PAI KAU (2018)

Tidak ada komentar

Sidi Saleh (sutradara sekaligus penata kamera) membuka Pai Kau dengan close-up pantat karakter wanita bernama Dian. Dia tengah bersiap mandi. Kamera menjauh, memperlihatkan punggung dan sekilas dadanya yang tak tertutup sehelai benang pun sebelum pintu kamar mandi tertutup. Dian kembali muncul tidak lama kemudian, hanya berbalut handuk, membicarakan seks bersama teman-temannya. Setelahnya ia tak lagi terlihat. Mudah berasumsi, Dian hanya berperan memfasilitasi shot nakal di atas. Pun lekuk tubuh yang terpampang itu tak menyimpan signifikansi bagi keseluruhan kisah.

Saya suka thriller erotis. Sensualitas bisa jauh lebih mencengkeram dan menyesakkan ketimbang banjir darah maupun kejaran pembunuh bersenjata tajam. Tapi Pai Kau bukan thriller erotis. Sekedar thriller yang secara nakal menyelipkan erotisme tanpa arti seperti halnya saat Sidi memperlihatkan jelas isi rok Sinta (Natasha Gott). Untuk apa? Di Basic Instinct, Paul Verhoeven memperlihatkan Sharon Stone melipat kaki dari dekat guna menggambarkan apa yang dilihat karakternya. Di sini Sidi lah yang mengintip. Sidi yang tergoda, bukan Edy (Anthony Xie), si pria pangkal permasalahan utama Pai Kau.
Edy adalah playboy. Menjelang hari pernikahannya dan Lucia Liem (Irina Chiu), ia masih sempat berhubungan seks dengan Sinta, rekan kerjanya, di tempat parkir pula. Di tempat lain, Siska (Ineke Valentina) terpukul mendengar kabar pernikahan Edy. Ada rahasia di antara mereka, permasalahan yang belum tuntas. Thriller membutuhkan simpati penonton terhadap karakternya, sebab tanpa simpati atau keterikatan, ketegangan bakal sulit dimunculkan. Pada Siska lah simpati penonton harusnya tercurah. Pada kemalangannya, pada rencana gilanya mengacaukan pernikahan Edy.

Tapi sebelum rencana tersebut berlangsung, jarang sekali porsi diberikan untuk Siska. Justru Edy dan Lucia beserta sang ayah, Koh Liem (Tjie Jan Tan) lebih dominan. Sidi Mohammad Ariansah selaku penulis naskah ingin menjadikan keluarga Liem sebagai sarana menyelipkan warna sinema Hong Kong, dari persoalan keluarga, unsur mafia, atau sekedar bermain-main di tata artistik setting-nya. Pai Kau memberi pemandangan berbeda nan cukup menyegarkan berkat sentuhan kultur Tionghoa miliknya, walau kekuatan banyak adegan bernuansa thriller/kriminal “terjun bebas” kala akting kaku beberapa pemain pria. Hanya Verdi Solaiman sebagai Koh Jun, si pria berdarah dingin penyuka lagu Hau Siang Hau Siang yang tampil baik.
Sidi piawai merangkai selipan-selipan komedi. Ada tiga adegan luar biasa lucu (dua melibatkan confetti, satu lagi toilet), tapi tak ada satu pun momen menegangkan, yang mana seharusnya jadi fokus Pai Kau. Sidi justru kurang berhasil melambungkan tensi dramatik dan ketegangan mencengkeram. Selain terkait ritme, kegagalan itu pun disebabkan ketiadaan kepedulian akan aksi yang dijalankan Siska. Belum lagi klimaksnya tenggelam dalam pertengkaran ala opera sabun yang membahas permasalahan klasik (takkan saya ungkap, tapi bukan perkara sulit menebaknya).

Di sela-sela konflik utama, permainan Pai Kau sesekali mengisi. Saya pun berasumsi setiap poin cerita mewakili masing-masing fase dalam permainan tersebut. Entahlah. Saya tidak memahami aturan, strategi, juga cara bermain Pai Kau. Filmnya sendiri tak menyulut keinginan mencari tahu. Menyaksikan Ineke Valentina di paruh akhir, melihat tatapannya, caranya menggoda, saya yakin ia mampu menangani peran dalam sajian erotic thriller sungguhan. Thriller dengan sensualitas sebagai pondasi substansial pembangun intensitas.

Tidak ada komentar :

Comment Page: