FOREVER HOLIDAY IN BALI (2018)

1 komentar
Si pria adalah bintang K-Pop ternama. Si wanita gadis Bali biasa, terhimpit masalah ekonomi pula. Mereka bertemu di Pulau Dewata. Diawali pertengkaran, lama-lama cinta keduanya tak tertahan. Terdengar bagai dongeng idaman orang-orang yang berharap terlibat dalam pertemuan puteri cantik dengan pangeran tampan berkuda putih. Namun Forever Holiday in Bali memang sengaja bermain di ranah itu, setidaknya ingin menyerupai deretan drama Korea yang juga mengusung formula serupa. Apakah salah? Sebaliknya, orang-orang di balik film ini paham betul kiblat yang jadi acuan: dongeng dan drama Korea.

Dibanding film Indonesia bergaya Korea lain, Forever Holiday in Bali menang soal autentisitas. Penyusunan adegan seperti drama Korea, karakter Korea pun bicara Bahasa Korea, juga diperankan orang Korea. Tidak main-main, Thunder eks-MBLAQ pun digaet sebagai bintang utama bernama Kay. Berkat kehadiran sosok idola sungguhan, unsur fairy tale-nya terpancar nyata. Apalagi Thunder berakting jauh dari kesan kaku. Mungkin karena tuntutan akting film ini tak begitu berat, setara drama televisi yang kerap ia lakoni. Atau mungkin, Caitlin Halderman selaku lawan mainnya menebar cukup pesona guna menambal segala kekurangan yang ada.
Caitlin adalah Putri (Princess, like in a fairy tale), gadis Bali yang mengalami kesulitan keuangan sehingga menerima tawaran sahabatnya, Indra (Reza Aditya) untuk membantu meliput kedatangan Kay yang membuat video klip secara rahasia di Bali. Tapi serahasia apapun, tidak mungkin bandara sepi fans. Hanya ada dua wartawan termasuk Indra. Kemustahilan yang sebaiknya kita terima, mengingat dalam dongeng logika perlu sedikit dikesampingkan. Walau akibatnya, Forever Holiday in Bali tampil kurang relatable, menghalangi dampak emosi. 

Skenario tulisan Kennt Kim bersama Titien Wattimena bukannya lupa menyulut rasa. Kay diberi kisah personal mengenai duka pasca sang ibu meninggal. Kay pun teringat ucapan ibunya tentang Bali yang memiliki banyak bidadari. Andai filmnya memberi penekanan bahwa Kay menemukan bidadari yang disebut mendiang ibunya dalam diri Putri pernyataan itu bisa menjadi pondasi emosi luar biasa kuat. Terlebih, mengulangi pencapaian di Sweet 20, Ody C. Harahap jago mempresentasikan interaksi menyentuh ibu-anak. 
Sayangnya tidak. Forever Holiday in Bali memilih berpijak pada rangkaian alur yang memfasilitasi kejutan kurang esensial di penghujung durasi ketimbang memaparkan drama sederhana tetapi mencengkeram hati. Filmnya urung mencapai tingkat perasaan yang tinggi, tetapi efektif sebagai pemancing senyum. Bukan terbatas senyum geli mendapati humor yang sesekali mengisi perjalanan berkeliling Bali mencari pantai kenangan masa kecil Kay, pula senyum yang berasal dari manisnya interaksi dua tokoh utama.

Khususnya untuk Caitlin Halderman, saya kehabisan kata-kata pujian. Cantik, lucu, berenergi, pandai mengatur ekspresi supaya tiap momen menyenangkan disaksikan. Penampilan yang bisa mewajarkan seorang idola jatuh cinta pada gadis biasa. Asal cerdik memilih film serta berani sesekali mengambil peran berbeda, suatu hari namanya akan bertengger di jajaran puncak aktris negeri ini. Gaun merah Caitlin, vespa jingga, bentangan alam hijau, Forever Holiday in Bali terlihat cerah nan berwarna, sanggup mengundang keceriaan selama anda tidak anti terhadap romantika kental khayalan di luar nalar ala dunia dongeng. 

1 komentar :

Comment Page:
Alvan Muqorrobin Assegaf mengatakan...

Maipa depati dan datu museng direview enggak mas rasyid?