1987: WHEN THE DAY COMES (2017)

5 komentar
Represi pemerintah terhadap media, persekusi pemegang kekuasaan terhadap rakyat sipil oposisi, hingga dalih pemberantasan antek komunis selaku kambing hitam dalam upaya membungkam pihak yang kritis. Kita di Indonesia telah familiar akan semua itu, sehingga saat banyak kisah menyeruak dan sederet karakter keluar-masuk dalam 1987: When the Day Comes, rasanya tidak sulit mencerna garis besar peristiwanya. Bahkan sekalipun naskah buatan Kim Kyung-chan kerepotan menangani skala ambisius filmnya, kita takkan tersesat jauh. Karena kita sudah hafal, sampai dibuat muak oleh modus operandi di atas.

Filmnya dibuka lewat tragedi yang acap kali terjadi dalam sebuah upaya revolusi, khususnya yang menyertakan pemuda sebagai tulang punggung. Mahasiswa sekaligus aktivis bernama Park Jong-chul (Yeo Jin-goo) tewas akibat penyiksaan keji kala diinterogasi pasca terlibat dalam demonstrasi menentang rezim diktator Presiden Chun Doo-hwan. Komisaris Park (Kim Yoon-seok) bertugas menutupi fakta tersebut, menyatakan bahwa Jong-chul, yang ditangkap karena pro-komunis, tewas akibat serangan jantung ketika interogasi. Demi menghindari autopsi, jenazah Jong-chul akan dikremasi tanpa persetujuan keluarga.
Di sinilah perlawanan mulai terjadi. Jaksa Choi (Ha Jung-woo) menolak memberi izin kremasi. Choi adalah tipikal protagonis populer sinema Korea. Bermoral, menjunjung tinggi aturan, walau kerap bersikap semaunya. 1987: When the Day Comes semestinya bertahan memberi sorotan utama pada Choi yang dimainkan dengan penuh energi oleh Ha Jung-woo. Alih-alih demikian, ambisi tinggi membawa kisahnya melebar, melompat ke tokoh-tokoh lain, dari reporter Yoon Sang-sam (Lee Hee-joon), sipir Han Byung-yong (Yoo Hae-jin) dan keponakannya, Yeon-hee (Kim Tae-ri), hingga nama-nama yang tidak bisa saya sebutkan karena gagal terekam di memori. Bahkan halaman Wikipedia tak membantu mengingat. 

Jaksa Choi menarik karena tingkah serampangannya. Byung-yong relatable berkat kebolehan Hae-jin mewakili sisi rakyat sipil yang tidak berdaya di hadapan penguasa layaknya kita. Sang keponakan mudah mencuri hati sebab Tae-ri menyuntikkan keceriaan di antara situasi mencekam filmnya. Di pihak berlawanan, Kim Yoon-seok tampil begitu intimidatif. Karakter lainnya urung bernasib sama. Kurang berkesan, dan sejatinya tanpa sumbangan signifikan untuk alur. Berniat mengambil cakupan perspektif seluas mungkin (rakyat, mahasiswa, aktivis, jurnalis, aparat, politikus), 1987: When the Day Comes melangkah menuju kerumitan tak perlu.
Berbagai dialog penjelas cukup membantu mengatasi kerumitan benang kusut kisahnya tetapi tak membantu mengikat perasaan dengan jajaran tokohnya. Padahal dalam beberapa kesempatan, sutradara Jang Joon-hwan berhasil memunculkan komponen khas sinema Korea Selatan, yakni luapan emosional yang otentik. Seperti kita tahu bersama, film Korea jago menumpahkan air mata menyayat, seolah sutradara dan aktor Negeri Ginseng paham betul tangis seperti apa yang efektif menusuk hati penonton. 

1987: When the Day Comes mampu menjungkalkan Along with the Gods: The Two Worlds dari singgasana puncak Box Office Korea Selata setelah tiga minggu bertahta. Prestasi ini menandakan betapa penonton di sana merasa terikat akan perjuangan merubuhkan kediktatoran para penjahat kemanusiaan. Perjuangan itu ditutup melalui shot yang menghadirkan paralel dengan adegan pamungkas Les Misérables-nya Tom Hooper, selaku sesama film tentang revolusi. Sebuah pilihan visual tepat, berbeda dengan momen cringey tatkala imagery Kristus dipakai untuk menggambarkan Kim Jeong-nam laksana mesias. Api yang disulut film ini tidak membara sebesar keinginan pembuatnya.

5 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalau dibanding along with the gods, lebih baik nonton yg mana?

Rasyidharry mengatakan...

Lebih oke Along with the Gods sih

Kasamago mengatakan...

hmm.. serasa ada hubungannya dg film Taxi Driver tahun lalu

Unknown mengatakan...

kalau dibandingkan dengan taxi driver bagusan mana mas ?

febrianation mengatakan...

film yang sebenernya bisa jadi super kalo dieksekusi dengan baik, poin plus film ini cuma adegan ending, disaat kim taeri naik ke atas bus, dengan latar ibu-ibu bernyanyi pansori, gemeteran sih di adegan tsb

adegan awal disaat yeo jin-goo dibawa ke kampus (atau rumah sakit ya, saya lupa hehe) juga cukup meyakinkan, sayangnya eksekusi setelahnya terkesan kurang kuat, apalagi topik uprising di 70-80an korea sebetulnya sangat menarik untuk difilmkan (selain topik utara-selatan tentunya)