BASED ON A TRUE STORY (2017)

12 komentar
Art imitates life. Karya seni mengimitasi realita. Istilah tersebut sebenarnya erat kaitannya dengan metode seorang seniman mengais inspirasi, yakni bersumber dari dunia nyata. Tapi dalam perjalanannya, penciptaan karya, yang juga merupakan proses penciptaan kehidupan di tatanan fiktif, dapat memunculkan efek berkebalikan apabila sang pembuat karya mulai terseret terlampau jauh menuju kreasinya. Terjadilah life imitates art. Hal ini jadi pokok bahasan Based on a True Story yang menampilkan kolaborasi Roman Polanski (The Pianist, Chinatown, Rosemary’s Baby) dan Oliver Assayas (Personal Shopper, Clouds of Sils Maria) sebagai penulis naskah. Hanya saja, proses observasi itu ditambahi bumbu thriller.

Seorang novelis yang baru meraih kesuksesan perdana, tersiksa akibat kebuntuan menulis, lalu bertemu penggemar misterius seiring dengan memudarnya batasan fantasi dan realita sang novelis. Premisnya familiar, apalagi bagi kedua penulis naskah. Film terakhir Polanski, Venus in Fur (2013) serta judul-judul lamanya kerap membahas soal itu, sementara Assayas, hampir di tiap karyanya, gemar bertutur tentang krisis eksistensial. Paruh awalnya bekerja layaknya drama psikologis observasional pada umumnya, ketika Delphine (Emmanuelle Seigner, istri Polanski) berkenalan dengan Elle (Eva Green), si penggemar berat yang ia rasa amat mengerti isi hati dan pikirannya. Dari penggemar-idola, hubungan keduanya cepat berkembang menjadi persahabatan.
Delphine bersedia menunjukkan ringkasan novel terbaru yang tengah susah payah ia tulis, memberitahu kata sandi komputernya, bahkan mengizinkan Elle tinggal di apartemennya sementara waktu. Kehadiran Elle dirasa mampu melucuti beban Delphine, yang bukan cuma buntu, pula sedang menghadapi teror dari surat misterius yang menuduhnya mengeksploitasi aib keluarga lewat novel. Semakin jauh kisahnya bergerak, nuansa thriller makin kental merasuk, bahkan mencapai third act, Based on a True Story mulai terang-terangan merujuk pada Misery (1990), lengkap dengan penulis yang kakinya terluka dan mesti terus berbaring.

Di tangan Polanski selaku sutradara, Based on a True Story lebih condong ke ranah slow-burning thriller ketimbang drama meditatif sebagaimana pendekatan Assayas sebagai sutradara. Pun tak mengejutkan ketika aroma psikoseksual samar-samar tercium di balik interaksi Delphine dan Elle. Kadang kamera Polanski bergerak terlampau lambat, namun ada kalanya perpindahan sekuen terlalu cepat. Hasilnya sama. Potensi ketegangan urung memuncak. Klimaksnya sendiri menghadirkan usaha Polanski mengajak penonton mengecap atmosfer film suspense era 70-80an, dilengkapi orkestra mencekam Alexandre Desplat yang kental membawa rasa dari masa tersebut.
Satu hal yang Polanski tahu pasti, bahwa Eva Green mampu menciptakan intensitas. Kamera pun seolah begitu mantap menangkap setiap ekspresi sang aktris. Berkat sang aktris pula, mudah memahami alasan Delphine tetap terobsesi kepadanya walau telah melalui sejumlah pertengkaran, kekangan, dan perilaku histerikal Elle. Green memiliki sorot mata menghipnotis, yang sekalinya mencengkeram, sulit untuk melepaskan diri darinya. Terkadang, Polanski pun memanfaatkan Green guna memproduksi creepy factor, sewaktu diam-diam sekaligus tiba-tiba, dia sudah berada di satu sudut ruangan.  Kedua penampil utama sama-sama memamerkan transformasi dengan gradasi bertahap. Green dari penggemar antusias yang tak jarang seduktif, sementara Seigner perlahan semakin kehilangan pegangan atas realita.

Penutupnya menyimpan twist yang dapat terlihat jelas bahkan sedari menit pertama jika anda familiar dengan karya-karya Polanski maupun Assayas. Tapi twist itu bukan semata soal daya kejut, karena Based on a True Story bicara mengenai bagaimana kesuksesan dan ketenaran dadakan menciptakan tekanan, kebuntuan penulis yang mengikuti kesuksesan itu, juga proses mengkreasi kehidupan. Semua ini adalah soal observasi terhadap proses, bukan hasil akhir. Pun filmnya memancing pertanyaan, “bukankah tiap bentuk karya seni, jika dilihat dari aspek tertentu, sejatinya dibuat berdasarkan kisah nyata?”.

12 komentar :

Comment Page:
@Simon Kurniawan mengatakan...

Ga nonton film 212? Hehehe

KieHaeri mengatakan...

Nonton dimana Mas? Pengen nonton karena ada Oliver Assayas dibelakangnya, hehe

Rasyidharry mengatakan...

@aarif Nggak sudi keluar duit buat modal mereka bikin acara lagi :)

@Ungki Kemaren di Europe on Screen. Tapi minggu depan tayang bioskop katanya.

KieHaeri mengatakan...

Ok, makasih Mas infonya, masuk list tonton di bulan ini, btw opini sementara mengenai Teaser 13 the haunted sama Alas Pati gimana nih mas? Sama2 film horror remaja, setelah kemarin kecewa dengan film Sajen.

Anonim mengatakan...

Licik ya, film yg mengeksploitir kebencian dan memuja eksklusivitas kelompok, dijual dg judul yg bawa2 'Cinta' demi merangkul pasar.

