INSYA ALLAH SAH 2 (2018)

8 komentar
Seorang wanita yang hamil sebelum menikah dan seorang perampok yang kabur dari penjara demi menikahinya. Film pertama Insya Allah Sah (2017) takkan menempatkan Raka (Pandji Pragiwaksono) di antara kedua sosok tersebut, karena filmnya sendiri rasanya takkan mau menjustifikasi mereka. Saya tidak tahu bagaimana jalan cerita novel karya Achi TM selaku sumber adaptasinya, tapi Insya Allah Sah 2 jelas tampil lebih baik ketimbang pendahulunya karena kesediaan memandang tokoh-tokohnya sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Raka lebih toleran pada dua protagonis yang punya pandangan hidup berbeda dengannya, untuk itu saya mesti bersikap sama terhadapnya dan film ini.

Mungkin anda ingat betapa saya membenci film pertamanya. Pembaca reguler blog ini pun rasanya tahu betapa saya membenci polisi moral seperti Raka. Sebagai karakter, ia tidak berproses, hanya muncul mendadak layaknya hantu, kemudian berceramah. Fakta bahwa Raka adalah sosok manchild tidak menjadikannya lebih baik. Karena berbeda dibanding para manchild dalam komedi berkualitas, sebutlah Will Ferrell dalam Elf (2003), meski berdandan dan bicara bagai bocah, Raka memahami konsep-konsep yang cuma dipahami orang dewasa. Sehingga ketika ia mencampuri urusan orang-orang di sekitarnya, itu bukan hasil kepolosan bocah yang memandang dunia secara hitam-putih.

Kali ini Raka masih gemar berpetuah, namun ia mampu, atau tepatnya mau melihat kebaikan dalam keputusan (yang menurutnya) buruk dari seseorang. Pun acap kali di tengah ceramahnya, Raka mendapat todongan pistol di kepala, seolah Anggy Umbara (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Tiga) dan Herry B. Arissa (Generasi Kocak: 90-an vs Komika, Selebgram) selaku penata skrip berkata, “diem lo!”. Tapi Raka memang sulit didiamkan, bahkan ketika terlibat baku tembak bersama Gani (Donny Alamsyah), yang baru saja nekat kabur dari penjara lalu merampok uang Freddy Coughar (Ray Sahetapy) si mafia, semua demi menikahi Mutia (Luna Maya) yang sedang hamil tua. Untuk itu, uang sebesar 250 juta dibutuhkan.

Mungkin alasan mengapa ceramah Raka terasa tidak segencar sebelumnya karena sekuel ini cenderung berorientasi pada aksi. Sekali lagi, saya belum membaca sumber adaptasinya, sehingga tidak tahu apakah Achi TM memang menggeser pendekatan novelnya ke arah laga. Tapi pemilihan Anggy Umbara dan Bounty Umbara (Mama Cake, Rafathar) guna duduk di kursi sutradara jelas tepat. Gaya-gayaan di antara rentetan momen aksi seolah mendarah daging dalam diri Umbara Bersaudara, dan meski Insya Allah Sah 2 tak punya gelaran aksi luar biasa, elemen tersebut jelas jauh lebih menghibur daripada menyaksikan ceramah agama selama 90 menit.

Raka (dan agama) sekedar jembatan dalam proses Gani belajar bahwa tidak semua masalah dapat terselesaikan lewat kekerasan dan amarah. Bukan studi permasalahan mendalam, tapi Insya Allah Sah 2 setidaknya menampilkan pergulatan personal. Saya bisa membayangkan kisah Gani-Mutia dieksekusi tanpa unsur agama dan tetap dapat bekerja dengan baik (bahkan mungkin lebih), sebab ini kisah manusia yang berdamai dengan dirinya, bukan menemukan cahaya agama atau Tuhan. Gani ingin berubah bagi orang-orang tercintanya, juga demi nazar, demi janji, yang tanpa memakai perspektif agama pun, memang wajib ditepati.

Ada satu momen khusus yang seketika membuat Gani menjadi protagonis yang likeable serta layak didukung, yakni ketika Mutia menceritakan beberapa rahasia pada Raka di suatu restoran. Sebelumnya, kita pun sempat diajak mengintip masa lalu kelam nan berat miliknya, yang turut memberi Donny Alamsyah kesempatan memamerkan akting dramatis, melalui lontaran amarah menusuk yang mampu mendiamkan semua orang di ruangan. Kesukaran menggelayuti hidup tokoh-tokohnya, tapi tentu saja senjata utama Insya Allah Sah 2 tetap komedi. Beberapa humor bekerja efektif, sebutlah absurditas yang melibatkan telepon genggam dan suara tangis bayi, Jingga (Nirina Zubir) si polisi cantik yang mudah terbuai oleh pujian, atau bila anda tetap membenci penokohan Raka, anda akan bahagia melihatnya jadi korban serbuan bersin bertubi-tubi.

8 komentar :

Comment Page:
dim mukti mengatakan...

Entah kenapa saya merasa sebagai action konfliknya kurang greget.. Tapi lumayanlah daripada yang pertama..

Nukidos mengatakan...

Gaspol min sekalian jailangkung2

Anonim mengatakan...

Mungkin franchise ini punya misi konspiratif untuk menggiring kelompok tertentu. film pertama-nya itu untuk menggaet kelompok tersebut, film berikutnya bertugas untuk membelokkan secara perlahan.

Rasyidharry mengatakan...

@dimas Ya standar emang eksekusi aksinya, tapi seenggaknya jadi lebih fun daripada cuma sekedar ceramah.

Samarinda mengatakan...

Gimana dg akting Meriam Bellina sbg sosok ibu yg bw kliningan? Bikin gerr seluruh bioskop ga?

Rasyidharry mengatakan...

@Samarinda Biasa aja. Satu karena tonal jump, jokes itu muncul di tengah adegan depresif jadi canggung. Dua, mungkin penonton tempat saya nonton nggak paham referensi ke Pengabdi Setan.

Samarinda mengatakan...

Makasih review nya o.. sukses terus

dim mukti mengatakan...

Adegan Ibu penonton pada hening hahaha.. Cuma ada yang nyletuk ko horor?