakai CGI yang sesekali masih digunakan (kebanyakan untuk merangkai setting) dan terbukti punya kualitas seadanya. Mayoritas aksi Valentine bertempat di lingkungan biasa, pada siang hari, serta melibatkan baku hantam tangan kosong. Agus Pestol dan tim bersedia menekan ambisi, memaksimalkan potensi pada tingkatan yang realistis untuk dicapai. Alhasil Valentine merupakan sajian laga nikmat berhiaskan ide-ide kreatif (borgol sebagai versi lain batarang, perkelahian dalam dua mobil bergerak), walau cara generik berupa close-up juga pemotongan adegan kilat tetap diandalkan Agus. Pun beberapa koreografi keren sempat tampak canggung akibat lambatnya pergerakan pemain. Toh momen-momen eksplosif yang meyakinkan tanpa perlu terlalu mengeksploitasi CGI sanggup menebus kekurangan itu. 

Tataran teknis Valentine memang masih berlubang, termasuk tata suara yang diganggu kurang mulusnya transisi pula efek suara karakter Shadow yang mengaburkan artikulasi. Ketika telinga tidak terlalu dipuaskan, lain cerita soal mata. Kombinasi busana dari Utami dengan tata rias Eni Tasya menghasilkan desain karakter unik. Adegan pesta kostum sebagai pembuka bak menyiratkan keanehan visualisasi dunia buku komik yang segera penonton masuki. Meski Shadow dengan kostum plus topeng hitamnya bagai Crossbone versi murah, tiga wanita anak buahnya tampil mencolok, selalu berganti dandanan di tiap kemunculan berbeda. Enggan memaksakan pernak-pernik berlebih, Estelle Linden dalam balutan kostum sederhana Valentine pun enak dilihat.
Sebagaimana departemen lain, naskah tulisan Beby Hasibuan (The Witness, Tebus) juga mengutamakan kesederhanaan. Tanpa bumbu kerumitan tak perlu, meski belum tergolong alur yang menjerat atensi, Beby tidak ketinggalan menyelipkan subteks tentang inkapabilitas aparat korup, sampai usungan pesan bahwa negeri ini butuh sosok pahlawan. Tidak harus pahlawan jago berkelahi dengan topeng dan kostum, cukup manusia biasa berbekal kepedulian juga kesedian berbuat baik bagi sesama. Poin itu menjaga relevansi filmnya di luar status selaku hiburan. Apalagi si tokoh utama sekedar manusia biasa yang awalnya bertarung demi kebutuhan materi alih-alih membela kebenaran, pula gentar kala mesti menatap maut.

Selipan humor secukupnya, khususnya yang melibatkan interaksi Wawan dan Sri turut menjaga dinamika. Arie Dagienkz sebagai Wawan merupakan tokoh spesial, seorang pria feminin yang urung jatuh menjadi banyolan murahan. Sedangkan Estelle Linden meyakinkan melakoni porsi laga sembari memastikan Valentine/Sri adalah tokoh "berwarna", tak membosankan nan mudah disukai penonton. Terdapat setumpuk kekurangan, termasuk hambarnya klimaks, namun Valentine sudah memuaskan hasrat akan kebutuhan tontonan pahlawan super lokal, menyadarkan terdapat alternatif untuk mewujudkan film tersebut. Ada dua mid-credit scene di mana salah satunya memberi tease akan ekspansi Skylar cinematic universe

17 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Wah, gak sempet liat mid-credit scene-nya. Jadi bakalan ada sekuelnya ya, Bang ? Meskipun nantinya kurang dapet respon positif dari penonton gitu ? Soalnya yang saya liat dari beberapa komentar di OA grup film kayak skeptis gitu semenjak kurangnya kualitas Jagoan Instan atau Garuda Superhero yang jadi film superhero Indonesia.

Rasyidharry mengatakan...