Maaf ya OOT

Jangan direview mas, nanti masuk neraka

Anonim mengatakan...

Anda sudah nonton? Bisa punya pendapat semacam itu berarti sudah nonton film nya. Kalau belum, artinya itu cuma prasangka anda saja. Alias gagal logika.

Kalau nanti ada film soal Ahok, bisa kah itu dibilang licik? Memuja ras/ tokoh tertentu? Apalagi kalau tokoh di dalam nya diceritakan penuh perhatian, baik, tanpa cacat padahal kenyataannya umpatan kotor, marah-marah depan umum, tuduh ibu-ibu maling (yang ini jelas gak bakal di film kan?).

Film is an art. Biasa sebagai alat propaganda juga. Tapi take it easy bro. Semua juga pakai sebagai alat. Kalau gak sudi nonton, ya gak udah nonton. Gak pakai stigma semacam itu.

Kalau anda pecinta film, see the movie like is an art. Lihat aja sebagai karya seni. Kalau anda gak suka filmnya, kritik aja. Tapi kalau anda gak lihat, better not comment.

Btw anda komen sebagai anonim, saya juga sebagai anonim. Kalau anda ada id saya siap publish id.

Oia semua bakal masuk neraka, kalau gak jadi orang baik. Gak cuma di Islam kok.

OGI13 mengatakan...

Jujur.. kali ini saya setuju pendapat si anonim,

"Film is an art. Biasa sebagai alat propaganda juga. Tapi take it easy bro. Semua juga pakai sebagai alat. Kalau gak sudi nonton, ya gak udah nonton. Gak pakai stigma semacam itu."

Film oscar juga byk sebagai alat propaganda sih (Propaganda LGBT misalnya),saya sgt benci dengan LGBT tapi klo film itu bagus, kenapa tidak? (E.g The Imitation Game, boys dont cry)

Sangat disayangkan klo alasanya krna faktor pribadi.

tapi itu hak om sih mau review apa enggak.

U're still one of the best movie reviewer.

Rasyidharry mengatakan...

Ini ngomongin 212 kan? Oke here's why I don't watch that movie:

Nggak bisa menentukan baik/buruk film sebelum nonton. True. Tapi ada trailer, dan dilihat dari situ, this movie is not my cup of tea. Ya, ada film dengan trailer jelek tapi hasilnya bagus dan sebaliknya. Tapi, karena saya independen, dalam arti nonton pake duit sendiri, akhirnya harus selektif, dan salah satu cara adalah dari materi promosi (trailer, poster, interview, dll.). Dan betul, film propaganda itu sah, hell, even one of the best Indonesian movie of all time is a propaganda movie (G 30S PKI). Tapi di sini, saya memilih untik tidak berkontribusi menyumbang pemasukan untuk film yang saya tidak dukung propagandanya. Tapi di sisi lain, saya juga nggak akan melarang orang menonton filmnya. It's their rights to make and watch this movie, I just don't want to participate in it. Dan karena khusus untuk pesan film ini saya merasa tidak bisa sepenuhnya memilah antara objektifitas dan ideologi personal, saya memilih tidak nonton dan review.

Anonim mengatakan...

Setuju sama Mas Rasyid.

Gak semua film layak ditonton,
apalagi yg isinya propaganda murahan

Oh ya, ini gak ada hubungannya dg Ahok.

Kenapa ya kaum paranoid (karena selalu merasa terancam dg segaka sesuatu) ini selalu dikit2 Ahok..dikit2 Ahok.

Anonim mengatakan...

Mas Rasyid, jawabannya keren deh.

Gak direview aja udah sedefensif ini, apalagi kalo dikritik (oh yeah, trust me, banyak sekali yg bisa dikritik dari film ini)

Gak rugi juga men-Skip film yg akan dilupakan orang dalam 2 mggu

Anonim mengatakan...

Oh ya. Sepakat sama Mas Rasyid. Ini bukan soal mau atau tidak review. Atau mau atau tidak nonton. Jauh panggang dari pada api

Mau nonton Okay. Enggak No problem juga. Mau sebagus apapun filmnya, tapi kalau memang gak suka. Ya mau gimana? Moonlight dapat Oscar, tapi sampai detik ini, gak nonton juga.

Jadi kalau belum nonton film nya aja sudah bicara seperti “licik”, “eksploitasi kebencian”, “memuja eksklusivitas kelompok” apa beda nya sama mereka yang diangkat dalam film itu?

Open Mind bro. Kalau you look at it as pure art, dan gak semua orang bisa, subyek yang lu bicarakan, itu gak bakal ada, atau dipermasalahkan karena kita cerna dari sisi karya semata.

Btw ini bukan soal ahok. Seberapapun saya gak suka atau seberapapun kalian suka. Namun contoh yang pas ketika film aja yang media aja lalu dianggap lawan/ musuh dari pihak tertentu, ya jelas itu yang muncul karena toh soal itu

Tapi jika yang anda punya cuma palu, semua masalah yang ada nampak seperti paku semua.

Thanks mas Rasyid udah tegaskan gak bakal nonton. Lebih baik dipuji jadi diri sendiri daripada disukai tapi jadi orang lain.

Btw, saya juga gak minat nonton 212. Walaupun saya ada disana ketika itu

Anonim mengatakan...

Mungkin anda menyesal karena ternyata kegiatan itu kontra produktif? Jadi tak berniat nonton filmnya.

Saya muslim. Tapi sampe sekarang saya nggak ngerti, di mana bangganya berada di sana saat itu. Mengumpulkan sekian banyak orang utk kegiatan yg akhirnya hanya menguntungkan orang2 yg punya ambisi politik.

Agama? Gitu2 aja. Sama aja. Tetap Agung seperti sebelumnya