TENGKORAK (2017)

1 komentar
Tengkorak adalah proyek yang berani. Sutradara sekaligus penulis skenario, Yusron Fuadi, memanfaatkan komponen fiksi ilmiah guna menyentil berbagai karakteristik masyarakat Indonesia, dari inferioritas terhadap bangsa asing, hingga yang paling kental, peran agama. Mengingat film ini diproduksi Sekolah Vokasi UGM dan status Yusron sendiri selaku dosen program studi Komputer dan Sistem Informasi, ketepatan aspek sains filmnya pun menjanjikan. Usungan premisnya sensasional. Apa jadinya bila gempa Jogja tahun 2006 mengungkap keberadaan tengkorak berumur 170.000 tahun plus berdiameter 1,8 kilometer?

Walau baru memulai debut film panjangnya, kematangan Yusron nampak betul dalam rangkaian 15 menit sekuen pembuka bergaya newsreel mengenai liputan media luar dan dalam negeri untuk penemuan tengkorak tersebut. Tersaji rapat, dinamis, nan meyakinkan, imajinasi kita disulut, diajak berandai-andai kalau fenomena itu sungguh terjadi. Penemuan itu menyulut kontroversi. Negara seantero dunia berlomba agar turut terlibat melakukan riset, tak ketinggalan pemuka agama mengutarakan tanggapan. Kemudian sentral cerita berpindah ke Ani (Eka Nusa Pertiwi), mahasiswi sekaligus anak magang di Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) yang jadi target pembunuhan Tim Kamboja, kelompok pembunuh yang konon dibentuk pemerintah. 
Beruntung bagi Ani, Yos (Yusron Fuadi), salah satu anggota Tim Kamboja, menyelamatkan nyawanya, membawanya bersembunyi di markas Letnan Jaka (Guh S. Mana). Di sini fase penurunan Tengkorak terjadi. Hendak mengangkat ambiguitas moral di tengah paranoia massa, hubungan Ani-Yos selaku media penyampai pesan gagal tampil meyakinkan. Lubang dalam logika psikis adalah pokok masalah. Pasca nyaris mati lalu diajak pergi pria asing yang sudah menghabisi 13 orang, Ani terlihat baik-baik saja, tanpa takut maupun trauma. Anehnya, sejurus kemudian, setelah tertawa dan bercanda bersama, baru ia mengutarakan kegelisahannya. 

Tanpa jalinan proses memadahi, sulit menerima fakta Ani bersimpati, bahkan secara tersirat menyimpan perasaan lebih pada Yos yang baru dikenal, pula kasar, melontarkan kalimat ofensif macam "raimu kementhu (you're fuckable)" tepat di depan wajahnya. Di samping itu, Tengkorak menderita inkonsistensi tone. Sulit dipungkiri, pendekatan berbasis dialognya menghibur, khususnya kala Yusron dan Guh S. Mana berceloteh, memamerkan keluwesan lempar-tangkap kalimat. Namun selepas pembukaan serba serius cenderung kelam, momen ini terkesan kurang menyatu sekaligus mengurangi waktu bagi penelusuran mengenai bukit tengkorak.
Konklusinya luar biasa, meski masih direcoki lubang logika (Semudah itukah meyakinkan CIA dan PBB? Pemerintah mengambil keputusan berdasarkan pemungutan suara rakyat padahal sebelumnya selalu mengutamakan rahasia dan ketertutupan?). Penggambaran Yusron akan suatu peristiwa (tidak bisa saya ungkap) amat sesuai dengan kepercayaan masyarakat kita. Saya sempat bergetar dan sulit menghapus gambaran itu dari ingatan. Menyusun teori dari Al Qur'an, sayangnya proses "cocoklogi" yang dilalui kurang melibatkan penonton. Fase ini mestinya jadi sorotan utama, walau penekanan pada sisi humanisme juga bukan kekeliruan.

Aspek teknisnya cukup memuaskan berkat CGI solid dengan kadar secukupnya, membuat kecanggungan adegan aksi bisa sedikit dimaafkan. Satu "pekerjaan rumah" Yusron, yaitu memperbaiki efektivitas pengadeganan. Banyak momen kehilangan momentum akibat bergerak terlalu panjang (menghasilkan durasi mencapai 130 menit), baik obrolan atau montage berhiaskan lagu-lagu yang sejatinya enak didengar. Tengkorak sendiri bagai film yang diawali gagasan mengenai pangkal permasalahan dan resolusi, tapi kewalahan tatkala menyusun jembatan guna menghubungkan keduanya. Tetap saja, apabila ada kesempatan menonton, jangan sampai anda lewatkan. Setidaknya film ini mencoba berbeda.


Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017

1 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

baca ini lagi, karena mau tayang di xxi