BEIRUT (2018)

5 komentar

Alkisah, pemerintah Amerika Serikat bergantung pada Mason Skiles (Jon Hamm), seorang negosiator, guna membebaskan seorang sandera di Beirut, Lebanon. Sama seperti film Beirut yang mengandalkan wibawa Jon Hamm yang begitu meyakinkan memerankan diplomat Amerika Serikat untuk Lebanon. Bermodalkan wajah tegas, senyum mempesona, ditambah setelan necis, Mason jago bercerita, aktif berkeliling menyapa satu per satu tamu pesta di rumah mewahnya, dan tak sulit melihat betapa cocok Hamm melakoni peran ini. Salah satu cerita yang dituturkan Mason adalah analogi soal Lebanon.

Menurutnya, Lebanon ibarat rumah berisi orang-orang yang saling tidak percaya. Beirut memang dipenuhi tokoh-tokoh yang mengundang kecurigaan bahkan berkhianat, entah secara sengaja sebagai bentuk ketamakan, atau cuma menjalankan tugas. Hal kedua dialami Cal Riley (Mark Pellegrino) sahabat Mason sekaligus anggota CIA yang terpaksa menahan bocah Lebanon berusia 13 tahun yang Mason dan sang istri, Nadia (Leïla Bekhti), rawat, atas tuduhan terlibat aksi terorisme yang dijalankan kakaknya di Munich. Karim (Idir Chender) nama bocah itu. Tanpa diduga, upaya penangkapan itu berujung tragedi yang mengubah hidup Mason, menghempaskannya.
Perubahan bukan saja dialami Mason, sebab mayoritas tokoh film ini identik dengan dua karakteristik, yakni “tidak bisa dipercaya” dan “berubah karena perang”. 10 tahun pasca tragedi, Mason kembali ke Amerika, menjalankan profesi sebagai mediator perusahaan, hidup berantakan dalam jeratan alkohol. Mason berubah. Pun setelah kembali ke Beirut, ia mendapati setumpuk perubahan. Kota yang porak poranda akibat perang saudara, juga beberapa orang terdekat yang kini berbalik memusuhinya. Beirut sendiri, layaknya analogi soal rumah di atas, terjebak dalam kepentingan politik internasional. Palestina, Israel, Amerika Serikat, tumpah ruah berebut kendali.

Alasan pemerintah Amerika Serikat meminta (baca: memaksa) Mason kembali tak lain karena Cal diculik, dan sang pelaku meminta Mason khusus didatangkan sebagai negosiator. Di sana, beberapa perwakilan pemerintahan membantunya, termasuk Sandy Crowder (Rosamund Pike) si agen lapangan CIA. Sekali lagi, tak ada yang bisa sepenuhnya dipercaya. Perjalanan Beirut selaku hostage thriller dimulai dengan dipandu naskah buatan Tony Gilroy (trilogi The Bourne), yang sebagaimana biasa, penuh sesak oleh setumpuk intrik rumit, yang mampu memberi dua hasil berlawanan: intensitas mencekat atau penonton tersesat. Beirut sayangnya lebih dekat ke kelompok kedua. Saling tipu, kejutan, maupun konspirasi terus dituangkan tanpa ada kepedulian apakah penonton memiliki cukup kesempatan menyerap seluruhnya.
Tidak hanya penonton, Beirut sendiri tersesat, kebingungan menentukan fokus, apakah harus mengedepankan hostage thriller atau drama tentang gejolak batin Mason. Poin kedua sejatinya menarik. Walau menyangkal, secara tersirat Mason turut menyalahkan Cal atas tragedi yang menimpanya, sementara Cal pun menyalahkan diri sendiri, yang ditengarai menjadi alasannya tetap tinggal di Beirut selama satu dekade terakhir. Tatkala Mason mesti menyelamatkan Cal, berlangsunglah prosesnya berdamai dengan duka, yang semakin berhasil dilalui, semakin cepat pula luka batinnya sembuh.

Di kursi sutradara, Brad Anderson (The Machinist, The Call), mungkin bukan Paul Greengrass yang sanggup menerjemahkan skenario Tony Gilroy menjadi parade intensitas tingkat tinggi, tetapi Beirut tetap solid, walau berbagai musik ritmis kaya ketukan perkusi buatan John Debney bakal memperlihatkan jenis iringan paling klise dalam suguhan thriller yang telah diterapkan dalam ratusan, ribuan, atau malah jutaan tontonan serupa di luar sana. Setidaknya Brad bisa menjaga kerapatan momentum pun mempunyai kepekaan soal bermain timing, di mana adegan meledaknya sebuah bom jadi titik paling menghentak. Jauh lebih menghentak ketimbang keseluruhan filmnya.

5 komentar :

Comment Page:
KieHaeri mengatakan...

Liat di trailer yang menarik memang aksi ledak-ledakannya, banyak adegan baku tembaknya gak Mas? Rencana mo nonton film ini atau Beyond The Clouds-nya Majid Majidi. Masih jadi pertimbangan antara dua film tersebut, karena hari ini weekend plus tanggal tua. Hehe

Anonim mengatakan...

Mas Rasyid, tolong review Mary and the Witch's Flower dong. Pliss...

people90s mengatakan...

ditunggu review You Were Never Really Here nya mas liam..... hahahaha

Rasyidharry mengatakan...

@Ungki Sedikit. Biar filmnya kelihatan menjual aja. Mostly negosiasi dan debat. Pilih Beyond the Clouds aja.

@Fauzi Haha nggak janji ya kalo itu

filmcerdas mengatakan...

alur cerita dan pemerannya kece, emang jarang film kek begini ini