Ragu sih rencana itu bakal lanjut. Secara Valentine ini harusnya tayang udah dari 1-2 tahun lalu. Rencana awal kan bakal lanjut ke Volt yang lebih action-oriented dan banyak CGI.

Unknown mengatakan...

Oalah, penundaan jadwal tayang gitu ya Bang. Iya sih kalo film udah ngundur-ngundur jadwal tayang pasti bakalan ada masalah itu ke depannya. Volt masuk dalem Skylar Cinematic Universe (SCU) bukan sih, Bang ? Nanti bakalan ada 2 superhero petir (Gundala) dong.

Rasyidharry mengatakan...

Ya si Volt itu yang ada di credit scene. Dari 2015 Anggy Umbara udah ditunjuk jadi sutradara, tapi sepertinya ganti. Gundala juga sama, Hanung kayaknya nggak lagi direct lalu nasibnya nggak jelas

Unknown mengatakan...

Wah, bakalan keren tuh si Manusia Listrik. Dan Anggy Umbara lebih milih 5 Cowok Jagoan yang katanya sekuelnya 5 Cewek Jagoan, ya Bang ? Keren tuh bakalan ngeremake karya sang ayah, Danu Umbara. Kurang cocok kali ya Bang kalo Hanung ngedirect film superhero gitu.

Taufik Adnan Harahap (Opik) mengatakan...

Bakal nomton nih. Jarang jarang ada superhero indonesia

Rasyidharry mengatakan...

Entah sekuel, atau prekuel buat remake. Kemungkinan sih karakter-karakter cewek di 5 Cowo Jagoan bakal dikasih spin-off di 5 Cewek Jagoan yang baru.

Imam rahmad raharja mengatakan...

Bener juga ya bang, kisah superhero lokal yg tanpa melawan alien ditambah koreografi sekelas the raid rasanya itu bisa ya di indonesia... Hehe paling gak nyamain daredevil lah... Biar anak2 indo pd punya jagoan lokal lg

Rasyidharry mengatakan...

Betul, kasih misal Iko Uwais peran superhero, bakal lebih keren dari Iron Fist-nya Netflix yang ampas itu. CGI secukupnya. Dan di Valentine, adegan mobil jungkir balik & ledakan juga ternyata udah oke. Bisa banget superhero lokal asal eksekusinya pas

Anonim mengatakan...

Rilis film ini kayaknya ga pas..berbarengan ama justice league dan masih ada yg tayang thor ragnarok...

Unknown mengatakan...

Bang filmnya ditarik dari peredaran ya ? Apa karena di dalam ceritanya yang diangkat tentang kasus polisi itu, jadinya ada presure dari pihak kepolisian RI ?

Rasyidharry mengatakan...

Bukan kok. Intinya karena penonton sepi yang memancing ketidaksetujuan produser & bioskop. Detailnya nggak bisa diceritain di sini :)

Unknown mengatakan...

Oalah, pantesan aja. Tapi saya liat di 21 ada yang masih tayang di Tangerang sama di Medan. Per Minggu, 27 November perolehan penonton Valentine malah lebih banyak dari Knight Kris (10.534 dan 9.689). Hmmp, kalo personal chat bisa ? Ada akun sosmed gak Bang ? Jadi penasaran, padahal kualitasnya gak jelek-jelek amat justru keren dan baru juga tayang 4 hari.

Rasyidharry mengatakan...

Di Medan juga tinggal 1 jam aja. Lebih banyak tapi ada faktor lain. Haha masalah simple kok sebenernya.
Ada, aktif di twitter @rasyidharry Biasanya juga pada ngobrol-ngobrol dari situ kok :)

Unknown mengatakan...

Oke langsung saya follow. Makasih Bang.

Rasyidharry mengatakan...

DM yes

Anonim mengatakan...

wah keren ini kayanya tp belum sempat sy nonton udah ga ada, coba kalau pemerannya iko duet laga dgn yg prempuan kemungkinan penonton bakal tertarik