ANANTA (2018)

9 komentar
Mengadaptasi Ananta Prahadi buatan Risa Saraswati yang merupakan satu-satunya novel roman sang penulis, Ananta berpotensi memaparkan kisah indah tentang kebaikan dalam hidup, mengenai laki-laki yang menaruh hati pada seorang wanita, bukan (cuma) karena parasnya, pun melalui karyanya, di mana sisi terdalam sekaligus ungkapan rasa paling jujur wanita itu tertuang. Kisah yang murni nan indah, andai konklusinya tidak terjerembab ke kubangan dramatisasi klise dan tak perlu menjelang akhir, yang juga upaya penggampangan guna menutup cerita. Ganti Fero Walandouw dengan Dimas Anggara, pindahkan lokasi ke luar negeri, maka anda akan mendapatkan produksi MD Pictures rasa Screenplay.

Adegan pembukanya membawa kita ke dalam kelas tempat Tania (Michelle Ziudith) berada. Kelas itu terasa asing. Siswa dan seorang guru seni yang diperankan Astrid Tiar memenuhi ruangan, tapi saya tidak merasa dikelilingi manusia. Mereka adalah karikatur. Ibu guru yang mencela murid panjang lebar di tengah jam pelajaran, Tania si jago lukis yang dipandang aneh,  menutup diri, tapi bisa tiba-tiba melontarkan ungkapan bernada sinis kala guru tengah menjelaskan. Sama halnya dengan sang titular character, Ananta Prahadi (Fero Walandouw), bocah kampung polos yang berusaha keras berteman akrab dengan Tania meski selalu menerima perlakuan sinis.
Fero membawakan perannya dengan mengikuti formula akting remaja kampung yang senantiasa bersikap sopan dengan postur tubuh sedikit membungkuk dan senyum yang bak takkan sirna. Sementara Michelle Ziudith, berpegang teguh pada buku pedoman “How to Act Like Michelle Ziudith”, lancar menjalani tangisan demi tangisan, juga bentakan demi bentakan. Tania memang lebih identik dengan tangisan serta bentakan ketimbang bakat melukisnya, sebab filmnya sendiri, meski punya tokoh utama seorang seniman “pemain warna”, urung memanfaatkannya demi menciptakan bangunan visual menarik. Belum lagi, menengok lukisan Tania, walau menarik, rasanya bukan hasil karya yang bakal membuat kurator asal Yogyakarta terbuai, kemudian menawarkan pameran tunggal.

Ananta memang problematik, hingga masuk fase pertengahan tatkala naskah Alim Sudio (Ayat-Ayat Cinta 2, Surga Yang Tak Dirindukan 2) mulai menaburkan bumbu komedi. Selain efektif memancing tawa, komedinya membuat rentetan kekurangan di atas bisa diterima, karena kesan karikatur untuk sebuah karakter lebih tepat mengisi suguhan komedik daripada dramatik. Pun berkatnya, Asri Welas sebagai Bik Eha, pembantu Tania, berkesempatan unjuk gigi mencuri perhatian di tiap adegan yang melibatkannya. Kemudian hadirlah sang kurator asal Yogyakarta, Pierre (Nino Fernandez), yang memancing saya berprasangka buruk kalau Anata bakal melangkah menuju konflik standar cinta segitiga. Untung saya keliru.
Kebersamaan Ananta-Tania-Pierre justru memunculkan titik non-komedik terbaik filmnya, sewaktu Ananta menampilkan sebuah bentuk kebahagiaan sederhana: duduk di bawah cahaya matahari yang bersinar seterang senyum penuh kedamaian ketiga karakternya. Keputusan sutradara Rizki Balki (A: Aku, Benci, dan Cinta) menekankan pada kehangatan suasana terbukti tepat. Saat itu Tania membawa Pierre dan Ananta mengunjungi ruang fantasinya, sambil ditemani musik gubahan Joseph S. Djafar (London Love Story, The Perfect Husband) yang memancarkan imaji serupa. Musiknya membuat saya seolah diajak mengunjungi dunia dongeng walau sekilas. Bermodalkan karismanya, Nino Fernandez tampil meyakinkan sebagai pria yang menyikapi dengan tenang khayalan liar Tania, seolah segalanya bagian dari rutinitas yang selalu Pierre hadapi.

Sampai datanglah twist ganda yang seketika merobohkan pondasi kisah, secepat kilat menyeret Ananta ke titik nadir. Melodrama kita punya dua senjata andalan pencipta nuansa dramatis mengharu biru, yaitu relasi rahasia antar karakter yang dipenuhi kebetulan serta eksploitasi kondisi medis. Tidak tanggung-tanggung, Ananta meleburkan kedua senjata tersebut. Pasca konklusi terungkap, motivasi Ananta bergeser, dari kebaikan hati yang tulus karena kasih sayang, menjadi kebaikan yang terjadi karena faktor eksternal ditambah ketiadaan pilihan bagi karakternya. Ananta ditutup secara mengecewakan, dan saya masih menantikan momen Anjasmara mendapat film bagus setelah memutuskan kembali ke layar lebar.

9 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

spoilerin twist dong, penasaran jadinya 😁😁

Rasyidharry mengatakan...

Itu udah dikasih tahu loh, clue-nya jelas banget di review :D

Anonim mengatakan...

Kurator asal Yogya, beda selera dg kurator asal Bali, Bandung atau Jakarta.

Jadi jangan memberi kredit terlalu tinggi untuk pemikiran tentang "Selera Seni Kurator dari Yogya"

Hati2 berkomentar ttg hal2 di luar bidang dan wawasanmu, Rasyid

dim mukti mengatakan...

Profesor Dumbledore mati

Rasyidharry mengatakan...

Ya iyalah menyebut Yogya, kan karakternya kurator dari sana. Kalo Bali ya bakal bilang kurator Bali.

Oh maaf ya, saya nulis blog tentang film bukan berarti buta soal cabang seni lain :)

Anonim mengatakan...

Baca konteks donk mas, ini mah gak ada hubungannya kali antara penguasaan bidang dengan penjelasan karakter dalam film..kan emang filmnya yang menyampaikan itu karakter sebagai kurator seni dari yogyakarta

Anonim mengatakan...

Ga buta, cuma meragukan

Orang Yogya sering merasa meteka paling 'nyeni'. Padahal....

Rasyidharry mengatakan...

Nggak apa meragukan, yang penting berani tanggung jawab dengan apa yang ditulis dengan cara nggak bersembunyi di balik anonimitas :)

Anonim mengatakan...

Anonim atau bukan tidaklah penting, Selama yg disampaikan adalah kebenaran.