JELITA SEJUBA: MENCINTAI KESATRIA NEGARA (2018)

4 komentar
Saya seringkali menghindari film lokal bertema militer. Kecenderungan glorifikasi ditambah karakter yang terlampau sempurna jadi penyebab utama. Menengok judulnya, saya mengira Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara takkan jauh-jauh dari golongan di atas. Sampai para tokoh tentara mulai diperkenalkan, dan ketika salah satu kalimat pertama yang terucap adalah selorohan “mambu entut” selaku respon terhadap aroma ikan asap, saya lega. Mereka bukan sosok kelewat kaku yang selalu mengucap kata-kata bernada nasionalisme selain “siap Ndan!”, melainkan sebagaimana manusia biasa, gemar berkelakar. Wajar Sharifah (Putri Marino) si gadis Natuna beserta kedua sahabatnya terpikat.

Mereka bertiga pula kreator ikan asap tadi, sebagai salah satu hidangan di warung Jelita Sejuba milik keluarga Sharifah. Nantinya, melalui Sharifah juga, naskah buatan Jujur Prananto (Ada Apa Dengan Cinta?, Petualangan Sherina, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara) dan Krisnawati menggambarkan apa yang mesti dihadapi istri-istri TNI. Apa saja kesulitan maupun resiko dalam mencintai kesatria negara. Jaka (Wafda Saifan Lubis dalam debut akting layar lebar yang tidak mengecewakan) adalah kesatria yang dimaksud. Walau mencintai Jaka, Sharifah tak perlu diingatkan dua kali oleh ayahnya (Yayu Unru) bahwa profesi prajurit bakal membuat pria idamannya sering ditugaskan ke tempat jauh dalam hitungan bulan bahkan tahun.
Membentang dari awal pertemuan yang malu-malu sebelum benih romantika tumbuh, perpisahan pertama yang tak terasa layaknya perpisahan, pertemuan kembali yang berujung pernikahan, hingga perjuangan merawat anak sembari mencari nafkah tatkala sang suami berada di seberang lautan, kisah Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara memang mempunyai cakupan waktu yang cukup luas. Menjadi tokoh sentral, Putri Marino menampilkan transformasi mulus sehingga tumbuh kembang Sharifah nampak meyakinkan. Mencapai pertengahan durasi, tanpa saya sadari, remaja aktif, cerewet nan usil ini telah matang juga dewasa. Satu hal yang urung berubah yakni aura positif.

Baik ketiadaan sang suami atau himpitan finansial tak pernah menjatuhkan Sharifah, meski ada satu-dua momen di mana kerapuhannya memuncak, yang mana berfungsi menjauhkan karakter dari ketabahan berlebihan. Putri Marino dianugerahi senyum (bukan cuma di mulut, pula mata) yang dapat memancing senyum, bahkan meluluhkan hati siapa saja yang melihat. Senyum miliknya berperan besar menguatkan Sharifah sebagai karakter wanita yang enggan terjatuh. Film ini memang melodrama, namun bukan eksploitasi cerita merana. Komedi, baik lewat interaksi jenaka para gadis dan prajurit maupun sosok Nazar (Harlan Kasman) dengan catchphraseyele yele yele” yang bakal sulit dihapus dari ingatan, senantiasa menyegarkan suaasana.
Pun penyutradaraan Ray Nayoan (Takut: Faces of Fear segmen “Peeper”, Sinema Purnama segmen “Dongeng Ksatria”) menampakkan dinamika serupa. Ada kesan senang-senang yang dibawa sang sutradara supaya karyanya ini tidak kaku. Misalnya sewaktu Sharifah bersama Jaka menjalani produser militer panjang sekaligus berbelit sebelum melangsungkan pernikahan. Bagi Sharifah, proses tersebut terasa menyebalkan nan melelahkan, tetapi Ray memilih mengedepankan sisi jenaka dalam aktivitas itu, lengkap dengan transisi asyik (anda akan tahu transisi seperti apa yang saya maksud). Berkat deretan poin plus di atas, kekurangan pada jalinan alur yang amat formulaik dan nihil perspektif baru (tanpa film ini pun kita tahu istri tentara harus harus berjuang menghadapi penantian dan ketidakpastian) pantas dimaafkan.

Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara berpeluang menghadirkan klimaks intens yang turut menyimpan potensi emosi, sayang, pererakan buru-buru menuju konklusi, pun masih belum cakapnya Ray Nayoan membungkus aksi di medan perang melucuti sederet keunggulan terpendam itu. Biar begitu, penutupnya menyiratkan poin bermakna mengenai kehadiran Jaka dalam hidup Sharifah. Baik langsung atau tidak, sejak kali pertama Jaka menginjakkan kaki di warung Jelita Sejuba, ia berperan menyatukan keluarga Sharifah. Karena Jelita Sejuba sendiri, seperti merujuk pada pernyataan ibunda Sharifah (Nena Rosier), adalah “tempat untuk pulang”, atau dengan kata lain perwujudan keluarga. Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara bukan cuma cinta di tataran romantika, juga keluarga.

4 komentar :

Comment Page:
Jackman mengatakan...

Jadi termasuk layak tonton ya min filmnya?
Liat trailernya sih menarik

Unknown mengatakan...

Coba nonton komedi "Status Update" bang! http://www.imdb.com/title/tt5692390/
Filmnya memang sangat sepele tentang aplikasi ajaib yang dapat merealisasikan setiap postingan status, ratingnya pun rendah cuman 5 sekian. Tapi saya pribadi jujur tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut sepanjang film. Film sederhana yang sangat menghibur. Hanya ada beberapa komedi yang dapat membuatku tertawa lepas yaitu Serial Friends dan film ini salah satunya. You should give it try and have fun!

Rasyidharry mengatakan...

'Status Update' kayaknya tayang juga di bioskop bulan ini. Tapi lihat trailer & orang-orang yang terlibat langsung ilang selera nonton haha

Andri Septio Wibowo mengatakan...

Saya cukup appreciate sama film ini. Bang Rasyid juga udah bahas dari segi cerita dan casting yang baik serta sebagian besar kelebihan yg menutupi kekurangannya. Tapi sayang banget penggunaan bahasa melayu yang tak "duduk" membuat film ini tidak konsisten. Kendati untuk membuat penonton tetap paham dengan bahasa yang di mix bahasa Indonesia, tapi penggunaan kata2 melayu tak tepat dan tidak semua kata berakhiran "a" menjadi "e". Sayang sih penulis nya entah bukan dari orang yang paham melayu atau kurang belajar, semoga ini bisa jadi pelajaran bagi kita semua.